penguapan dari gliserol ini sesuai dengan hasil penelitian dari Yunos dan Rahman 2011, yang menyatakan bahwa gliserol akan mulai menguap pada suhu 200
C dan akan menguap dengan sempurna pada suhu 300
C. Penambahan chitosan menyebabkan munculnya puncak ke atas di sekitar suhu 200-250
C yang kemungkinan menandakan perubahan base line atau adanya dua kemungkinan
lain yang berjalan secara bersamaan, kemungkinan pertama terjadi pemutusan ikatan antar gugus fungsi yang dimiliki antara chitosan dengan gliserol atau
selulosa bakteri dan kemungkinan kedua terjadi penguapan dari gliserol. Lalu pada suhu di sekitar 310-330
C muncul puncak ke atas lagi yang menandakan terjadinya proses perubahan fase kristal dari selulosa bakteri.
6. Analisis Sifat Termal dengan Thermal Gravimetric Analysis TGA
Analisis TGA bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian gliserol dan chitosan
terhadap kestabilan termal dari selulosa bakteri. Kestabilan termal dari masing-masing sampel ini dapat terlihat dari perubahan massa yang terjadi. Selain
itu, uji ini berkaitan langsung dengan uji DTA karena dengan mengamati perubahan massa yang terjadi pada termogram TGA maka dapat diamati pula
perubahan sifat termal yang terjadi pada termogram DTA-nya. Berikut ini disajikan Gambar 20 yang merupakan termogram TGA dari selulosa bakteri S,
selulosa bakteri+gliserol SG beserta selulosa bakteri+ gliserol+chitosan SGK.
Gambar 20. Kurva termogram TGA biomaterial Keterangan:
S SG
SGK
Gambar 20 menunjukkan dengan penambahan gliserol serta chitosan ini akan meningkatkan kestabilan termal dari selulosa bakteri. Hal ini dilihat dari
persen kehilangan massa dari masing-masing sampel. Gambar 21 menyajikan kurva kehilangan massa lawan suhu dari masing-masing sampel.
Gambar 21. Kehilangan massa vs suhu Gambar 21 menunjukkan penambahan chitosan pada selulosa bakteri ini
memiliki persentase kehilangan massa paling kecil mulai dari suhu 30 C hingga
sekitar suhu 250 C namun setelah melewati suhu tersebut terjadi ketidakstabilan
persen kehilangan massa dari SGK jika dibandingkan dengan SG seiring dengan kenaikan suhu hingga akhirnya mencapai suhu 400
C. Adanya ketidakstabilan ini
10 20
30 40
50 60
50 100
150 200
250 300
350 400
K e
h i
l a
n g
a n
M a
s s
a
Suhu C
SGK S
SG
kemungkinan disebabkan terjadinya proses pemutusan rantai bercabang pada polimer menjadi monomer-monomernya setelah selulosa bakteri kehilangan
interaksinya dengan chitosan akibat adanya suhu yang tinggi. Lalu adanya penambahan gliserol pada selulosa bakteri ini memiliki persentase kehilangan
massa lebih rendah dari selulosa bakteri namun lebih tinggi daripada SGK mulai dari suhu 30
C hingga sekitar suhu 250 C namun setelah melewati suhu tersebut
terjadi ketidakstabilan persen kehilangan massa dari SG jika dibandingkan dengan SGK seiring dengan kenaikan suhu hingga mencapai suhu 400
C. Adanya ketidakstabilan ini dimungkinkan karena adanya ketidakteraturan rantai polimer
dari selulosa bakteri yang menjadi renggang karena adanya penambahan gliserol sehingga setelah gliserol ini menguap di sekitar suhu 250
C maka rantai polimer selulosa bakteri yang merenggang ini akan putus dengan cepat menjadi monomer-
monomernya. Sementara selulosa bakteri memiliki persentase kehilangan massa yang paling tinggi mulai dari suhu 30
C hingga suhu 400 C.
