B. KOMUNIKASI SEKSUAL
1. Definisi Komunikasi
Berelson dan Steiner dalam Fisher, 1986 mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses penyampaian informasi, ide, emosi,
keterampilan, melalui penggunaan simbol-kata, gambar, angka, atau grafik. Menurut DeVito 2011, komunikasi mengacu pada tindakan, oleh
satu orang atau lebih, yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan, terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh
tertentu, dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. Berdasarkan pengertian tersebut, komunikasi dapat diartikan sebagai
proses yang bertujuan untuk menyampaikan pesan berupa informasi maupun ide tertentu melalui berbagai media yang memiliki pengaruh bagi
pengirim dan penerima pesan. Pada suatu relasi interpersonal dikenal istilah komunikasi interpersonal.
Wiryanto 2004 mendefinisikan komunikasi interpersonal sebagai komunikasi yang berlangsung dalam situasi tatap muka antara dua orang
atau lebih, baik secara terorganisir maupun didalam kerumunan. Sedangkan, menurut Verderber et al. dalam Budyatna Ganiem, 2011,
komunikasi interpersonal merupakan proses dimana individu menciptakan dan mengelola hubungan mereka, melaksanakan tanggung jawab secara
timbal balik dalam menciptakan makna. Emmers-Sommer dan Allen memahami komunikasi interpersonal sebagai aktivitas yang berkaitan
dengan kesehatan, dimana komunikasi dapat mempengaruhi emosi, serta kesejahteraan mental dan fisik kita dalam Parker Ivanov, 2013.
Beberapa pengertian diatas menyebutkan bahwa komunikasi interpersonal memiliki makna bagi setiap individu yang terlibat dalam
proses tersebut, sehingga dapat mempengaruhi kesejahteraan fisik dan mental. Selain itu, Budyatna dan Ganiem 2011 menyebutkan bahwa
keberhasilan didalam komunikasi interpersonal secara relatif dapat meningkatkan kebahagiaan dan produktivitas individu. Didalam
mengembangkan relasi interpersonal, khususnya didalam relasi yang intim antara perempuan dan laki-laki, penting untuk mempelajari komunikasi
sebagai faktor yang dapat meningkatkan kualitas hubungan. 2.
Komunikasi Seksual
a. Definisi Komunikasi Seksual Menurut Beebe, S.A, et al 2011 komunikasi seksual merupakan
bentuk dari menceritakan kepada pasangan mengenai seks, keterbukaan diri, dan mendiskusikan aktivitas seksual sebelumnya
yang berpengaruh terhadap seksual dan kepuasan hubungan. Komunikasi seksual juga merupakan ungkapan pasangan akan hasrat
seksual secara verbal maupun nonverbal, termasuk penerimaan atau penolakan terhadap ajakan pasangan untuk melakukan hubungan
seksual. Komunikasi seksual juga mengacu pada sebuah proses diskusi mengenai aspek kehidupan seksual seseorang terhadap pasangannya.
Didalam proses komunikasi tersebut, aspek-aspek seksual yang
didiskusikan seperti praktek seksual, kenikmatan seksual, dan ajakan seksual Faulker Lanutti, Holmberg Blair, dalam Babin 2013.
Selain itu, Rehmanet al. 2011 menyatakan bahwa komunikasi seksual dilakukan dengan membicarakan topik-topik terkait seksualitas
bersama pasangan. Komunikasi seksual juga dapat dipahami sebagai suatu
kemampuan untuk membicarakan dan memulai perilaku seksual yang memuaskan Morokoffet al., dalam Oattes Offman, 2007. Sebagai
tambahan, menurut Cupach dan Comstock dalam Oattes Offman, 2007, komunikasi seksual mengarahkan pasangan untuk saling
memberi pengertian mengenai kebutuhan seksual mereka, hasrat seksual dan pilihan dalam melakukan hubungan seksual.
Penelitian terdahulu mendefinisikan komunikasi seksual dalam bentuk sexual self disclosure dan sexual assertiveness.Sexual self-
disclosure adalah kemampuan untuk mengkomunikasikan pilihan- pilihan seksual secara terbuka Rehman et al., 2011. Sedangkan,
sexual assertiveness merupakan kemampuan seseorang untuk mengkomunikasikan kebutuhan seksual dan memulai perilaku seksual
dengan pasangan Shafer dalam Menard Offman, 2009. Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, dapat disimpulkan
bahwa komunikasi seksual merupakan suatu kemampuan untuk mendiskusikan berbagai aspek kehidupan seksual, seperti keterbukaan
diri, hasrat seksual, ajakan seksual, kenikmatan seksual, maupun
aktivitas seksual sebelumnya kepada pasangan baik secara verbal maupun non-verbal.
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Seksual Oattes dan Offman 2007 telah membuktikan bahwa harga diri
global dan harga diri seksual mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan komunikasi seksual. Individu dengan harga diri
global dan harga diri seksual yang tinggi cenderung mampu untuk berkomunikasi
seksual. Penelitian
sebelumnya juga
telah membuktikan bahwa individu dengan harga diri global yang tinggi
memiliki kemampuan komunikasi seksual yang tinggi pula Ferroni Taffe, dalam Oattes Offman, 2007. Serupa dengan penelitian Adler
dan Hendrick 1991 yang menemukan bahwa individu dengan harga diri seksual yang tinggi akan lebih menerima seksualitas mereka dan
dengan demikian individu tersebut mampu untuk berpikir serta menyiapkan interaksi seksual selanjutnya. Zeanah dan Schwarz
mendefinisikan harga diri seksual sebagai reaksi afektif seseorang pada penilaian subjektif atas pikiran, perasaan, dan perilaku seksual
seseorang Menard Offman, 2009. Selain itu, terdapat penelitian yang menemukan bahwa
kemampuan diferensiasi diri juga dapat mempengaruhi komunikasi seksual pasangan. Diferensiasi diri merupakan proses perkembangan
yang memampukan individu untuk menetapkan batasan didalam relasi intim yang membantu mereka untuk menyeimbangkan keterpisahan
dan keterhubungan dengan menjaga otonomi diri, selama tetap terhubung dengan sistem relasi Bowen dalam Timm Keiley, 2011.
Scnarch dalam Timm Keiley, 2011 berpendapat bahwa kemampuan diferensiasi diri dalam relasi intim mengarahkan pasangan
untuk dapat berbicara secara terbuka mengenai berbagai masalah, kebutuhan, dan fantasi seksual tanpa dibebani rasa cemas.
Beebe, S.A, et al 2011 memandang komunikasi seksual sebagai ungkapan individuakan hasrat seksual secara verbal maupun
nonverbal. Ungkapan akan hasrat seksual tersebut, baik secara verbal maupun nonverbal, merupakan salah satu bentuk dari ekspresi seksual.
Beberapa penelitian yang dirangkum dalam Murray, Ciarrocchi, dan Murray-Swank 2007 telah menunjukkan bahwa terhambatnya
ekspresi seksual disebabkan oleh pengaruh sikap religiusitas dengan sex guilt sebagai mediatornya. Berdasarkan temuan tersebut, peneliti
menyimpulkan bahwa perilaku komunikasi seksual turut dipengaruhi pula oleh sikap religiusitas yang dimiliki oleh individu.
C. Perempuan Dewasa Menikah