Hubungan antara religiusitas dan komunikasi seksual pada perempuan dewasa yang telah menikah.

(1)

Chaterine Devinda Putri

ABSTRACT

This study aims to determine the relationship between religiosity and sexual communication. The subjects are 140 married women. The hypothesis said that there was significant negative correlation between religiosity and sexual communication in married women. The higher the religiosity, the lower of sexual communication, and vice versa. The sampling method used in this study was incidental sampling technique. The instruments to collect data were Religion Scale and Sexual Communication Scale in Likert’s model. The religion scale had an Alpha Cronbach coefficient of 0.924 and the sexual communication scale had an Alpha Cronbach coefficient of 0.890. The assumption tests that used were the normality and linearity tests. The results indicate that data have a normal distribution and have a linear relationship between religiosity and sexual communication in married women. The hypothesis was tested with Pearson Product Momen correlation. The results shows the significant coefficient of correlation of 0.204. It means that there is significant positive correlation between religiosity and sexual communication in married women. Therefore, the hypothesis that there is a significant negative correlation between religiosity and sexual communication is rejected.


(2)

Chaterine Devinda Putri

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara religiusitas dan komunikasi seksual. Subyek penelitian adalah 140 perempuan dewasa yang telah menikah. Hipotesis dalam penelitian ini yaitu terdapat korelasi negatif yang signifikan antara religiusitas dan komunikasi seksual pada perempuan dewasa yang telah menikah. Semakin tinggi religiusitas, maka komunikasi seksual semakin rendah, begitu sebaliknya. Metode sampling yang digunakan adalah teknik sampling insidental. Data dikumpulkan menggunakan Religion Scale dan Skala Komunikasi Seksual dengan model penskalaan Likert. Religion Scale memiliki koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,924 dan Skala Komunikasi Seksual memiliki koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,890. Uji asumsi yang digunakan adalah uji normalitas dan uji linearitas. Hasil menunjukkan bahwa data memiliki distribusi normal dan memiliki hubungan yang linear antara religiusitas dan komunikasi seksual pada perempuan dewasa yang telah menikah. Uji hipotesis yang digunakan adalah Pearson Product Momen. Hasil penelitian menunjukkan nilai korelasi yang cukup signifikan sebesar 0,204. Dengan demikian, terdapat korelasi positif yang cukup signifikan antara religiusitas dan komunikasi seksual. Maka, hipotesis yang berbunyi ada korelasi negatif yang signifikan antara religiusitas dan komunikasi seksual pada perempuan dewasa yang telah menikah, ditolak.


(3)

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DAN KOMUNIKASI SEKSUAL PADA PEREMPUAN DEWASA YANG TELAH MENIKAH

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Chaterine Devinda Putri

NIM : 109114136

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

MOTTO

Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carila

h, maka kamu akan mendapat;

ketu

klah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Matius 7:7

Santa Maria, Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini, sekarang dan waktu

kami mati, Amin.

Kesatria Cahaya sering merasa takut, tetapi hal itu biasa terjadi dalam diri

seorang kesatria.(Paulo Coelho)

Keajaiban hanya bisa difahami oleh mereka yang memiliki sistem makna.

(Ayu Utami)

Keluarlah maka kau akan mendapat banyak inspirasi. (Unknown)

Freedom

I let go of fear and the peace came quickly

Freedom

I was in the dark and then it hit me

I choose suffering and pain in the falling rain

I know, I gotta get out into the world again

I got this new beginning and I will fly like a cannonball!

I ll fly I ll fly like a cannonball!


(7)

v

SKRIPSI INI KU

PERSEMBAHKAN KEPADA:

BUNDA MARIA PENOLONG ABADI

ORANGTUAKU TERCINTA:

DALIUS & CRESENSIA DENNY

dan

KEDUA ADIKKU:


(8)

(9)

vii

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DAN KOMUNIKASI SEKSUAL PADA PEREMPUAN DEWASA YANG TELAH MENIKAH

Chaterine Devinda Putri ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara religiusitas dan komunikasi seksual. Subyek penelitian adalah 140 perempuan dewasa yang telah menikah. Hipotesis dalam penelitian ini yaitu terdapat korelasi negatif yang signifikan antara religiusitas dan komunikasi seksual pada perempuan dewasa yang telah menikah. Semakin tinggi religiusitas, maka komunikasi seksual semakin rendah, begitu sebaliknya. Metode sampling yang digunakan adalah teknik sampling insidental. Data dikumpulkan menggunakan Religion Scale dan Skala Komunikasi Seksual dengan model penskalaan Likert. Religion Scale

