Model Simulasi Pengelolaan Hutan Berbasis Karbon (Studi Kasus di IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada pengelolaan hutan menggunakan sistem silvikultur TPTI, terjadi penurunan siklus tebang dan batas diameter minimal pohon layak tebang yang diatur dalam Permenhut No. 11 tahun 2009. Hal ini menyebabkan besarnya volume tebangan yang tidak diiringi dengan peningkatan riap pertumbuhan pohon yang mengakibatkan tingkat kelestarian hutan sulit dicapai pada siklus tebang berikutnya. Riap pohon berbeda-beda untuk jenis pohon yang berbeda, tergantung oleh beberapa faktor antara lain : kesuburan tanah, iklim, dan ketersediaan air (Wartono & Manan 1992).

Penurunan siklus tebang berdampak pula pada tingginya laju deforestasi hutan dan degradasi lahan. Laju deforestasi dan degradasi hutan Indonesia selama tahun 2003–2006 mencapai 1,089 juta hektar per tahun (Kementerian Kehutanan 2009). Berbagai upaya untuk pengurangan laju deforestasi kini mulai dilakukan oleh pihak yang memiliki perhatian terhadap masalah hutan dan lingkungan hidup. Hal ini dilakukan agar dampak negatif akibat kegiatan deforestasi dapat dikurangi atau bahkan dihentikan.

Suatu tindakan adaptasi lingkungan melalui pengurangan laju deforestasi hutan dan degradasi lahan dengan cara mempertahankan kandungan karbon di hutan dapat memberikan manfaat tambahan dalam segi lingkungan maupun pendapatan yang dihasilkan dari kompensasi jasa penyerapan karbon ketika perdagangan karbon berlaku. Indonesia melakukan kerjasama dengan Norwegia dengan cara menyediakan jasa penyerapan karbon tersebut, kemudian Norwegia siap mengalokasikan 3 miliar NOK (satuan mata uang Norwegia) per tahun untuk menyokong upaya REDD (Reducing emissions from deforestation and degradation) di negara-negara berkembang yang bersedia membantu menurunkan emisi global (Angelsenet al.2010).

Kompensasi dari penyerapan karbon bisa menjadi income tambahan bagi negara yang menghasilkan jasa penyerapan karbon disamping pendapatan pokok dari sektor kehutanan yang terdiri dari sumber penerimaan negara bukan pajak


(2)

sebesar ± Rp. 2.201.613.190 yang berasal dari dana reboisasi sebesar ± Rp. 1.454.865.578.120, provisi sumberdaya hutan sebesar ± Rp. 674.358.139.370, dan iuran hak pengusahaan hutan sebesar ± Rp. 72.389.473.500 (Departemen Kehutanan 2009). Selain itu, perusahaan juga dapat memanfaatkan potensi lain selain kayu sebagai nilai tambah ketika perdagangan karbon berlaku untuk menutupi biaya tetap yang dikeluarkan dan memperoleh keuntungan tambahan disamping kompensasi penyerapan karbon. Potensi yang dapat dimanfaatkan dari hasil hutan bukan kayu yang memiliki pasar cukup baik antara lain : pemanfaatan sarang semut, usaha minyak lawang dan usaha sagu.

Sarang semut merupakan salah satu tumbuhan epifit dari hidnophytinae (Rubiaceae) yang dapat bersimbiosis dengan semut dan menempel pada tumbuhan lain tetapi tidak hidup secara parasit pada inangnya. Sarang semut merupakan hasil hutan bukan kayu yang berkhasiat menyembuhkan berbagai macam penyakit ringan dan berat, seperti kanker dan tumor, asam urat, jantung koroner, wasir, TBC, migren, rematik, dan leukemia. Tanaman ini mengandung senyawa aktif penting seperti flavanoid, tokoferol, fenolik dan kaya akan berbagai mineral yang berguna sebagai anti-oksidan dan anti-kanker (Subroto 2007).

Potensi lain yang bisa dimanfaatkan adalah kulit pohon lawang yang dapat diolah menjadi minyak lawang. Minyak Lawang adalah minyak yang dikenal sangat panas, digosokkan pada bagian yang sakit akan mendatangkan pemulihan dari sakit yang diderita. Diolah melalui proses penyulingan yang diambil dari kulit pohon lawang. Minyak lawang sangat berkhasiat untuk meredakan nyeri yang ditimbulkan oleh rematik baik rematik karena udara dingin maupun oleh karena asam urat yang berlebih. Minyak Lawang cocok digunakan untuk wilayah yang dingin sebagai penghangat badan.

Sagu (Metroxylon sagoRottb.) merupakan sumber karbohidrat yang cukup potensial di Indonesia dan sebagian besar berada di Papua. Di sekitar areal kerja perusahaan banyak ditemui tanaman sagu yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan sebagai makanan pokok. Meski sudah diketahui potensinya besar, namun bahan pangan yang satu ini belum banyak tersentuh dalam konteks pemenuhan kebutuhan pangan pokok. Selama ini sagu belum dibudidayakan secara efektif, bahkan bisa dikatakan sekedar tumbuh secara liar.


(3)

Sagu (Metroxylon spp) termasuk ordo Sapindiciflorae, sub famili Calamoideae dari familiPalmae. Nama tanaman sagu yang dengan bahasa latin Metroxylonspp, berasal dari 2 (dua) kata, yaitu :Metrayang berarti empulur, dan Xylon yang berarti Xylem. Metroxylon sagu berarti tanaman yang tumbuh di daerah berair, berbunga hanya sekali, serta toleran terhadap salinitas. Sagu termasuk salah satu dari beberapa jenis palem yang penting dan telah diolah sejak dahulu kala. Sagu dinggap penting karena memproduksi atau menghasilkan pati (tepung sagu) yang merupakan sumber karbohidrat (Flach 1983).

Potensi hutan di Indonesia yang semakin menurun setiap tahunnya diakibatkan oleh pemanfaatan kayu secara berlebihan, sehingga menyebabkan stok tegakan sebagai penyerap karbon semakin sedikit. Hal ini berkorelasi negatif dengan tingginya emisi global yang semakin bertambah setiap tahunnya. Untuk itu perlu adanya simulasi skenario pengelolaan hutan yang tepat dengan cara mengkombinasikan pengelolaan hutan berbasis karbon dengan hasil hutan bukan kayu lainya agar kelestarian tegakan dan manfaat lingkungan dapat terjaga, selain itu dari segi ekonomi perusahaan bisa memperoleh keuntungan yang maksimal.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Membuat model simulasi tegakan pada pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTI.

2. Membuat model simulasi tegakan pada pengelolaan hutan berbasis karbon. 3. Membuat dan memilih skenario pengelolaan hutan terbaik yang dapat

dikombinasikan dengan pengelolaan hutan berbasis karbon.

1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah memperoleh skenario pengelolaan hutan terbaik dengan memperhatikan manfaat kelestarian ekonomi, ekologi dan sosial. Informasi yang diperoleh dapat dijadikan arahan bagi para pemegang kebijakan atau dalam hal ini pihak pengelola HPH PT. Mamberamo Alasmandiri yang dapat digunakan sebagai indikator dalam menentukan strategi pengelolaan dan pemanfaatan hutan secara optimal.


(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fungsi Hutan Terhadap Perubahan Iklim

Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan mendefinisikan hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi jenis pepohonan dalam persekutuan dengan lingkungannya, yang satu dengan lain tidak dapat dipisahkan. Indonesia memiliki hutan terbesar ketiga setelah Brazil dan Zaire. Luas kawasan hutan di Indonesia yang mencapai ± 133.841.806 ha yang terdiri dari luasan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan alam (IUPHHK-HA) sebesar ± 26,169,813 ha dan luasan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) sebesar ± 10.039.052 ha (Dirjen Planologi Kehutanan 2009).

Potensi tersebut dapat dimanfaatkan diantaranya sebagai penyeimbang siklus karbon di atmosfir melalui proses fotosintesis. Penyerapan CO2di udara oleh tegakan dibantu sinar matahari dan air dapat menghasilkan karbohidrat yang kemudian diolah dalam organ tumbuhan, yaitu : batang, cabang, ranting, dan daun. Sehingga dengan mengukur jumlah karbon yang tersimpan dalam suatu areal dapat menggambarkan CO2 yang terserap dari udara. Kondisi hutan dengan fase masa pertumbuhan mampu menyerap lebih banyak CO2 jika dibandingkan dengan hutan alam yang telah tua dan mencapai klimaks dalam pertumbuhanya yang hanya mampu menyerap sedikit CO2 karena telah mencapai keseimbangan dimana tingkat pembentukan dan pelapukan seimbang (Hairiah & Rahayu 2007).

Pada hutan bekas tebangan memiliki tingkat penyerapan CO2 yang tinggi karena lebih didominasi oleh tingkat permudaan pohon yang berada dalam fase pertumbuhan. Setelah hutan alam atau sisa-sisa hutan alam terdegradasi akibat adanya intervensi manusia dari kegiatan tebang pilih atau pembalakan kayu yang tak terkontrol. Hutan sekunder akan berkembang dari benih pohon-pohon pionir yang telah bereproduksi dan jatuh ke permukaan tanah, dari sisa-sisa tebangan (tunggul pohon) atau melalui regenerasi jenis pohon klimaks hingga kembali ke keadaan seperti semula selama proses tersebut tidak terganggu.


(5)

Hutan sekunder memiliki sifat sebagai berikut :

1. Komposisi dan struktur tegakan tidak hanya tergantung pada luas keterbukaan namun juga pada umur keterbukaan areal.

2. Tegakan muda memiliki komposisi dan struktur tegakan lebih seragam dibandingkan dengan hutan aslinya.

3. Pohon jenis niagawi sangat sulit ditemui sedangkan jenis-jenis pohon cepat tumbuh (fast growing species) lebih mendominasi.

4. Persaingan ruangan dan sinar matahari yang intensif sering membuat batang bengkok karena pertumbuhan pohon mengikuti arah sinar matahari.

5. Memiliki riap awal yang besar, karena pertumbuhan tegakan distimulus oleh sinar matahari yang langsung masuk akibat keterbukaan areal dan lambat laun riap tersebut akan mengecil.

6. Memiliki struktur tegakan, komposisi tegakan, dan riap tegakan yang tidak pernah stabil, sehingga mengakibatkan sulitnya merencanakan pemasaran hasil yang tepat.

Kegiatan pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur di hutan alam tropis dapat menimbulkan perubahan terhadap ekosistem hutan yang cukup besar. Dampak dari kegiatan pemanenan kayu di hutan alam mengakibatkan kerusakan vegetasi hutan dan kerusakan tanah. Disamping itu kegiatan pemanenan kayu berperan dalam menurunkan cadangan karbon di atas permukaan tanah minimal 50%. Di hutan tropis asia penurunan cadangan karbon akibat aktifitas pemanenan kayu berkisar antara 22-67% (Butler 2007).

2.2 Komposisi dan Struktur Tegakan

Keanekaragaman jenis pohon pada hutan alam umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan tipe hutan tanaman. Tingginya keanekaragaman jenis tersebut diwakili oleh banyaknya jumlah jenis pohon yang ditemukan per satuan luas. Struktur tegakan dapat menjelaskan tentang tingkat kerapatan suatu tegakan, selain itu struktur tegakan juga dapat menjelaskan tentang distribusi jumlah pohon berdasarkan kelas diameternya. M engukur kerapatan tegakan berguna untuk mengindikasikan kuantitas kayu yang berada di atas tegakan ( Husch et al.2003).


(6)

Tegakan hutan adalah sekumpulan pohon yang memiliki karakteristik seperti komposisi, ukuran dan umur (Kohyama 1993). Tegakan dapat diekspresikan sebagai unit per luas area seperti volume, luas bidang dasar, jumlah pohon, dan sebagainya. Tetapi sering juga diekspresikan dalam skala relatif sebagai persentase dari keadaan kerapatan penuh atau sebagai persentase kerapatan rata-rata. Hasil dari proyeksi struktur tegakan berguna untuk pengaturan hasil dan prediksi kandungan biomassa dan nilai karbon tersimpan pada tegakan.

Struktur tegakan merupakan istilah untuk menggambarkan sebaran jenis pohon dengan dimensi diameter pohon dalam suatu kawasan hutan yang berguna untuk mempertahankan keanekaragaman jenis. Pengetahuan menyangkut struktur tegakan memberi informasi dinamika populasi suatu jenis mulai dari tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Struktur tegakan dapat memberikan berbagai informasi penting bagi pengelola hutan melalui upaya pemodelan untuk keperluan prediksi yang sesuai dengan kondisi yang akan datang (Kohyama 1993).

