Adanya warna yang agak putih keruh pada selulosa bakteri dan selulosa bakteri+gliserol ini kemungkinan dikarenakan pengaruh tumbuhnya jamur pada
permukaan sampel. Namun menurut Pratomo dan Rohaeti 2011, hal ini dapat diatasi dengan mencuci sampel tersebut dengan larutan alkohol 70.
2. Analisis Gugus Fungsi dengan Instrumen FT-IR
Analisis ini bertujuan untuk melihat adanya interaksi antara gliserol dan chitosan
dengan selulosa bakteri seiring dengan penambahan kedua bahan tersebut. Apabila ada interaksi maka akan terlihat adanya perbedaan dari spektra
masing-masing biomaterial dan melalui spektra-spektra ini dapat diinterpretasikan gugus-gugus fungsi dari tiap-tiap biomaterial. Berikut ini disajikan spektra IR dari
serbuk chitosan, selulosa bakteri, selulosa bakteri+gliserol dan selulosa bakteri+gliserol+chitosan.
Gambar 14. Spektra serbuk chitosan Pemeriksaan gugus fungsi dari chitosan dilakukan karena selama penelitian
ini, hampir seluruhnya menggunakan chitosan. Selain itu spektra serbuk chitosan
ini digunakan sebagai kontrol pembanding antara selulosa bakteri dengan selulosa bakteri+gliserol+chitosan. Jika terjadi interaksi antara selulosa bakteri dengan
chitosan maka dapat dibandingkan spektranya dengan spektra dari selulosa
bakteri maupun selulosa bakteri+gliserol. Selain itu berdasarkan spektra serbuk chitosan
dapat dihitung pula nilai derajat deasetilasi DD dari chitosan yang digunakan.
Berdasarkan perhitungan dengan metode baseline, chitosan yang digunakan memiliki DD 73,78. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pillai,
Paul dan Sharma 2009 yang menyatakan bahwa chitosan merupakan hasil deasetilasi chitin dengan derajat deasetilasi 60-90. Pengaruh pemberian gliserol
dan chitosan terhadap spektra IR dari selulosa bakteri ditunjukkan melalui Gambar 15.
Gambar 15. Hasil spektra IR biomaterial S, SG dan SGK Keterangan: S=selulosa bakteri, SG= selulosa bakteri+gliserol, SGK= selulosa
bakteri+gliserol+chitosan
Gambar 15 menunjukkan adanya perbedaan serapan dari masing-masing sampel. Melalui perbedaan serapan dari masing-masing sampel ini dapat
diinterpretasikan gugus-gugus fungsi yang terdapat dalam masing-masing sampel. Hasil interpretasi spektra IR dari masing-masing sampel disajikan dalam Tabel
VI. Tabel VI. Hasil interpretasi gugus fungsi dari sampel biomaterial
No. Sampel Bilangan
Gelombang cm
-1
Gugus Fungsi 1
S 3441,01
-OH 2931,80
-CH Alifatik 1627,92
C=O stretching 1350,17
–CH
3
bending vibrations 1072,42
β-1,4-Glikosidik 2
SG 3464,15
-OH 2931,80
-CH Alifatik 1342,46
–CH
3
bending vibrations 1026,13
β-1,4-Glikosidik 3
SGK 3425,58
-OH and –NH stretching
2931,80 -CH Alifatik
1635,64 C=O stretching
1566,20 –NH bending amide II
1342,46 –CH
3
bending vibrations 1064,71
β-1,4-Glikosidik
Gambar 15 menunjukkan dengan adanya penambahan gliserol pada selulosa bakteri ini akan menyebabkan terjadinya pelebaran dan penajaman dari puncak
gugus -OH dari selulosa bakteri di sekitar bilangan gelombang 3400 cm
-1
, selain itu pada spektra SG ini tidak ditemukan adanya puncak dengan intensitas kuat di
sekitar daerah 1600 cm
-1
. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan gliserol ini akan mempengaruhi gugus fungsi dari selulosa bakteri. Selain itu
dengan penambahan gliserol ini akan menyebabkan terjadinya pergeseran puncak gugus
–OH dari selulosa bakteri yang semula berada di sekitar daerah 3441,01
cm
-1
bergeser menjadi di sekitar daerah 3464,15 cm
-1
. Adanya pergeseran puncak ini menandakan terjadinya penambahan gugus
–OH dari gliserol terhadap gugus –OH selulosa bakteri.