Gambar 20 menunjukkan adanya penurunan massa yang cukup banyak mulai dari suhu 30
C hingga di sekitar suhu 100 C seperti yang ditunjukkan dari
termogram masing-masing sampel ini menunjukkan adanya kehilangan kandungan air dari masing-masing sampel. Hal ini diperkuat dengan munculnya
puncak ke bawah pada termogram DTA masing-masing sampel di sekitar suhu 100
C yang mana puncak ke bawah tersebut bersifat endotermik. Hal ini sendiri sesuai dengan penelitian yang dikemukakan oleh Saputro, Kartini dan Sutarno
2009 serta Fernandes, Oliveira, Freire, Silvestre, Gandini dan Neto 2009, yang menyatakan bahwa baik pada selulosa bakteri, komposit selulosa bakteri-chitosan
maupun chitosan murni akan mengalami kehilangan kandungan air akibat adanya pada proses penguapan air pada suhu di sekitar 100
C. Jika dilihat pada Gambar 21, maka sampel selulosa bakteri, selulosa
bakteri+gliserol dan selulosa bakteri+gliserol+chitosan secara berurutan akan mengalami kehilangan massa sebanyak 50 pada sekitar suhu 294,91
C; 331,35 C dan 330,15
C. Terjadinya pergeseran suhu dekomposisi 50 kehilangan massa dari selulosa bakteri ketika ditambahkan gliserol ini kemungkinan
disebabkan gliserol ini mampu menarik kandungan air dari udara di sekitar selulosa bakteri karena sifat dari gliserol hidrofilik sehingga kandungan airnya
akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan selulosa bakteri, selain itu terjadinya ikatan hidrogen antara gugus fungsi pada selulosa bakteri dan gugus fungsi pada
gliserol juga akan menyebabkan energi yang dibutuhkan untuk memutus ikatan tersebut lebih besar sehingga suhu yang dibutuhkan juga akan semakin tinggi
sehingga stabilitas termalnya akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan stabilitas termal dari selulosa bakteri. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Quijada-
Garrido, Iglesias-González, Mazón-Arechderra dan Barrales-Rienda 2007 yang menyatakan bahwa adanya pengamatan peningkatan kehilangan massa pada
konsentrasi gliserol yang lebih tinggi terkait dengan kehilangan air yang terabsorbsi secara kimiawi melalui ikatan hidrogen karena kandungan air dari
selulosa bakteri akibat penambahan gliserol ini meningkat maka akan menyebabkan interaksi hidrogen antar molekul dalam rantai selulosa bakteri ini
meningkat sehingga akan menyebabkan stabilitas termalnya meningkat.
Terjadinya pergeseran suhu dekomposisi 50 kehilangan massa dari selulosa bakteri ketika ditambahkan chitosan ini sesuai dengan yang dilaporkan
oleh Zhijiang et. al. 2011 yang menyatakan terjadinya pergeseran suhu
dekomposisi 50 kehilangan massa dari selulosa bakteri yang semula suhunya sekitar 263
C ketika dibentuk komposit selulosa bakteri-chitosan suhu dekomposisinya menjadi sekitar 380
C. Adanya pergeseran suhu dekomposisi ini menunjukkan terjadinya peningkatan stabilitas termal dari selulosa bakteri ketika
selulosa bakteri tersebut ditambah chitosan. Adanya peningkatan stabilitas termal ini kemungkinan disebabkan terbentuknya ikatan hidrogen intermolekular yang
sangat kuat antara gugus -OH dengan gugus -NH
2
dari selulosa bakteri dengan chitosan
sehingga stabilitas termalnya akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan stabilitas termal dari selulosa bakteri
Zhijiang et. al., 2011 . Hal ini diperkuat
dengan melihat profil spektra IR-nya. Selain itu, ketika selulosa bakteri ditambah dengan gliserol dan chitosan maka secara tidak langsung stabilitas termalnya akan
semakin lebih meningkat jika dibandingkan dengan selulosa bakteri. Hal ini disebabkan adanya interaksi hidrogen intermolekulernya yang akan semakin
meningkat seiring dengan penambahan gliserol dan chitosan.
7. Analisis Kristalinitas dengan XRD