Demikian disampaikan oleh Burkhart (1990) dalam Thornley (1998) bahwa pemodelan pertumbuhan merupakan dasar pengelolaan hutan yang bertujuan untuk mengekstrapolasi prediksi kegunaan untuk tujuan pengelolaan pada basis yang dibatasi pada sejumlah hasil yang diinginkan. Dalam pemodelan hutan, Thornley (1998) membedakan atas model individu pohon yakni terdiri atas pengukuran dimensi tinggi, diameter, umur dan lain-lain serta model tegakan keseluruhan seperti model pertumbuhan dan hasil tegakan.

2.3 Kandungan Biomassa dan Karbon di Atas Permukaan Tanah

Biomassa didefinisikan sebagai jumlah total bahan organik hayati maupun non hayati yang berada di atas maupun yang berada di bawah permukaan tanah. Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan menyerap CO2 dari udara dan mengubahnya menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis (Brown 1997). Faktor yang mempengaruhi besarnya biomassa diantaranya adalah iklim, curah hujan, umur tegakan, struktur tegakan, kerapatan tegakan, serta kualitas tempat tumbuh yang sangat berpengaruh pada pertumbuhan pohon yang ekuivalen dengan besarnya biomassa. Jumlah cadangan karbon ditentukan oleh : luasan areal, kerapatan tegakan per hektar, dan komposisi jenis tegakan.


(7)

Penggunaan persamaan alometrik dapat mengurangi tindakan perusakan selama pengukuran, biomasa pohon dapat diestimasi berdasarkan pada pengukuran diameter batang. Hairiah dan Rahayu (2007) menyebutkan bahwa pemanenan kayu merupakan penyebab utama penurunan jumlah stok karbon yang diserap oleh hutan dimana karbon yang ditinggalkan di dalam tegakan terdapat di bawah permukaan tanah, tegakan tinggal, semai, tumbuhan bawah, dan limbah kegiatan pemanenan kayu. Prosedur pengumpulan data biomassa di atas tanah disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Parameter pengukuran biomassa dan metode pengukuranya

No Parameter Metode

1 Serasah dan Tumbuhan bawah Destruktive

2 Pohon hidup Non- Destruktive, persamaan alometrik

3 Pohon mati berdiri Non- Destruktive, persamaan alometrik (nekromassa) (bercabang) dan persamaan silinder.

4 Pohon mati roboh Non- Destruktive, persamaan silinder (nekromassa) atau alometrik untuk yang bercabang

5 Tunggak pohon (nekromassa) Non- Destruktive, persamaan silinder

Sumber : Hairiah dan Rahayu 2007.

Pengukuran karbon membutuhkan data biomassa tumbuhan yang dapat diukur dengan menggunakan 2 sistem, yaitu : sistem destruktive sampling merupakan metode pengukuran biomassa dengan cara merusak atau menebang pohon untuk selanjutnya dilakukan pengukuran berat basah di berbagai carbon pool yang terdiri dari biomassa atas, biomassa akar, biomassa kayu mati, biomassa serasah dan biomassa tanah organik (Ostwald 2008), sedangkan sistem non-destruktive sampling merupakan pengukuran biomassa dengan cara tidak merusak pohon dan menggunakan konversi persamaan alometrik dimana parameter yang digunakan antara lain : diameter, tinggi dan berat jenis.

Persamaan alometrik merupakan pendekatan regresi yang sering digunakan dalam menduga biomasa. Brown (1997) telah membangun persamaan allometrik untuk hutan tropis. Beberapa persamaan alometrik dalam pengukuran biomassa pohon di hutan tropis dalam tiga bentuk berdasarkan intensitas curah hujannya selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.


(8)

Tabel 2 Persamaan alometrik estimasi biomassa

Curah hujan tahunan

Persamaan Allometrik Kisaran

DBH

Sampel Pohon

Kering (<1500 mm/Thn)

B = exp[-1,996 + 2,32*ln(D)] 5-40 cm 28 0,89 B = 10^[-0,535 + log10(BA)] 5-30 cm 191 0,94

Lembab (1500-4000 mm/thn)

B = 42,69 - 12,800(D) + 1,242 (D²)

5-148 cm 170 0,84

B = exp[-2,134 + 2,530 * ln (D)] 0,97

Basah (>4000 mm/thn)

B = 21,297 - 6,953 (D) + 0,740 (D²) 4-112 cm 169 0,92

Keterangan : B = Biomassa (Kg), D = Diamater (cm), BA = Basal Area (cm²)

Pendugaan karbon diperoleh dari hasil konversi sebesar 50% dikali dengan kandungan biomassanya. Hasil penelitian Onrizal (2004) menyebutkan bahwa hubungan antara kandungan biomassa setiap bagian pohon berhubungan secara linear dengan kandungan karbonnya, karbon suatu pohon akan meningkat seiring dengan meningkatnya kandungan biomassa pohon tersebut.

2.4 Perdagangan Karbon dengan skema REDD

Perdagangan karbon adalah kegiatan perdagangan jasa yang berasal dari kegiatan pengelolaan hutan yang menghasilkan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan melalui penyerapan emisi oleh tegakan. Pengurangan emisi dari deforestasi hutan dan degradasi lahan yang selanjutnya disebut REDD merupakan semua upaya pengelolaan hutan dalam rangka pencegahan dan atau pengurangan penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon untuk mendukung pembangunan nasional berkelanjutan. Pembayaran karbon hutan dapat terjadi melalui penyerapan karbon yang diperoleh dari penyerapan CO2 dalam penanaman pohon atau perlindungan karbon tersimpan yang sebaliknya dapat teremisi dari hutan alam (Kementerian Kehutanan 2009b).

Perdagangan karbon dapat membantu penurunan emisi global yang

dihasilkan dari negara maju (Annex 1) dengan cara membeli kredit REDD (offsets) untuk memenuhi komitmen penurunan emisi mereka sendiri. Selain itu, manfaat lain dari perdagangan karbon adalah penjualan jasa penyerapan karbon (Payments for Environmental Services) di tingkat internasional. Pembeli jasa akan membayar kepada penyedia jasa untuk jasa lingkungan atau kegiatan yang dapat memberikan jasa tersebut (Angelsen 2010).


(9)

Pertimbangan pendekatan nasional bukan berdasarkan pengurangan emisi, tetapi kemampuan suatu negara untuk mempertahankan pengurangan karbon sesuai tingkat referensi yang telah ditetapkan tanpa mempedulikan lokasi persis sumber pengurangan tersebut, Jika suatu negara melampaui tingkat referensi yang telah ditetapkan, maka salah satu alternatifnya adalah negara tersebut berusaha menurunkan emisi dengan cara lain atau membayar denda. Melalui ‘sistem debit’ misalnya, nilai emisi di atas tingkat referensi akan dipotong dari pendapatan kredit emisi di masa mendatang. (Schlamadinger & Johns 2006).

Metode untuk mengukur perubahan stok karbon karena degradasi hutan, yaitu : metode perubahan stok karbon (stock-difference) dan metode tambah-kurang (gain-loss). Metode perubahan stok dibangun berdasar inventarisasi hutan yang biasanya dilakukan untuk menaksir serapan atau emisi karbon. Sedangkan metode tambah-kurang berdasarkan pemahaman dari sifat ekologis hutan, bagaimana hutan tumbuh, bagaimana proses alami dan pengaruh manusia mengakibatkan pengurangan karbon di dalam hutan. Metode perbedaan stok mengukur stok biomassa di awal dan akhir periode penghitungan, untuk masing-masing pool karbon (IPCC 2006). Metode tambah-kurang menaksir terjadinya penambahan biomassa dari pertumbuhan rata-rata per tahun (Mean Annual Increment), dikurangi taksiran biomassa yang berkurang karena kegiatan seperti penebangan pohon, pengumpulan kayu bakar, dan kebakaran. Apabila wilayah hutan dikelompokkan berdasar penyebab degradasinya, maka ada kemungkinan untuk mengetahui s eberapa banyak kayu yang diambil pada kurun waktu tertentu dengan cukup akurat.

Skema REDD diharapkan dapat meningkatkan serapan karbon melalui additionality dari business as usual dalam rangka upaya mitigasi sampai dengan tahun 2020 nanti diharapkan mampu menyerap 1.31 Gt CO2 dengan menanam 500.000 hektar per tahun. Dengan mempertahankan kawasan hutan dan lahan berhutan maka dapat menunda terjadinya emisi ke atmosfer. Rencana Strategis Kementerian Kehutanan 2010-2020 disusun untuk merealisasikan komitmen Pemerintah RI dalam mereduksi emisi sebesar 26% melalui kegiatan pengayaan dan penanaman hutan serta pengaturan jatah tebangan tahunan dari 17 juta m3 menjadi 9 juta m3(Ramos 2006).


(10)

2.5 Skenario Pengelolaan Hutan

Skenario pengelolaan hutan dibuat untuk mengetahui manfaat terbaik yang diperoleh dari alternatif skenario pengelolaan hutan dengan memperhatikan manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial. Berikut adalah beberapa skenario yang akan disimulasikan dalam penelitian.

2.5.1 Pengelolaan Hutan untuk Penyerapan Karbon

Hutan Indonesia hanya mampu memasok 46,77 juta m3 kayu bulat tiap tahunnya. Hal ini tidak dipahami secara baik oleh pelaku industri kehutanan. Mereka terus saja menambah kapasitasnya tanpa memperhatikan kemampuan alam. Kapasitas industri kayu Indonesia mencapai 96,19 juta m3. Maraknya pembalakan liar mengakibatkan ketimpangan permintaan dan ketersediaan kayu yang semakin merusak hutan. Total kayu illegal untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam negeri mencapai 30,18 juta m3, telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 36,22 triliun pada tahun 2006 (Smithet al.2002).

Perlu adanya tindakan pengurangan penebangan atau bahkan penghentian sementara (moratorium) eksploitasi kayu agar kelestarian tegakan bisa terjaga. Moratorium penebangan adalah penundaan dan atau pengurangan produksi kayu dalam suatu kurun waktu tertentu dengan tujuan untuk menjaga kelestarian tegakan dan carbon sinkdari hutan serta serapan karbon di atmosfer. Tujuan dari pemberlakuan moratorium adalah mempertahankan stok tegakan dan hutan yang diharapakan mampu mengurangi emisi global (IFCA 2007).

Namun bila ketimpangan permintaan dan penawaran kayu tersebut ditindaklanjuti dengan moratorium, maka akan berdampak pada kemampuan pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu nasional sehingga dapat mengurangi pendapatan negara dari sektor kehutanan. Indonesia membutuhkan dana kompensasi sebesar Rp.75,24 triliun jika Indonesia mengambil kebijakan moratorium pemanfaatan hutan dengan menghentikan pemanfaatan hutan alam pada 110 perusahaan HPH dan 77 perusahaan HTI. Lebih lanjut menjelaskan bahwa perusahaan tersebut berencana melakukan penebangan kayu seluas 1,84 juta hektar dengan potensi sebesar 79,69 juta m3 hingga 2018 (Departemen Kehutanan 2009).


(11)

2.5.2 Kombinasi Pengelolaan Hutan Berbasis Karbon

Permintaan pasar akan kebutuhan kayu yang semakin meningkat serta mendukung pemerintah dalam penurunan emisi global sebesar 26%, maka diperlukan suatu tindakan pola adapatasi lingkungan dengan memperhatikan manfaat kelestarian ekonomi, ekologi, dan sosial. Salah satunya dengan mengkombinasikan pengelolaan hutan untuk memproduksi kayu dengan penyerapan karbon agar keseimbangan iklim dan pemenuhan kebutuhan kayu terpenuhi. Untuk itu, dibutuhkan suatu formula yang tepat agar kelestarian tegakan dan pendapatan negara dari sektor kehutanan tidak terlalu menurun. Dengan skenario tersebut diharapkan dapat menjaga kelestarian stok tegakan dan mengurangi laju deforestasi di Indonesia, selain itu juga dapat mengurangi pemanasan global dengan cara mempertahankan fungsi tegakan sebagai penyerap emisi. Hal ini juga dapat menjadi nilai tambah bagi pendapatan negara dari sektor kehutanan yang dihasilkan dari pembayaran jasa penyerapan karbon.