Adanya pelebaran dan penajaman pada puncak spektra IR selulosa bakteri yang ditambah gliserol ini menunjukkan bahwa selulosa bakteri ini berinteraksi
dengan gliserol. Pelebaran puncak ini disebabkan adanya penambahan gugus –OH
dari gliserol sedangkan penajaman dari puncak menandakan adanya peningkatan intensitas dari gugus
–OH selulosa bakteri ketika ditambah dengan gliserol. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rohaeti dan Rahayu 2012,
yang menyatakan bahwa lebarnya puncak pada spektrum yang terbaca menunjukkan terjadinya ikatan hidrogen antara gliserol dengan selulosa. Adanya
peningkatan intensitas gugus fungsi –OH dari selulosa bakteri ketika ditambah
dengan gliserol akan berkaitan dengan sifat mekanik selulosa bakteri tersebut. Hubungan antara intensitas dengan sifat mekanik dari sampel ini dapat diketahui
dengan menghitung nilai absorbansi gugus fungsi dari setiap sampel. Tabel VII menyajikan nilai absorbansi dari tiap gugus fungsi untuk setiap sampel:
Tabel VII. Hasil absorbansi selulosa bakteri, selulosa bakteri+gliserol dan selulosa bakteri+gliserol+chitosan
No. Sampel
Gugus Fungsi Absorbansi
1 S
-OH 0,17
C=O 0,027
2 SG
-OH 0,35
C=O 8,47 x 10
-3
3 SGK
-OH 0,27
C=O amida 0,033
Keterangan: S = selulosa bakteri, SG = selulosa bakteri+gliserol, SGK = Selulosa bakteri+gliserol+chitosan
Tabel VII menunjukkan terjadinya peningkatan absorbansi dari gugus –OH
dan penurunan absorbansi gugus C=O dari selulosa bakteri ketika ditambah dengan gliserol. Hal ini akan mendukung terjadinya peningkatan persen
perpanjangan dari selulosa bakteri ketika ditambah dengan gliserol jika dibandingkan dengan persen perpanjangan dari selulosa bakteri serta peningkatan
stabilitas termal dari selulosa bakteri ketika ditambah dengan gliserol jika dibandingkan dengan stabilitas termal dari selulosa bakteri.
Gambar 15 menunjukkan dengan penambahan chitosan ini akan menyebabkan terjadinya pelebaran dan penajaman dari puncak gugus
–OH dari selulosa bakteri di sekitar bilangan gelombang 3400 cm
-1
. Adanya pelebaran puncak ini menunjukkan kemungkinan terjadinya overlapping antara gugus
–OH dengan gugus
–NH
2
. Hal ini sesuai dengan penelitian yang diungkapkan oleh Anicuta et. al. 2010 yang menemukan adanya pergeseran pita absorbansi yang
semula di sekitar 3350,71 cm
-1
bergeser menjadi 3349,75 cm
-1
dan menjadi semakin lebar yang mengindikasikan adanya kemungkinan overlapping antara
interaksi hidrogen dari gugus –OH dengan -NH
2.
Lalu jika dilihat dari Tabel VI, maka terlihat adanya serapan di sekitar daerah 1635,64 cm
-1
dan 1566,20 cm
-1
yang menunjukkan adanya C=O stretching Amida I dan –NH bending Amida
II yang merupakan ciri khas dari gugus C=O amida I dan gugus NH amida II yang terdapat di chitosan, yang menunjukkan gugus amida dari chitin yang belum
terdeasetilasi sempurna. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Stefanescu et.
al. 2012 dalam penelitiannya bahwa telah ditemukan pita baru di sekitar daerah
1640 cm
-1
atau 1643 cm
-1
dan di sekitar daerah 1565 cm
-1
yang menunjukkan adanya C=O stretching Amida I dan
–NH bending Amida II. Terjadinya penajaman puncak gugus
–OH ini menunjukkan adanya interaksi yang terjadi antara gugus
–OH dari selulosa bakteri dengan chitosan yang akan ditunjukkan dengan meningkatnya intensitas gugus
–OH dari selulosa bakteri setelah ditambah dengan chitosan. Adanya peningkatan intensitas ini ditunjukkan
dengan peningkatan dari absorbansinya. Tabel VII menunjukkan terjadinya peningkatan absorbansi dari gugus
–OH dan peningkatan absorbansi gugus C=O dari selulosa bakteri ketika ditambah
dengan chitosan. Hal ini menunjukkan terjadinya ikatan hidrogen antara chitosan dengan selulosa bakteri serta terjadinya penambahan gugus C=O dari chitosan
yang berasal dari chitin yang belum tedeasetilasi dengan sempurna. Adanya ikatan hidrogen yang terbentuk ini akan mempengaruhi sifat mekanik nilai kuat tarik
dan stabilitas termal dari selulosa bakteri. Seiring dengan meningkatnya jumlah ikatan hidrogen yang terbentuk maka stabilitas termal dari selulosa bakteri yang
ditambah chitosan ini akan meningkat jika dibandingkan dengan stabilitas termal dari selulosa bakteri dan sifat mekanik dari selulosa bakteri khususnya nilai kuat
tarik dari selulosa bakteri yang ditambah chitosan ini juga akan meningkat secara teori jika dibandingkan dengan nilai kuat tarik dari selulosa bakteri.
3. Analisis Struktur Morfologi