Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hubungan seksual yang memuaskan bagi pasangan suami-istri turut mempengaruhi kepuasan terhadap kehidupan pernikahan yang dijalani. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Byers; Byers, Demmons, dan Lawrance; Cupach dan Comstock; Morokoff dan Gillilland; Trudel; Young, Denny, Luquis, dan Young yang menemukan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kepuasan seksual dengan kepuasan hubungan dalam Menard Offman, 2009. Henderson-King dan Veroff dalam Timm Keiley, 2011 mengatakan pula bahwa kepuasan seksual memiliki kaitan yang erat dengan kepuasan pernikahan.Selain meningkatkan kepuasan hubungan pernikahan, kepuasan seksual pada pasangan juga menumbuhkan perasaan yang erat di antara pasangan. Penelitian paling baru mengatakan bahwa kepuasan seksual dapat menumbuhkan perasaan yang positif terhadap pasangan, seperti empati, penghargaan positif, dan kohesi Song, Bergen, Schumm, 2008. Lee dalam Song, Bergen, Schumm, 2008 menyimpulkan bahwa hubungan seksual secara khusus menjadi penting terhadap hubungan pernikahan. Sebagai tambahan, menurut Rosen dan Bachmann dalam Zygmunt Nomejko, 2011, kepuasan seksual sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup dan kebahagiaan. Pada kenyataannya, kepuasan seksual tidak selalu dapat dicapai sebagaimana yang diharapkan oleh istri maupun suami. Berdasarkan data yang diperoleh dari rubrik konsultasi seputar seksologi di majalah Kartini 2009, para istri sering mempertanyakan soal kesulitan mencapai orgasme.Salah satu saran yang disampaikan oleh dr. Naek L. Tobing sebagai konsultan pada rubrik tersebut, yaitu mengungkapkan permasalahan seksual secara jujur pada suami. Fakta ini diduga terkait dengan adanya perasaan tidak nyaman untuk berbicara tentang seksualitas pada pasangan Hickman Muehlenhard dalam Matlin, 2012. Kalichman dalam Santrock, 2002 menyatakan pula bahwa sebagian besar individu tidak berkesempatan untuk mengekspresikan pandangan seksual secara terbuka, bahkan kepada pasangan intim. Peneliti menduga bahwa permasalahan ini kemudian memicu munculnya miskomunikasi seksual yang diduga dapat menurunkan tingkat kepuasan seksual. Kebanyakan kasus miskomunikasi seksual memperlihatkan bahwa pria dan wanita memberikan interpretasi dan respon berbeda terhadap situasi seksual Beres, 2010. Beres 2010 mengatakan pula bahwa pria seringkali berpotensi tidak mampu membaca isyarat seksual pada wanita. Julia Kristeva dalam Junus, 2013 bahkan menegaskan bahwa laki-laki merasa lebih tahu tentang seksualitas perempuan dan menganggapnya sama dengan seksualitas pada kaumnya. Kekeliruan dalam menangkap makna dari pesan seksual tersebut menjadi sangat berpengaruh pada sikap individu terhadap pasangan didalam hubungan seksual. Lebih jauh lagi, ketidakcocokan dalam pemahaman seksual tersebut dapat memicu konflik antara suami-istri yang dapat berujung perceraian Bisri, 1978. Komunikasi seksual menjadi topik yang penting dipelajari karena berkaitan dengan usaha yang dilakukan pasangan untuk mencapai kepuasan seksual. Setiati 2006 mengatakan bahwa kunci keintiman dalam melakukan aktivitas seks adalah sikap keterbukaan pasangan dalam menerima obrolan seputar seks. Disebutkan pula bahwa komunikasi seksual merupakan aspek yang sangat penting bagi perkembangan hubungan dalam Sprecher McKinney, 1993. Beberapa studi yang dirangkum dalam Oattes dan Offman 2007 telah menemukan bahwa komunikasi seksual memiliki hubungan yang positif dengan kepuasan seksual dan kesejahteraan hubungan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Wardayati