2.5.3 Sarang Semut

Skenario pengusahaan yang dapat dikombinasikan dengan pengelolaan hutan berbasis karbon adalah usaha hasil hutan non kayu melalui pengelolaan sarang semut yang memiliki potensi besar di Papua dan banyak diminati konsumen belakangan ini. Skenario tersebut dilakukan ketika kebijakan moratorium penebangan berlaku di Indonesia dan pendapatan perusahaan yang dihasilkan dari jasa penyerapan karbon tidak dapat memenuhi besarnya pengeluaran perusahaan.

Sarang semut (Myrmecodia pendans Merr. & Perry.) merupakan tumbuhan dari family Rubiaceae yang berasosiasi dengan semut. Tumbuhan ini bersifat epifit menempel pada tumbuhan lain. Ukuran sarang semut juga beragam. Biasanya bagian umbi sarang semut mengalami proses menggelembung sejalan dengan pertambahan usia tanaman. Daunnya juga beragam, ada yang bulat lonjong, memanjang, namun rata-rata umbinya melonjong dengan tebaran duri bersusun pada pola tertentu di bagian luarnya. Di dalam umbi itu terdapat labirin yang dihuni oleh semut dan cendawan. Daging umbi tanaman itulah yang diiris tipis-tipis, kemudian dijemur dan dijadikan obat herbal (Subroto 2007).


(12)

Gambar 1 Tumbuhan sarang semutMyrmecodia pendansMerr. & Perry. Menurut Subroto dan Hendro (2006), klasifikasi dari tumbuhan sarang semut adalah sebagai berikut :

Divisi : Tracheophyta Kelas : Magnoliospida Subkelas : Lamiidae

Ordo : Rubiales

Famili : Rubiaceae Genus : Myrmecodia

Spesies :Myrmecodia pendansMerr. & Perry

Genus sarang semut tersebut dibagi menjadi beberapa spesies berdasarkan struktur umbinya. Hydnophytum terdiri dari 45 spesies dan Myrmecodia 26 spesies. Tumbuhan sarang semut telah terbukti dapat menyembuhkan beragam penyakit ringan dan berat, antara lain : kanker, tumor, asam urat, jantung koroner, wasir, TBC, migren, rematik, dan leukemia. Sarang semut mengandung flavonoid dan tanin yang berfungsi sebagai antioksidan, dan bisa mencegah sekaligus mengatasi serangan kanker. Mekanisme kerja Flavonoid dalam mengatasi kanker dengan cara menonaktifkan karsinogen (Subroto & Hendro 2006).

Disamping itu, sarang semut juga mengandung tokoferol serupa dengan vitamin E yang berefek antioksidan efektif. Tekoferol berfungsi sebagai antioksidan dalam menangkal radikal bebas bebas dan sebagai antikanker. Dilihat dari kandungannya, maka sarang semut hampir bisa mengatasi berbagai jenis kanker. selain itu juga bisa digunakan untuk mengobati penyakit jantung dan kebocoran jantung. Senyawa flavonoid dalam serbuk maupun ekstrak air sarang semut berperan langsung sebagai antibiotik dengan mengganggu fungsi mikroorganisme seperti bakteri atau virus (Bustanussalam 2010).


(13)

2.5.4 Minyak Lawang

Pohon lawang (Cinnamomum culilawanBL) dikelompokkan sebagai salah satu komoditas hasil hutan non kayu (non timber forest product) yang masuk dalam kelompok jenis yang dapat menghasilkan minyak atsiri. Berbeda dengan produk minyak atsiri lainnya, minyak lawang lebih khas, panas, dengan banyak multi fungsi. Persediaan minyak lawang di pasaran, masih sangat terbatas, sementara permintaan terus meningkat. Kondisi ini terjadi dikarenakan daerah yang menghasilkan minyak ini hanya berasal dari Indonesia bagian Timur. Persebaran pohon penghasil minyak lawang banyak ditemukan di Indonesia bagian Timur, terutama di Kabupaten Kaimana Propinsi Papua. Pohon yang mempunyai genus sama dengan species ini adalah pohon kayu manis, kulit pohon ini di Pulau Jawa banyak dimanfaatkan untuk aroma makanan dan minuman juga digunakan sebagai bahan untuk campuran obat tradisional (Anonim 2011).

Rekayasa teknologi diperlukan untuk mengolah bahan kulit pohon lawang menjadi produk yang siap dipasarkan dengan nilai jual tinggi guna mendapatkan nilai tambah (value added). Klasifikasi dari pohon lawang adalah sebagai berikut.

Familia : Lauraceae Genus : Cinnamomum

Species :Cinnamomum culilawanBL.

Tahapan proses pengolahan yang harus dilakukan untuk mendapatkan hasil minyak lawang berkualitas, yaitu : pemilihan bahan baku, sortir bahan baku, penghalusan bahan baku, proses penyulingan dan pemisahan minyak lawang dengan air. Alat distilasi minyak lawang, dilengkapi dengan suhu dan tekanan. Dengan menggunakan alat distilasi tersebut diatas mampu menghasilkan minyak lawang dengan kualitas prima, dengan rendemen cukup tinggi sebesar 4,2% dengan waktu penyulingan yang sangat cepat, hanya 2 jam 15 menit, sehingga dapat menghemat bahan bakar cukup banyak. Limbah hasil penyulingan minyak lawang, biasanya hanya dibuang begitu saja, walaupun masih mempunyai kandungan minyak lawang, yang tentu dapat dimanfaatkan untuk bahan baku produk. Limbah minyak lawang yang berupa bubur kayu dapat dimanfaatkan untuk bahan baku produk param dan lulur (Anonim 2010).


(14)

2.5.5 Sagu

Sagu (Metroxylon spp) termasuk ordo Sapindiciflorae, sub famili Calamoideae dari familiPalmae. Nama tanaman sagu yang dengan bahasa latin Metroxylonspp, berasal dari 2 (tiga) kata yaituMetrayang berarti empulur,Xylon yang berarti Xylem dan sagu menunjukkan kepada pati. Metroxylon sagu berarti tanaman yang tumbuh di daerah berair, berbunga hanya sekali, serta toleran terhadap salinitas. Sagu dianggap penting karena menghasilkan pati yang merupakan sumber karbohidrat. (Flach 1983)

Sagu memiliki potensi yang baik, yaitu : produksinya tinggi, dapat tumbuh, dan berproduksi pada daerah rawa. Tanaman sagu termasuk dalam kelompok tanaman tahunan dan cocok untuk daerah basah dataran rendah tropis. Tanaman sagu sendiri mulai bisa dipanen setelah berumur 5-10 tahun. Setiap tahun akan tumbuh tunas dan anakan baru dengan tingkat produksi yang juga tinggi. Pemanenan sagu saat ini dilakukan dengan cara tradisional dengan teknologi sederhana yaitu dengan penebangan kemudian diambil empulurnya, dihaluskan dan disaring pati dari sagu tersebut lalu dikeringkan.

Pada umumnya sagu tumbuh di daerah dataran rendah hingga ketinggian 700 m di atas permukaan laut. Habitat sagu adalah rawa, di sekitar daerah sumber air, di sekitar sungai dan di dataran rendah yang lembab. Tanaman sagu juga memiliki kemampuan tumbuh dengan sedikit atau tanpa pemeliharaan serta memiliki kemampuan tumbuh di daerah berair dengan derajat keasaman tanah (pH) antara 3,7 sampai 6,5 dan suhu diatas 25⁰C. (Yumte 2008)

Menurut Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1993) dalam Djoefrie (1999), daerah utama kawasan sagu di nusantara adalah Papua, Maluku, Sulawesi terutama Sulawesi Selatan, Tengah, dan Tenggara, Kalimantan terutama Kalimantan Barat, serta Sumatera terutama di Kepulauan Riau. Di Jawa, sagu ditemukan secara terbatas di Bogor Barat sampai ke Banten. Luas Hutan sagu sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Luas hutan sagu di Indonesia diperkirakan mencapai 1 juta hektar yang tersebar di Papua 800.000 ha, Maluku 50.000 ha, Sulawesi 40.000 ha, Kalimantan 45.000 ha, Sumatera 32.000 ha dan sisanya di Jawa.


(15)

Dibandingkan dengan tanaman penghasil karbohidrat lain, keunggulan utama tanaman sagu adalah produktivitasnya tinggi. Produksi sagu yang dikelola dengan baik dapat mencapai 25 ton pati kering/ha/tahun. Produktivitas ini setara dengan tebu, namun lebih tinggi bila dibandingkan dengan ubi kayu dan kentang dengan produktivitas pati kering 10-15 ton/ha/tahun. (Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia 2007). Sagu mampu menghasilkan pati kering hingga 25 ton per ha, jauh melebihi pati beras dan jagung yang hanya 6 ton per ha dan pati kering jagung hanya 5,5 ton/ha. (Yuniarsih 2009)

2.6 Pemodelan Sistem

Menurut Grant et al. (1997), analisis sistem adalah studi yang dibentuk satu atau beberapa sistem, atau sifat-sifat umum dari sistem. Analisis sistem adalah pendekatan filosofis dan kumpulan teknik, termasuk simulasi yang dikembangkan secara eksplisit untuk menunjukkan masalah yang berkaitan dengan sistem yang kompleks. Analisis sistem menekankan pada pendekatan holistik untuk memecahkan masalah dan menggunakan model matematika untuk mengidentifikasi dan mensimulasikan karakteristik yang penting dari sistem yang kompleks. Tahapan analisis sistem menurut Grantet al.(1997), sebagai berikut :

2.6.1 Formulasi model konseptual.

Tujuan tahapan ini untuk menentukan suatu konsep dan tujuan model sistem yang akan dianalisis. Penyusunan model konseptual ini didasarkan pada kenyataan di alam dengan segala sistem yang terkait antara satu dengan yang lainnya serta saling mempengaruhi sehingga dapat mendekati keadaan yang sebenarnya. Kenyataan yang ada di alam dimasukkan dalam simulasi dengan memeperhatikan komponen-komponen yang terkait sesuai dengan konsep dan tujuan melakukan pemodelan simulasi. Tahapan ini terdiri dari tiga langkah sebagai berikut :

1. Penentuan isu, tujuan, dan batasan model

2. Kategorisasi komponen-komponen dalam sistem 3. Pengidentifikasian hubungan antar komponen


(16)

Setiap komponen yang masuk dalam ruang lingkup sistem dikategorisasikan kedalam berbagai kategori sesuai dengan karakter dan fungsinya sebagai berikut :

1. State variable, yang menggambarkan akumulasi materi dalam sistem

2. Driving variable, variabel yang dapat mempengaruhi variabel lain namun tidak dapat dipengaruhi oleh sistem.

3. Konstanta. Adalah nilai numerik yang menggambarkan karakteristik sebuah sistem yang tidak berubah atau suatu nilai yang tidak mengalami perubahan pada setiap kondisi simulasi.

4. Auxiliary variable, variabel yang dapat dipengaruhi dan mempengaruhi sistem.

5. Material transfer, menggambarkan transfer materi selama periode tertentu yang terletak diantara duastate, sourcedansink.

6. Information transfer, menggambarkan penggunaan informasi tentang state dari sistem untuk mengendalikan perubahanstate.

7. Source dan sink berturut-turut menggambarkan asal (awal) dimulainya proses dan akhir dari masing-masing transfer materi.

2.6.2 Spesifikasi model kuantitatif

Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengembangkan model kuantitatif dari sistem yang diinginkan. Pembuatan model kuantitatif ini dilakukan dengan memberikan nilai kuantitatif terhadap masing-masing nilai variabel dan menterjemahkan setiap hubungan antar variabel dan komponen penyusun model sisitem tersebut ke dalam persamaan matematik sehingga dapat dioperasikan oleh program simulasi. Spesifikasi model terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut : 1. Memilih struktur kuantitatif umum dari model dan waktu dasar yang

digunakan dalam simulasi.

2. Mengidentifikasi bentuk fungsional dari persamaan model. 3. Menduga parameter dari persamaan model.

4. Memasukan persamaan ke dalam program simulasi. 5. Menjalankan simulasi dan menampilkan persamaan model


(17)

2.6.3 Evaluasi model

Evaluasi model dilakukan dengan mengamati kelogisan model dan membandingkannya dengan dunia nyata. Tujuannya adalah mengevaluasi model yang dibangun dalam hal kegunaan relatifnya untuk memenuhi tujuan-tujuan tertentu. Tahapan evaluasi model adalah sebagai berikut :

1. Mengevaluasi kewajaran dan kelogisan model.

2. Mengevaluasi hubungan perilaku model dengan pola yang diharapkan. 3. Membandingkan model dengan sistem nyata.

Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat kewajaran perilaku model jika dilakukan perubahan salah satu parameter dalam model yang telah dibuat.

2.6.4 Penggunaan model

Pemodelan adalah kegiatan membuat model untuk tujuan tertentu. Model adalah abstraksi dari suatu sistem. Sistem adalah sesuatu yang terdapat di dunia nyata. Sehingga pemodelan adalah kegiatan membawa sebuah dunia nyata kedalam dunia tak nyata atau maya tanpa kehilangan sifat-sifat utamanya dengan menggunakan perpaduan antara seni dan logika. Sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Sedangkan sub sistem adalah suatu unsur atau komponen fungsional dari suatu sistem, yang berperan dalam pengoperasian sistem tersebut. Dasar dari analisis sistem adalah asumsi bahwa proses alami terorganisasi dalam suatu hierarki yang kompleks. Proses sistem terbentuk dari hasil aksi dan interaksi proses-proses yang sederhana. Tidak ada sistem yang terpisahkan dan setiap sistem saling berinteraksi satu sama lain (Gayatri 2010).

Analisis sistem lebih mendasarkan pada kemampuan untuk memahami fenomena dari jumlah data yang tersedia. Analisis sistem adalah sebuah pemahaman yang berbasis pada proses, sehingga sangat penting untuk berusaha memahami proses-proses yang terjadi. Membuat analogi-analogi terkadang merupakan cara yang penting untuk memahami sesuatu, Keyakinan akan adanya isomorfisme antar beragam sistem menjadikan pemahaman terhadap sesuatu menjadi mungkin, bahkan pada suatu sistem kita buta sekali akan perilakunya (Purnomo 2004).


(18)

Tujuan tahapan ini adalah untuk menjawab pertanyaan yang telah diidentifikasi pada awal pembuatan model. Tahapan ini melibatkan perencanaan dan simulasi beberapa skenario hasil simulasi yang telah di evaluasi, sehingga dapat digunakan untuk memahami pola perilaku model, serta mengetahui kecenderungan (trend) di masa yang akan datang. Model juga dapat dipakai untuk menguji sebuah hipotesis atau dipakai untuk mengevaluasi ragam skenario atau kebijakan dan pengembangan perencanaan dan agenda bersama antar pihak dalam kasus permodelan partisipatif.

Menurut Soerianegara (1978) dalam Gayatri (2010), mengemukakan bahwa simulasi adalah eksperimentasi yang menggunakan model dari suatu sistem. Simulasi dalam analisis sistem meliputi tiga kegiatan sebagai berikut: 1. Membuat model yang menggambarkan keadaan sistem dan proses-proses yang

terjadi di dalamnya.

2. Memanipulasi atau melakukan percobaan-percobaan terhadap model tersebut yang akan menghasilkan data eksperimen.

3. Menggunakan model dan data untuk menjawab pertanyaan atau memecahkan persoalan mengenai sistem sebenarnya (real world) yang diteliti.

Model merupakan penjabaran sederhana dari berbagai bentuk hubungan dan interaksi antar komponen dalam suatu sistem. Bila bentuk hubungan ini diketahui dengan baik, maka dapat disusun menjadi suatu persamaan matematis untuk menjabarkan berbagai asumsi yang ada. Hasil dari pendugaan model umumnya masih berupa ‘hipotesis’ yang harus diuji kebenarannya pada ‘dunia yang nyata’. Hasil yang diperoleh melalui pendugaan model tidak selalu sejalan dengan kenyataan yang ada di lapangan. Bila terjadi perbedaan, maka ada dua hal yang harus dilakukan, sebagai berikut :

1. Memeriksa ulang struktur model, termasuk nilai parameter yang dipergunakan untuk mengawali pemodelan dan konsistensi internal model (apakah output yang dihasilkan sejalan dengan asumsi yang ada).

2. Memeriksa ulang cara pengukuran parameter di lapangan, dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya secara seksama.


(19)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni hingga Juli 2011 yang berlokasi di areal kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alas Mandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan untuk penelitian ini, yaitu: alat tulis, tallysheet, kalkulator, phiband, parang, kompas, cat penanda batas petak, tambang 20 m, seperangkat computer dengan software Microsoft Excell, Microsoft words, Stella 9.02, Minitab14, dan kamera digital. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data administrasi yang meliputi data pertumbuhan tegakan Petak ukur Permanen (PUP) tiga tahun terakhir, data curah hujan, data kondisi umum lokasi IUPHHK-HA, data biaya produksi, dan laporan tahunan perusahaan.

3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data lapangan dilaksanakan langsung di PUP dengan metode purposive sampling pada petak yang tidak dilakukan pemeliharaan. Jalur pengukuran dibuat dengan ukuran 20 x 20 meter. Pengukuran dilakukan pada semua pohon berdiameter sama dan atau lebih dari 10 cm pada petak ukur contoh, dengan mengukur tinggi dan diameter pohon serta mencatat jenis kayu. Data ini selanjutnya akan digunakan untuk validasi data struktur tegakan setelah proyeksi.

3.3.2 Pengelompokan Data

Pengelompokan data menurut jenis dimaksudkan untuk membandingkan kandungan karbon pada setiap kelompok jenis dan untuk kepentingan skenario pengambilan keputusan. Kemudian dilakukan pengelompokan menurut kelas diameter dengan maksud untuk melihat laju pertumbuhan riap pada setiap satu satuan waktu dan rata-rata kandungan karbon pada setiap kelas diameter.


(20)

3.3.3 Pemodelan Sistem

Tahapan pemodelan menurut Grantet al.(1997), sebagai berikut :

1. Identifikasi Isu, Tujuan, dan Batasan

Identifikasi isu atau masalah dilakukan untuk mengetahui dimana sebenarnya pemodelan perlu dilakukan. Setelah identifikasi isu dilakukan maka selanjutnya ditentukan tujuan dari pemodelan tersebut. Batasan dapat berupa batas daerah atau ruang, batas waktu dan batasan isu yang telah diidentifikasi sesuai dengan tujuan pemodelan.

2. Konseptualisasi Model

Tahap ini bertujuan untuk menentukan suatu konsep dan tujuan model sistem yang akan dianalisis. Penyusunan model konseptual didasarkan pada segala sistem yang terkait antara yang satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi, sehingga dapat mendekati keadaan yang sebenarnya. Kenyataan yang ada di alam dimasukkan dalam simulasi dengan memeperhatikan komponen-komponen yang terkait sesuai dengan konsep dan tujuan melakukan pemodelan simulasi. Konsep yang dibuat dalam pemodelan ini terdiri dari tujuh sub model, sebagai berikut : 1. Sub model dinamika struktur tegakan.

2. Sub model pendapatan kayu. 3. Sub model pendugaan stok karbon

4. Sub model pendugaan biaya usaha karbon dengan Plan Vivo Standard. 5. Sub model usaha sarang semut.

6. Sub model usaha minyak lawang. 7. Sub model usaha sagu.

3. Hubungan Antar Sub Model

Sub model dinamika struktur tegakan menjelaskan dinamika jumlah pohon per hektar dan besarnya jumlah tebangan. Sub model Pendapatan menjelaskan besarnya jumlah pendapatan dari penebangan kayu berdasarkan biaya-biaya yang dikeluarkan. Sub model pendugaan stok karbon menjelaskan dinamika besarnya stok karbon. Sub model pendapatan menjelaskan besarnya nilai ekonomi yang akan didapatkan dari besarnya stok karbon menggunakanplan vivo standart.


(21)

Sub model usaha sarang semut menggambarkan potensi pendapatan tambahan dari pengusahaan sarang semut. Sub model minyak lawang mensimulasikan pendapatan dari pengusahaaan minyak lawang. sedangkan sub model usaha sagu merupakan simulasi tentang pendapatan yang dihasilkan dari pengusahaan sagu. Alternatif usaha hasil hutan bukan kayu tersebut dilakukan ketika kebijakan moratorium penebangan berlaku dan pengelolaan hutan berbasis karbon tidak bisa menutupi besarnya biaya tetap yang harus dikeluarkan.

Gambar 2 Hubungan antar sub model.

4. Spesifikasi Model

Data yang digunakan untuk menduga parameter-parameter model dinamika struktur tegakan dalam penelitian ini, sebagai berikut :

1. Data jumlah pohon per hektar (n/ha).

2. Persamaan Ingrowth pada penelitian ini menggunakan persamaan Krisnawati (2001) yakni Y = 3,98 + 0,0269 n/ha – 0,33 LBDS. Untuk persamaan Upgrowth Y = 0,214 – 0,00235 LBDS + 0,00925 Dbh – 0,00012 Dbh2, dimana Y adalah jumlah pohon, n/ha adalah jumlah pohon per hektar, LBDS adalah luas bidang dasar (m2/ha) dan Dbh adalah diameter setinggi dada (cm).


(22)

3. PersamaanMortality

Nilai mortality rate pada KD<60cm diasumsikan sebesar 8 % dan untuk KD>60cm sebesar 5%. (Eliaset al.2006).

4. Penerimaan kayu = n/ha 40up x Vol kayu x harga kayu (diasumsikan harga kayu Rp. 2.000.000/m3). Pengeluaran terdiri dari biaya pembinaan hutan, biaya pemanenan dan pajak. Pendapatan didefinisikan sebagai total penerimaan dikurangi total pengeluaran.

5. Persamaan Penduga Biomassa Pohon

Perhitungan biomassa yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan persamaan alometrik Brown (1997) dengan r²=0,97. Persamaan ini diterapkan pada zona iklim lembab dengan curah hujan sebesar 1500-4000 mm/th dimana curah hujan di lokasi penelitian yaitu 3493 mm/th.

B = exp [-2,134 + 2,530 x ln(d)] Dimana : B = biomassa per pohon (kg)

D = Diameter pohon setinggi dada (cm). 6. Besarnya Kandungan karbon Tersimpan

Kandungan karbon di hutan alam dapat dihitung dengan menggunakan pendugaan biomassa hutan. Brown (1997) menyatakan bahwa umumnya 50% dari biomassa hutan tersusun atas karbon sehingga dari hasil perhitungan biomassa dapat dirubah kedalam bentuk karbon (tonC/ha).

Karbon (C) = B x 0,5

Dimana : C= Jumlah karbon (tonC/ha).

7. Biaya perdagangan karbon dengan skema plan vivo standartterdiri dari biaya validasi sebesar US$ 12500 per waktu validasi (5 th), biaya verifikasi sebesar US$ 30000 per waktu verifikasi (5 th) dan upah sertifikat CO2 sebesar US$ 0,30 per karbon yang terjual. (Kementerian Kehutanan 2009b).

8. Pendapatan Karbon diperoleh dari perkalian stok karbon dengan harga karbon yang berlaku, dengan asumsi harga karbon US$5/tonC, dan 1US$ = Rp. 8.500. 9. Pendapatan sarang semut diperoleh dari selisih antara cost dan income yang

dihasilkan dari pemanfaatan sarang semut.

10. Pendapatan minyak lawang diperoleh dari hasil penjualan dengan harga pasaran Rp. 500.000,-/L dan biaya pengolahan minyak terlampir padaprintout persamaan model Lampiran 3.


(23)

11. Pendapatan sagu diperoleh dari penjualan tepung sagu dengan harga Rp. 3000,-/Kg dan biaya pengolahan sagu terlampir pada printout persamaan model Lampiran 3.

12. Kelayakan finansial

a. Net Present Value(NPV)

NPV= t

n t i Ct Bt ) 1 ( 1  

b. Benefit Cost Ratio(BCR)

BCR=

    n t t t n t t t i C i B 1 1 ) 1 ( ) 1 (

Keterangan : Bt = penerimaan (benefit) pada tahun ke-t Ct = biaya (cost) pada tahun ke-t

t = umur proyek (tahun)

i =discount rateyang berlaku (%) c. Internal Rate of Return(IRR)

Internal Rate of Return yaitu tingkat suku bunga yang membuat proyek mengembalikan semua investasi selama umur proyek. Jika dinilai Internal Rate of Return lebih kecil dari discount rate maka NPV<0, artinya sebaiknya proyek itu tidak dilaksanakan. Inti analisis finansial adalah membandingkan antara pendapatan dengan pengeluaran, dimana suatu kegiatan atau usaha adalahfeasibleapabila pendapatan > dari pengeluaran.

IRR= (2 1)

2 1

1

1 x i i

NPV NPV NPV i   

Dimana : i1 =discount rateyang menghasilkan NPV positif i2 =discount rateyang menghasilkan NPV negatif NPV1 = NPV yang bernilai positif, NPV2 = NPV yang bernilai negatif

5. Evaluasi Model

Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengetahui kelogisan yang dibuat sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Langkah evaluasi yang ditempuh diantaranya dengan cara membandingkan model dengan sistem nyata. Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat kewajaran perilaku model jika dilakukan perubahan salah satu parameter dalam model yang telah dibuat.