dalam Intisari-Online, 2011, komunikasi seksual suami-istri penting dilakukan agar pasangan saling memahami kebutuhan seksual mereka. Wardayati dalam Intisari-Online, 2011 menyebutkan pula bahwa komunikasi seksual yang baik dapat menciptakan kehidupan seksual yang harmonis pada pasangan. Menurut Elizabeth Babin dalam Kompas, 2012, kepuasan pasangan dipengaruhi oleh kemampuan individu dalam berkomunikasi saat berhubungan seksual. Sebagai tambahan, Haavio-Manila dan Kontula menyebutkan bahwa komunikasi seksual juga dapat dilakukan untuk menolak aktivitas seksual yang tidak diinginkan dalam Zygmunt Nomejko, 2011. Sampai saat ini penelitian di bidang komunikasi seksual yang bertujuan untuk meningkatkan kepuasan seksual pada pasangan suami-istri masih terbilang sedikit Oattes Offman, 2007. Studi mengenai komunikasi seksual sebagian besar dilakukan dalam konteks relasi antara orangtua dan anak, serta dalam relasi berpacaran pada remaja. Hal ini selaras dengan pendapat Menard dan Offman 2009 yang menyebutkan bahwa sebagian besar penelitian di bidang komunikasi seksual berfokus pada komunikasi orangtua-anak yang bertujuan untuk memberikan pendidikan seks. Adapun komunikasi seksual yang dipelajari dalam konteks remaja bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang perilaku seks yang aman guna terhindar dari penyakit menular dan kehamilan yang tidak diinginkan. Peneliti berpendapat bahwa penting untuk mempelajari komunikasi seksual pada konteks hubungan suami-istri terkait dengan tujuannya dalam mencapai kepuasan seksual. Setiap individu, baik suami maupun istri perlu memiliki kemampuan yang baik dalam komunikasi seksual bersama pasangan. Akan tetapi, tidak jarang muncul perasaan takut untuk membicarakan soal seks yang disebabkan individu tidak menguasai bidang tersebut Groves, 1978. Penelitian dewasa ini telah menemukan bahwa kemampuan individu dalam melakukan komunikasi seksual dipengaruhi oleh harga diri seksual yang dimilikinya Menard Offman, 2009. Dalam penelitian tersebut, Menard dan Offman 2009 menemukan bahwa individu dengan harga diri seksual yang tinggi kemungkinan lebih mampu untuk melakukan komunikasi seksual yang asertif. Selain itu, Ethier et al. dan Holmbeck et al. dalam Oattes Offman, 2007 juga menemukan bahwa terdapat hubungan harga diri seksual dan perilaku seksual, termasuk pula komunikasi seksual. Berdasarkan temuan ini, dapat dikatakan bahwa tidak semua individu dapat melakukan komunikasi seksual dengan baik, bergantung pada tingkat harga diri seksual yang dimiliki individu. Beberapa penelitian lain mengenai komunikasi seksual menemukan bahwa kemampuan komunikasi seksual pada wanita lebih rendah dibandingkan pria. Sebagaimana dalam penelitian Brehm et al., O’Sullivan dan Gaines dalam Matlin, 2012, kebanyakan perempuan mengatakan bahwa mereka kesulitan untuk mengkomunikasikan pesan seksual secara verbal. Padahal untuk dapat mengalami kepuasan seksual, penting bagi seorang perempuan untuk dapat berterusterang kepada suaminya mengenai apa yang dibutuhkan agar dapat terangsang dalam Maslan, 2010. Sebaliknya, laki-laki lebih percaya diri untuk mengungkapkan kebutuhan seksual mereka dibandingkan dengan perempuan Rosenthal et al. dalam Oattes Offman, 2007. Terdapat faktor-faktor yang menyebabkan perempuan tidak dapat mengungkapkan seksualitas mereka secara bebas sebagaimana pada laki-laki. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Barrientos dan Paez; Carpenter, Nathanson, dan Kim; Lieu; Pines dan Friedman dalam Ashdown, Hackathorn, Clark, 2011, harapan sosial memberi batasan terhadap seksualitas perempuan, khususnya dalam ekspresi seksual. Keadaan tersebut muncul sebagai konstruksi sosial-budaya yang telah mendefinisikan laki-laki secara alamiah sebagai makhluk seksual, sedangkan perempuan lebih diharapkan untuk menginginkan hubungan romantis dengan pasanganJames, Lichtenberg, Maas, Seidman, dalam Priyatna, 2013. Peneliti menduga bahwa terdapat faktor lain yang dapat memprediksi kemampuan perempuan dalam melakukan komunikasi seksual. Ketika bercermin pada konteks sosial-masyarakat saat ini, peneliti melihat bahwa topik mengenai seksualitas memang masih dianggap tidak pantas untuk diperbincangkan secara terbuka. Segala sesuatu yang berhubungan dengan seksualitas menjadi hal yang tabu untuk diketahui terutama bagi individu yang belum mencapai usia dewasa. Sebagaimana yang ditemukan Pratiwi 2009 di Yogyakarta, dimana anak-anak usia sekolah dasar menunjukkan ekspresi ketidaknyamanan dan ketertutupan selama berbicara mengenai seksualitas. Salah seorang responden pada penelitian Pratiwi tersebut menyebutkan kata “burung” untuk menamai alat kelamin laki-laki, dan “kupu-kupu” sebagai nama alat kelamin perempuan. Keadaan tersebut muncul akibatperasaan maluketika membicarakan seksualitas yang berkembang didalam diri individu sejak kecil. Hal ini sesuai dengan pendapat Tukker 2013 dimana banyak anak kecil yang memperoleh pemahaman akan seks sebagai sesuatu yang salah dan memalukan. Pemahaman ini bersumber pada norma sosial yang berlaku didalam masyarakat, khususnya norma agama sebagai hasil konstruksi dari kehidupan religius. Dampak kehidupan religius terhadap seksualitas telah diperlihatkan melalui penelitian-penelitian terdahulu. Seperti pada penelitian Ahrold dan Meston; McCree, Wingood, DiClemente, Davies, dan Harrington dalam Woo Brotto, 2012, yang menemukan pengaruh dari interaksi budaya dan religiusitas terhadap seksualitas. Kemudian, menurut Davidson, Darling danNorton, pandangan sebagian orang terhadap seks sangat didominasi oleh ideologi agama dalam Ashdown, Hackathorn, Clark, 2011. Religiusitas individu tidak hanya dapat memprediksi perilaku individu dalam berhubungan intim, melainkan dapat memprediksi perilaku seksual tertentu, seperti masturbasi Davidson, Darling, Norton,1995. Selain itu, penelitian Woo dan Brotto 2012 terhadap wanita Asia Timur dan Euro-Kanada telah menemukan bahwa level yang tinggi pada religiusitas menyebabkan tingginya level sex guilt yang kemudian menyebabkan hasrat seksual menjadi rendah. Berdasarkan temuan-temuan tersebut, peneliti menduga bahwa religiusitas juga berhubungan dengan perilaku individu dalam komunikasi seksual. Sisi religiusitas disinyalir memiliki dampak bagi kehidupan seksualitas perempuan, khususnya dalam komunikasi seksual yang akan diteliti. Hal ini mengacu pada pendapat Priyatna 2013 bahwa pengungkapan atau ekspresi seksualitas, khususnya hasrat seksual, seringkali digambarkan sebagai bentuk kesalahan dan dosa. Menurut Priyatna lagi, perempuan pada umumnya merasa kesulitan untuk menceritakan pengalaman seksualnya pada laki-laki lain bahkan kepada suami karena pengalaman seksual perempuan sering dimaknai sebagai hal yang kotor, salah, dan dosa. Pemaknaan seksualitas sebagai hal yang kotor, salah, dan dosa tersebut diduga berkaitan dengan aspek religius pada diri perempuan, dan menyebabkan perempuan tidak nyaman dengan seksualitasnya. Oleh karena itu, peneliti merasa bahwa penting untuk mengetahui bagaimana hubungan religiusitas dengan kemampuan komunikasi seksual, terutama pada perempuan yang secara sosial tidak mudah untuk mengekspresikan seksualitasnya.

B. Rumusan Masalah