(24)

6. Penggunaan Model

Tujuan tahapan ini adalah untuk menjawab pertanyaan yang telah diidentifikasi pada awal pembuatan model. Tahapan ini melibatkan perencanaan dan simulasi dari beberapa skenario hasil simulasi yang telah dievaluasi, sehingga dapat digunakan untuk memahami perilaku model, serta mengetahui kecenderungan di masa mendatang.

3.4 Kerangka Pemikiran

Pengelolaan hutan adalah kegiatan yang secara keseluruhan bertujuan untuk mengarahkan atau memelihara ekosistem hutan sehingga sistem tersebut memungkinkan memenuhi kebutuhan hidup manusia akan produksi hasil hutan maupun jasa secara berkelanjutan dan jangka panjang. Suatu skenario disusun untuk keperluan pengelolaan hutan dengan memperhatikan manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial yang diperoleh. Beberapa skenario yang akan dijalankan adalah sebagai berikut :

1. Skenario 1, pengelolaan hutan murni 100% untuk usaha kayu menggunakan sistem TPTI seperti yang selama ini dijalankan.

2. Skenario 2, pengelolaan hutan diperuntukan sebagai penyerapan karbon ketika moratorium penebangan berlaku. Pada pengelolaan hutan ini 100% kawasan digunakan sebagai penyerapan karbon.

3. Skenario 3, pengelolaan hutan berbasis karbon dikombinasikan dengan usaha sarang semut.

4. Skenario 4, pengelolaan hutan berbasis karbon dikombinasikan dengan usaha sarang minyak lawang.

5. Skenario 5, pengelolaan hutan berbasis karbon dikombinasikan dengan usaha sagu.


(25)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan

PT. Mamberamo Alasmandiri merupakan perusahaan PMDN yang tergabung dalam KODECO GROUP. Ijin Pemanfaatan Hutan IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri didasarkan pada keputusan Menteri Kehutanan No. 1071/Kpts-II/1992 tanggal 19 November 1992, seluas 691.700 ha yang kemudian diperbaharui berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 910/Kpts-IV/1999 tanggal 14 Oktober 1999 dengan luas 677.310 hektar. Dalam kegiatan pengelolaan hutan, PT. Mamberamo Alasmandiri membagi areal kerjanya menjadi 2 unit kelestarian, yaitu : Unit Aja dan Unit Gesa dimana keduanya melakukan kegiatan operasional secara terpisah (PT. MAM 2009).

4.2 Letak Geografis dan Luas IUPHHK

Areal kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri termasuk ke dalam kelompok hutan Sungai Mamberamo-Sungai Gesa. Berdasarkan pembagian wilayah administrasi pemerintahan, areal kerja IUPHHK-HA PT Mamberamo Alasmandiri terletak di dalam wilayah distrik Mamberamo Hulu, Mamberamo Tengah, dan Mamberamo Hilir, serta distrik Waropen Atas, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua (PT.MAM 2009).

4.3 Topografi dan Kelerengan

Areal kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri bervariasi dari datar sampai bergelombang dengan ketinggian dari permukaan laut berkisar 100-648 m dpl. Kelas lereng di areal kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri terdiri atas kelas lereng A (<8%) sampai kelas lereng E (>40%) (PT. MAM 2009).

4.4 Tanah dan Geologi

Jenis tanah di IUPHHK ini terdiri dari tanah aluvial, latosol, regosol, podzolik dan litosol. Struktur geologi khususnya di areal kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri didominasi oleh sesar (sesar naik dan geser) dan lipatan.


(26)

Sesar naik utama pada bagian tersebut membatasi Cekungan Wapoga dan Cekungan Mamberamo. Struktur lipatan terdiri dari antiklin dan siklin. Antiklin penting dikenal sebagai Antiklin Gesa yang memotong aliran S. Gesa yang mengalir ke utara (PT. MAM 2009).

4.5 Iklim dan Intensitas Hujan

Dari data yang diperoleh dari stasiun pencatat curah hujan Camp Aja tahun 2010 diperoleh curah hujan rata-rata adalah sebesar 3.493,33 mm/tahun dan tingkat minimum hujan yang terjadi pada bulan September (156,51 mm/bulan) dan maksimum terjadi pada bulan Mei (591,40 mm/bulan). Berdasarkan data curah hujan pada tahun 2010, kawasan IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri termasuk dalam klasifikasi iklim lembab. Data curah hujan bulanan pada tahun 2010 dapat dilihat pada gambar berikut. (PT. MAM 2009).

Gambar 3 Grafik curah hujan rata-rata bulanan tahun 2010.

4.6 Keadaan Hutan

Penutupan lahan areal kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri berdasarkan hasil penafsiran Citra Landsat LS-7 ETM+US band 542, Mozaik Path 102 Row 62, liputan tanggal 19 November 2005 dan Path 103 Row 62 Liputan tanggal 8 Juli 2006 disajikan pada tabel berikut (PT. MAM 2009)


(27)

Tabel 3 Penutupan vegetasi IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri

Penutupan Lahan Fungsi Hutan (Ha) BZ Jumlah Persen

HPT HP HPK

1. Hutan Primer 287.203 66.966 6.176 12.230 372.575 55,00% 2. Hutan Bekas Tebangan 105.825 40.100 30.651 1.948 178.524 26,40%

3. Non Hutan 6.209 5.169 592 127 12.097 1,80%

4. Hutan Rawa Primer - 1.890 10.951 - 12.841 1,90%

5. Hutan Rawa Bekas Tebangan 8.268 783 - - 9.051 1,30%

6. Non Hutan Rawa - 71 1.111 - 1.182 0,20%

7. Tubuh Air / Danau - 636 - 12 648 0,10%

8. Tertutup Awan 74.295 10.511 - 5.586 90.392 13,30%

Jumlah 481.800 126.126 49.481 19.903 677.310 100,00%

Sumber : Pengesahan Citra Landsat Nomor S.35/VII/Pusin-1/2006 tanggal 22 Januari 2007 (PT.MAM 2009).

4.7 Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat

Penduduk asli di sekitar kelompok hutan S.Mamberamo-S.Gesa adalah suku Baudi Bira, Kerema, Obagui Dai, Kapso Apawer, Birara Noso, Bodo dan suku Haya. Agama dan kepercayaan yang dianut adalah Kristen Protestan, Katolik dan Islam. Mata pencaharian penduduk yang berada di sekitar areal kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri meliputi mencari ikan, bercocok tanam dengan berladang berpindah, dan “meramu” (mencari sagu, umbi dan berburu). Sedangkan masyarakat yang tinggal di pusat-pusat pemerintah (Distrik dan Kabupaten) yang umumnya sebagai pendatang berprofesi sebagai pegawai negeri dan buruh harian (PT. MAM 2009).


(28)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Struktur Tegakan Awal Pada Hutan Bekas Tebangan

Petak yang diukur dalam penelitian ini adalah petak ukur permanen (PUP) dengan luas 100 m x 100 m pada areal bekas tebangan 3 tahun yang tidak mengalami pemeliharaan, yaitu : pada areal bekas tebangan Blok RKT 2008/2009 petak 4, petak 5 dan petak 6. Data pertumbuhan tegakan tahun 2009 dan 2010 diperoleh dari data sekunder perusahaan. Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa pada hutan bekas tebangan memiliki kondisi tempat tumbuh sama dan karakteristik tegakan yang homogen. Penelitian ini menggunakan contoh kasus pada areal hutan bekas tebangan, hal ini dilakukan akibat adanya asumsi tingkat pertumbuhan dan penyerapan karbon pada hutan bekas tebangan yang tinggi karena memiliki keterbukaan areal yang besar, sehingga menyebabkan sinar matahari langsung masuk kemudian diterima oleh pohon dan mempercepat proses fotosintesis. Sinar matahari tersebut dapat menjadi stimulus bagi pertumbuhan tegakan dalam proses penyerapan karbon. Struktur tegakan pada masing-masing kelas diameter dapat dilihat seperti pada Gambar 4.

Gambar 4 Kondisi struktur tegakan awal areal hutan bekas tebangan. Hasil dari pengukuran diperoleh jumlah pohon per hektar (n/ha) pada hutan bekas tebangan sebanyak 397 pohon yang terdiri dari 6 kelas diameter dengan lebar kelas 10 cm, mulai dari pohon berdiameter 10-19 cm hingga pohon-pohon berdiameter >60 cm (KD 60up) seperti disajikan pada Tabel 4.


(29)

Tabel 4 Rekapitulasi data komposisi tegakan

Jenis 1019 2029 3039 4049 5059 60up Jumlah

Komersil 128 42 15 7 3 3 209

Non komersil 11 9 3 5 3 24 59

Rimba campuran 87 17 5 7 1 2 129

Total 226 68 23 19 7 29 397

Sumber : hasil rekapitulasi data

Pada hutan bekas tebangan untuk pohon inti didominasi oleh jenis-jenis komersil dan rimba campuran karena telah dilakukan pemanenan pada kelas diameter 40cm up dan hanya menyisakan permudaan pohon yang dihasilkan dari regenerasi pohon induk melalui penyebaran biji yang jatuh kemudian tumbuh. Sedangkan pada pohon layak tebang lebih didominasi oleh jenis non komersil karena pada saat kegiatan penebangan, jenis non komersil tidak diproduksi.

Data komposisi tegakan tersebut kemudian digunakan dalam pendugaan model simulasi dinamika struktur tegakan pada pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTI dimana parameter-parameternya merupakan fungsi dari kerapatam tegakan yang dinyatakan oleh bidang dasar tegakan yang terdiri atas fungsi ingrowth, upgrowth,danmortality.

5.2 Model Pengelolaan Hutan Menggunakan Sistem TPTI

Sistem TPTI merupakan sistem tebang pilih tegakan tidak seumur berdasarkan limit diameter tebangan yang dilakukan untuk meningkatkan riap dan mempertahankan keanekaragaman hayati dengan terbentuknya struktur hutan dalam rangka memperoleh panen yang lestari (Kementerian Kehutanan 2009c). Siklus tebang yang digunakan dalam sistem TPTI adalah 35 tahun yang diharapkan pada jangka waktu tersebut bisa memperoleh tegakan dengan diameter layak tebang minimal 25 pohon per hektar. Untuk menduga potensi tersebut perlu upaya simulasi yang dapat memproyeksikan potensi tegakan pada siklus tebang berikutnya. Selain itu, dilakukan pula simulasi terhadap penurunan jangka waktu siklus tebang yang diatur dalam Permenhut No. 11 tahun 2009. Dalam membangun suatu model diperlukan 4 (empat) tahap yang digunakan dalam suatu pemodelan yaitu identifikasi isu, tujuan dan batasan, konseptualisasi model, spesifikasi model, serta penggunaan model.


(30)

5.2.1 Identifikasi Isu, Tujuan, dan Batasan

Penurunan siklus tebang dan batas diameter minimal pohon layak tebang yang diatur dalam Permenhut No. 11 tahun 2009 menyebabkan besarnya volume tebangan yang tidak diiringi dengan peningkatan riap pertumbuhan tegakan yang mengakibatkan tingkat kelestarian hutan sulit dicapai pada siklus tebang berikutnya. Untuk itu perlu dilakukan suatu simulasi yang bertujuan untuk menduga potensi tegakan dan proyeksi pendapatan yang dihasilkan dari simulasi skenario pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTI pada siklus tebang berikutnya.Batasan yang digunakan diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Siklus tebang adalah interval waktu (dalam tahun) antara dua penebangan yang berurutan di tempat yang sama dalam sistem sivikultur polisiklik.

2. Struktur tegakan adalah banyaknya pohon per satuan luas (per hektar) pada setiap kelas diameter.

3. Ingrowth didefinisikan sebagai besarnya tambahan jumlah pohon terhadap banyaknya pohon per hektar pada kelas diameter (KD) terkecil selama periode waktu tertentu.

4. Upgrowth adalah besarnya tambahan jumlah pohon per hektar terhadap kelas diameter tertentu yang berasal dari kelas diameter dibawahnya selama periode waktu tertentu.

5. Mortality adalah banyaknya pohon per hektar yang mati pada setiap kelas diameter dalam periode waktu tertentu akibat penebangan.

6. Hasil tebangan diperoleh dari pemanenan pohon berdiameter 40 cm up. 7. Penerimaan diperoleh dari penjualan kayu hasil produksi.

8. Pengeluaran terdiri dari biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi kayu.

5.2.2 Konseptualisasi Model

Model konseptual yang dikembangkan dapat dideskripsikan melalui stok dan aliran. Sub model akan saling mempengaruhi satu sama lainya. Pemodelan ini menggunakan satuan tahun. Fase konseptual model ini bertujuan mendapatkan gambaran secara menyeluruh tentang model-model yang dibuat, terdiri dari : sub model dinamika struktur tegakan dan sub model pendapatan kayu.


(31)

Sub model dinamika tegakan mensimulasikan proyeksi tegakan masing-masing kelas diameter yang dipengaruhi oleh jumlah pohon per hektar, luas bidang dasar tegakan, pertumbuhan, dan kematian. Sub model dinamika tegakan merupakan sub model yang paling penting karena dapat mempengaruhi sub model lainya. Sub model pendapatan kayu menggambarkan potensi pendapatan yang akan diperoleh dalam suatu waktu melalui produksi kayu layak tebang setelah dikurangi dengan biaya produksi kayu. Sub model pendapatan kayu dipengaruhi oleh sub model dinamika tegakan karena pendapatan kayu dihasilkan dari panen pohon layak tebang pada kelas diameter 40cm up.

5.2.3 Spesifikasi Model

5.2.3.1 Sub Model Dinamika Struktur Tegakan

Pembentukan model dinamika struktur tegakan bertujuan untuk mensimulasikan potensi tegakan per hektar pada hutan bekas tebangan setiap tahunnya sehingga dapat diprediksi kondisi struktur tegakan yang optimal pada waktu tertentu. Model ini merupakan model inti yang sangat berpengaruh terhadap sub model yang lainnya. Parameter yang menjadi acuan dalam sub model yang lainnya diantaranya adalah jumlah pohon masak tebang masing-masing kelas diameter dan jumlah pohon per hektar.

Dinamika tegakan sangat dipengaruhi oleh kerapatan tegakan dan luas bidang dasar tegakan. Penelitian ini menggunakan contoh kasus pada areal hutan bekas tebangan, hal ini dilakukan akibat adanya asumsi tingkat pertumbuhan dan penyerapan karbon pada hutan bekas tebangan yang tinggi karena memiliki keterbukaan areal yang besar, sehingga menyebabkan sinar matahari yang masuk langsung di terima oleh pohon dan mempercepat proses fotosintesis dan menjadi stimulus bagi pertumbuhan tegakan dalam proses penyerapan karbon.

Selain itu pertumbuhan tegakan juga di pengaruhi oleh luas bidang dasar tegakan yang menggunakan parameter diameter dalam pengukuranya, karena pengukuran diameter memiliki tingkat ketelitian yang lebih baik dari pada volume tegakan yang menggunakan parameter tinggi pohon, dimana pengukuran tinggi pohon di ukur dengan menggunakan taksiran bukan pengukuran langsung sebenarnya sehingga tingkat ketelitian pada pendugaan volume sangat kecil.


(32)

Gambar 5 Model konseptual dinamika struktur tegakan.

Pada sub model dinamika struktur tegakan, yang menjadi state variable adalah jumlah pohon pada setiap kelas diameter. Dari gambar model terlihat adanya aliran materi antar kelas diameter (KD), dari KD yang lebih rendah ke KD yang lebih tinggi. Aliran tersebut tersusun secara seri, tidak ada aliran materi KD yang melangkahi KD atasnya. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pada selang waktu setahun pertumbuhan pohon-pohon dalam suatu KD tidak akan menyebabkan pohon-pohon tersebut dapat melewati KD diatasnya. Perubahan pohon dalam KD disebabkan oleh faktoringrowth, upgrowth,danmortality.

Penentuan ingrowth, upgrowth, dan mortality sangat dipengaruhi oleh kerapatan tegakan, luas bidang dasar dan jumlah pohon per hektar. Ingrowth dalam penelitian ini didefinisikan sebagai banyaknya jumlah pohon dari hasil pertumbuhan riap yang masuk pada kelas diameter terkecil (KD1019) selama periode satu tahun. Persamaaningrowthyang digunakan di adopsi dari persamaan Krisnawati (2001) yakni Y = 3,98 + 0,0269 n/ha – 0,33 LBDS, dimana Y adalah jumlah pohon, n/ha merupakan jumlah pohon per hektar, dan LBDS adalah luas bidang dasar (m2/ha).

KD1019 Ingrowth Teb 60up Upg1 KD3039 KD2029 KD4049 TingkatKematianLogging1 NHA D1 D2 KD5059 KD60up Teb 60up

Upg2 Upg3 Upr4 Upg5

TingkatKematianLogging2 D3 D4 D5 D6 LBDSTot Daur TingkatKematianLogging3 TingkatKematanlogging4 TingkatKematianlogging5 TingkatKematianlogging6 LBDSTot NHA Panen Teb 4049 PendugaanVolume 60up

Vol teb 60up LBDSTot

Pendugaan vol 5059 Teb 5059

Vol Teb 5059 Teb 4049

Vol Teb 4049 Pendugaan Vol 4049

Teb 5059 Dinamika Struktur Tegakan


(33)

Upgrowth merupakan peluang transisi dari suatu kelas diameter, yaitu banyaknya jumlah pohon yang hidup pada kelas diameter tertentu yang pindah ke kelas diameter berikutnya dari KD yang lebih rendah ke KD yang lebih tinggi pada selang waktu setahun dan pertumbuhan pohon-pohon dalam suatu KD tidak akan menyebabkan pohon-pohon tersebut dapat melewati KD diatasnya. Upgrowth sangat dipengaruhi oleh bidang dasar tegakan dan diameter pohon. Persamaan upgrowth yang digunakan dalam menduga model dinamika struktur tegakan ini di adopsi dari persamaan Krisnawati (2001) yakni Y = 0,214 – 0,00235 LBDS + 0,00925 Dbh–0,00012 Dbh2.

Mortality adalah laju kematian dari pohon-pohon dalam tegakan yang umumnya dinyatakan dengan persen per tahun. Kematian ini disebabkan oleh faktor alam (mati yang disebabkan oleh penyakit, kompetisi masing-masing individu, longsor, dan kebakaran lahan) maupun kematian akibat penebangan. Nilai mortality rate pada diameter <60 cm diasumsikan sebesar 8 %, sedangkan untuk kelas diameter >60 cm sebesar 5%. Asumsi ini berdasarkan hasil penelitian Elias et al. (2006) menyimpulkan bahwa dampak dari kegiatan pemanenan kayu mengakibatkan kerusakan tegakan tinggal sampai 45% untuk seluruh tegakan atau seluruh kelas diameter.

Besarnya efek penebangan bervariasi menurut KD dan dipengaruhi oleh banyaknya jumlah pohon yang ditebang, sistem silvikultur, dan penerapan metode penebangan yang digunakan. Padastate variable KD4049, KD5059, dan KD60up terdapat faktor lain yang mempengaruhi jumlah tegakan yaitu penebangan. Kegiatan penebangan ini tidak dilakukan setiap tahun, tetapi pada awal siklus tebang. Besarnya penebangan ditentukan oleh LBDS tegakan, siklus tebang, dan jumlah pohon pada masing-masing KD.

Jumlah pohon layak tebang yang diperoleh dari KD4049, KD5059, dan KD60up kemudian dikonversi ke dalam volume (m³) menggunakan rumus umum pendugaan volume, yakni V = 0,25*3,14*(d^2)*t dimana d adalah diameter (cm) dan t adalah tinggi pohon (taksiran). Kemudian setelah diperoleh volume panen, data tersebut akan digunakan dalam sub model berikutnya untuk mengetahui nilai pendapatan bersih dari pengelolaan hutan bekas tebangan yang optimal per hektar pada skema pengelolaan hutan.


(34)

5.2.3.2 Sub Model Pendapatan Kayu

Pada sub model ini menggambarkan pendugaan potensi pendapatan yang berasal dari pemasukan dan pengeluaran. Pemasukan diperoleh dari penjualan kayu layak tebang, sedangkan pada pengeluaran terdiri dari biaya pembinaan hutan, biaya produksi dan biaya manajemen sebagai biaya tetap. Pendapatan dari penebangan diperoleh dari hasil tebangan pada KD4049, KD5059, dan KD60up (dalam volume) yang kemudian di konversi ke harga kayu yang diasumsikan sebesar Rp. 2.000.000,-/m³, sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk pengelolaan hutan diacu dari laporan tahunan perusahaan. Hal utama yang mempengaruhi sub model pendapatan ini adalah jumlah pohon layak tebang yang dipengaruhi oleh tingkat kematian dan jumlah pohon yang berasal dari KD3039. Pada sub model ini menggunakan suku bunga 10% untuk menghitung nilai kelakayan usaha dari masing-masing skenario pengelolaan hutan. Suku bunga tersebut merupakan suku bunga yang berlaku saat penelitian berlangsung.

Gambar 6 Sub model pendapatan.

5.2.4 Evaluasi Model

Evaluasi model dilakukan untuk menguji keterandalan dalam menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi di sistem nyata. Evaluasi model dilakukan terhadap model yang paling berhubungan atau berperan terhadap pencapaian

Penyusunan RKT Penerimaan Pengeluaran PenebanganCL Teb 60up SukuBunga Daur NPV Conv Teb 5059 Pelatihan HargaKayuB Daur Pengamanan Hutan PWH PemeliharaanAlatBangunan PemeliharaaanJalan PerlindunganHutan Penjarangan PenanamanPengayaan Gaji&Tunjangan Rehabilitasi lahan

Operasional & adm camp PersemaianPembibitan

PAK

BinaDesa

ITT

PBB

Pemeliharaan tata batas Penyiapan lahan MuatBongkar Pengupasan kulit Pengangkutan Pengapalan DR&IHH BiayaBinHut Biaya Tetap InspeksiBlok Biaya Pemanenan PerencanaanOperasionalPemanenan ITSP PenandaanJalanSarad KontruksiJalanSarad Penyaradan Penebangan Vol teb 60up

Pemeliharaan Tanaman

Pembagian batang Biaya Pemanenan

BCR Vol Teb 5059

Vol Teb 4049

Teb 4049 Sub model Pendapatan


(35)

tujuan penelitian dengan membandingkan data hasil simulasi dengan hasil pengukuran atau perhitungan lapangan. Evaluasi model pada penelitian ini dilakukan terhadap sub model dinamika struktur tegakan dengan membandingkan struktur tegakan hasil simulasi dan data aktual pada tahun ke-2 dan ke-3.

Gambar 7 Perbandingan struktur tegakan pada tahun ke-2.

Gambar 8 Perbandingan struktur tegakan pada tahun ke-3.

Dari hasil proyeksi perbandingan jumlah tegakan pada masing-masing kelas diameter pada tahun ke-2 dan ke-3, diperoleh kurva antara hasil simulasi dengan aktual tidak begitu berbeda secara signifikan. Hasil regresi pada taraf nyata 5% untuk tahun kedua memiliki koefisien korelasi sebesar 95 % dan untuk tahun ketiga memiliki koefisien korelasi sebesar 89,7 % menunjukan bahwa model memiliki korelasi yang cukup tinggi dan dapat digunakan untuk menduga dinamika tegakan dalam jangka panjang meskipun pengujian model dilakukan hanya dari data pertumbuhan selama 3 tahun. Pengujian model akan lebih baik lagi jika menggunakan data periodik yang lama supaya dapat diketahui pola pertumbuhan tegakannya secara konstan.


(36)

5.2.5 Analisis Sensitivitas Model

Analisis sensitivitas dilakukan terhadap perubahan dalam parameter yang mendukung. Sensitivitas model pada penelitian ini dilakukan terhadap besarnya potensi tegakan yang diperoleh apabila tingka kematian akibat pemanenan dirubah menjadi 12%, 8%, dan 4% pada KD < 60 cm dan 9%, 6%, dan 3% pada KD > 60 cm. Semakin tinggi tingkat kematian, maka potensi tegakan semakin berubah.

Gambar 9 Analisis sensitivitas model. Keterangan :

1. Potensi tegakan dengan mortality 9% untuk KD>60 dan 12% untuk KD<60. 2. Potensi tegakan dengan mortality 6% untuk KD>60 dan 8% untuk KD<60. 3. Potensi tegakan dengan mortality 3% untuk KD>60 dan 4% untuk KD<60.

Gambar 16 menunjukan bahwa, jika hutan bekas tebangan memiliki mortality yang rendah, maka pendapatan efektif yang diperoleh akan semakin besar, hal ini dikarenakan jumlah tegakan yang ada tidak berkurang secara signifikan, dan sebaliknya jika mortality lebih besar maka pendapatan efektifnya juga akan berkurang lebih besar, hal ini dikarenakan berkurangnya jumlah stok tegakan akibatmortalityyang sangat berpengaruh terhadap ketersediaan tegakan.

5.2.6 Penggunaan Model

Penggunaan model berfungsi untuk menerapkan model dalam skenario yang telah dibuat dalam rangka memberikan jawaban mengenai tujuan pembuatan sub model. Tujuan utama yang ingin dicapai adalah memproyeksikan potensi tegakan dan pendapatan ketika menggunakan sistem TPTI.


(37)

5.2.6.1 Skenario Siklus Tebang

Skenario siklus tebang dan pendapatan mensimulasikan perbandingan jumlah tegakan yang dihasilkan dari pengelolaan hutan mengggunakan sistem TPTI dengan siklus tebang 35 tahun dan Permenhut No. 11 Tahun 2009 dengan siklus tebang 30 tahun. Hasil simulasi model menunjukan pada siklus tebang 30 tahun lebih cepat memperoleh pohon layak tebang karena jangka waktu dari siklus pertama ke siklus kedua lebih sedikit dibandingkan dengan siklus tebang 35 tahun. Hal ini akan berdampak pada tingginya volume layak tebang sehingga terjadi penurunan potensi jumlah pohon per hektar pada siklus tebang berikutnya. Perlu adanya suatu tindakan pola adaptasi pengelolaan hutan agar kelestarian produksi dapat terjamin, salah satunya dengan menurunkan jumlah volume tebangan atau bahkan menghentikan sementara kegiatan penebangan dan beralih ke pengusahaan hasil hutan bukan kayu. Berdasarkan grafik pada Gambar 10 terlihat bahwa struktur tegakan pada siklus tebang berikutnya cenderung menurun.

Gambar 10 Potensi tegakan pada pengelolaan hutan untuk produksi kayu. Keterangan :

1. Potensi tegakan dengan siklus tebang 30 tahun (Permenhut No.11 2009). 2. Potensi tegakan dengan siklus tebang 35 tahun (Sistem TPTI).

Dari hasil simulasi pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTI seperti yang selama ini dijalankan oleh perusahaan, diperoleh jumlah potensi pohon per hektar pada siklus tebang berikutnya sebesar 408 pohon dengan pohon layak tebang 63 pohon/ha, kemudian mengalami penurunan potensi pada siklus tebang kedua menjadi 133 pohon/ha dengan 25 pohon layak tebang. Sedangkan untuk pengelolaan hutan menggunakan siklus tebang 30 tahun memiliki jumlah pohon per hektar sebanyak 349 pohon dengan pohon layak tebang sebanyak 63


(1)

267 Resak Kel Meranti D 13,4 16,4 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

268 Dahu Kel Kayu Indah ND 13,4 17,5 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

269 Resak Kel Meranti D 27,61 15,6 20-29 27,98 16,22 20-29 28,4 17,02 20-29 270 Terentang Kel Rimba Campuran ND 11 19,2 10-19 11,86 20,1 10-19 12,56 20,8 10-19 271 Terentang Kel Rimba Campuran ND 13,5 20,4 10-19 14,1 21 10-19 14,77 21,9 10-19

272 Matoa Kel Meranti D 12,5 29,3 10-19 13,4 30 10-19 14,1 30,6 10-19

273 Hopea Kel Meranti D 15,4 18,7 10-19 16,15 19,2 10-19 16,9 20,2 10-19

274 Jambu Kel Rimba Campuran ND 16,8 12,5 10-19 17,5 13,2 10-19 18,13 14 10-19

275 Resak Kel Meranti D 16,8 19 10-19 17,35 19,78 10-19 18,25 20,4 10-19

276 Matoa Kel Meranti D 13,4 17 10-19 14,15 17,5 10-19 14,75 17,9 10-19

277 Matoa Kel Meranti D 14,5 22,5 10-19 15,22 23,1 10-19 15,92 24 10-19

278 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 18,9 20 10-19 19,32 21 10-19 20,02 22 20-29 279 Bipa Kel Rimba Campuran ND 20,8 18,5 20-29 21,45 19 20-29 22,3 20,1 20-29 280 Sukun Kel Rimba Campuran ND 12,5 24,9 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

281 Matoa Kel Meranti D 12,8 10 10-19 13,2 10,8 10-19 14,05 11,2 10-19

282 Cempaka Kel Kayu Indah ND 15,8 13 10-19 16,55 13,2 10-19 17,3 14 10-19

283 Resak Kel Meranti D 16,4 21,5 10-19 17,12 22 10-19 17,92 22,5 10-19

284 Sukun Kel Rimba Campuran ND 11,2 19 10-19 12,1 19,4 10-19 12,95 20,1 10-19 285 Bipa Kel Rimba Campuran ND 14,2 31,5 10-19 15 32 10-19 15,87 32,7 10-19 286 Libani Kel Rimba Campuran ND 16,5 34,6 10-19 16,92 35 10-19 17,7 35,4 10-19 287 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 10 17 10-19 10,83 17,5 10-19 11,46 18,12 10-19 288 Malas Kel Non Komersil NK 11,4 29,5 10-19 12,3 30 10-19 13,12 30,4 10-19

289 Merbau Kel Meranti D 25,4 24,5 20-29 26,24 25,2 20-29 27 25,9 20-29

290 Matoa Kel Meranti D 11,5 18,7 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

291 Mersawa Kel Meranti D 14,8 11 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

292 Hopea Kel Meranti D 16,8 28,6 10-19 17,45 29 10-19 18,05 29,7 10-19

293 Pulai Kel Meranti D 10,5 16,9 10-19 11,92 17,1 10-19 12,42 18 10-19

294 Matoa Kel Meranti D 11,2 21,5 10-19 12 22,3 10-19 12,97 22,7 10-19

295 Malas Kel Non Komersil NK 25,35 19,4 20-29 26,12 20 20-29 26,68 20,98 20-29

296 Mersawa Kel Meranti D 20,4 27,4 20-29 21,23 27,7 20-29 21,8 28 20-29

297 Hopea Kel Meranti D 14,5 13,5 10-19 15,27 14,2 10-19 15,9 15,1 10-19

298 Merbau Kel Meranti D 12,2 11,6 10-19 13,2 12 10-19 14,12 12,78 10-19

299 Resak Kel Meranti D 10,5 21,6 10-19 11,4 22,11 10-19 12,2 23 10-19

300 Malas Kel Non Komersil NK 14,6 12,4 10-19 15,57 13 10-19 15,97 13,59 10-19

301 Matoa Kel Meranti D 10,2 34,5 10-19 11 35 10-19 11,7 35,6 10-19

302 Sukun Kel Rimba Campuran ND 10,67 19,9 10-19 11,15 20,2 10-19 11,86 21 10-19 303 Sukun Kel Rimba Campuran ND 16,4 33 10-19 17,2 33,5 10-19 17,82 34,1 10-19

304 Matoa Kel Meranti D 10,2 21,6 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

305 Mersawa Kel Meranti D 19,39 18,5 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

306 Mersawa Kel Meranti D 13,5 13,4 10-19 14,4 13,9 10-19 15,1 14,8 10-19

307 Mersawa Kel Meranti D 12,3 25,8 10-19 13,12 26,1 10-19 13,97 26,9 10-19 308 Bipa Kel Rimba Campuran ND 10,8 19 10-19 11,5 19,5 10-19 12,25 20 10-19 309 Malas Kel Non Komersil NK 13,5 14,6 10-19 14,42 15,2 10-19 15,32 15,7 10-19 310 Libani Kel Rimba Campuran ND 11,2 19 10-19 11,77 19,5 10-19 12,4 20,1 10-19


(2)

67

311 Merbau Kel Meranti D 20,5 24,5 20-29 21,4 25,1 20-29 22,2 26 20-29

312 Dahu Kel Kayu Indah ND 18,66 15,4 10-19 19,17 16,1 10-19 20,02 16,95 20-29

313 Merbau Kel Meranti D 27,1 29 20-29 27,83 29,3 20-29 28,53 30,1 20-29

314 Resak Kel Meranti D 15,6 35 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

315 Resak Kel Meranti D 10,1 15 10-19 10,86 15,68 10-19 11,67 16,18 10-19

316 Resak Kel Meranti D 13,4 21,5 10-19 14,26 22 10-19 15,06 22,8 10-19

317 Resak Kel Meranti D 10,1 15,8 10-19 10,87 16,2 10-19 11,46 17 10-19

318 Simpur Kel Rimba Campuran ND 16,4 20,6 10-19 17,23 21,2 10-19 18,03 22 10-19 319 Bipa Kel Rimba Campuran ND 10,4 18 10-19 11,3 18,5 10-19 12,14 19,2 10-19

320 Hopea Kel Meranti D 16,02 18,5 10-19 16,72 19 10-19 17,44 19,59 10-19

321 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 14,6 17,9 10-19 15,4 18,2 10-19 16,34 18,8 10-19

322 Merbau Kel Meranti D 16,34 20,5 10-19 16,72 21 10-19 17,5 21,5 10-19

323 Merbau Kel Meranti D 10,2 19,6 10-19 11,05 20 10-19 11,85 20,8 10-19

324 Hopea Kel Meranti D 12,4 10 10-19 13,25 10,5 10-19 14,05 11,3 10-19

325 Bintangur Kel Rimba Campuran ND 10 24,6 10-19 10,87 25 10-19 11,52 25,5 10-19

326 Dahu Kel Kayu Indah ND 24 20 20-29 24,57 20,3 20-29 25,37 20,72 20-29

327 Libani Kel Rimba Campuran ND 11,2 16,5 10-19 12,1 17 10-19 12,89 17,6 10-19 328 Bintangur Kel Rimba Campuran ND 13,8 24,9 10-19 14,42 25,1 10-19 15,27 25,9 10-19 329 Malas Kel Non Komersil NK 12,29 17 10-19 12,96 17,2 10-19 13,56 18 10-19

330 Matoa Kel Meranti D 18,76 21,5 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

331 Hopea Kel Meranti D 11,4 16 10-19 12,13 16,5 10-19 12,95 17 10-19

332 Dahu Kel Kayu Indah ND 14,5 15 10-19 15,35 15,2 10-19 15,92 16,1 10-19

333 Resak Kel Meranti D 19,2 8,6 10-19 20,1 9,1 20-29 20,84 9,77 20-29

334 Malas Kel Non Komersil NK 10 19,5 10-19 10,59 20 10-19 11,63 21 10-19

335 Mersawa Kel Meranti D 15,4 18,5 10-19 16,2 19 10-19 17,1 19,4 10-19

336 Pulai Kel Meranti D 19,7 19,5 10-19 20,23 20 20-29 21,18 20,9 20-29

337 Dahu Kel Kayu Indah ND 12,3 11 10-19 13,12 11,5 10-19 13,69 12,11 10-19

338 Mersawa Kel Meranti D 12,3 20,5 10-19 12,95 21 10-19 13,76 21,87 10-19

339 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 12,4 19 10-19 13,2 19,5 10-19 13,77 20,3 10-19

340 Mersawa Kel Meranti D 79,49 26 60up 79,72 26,5 60up 80,14 27,1 60up

341 Mersawa Kel Meranti D 18,4 19,4 10-19 19,15 20,1 10-19 19,95 21 10-19

342 Pulai Kel Meranti D 13,5 19,5 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

343 Mersawa Kel Meranti D 15 17,5 10-19 15,92 18 10-19 16,72 18,67 10-19

344 Resak Kel Meranti D 33,92 15,4 30-39 34,03 16 30-39 34,88 16,78 30-39

345 Lancat Kel Rimba Campuran ND 25,1 22,2 20-29 25,9 22,7 20-29 26,76 23 20-29 346 Libani Kel Rimba Campuran ND 17,71 29 10-19 18,31 29,5 10-19 19,11 30,23 10-19 347 Ketapang Kel Rimba Campuran ND 11,4 9 10-19 12,15 9,5 10-19 12,94 10,12 10-19 348 Cempaka Kel Kayu Indah ND 26,7 32,2 20-29 27,3 32,9 20-29 27,9 33,2 20-29

349 Resak Kel Meranti D 17,36 19 10-19 17,62 19,2 10-19 18,04 19,75 10-19

350 Resak Kel Meranti D 18 25,4 10-19 18,7 25,8 10-19 19,6 26,3 10-19

351 Matoa Kel Meranti D 30,45 18 30-39 31,02 18,5 30-39 31,87 19,07 30-39

352 Merbau Kel Meranti D 14,5 25 10-19 15,36 25,5 10-19 16,21 26 10-19

353 Nani Kel Non Komersil NK 15,7 23,3 10-19 16,31 23,72 10-19 17,2 24,12 10-19


(3)

355 Merbau Kel Meranti D 20,3 25,4 20-29 21,2 26 20-29 21,92 27 20-29

356 Matoa Kel Meranti D 27,52 17,5 20-29 27,87 18 20-29 28,7 19 20-29

357 Mersawa Kel Meranti D 12,4 12 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

358 Resak Kel Meranti D 17,07 25 10-19 17,52 25,2 10-19 18,4 26 10-19

359 Resak Kel Meranti D 17,9 27,2 10-19 18,52 27,61 10-19 19,27 28,11 10-19

360 Merbau Kel Meranti D 11,3 17 10-19 12,1 17,6 10-19 12,95 18,1 10-19

361 Matoa Kel Meranti D 17,58 24,3 10-19 18,22 24,7 10-19 19,12 25,2 10-19 362 Libani Kel Rimba Campuran ND 13,5 18,9 10-19 14,34 19,2 10-19 15,14 19,9 10-19 363 dahu Kel Kayu Indah ND 24,5 20 20-29 25,35 20,6 20-29 26,05 21,1 20-29

364 Matoa Kel Meranti D 27,26 19 20-29 27,83 19,3 20-29 28,68 20,1 20-29

365 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 20,4 30,8 20-29 21,3 31,2 20-29 22,1 32 20-29 366 Malas Kel Non Komersil NK 13,4 30,6 10-19 14,1 30,85 10-19 15 31,15 10-19 367 Sindur Kel Kayu Indah ND 12,61 17,5 10-19 13,15 18 10-19 13,95 19 10-19 368 Mersawa Kel Meranti D 20,13 16,6 20-29 20,83 17 20-29 21,4 17,92 20-29 369 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 17,61 26,5 10-19 18,22 27 10-19 18,92 27,5 10-19

370 Matoa Kel Meranti D 16,8 17,6 10-19 17,5 18 10-19 18,3 18,46 10-19

371 Mersawa Kel Meranti D 20,48 29 20-29 21,15 29,5 20-29 21,95 30,1 20-29 372 Merbau Kel Meranti D 10,63 31 10-19 11,97 31,45 10-19 12,82 31,97 10-19 373 Mersawa Kel Meranti D 14,43 26 10-19 15,25 26,5 10-19 15,95 27,2 10-19

374 Matoa Kel Meranti D 14,81 16,1 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

375 Matoa Kel Meranti D 18,34 19 10-19 18,89 19,5 10-19 19,64 20,2 10-19

376 Matoa Kel Meranti D 25,1 30 20-29 25,92 30,2 20-29 26,72 30,7 20-29

377 Matoa Kel Meranti D 14,43 20,4 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

378 Matoa Kel Meranti D 15,16 28,5 10-19 15,86 29 10-19 16,8 29,56 10-19

379 Merbau Kel Meranti D 16,69 24,2 10-19 17,39 24,8 10-19 18,19 25,5 10-19 380 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 12,8 21,5 10-19 13,57 22 10-19 14 22,5 10-19 381 Matoa Kel Meranti D 25,35 30 20-29 26,25 30,67 20-29 26,68 31,07 20-29 382 Nani Kel Non Komersil NK 17,99 16,9 10-19 18,83 17,2 10-19 19,65 17,9 10-19

383 Merbau Kel Meranti D 12,3 20 10-19 13,15 20,5 10-19 13,85 21,4 10-19

384 Bipa Kel Rimba Campuran ND 11 20 10-19 11,74 20,5 10-19 12,34 21,1 10-19 385 Bipa Kel Rimba Campuran ND 16,69 16 10-19 17,02 16,2 10-19 17,87 17 10-19 386 Matoa Kel Meranti D 13,4 19,6 10-19 14,25 20,3 10-19 15,06 20,72 10-19 387 Simpur Kel Rimba Campuran ND 14,6 18,2 10-19 15,5 18,7 10-19 16,35 19,1 10-19

388 Merbau Kel Meranti D 17,93 20 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

389 Mersawa Kel Meranti D 16,02 11,5 10-19 16,78 12 10-19 17,4 12,57 10-19

390 Dahu Kel Kayu Indah ND 28,09 21,6 20-29 28,59 22 20-29 29,7 23 20-29

391 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 14,5 8,1 10-19 15,3 8,5 10-19 16,12 10 10-19 392 Sindur Kel Kayu Indah ND 17,61 19,8 10-19 17,93 20,5 10-19 18,72 21,1 10-19 393 Resak Kel Meranti D 22,07 16,5 20-29 22,68 16,9 20-29 23,43 17,4 20-29 394 Libani Kel Rimba Campuran ND 28,41 24 20-29 Mati Mati Mati Mati Mati Mati 395 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 20,13 23,5 20-29 20,86 23,92 20-29 21,4 24,32 20-29 396 Terentang Kel Rimba Campuran ND 13,5 20 10-19 14,4 21,2 10-19 15,23 21,62 10-19 397 Cempaka Kel Kayu Indah ND 13,76 20,2 10-19 14,56 20,62 10-19 15,46 21,02 10-19


(4)

69

399 Sindur Kel Kayu Indah ND 0 0 11,4 9 IN 12,3 9,8 10-19

400 Ketapang Kel Rimba Campuran ND 0 0 12 10,6 IN 12,57 11,1 10-19

401 Libani Kel Rimba Campuran ND 0 0 12 10 IN 12,5 10,65 10-19

402 Merbau Kel Meranti D 0 0 12,6 9,4 IN 13,1 10 10-19

403 Malas Kel Non Komersil NK 0 0 12,1 10 IN 12,52 10,8 10-19

404 Mersawa Kel Meranti D 0 0 11,4 12,5 IN 11,97 13,4 10-19

405 Dahu Kel Kayu Indah ND 0 0 11,5 9 IN 12 9,6 10-19

406 Hopea Kel Meranti D 0 0 12,2 10,6 IN 12,8 11,2 10-19

407 Bipa Kel Rimba Campuran ND 0 0 15,1 13,7 IN 15,52 14,5 10-19

408 Matoa Kel Meranti D 0 0 13,3 12 IN 13,71 12,57 10-19

409 Simpur Kel Rimba Campuran ND 0 0 0 0 11,5 9 IN

410 Bipa Kel Rimba Campuran ND 0 0 0 0 12,2 10,6 IN

411 Mersawa Kel Meranti D 0 0 0 0 15,1 13,7 IN

412 Terentang Kel Rimba Campuran ND 0 0 0 0 13,3 12 IN

413 Bipa Kel Rimba Campuran ND 0 0 0 0 14,5 12,4 IN

414 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 0 0 0 0 12,6 9,4 IN

415 Terentang Kel Rimba Campuran ND 0 0 0 0 12,1 10 IN

416 Cempaka Kel Kayu Indah ND 0 0 0 0 11,4 12,5 IN

417 Merbau Kel Meranti D 0 0 0 0 11,5 9 IN

418 Sindur Kel Kayu Indah ND 0 0 0 0 12,2 10,6 IN

419 Resak Kel Meranti D 0 0 0 0 15,1 13,7 IN

420 Resak Kel Meranti D 0 0 0 0 13,3 12 IN

421 Merbau Kel Meranti D 0 0 0 0 14,5 12,4 IN

422 Matoa Kel Meranti D 0 0 0 0 15 13,5 IN


(5)

ARNALDO HENDRIX S. Model Simulasi Pengelolaan Hutan Berbasis

Karbon (Studi Kasus di IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri,

Provinsi Papua). Dibimbing oleh BUDI KUNCAHYO.

Tingginya permintaan pasar akan kebutuhan kayu yang terus meningkat

serta mendukung pemerintah dalam penurunan emisi karbon, maka perlu

dilakukan suatu simulasi guna menentukan formula yang tepat dalam pengelolaan

hutan. Formula tersebut diterapkan ketika kebijakan moratorium penebangan

hutan berlaku di Indonesia. Penelitian ini mensimulasikan beberapa skenario

bentuk pengelolaan hutan dengan memperhatikan manfaat selain kayu, karena

baik kayu, karbon dan hasil hutan bukan kayu pada akhir-akhir ini memiliki

pangsa pasar yang tinggi. Skenario tersebut terdiri dari skenario pengelolaan hutan

menggunakan sistem TPTI, skenario pengelolaan hutan berbasis karbon, skenario

pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan sarang semut, skenario pengelolaan

hutan kombinasi karbon dengan usaha minyak lawang, dan skenario pengelolaan

hutan kombinasi karbon dengan usaha sagu. Bentuk pengelolaan hutan yang tepat

dapat memberikan manfaat dari segi ekonomi, ekologi, dan sosial.

Hasil simulasi skenario, menunjukan nilai kelayakan usaha pada

masing-masing skenario memiliki

net present value

(NPV) positif,

benefit cost ratio

(BCR) lebih dari 1 dan

internal rate return

(IRR) lebih dari tingkat suku bunga

yang digunakan. Hal tersebut menunjukan bahwa skenario masing-masing usaha

layak untuk dijalankan. Nilai NPV, BCR dan IRR tertinggi ada pada skenario

pengelolaan hutan kombinasi karbon dan pemanfaatan sagu, dengan nilai NPV

sebesar Rp. 25.170.588,59. Nilai ini menunjukan bahwa biaya yang dikeluarkan

dalam kegiatan pengelolaan akan memberikan keuntungan selama umur usaha 5

tahun menurut nilai sekarang. Nilai BCR pada skenario pengelolaan hutan

kombinasi karbon dan pemanfaatan sagu sebesar 1,47. Keadaan tersebut

menggambarkan bahwa manfaat yang diperoleh selama umur proyek sebesar nilai

BCR lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Sedangkan untuk nilai IRR pada

skenario pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan pengusahaan sagu sebesar

28 % berada diatas suku bunga bank yang digunakan yaitu 10%. Nilai tersebut

menujukan kriteria kelayakan usaha skenario pengelolaan hutan terbaik secara

finansial ada pada skenario kombinasi pengelolaan hutan berbasis karbon dengan

pemanfaatan sagu. Hal ini juga didukung dengan tingkat kelestarian struktur

tegakan yang baik dan memiliki

standing stock

yang besar pada siklus tebang

berikutnya karena pemanfaatan kayu dihentikan sementara dan beralih ke

pemanfaatan jasa penyerapan karbon.

Kata Kunci : Model simulasi, pengelolaan hutan, kombinasi pendapatan,

kelayakan finansial, karbon.


(6)

SUMMARY

ARNALDO HENDRIX S. Simulations Model of Carbon Based Forest

Management (Case Study in IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri,

Papua Province). Under supervision by BUDI KUNCAHYO.

In order to fullfilling market demand of wood which still increasing and to

support government commitment on global emission reduction effort, there should

be a simulation to determine good formula on forest management. This formula

applied when forest moratorium occur in Indonesia. The study simulating some

forest management scenario’s by considering another benefits of forest wood,

because wood, carbon and non timber forest products has a high market demand

nowadays.

The scenario’s include forest management with TPTI system, carbon

based forest management system, combination system between carbon based and

ants nest scenario, carbon based and mace oil combination management scenario,

and carbon based and sago utilization management scenario. A proper forest

management could give a good economic, ecology and social benefit.

The scenario of simulation results a value of business feasibility on each

scenarios, has a positive value of net present value (NPV), benefit cost ratio

(BCR) more than 1 and internal rate of return more than interest rate used. This

means each scenario of business is feasible. The highest value of NPV, BCR and

IRR is on carbon combination forest management and sagoo utilization, by value

NPV of Rp. 25.170.588,59. This value indicates the cost used on forest

management giving benefit during financial analysis time, which is 5 based on

present value. BCR value of carbon based and sago utilization scenario is 1.47

This condition illustrates benefit obtained as much as BCR during project time, is

bigger than the cost issued. Meanwhile the IRR value of carbon based and sago

utilization scenario is 28% above bank rate is 10%, this value indicates the good

criteria of business feasibility based on financial is combination carbon based and

sago utilization forest management. This is also supported by a good level of

sustainability of standing stock on next harvest cycle, due to banned wood

utilization and turn to carbon sequestration service utilization.

Key words: Simulation model, forest management, income combination, financial

analysis, carbon.