memiliki koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,924 dan Skala Komunikasi Seksual memiliki koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,890. Uji asumsi yang digunakan adalah uji normalitas dan uji linearitas.Hasil menunjukkan bahwa data memiliki distribusi normal dan memiliki hubungan yang linear antara religiusitas dan komunikasi seksual pada perempuan dewasa yang telah menikah. Uji hipotesis yang digunakan adalah Pearson Product Momen. Hasil penelitian menunjukkan nilai korelasi yang cukup signifikan sebesar 0,204. Dengan demikian, terdapat korelasi positif yang cukup signifikan antara religiusitas dan komunikasi seksual. Maka, hipotesis yang berbunyi ada korelasi negatif yang signifikan antara religiusitas dan komunikasi seksual pada perempuan dewasa yang telah menikah, ditolak.


(10)

viii

RELATIONSHIP OF RELIGIOSITY AND SEXUAL COMMUNICATION ON MARRIED WOMEN

Chaterine Devinda Putri ABSTRACT

This study aims to determine the relationship between religiosity and sexual communication. The subjects are 140 married women. The hypothesis said that there was significant negative correlation between religiosity and sexual communication in married women. The higher the religiosity, the lower of sexual communication, and vice versa. The sampling method used in this study was incidental sampling technique. The instruments to collect data were Religion

Scale and Sexual Communication Scale in Likert’s model. The religion scale had an Alpha Cronbach coefficient of 0.924 and the sexual communication scale had an Alpha Cronbach coefficient of 0.890. The assumption tests that used were the normality and linearity tests. The results indicate that data have a normal distribution and have a linear relationship between religiosity and sexual communication in married women. The hypothesis was tested with Pearson Product Momen correlation. The results shows the significant coefficient of correlation of 0.204. It means that there is significant positive correlation between religiosity and sexual communication in married women. Therefore, the hypothesis that there is a significant negative correlation between religiosity and sexual communication is rejected.


(11)

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala

kasih dan penyertaanNya dalam penulisan skripsi ini. Proses penyelesaian yang

tidak mudah dan memakan waktu yang panjang ini sungguh mengajarkan kepada

penulis bahwa tidak ada yang sia-sia untuk dilakukan. Sekali lagi, syukur kepada

Tuhan atas segala berkat kehidupan yang boleh penulis rasakan selama penulis

menempuh pendidikan di bangku kuliah.

Dengan penuh kerendahan hati penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak

luput dari kekurangan. Penulis sangat terbantu dengan segala kebaikan dan

kepedulian dari berbagai pihak dalam proses penyeselaian skripsi ini. Oleh karena

itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma, sekaligus sebagai dosen pembimbing akademik. (terimakasih

Pak atas segala nasihat dan motivasi yang bapak berikan kepada saya, semoga Tuhan memberkati Bapak dan keluarga)

2. Ratri Sunar Astuti, M.Si selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma.

3. C. Siswa Widyatmoko, M.Psi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

memberikan perhatian besar dalam membimbing dan menuntun penulis

selama pengerjaan skripsi ini. (tiada kata terindah selain ucapan terima kasih


(13)

xi

skripsi dan atas segala ilmu yang telah Bapak bagikan kepada saya, kiranya Tuhan senantiasa memberkati keluarga Bapak)

4. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

(terimakasih Pak, Bu, atas ilmu dan pengalaman yang telah diberikan kepada saya, Yes! I have find my another way in Psychology^^)

5. Semua karyawan di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, terutama

kepada Mas Gandung dan Ibu Nanik, Mas Mudji (yang selalu menanyakan

soal “mantan” hehe), Mas Donny, dan Pak Gik.

6. Teman-teman bimbingan skripsi: Mbak Martha, Mbak Lana, Mas Baskara,

Novia Owe, Dita, Fiona Damanik, dan Didi. (makasih banyak ya atas support

teman-teman dalam setiap bimbingan dan kegalauan setelah bimbingan, sukses selalu!)

7. Secara khusus untuk Yoga yang telah membantu saya dalam penerjemahan

skala dan untuk Engger yang bersedia jadi guru privat saya.

8. Teman-teman Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma angkatan 2010

yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu, selamat berjuang di perjalanan

yang baru.

9. Seluruh ibu-ibu responden yang bersedia mengisi kuesioner penelitian saya,

terima kasih sekali lagi atas bantuan dan partisipasinya. Tanpa terkecuali

kepada para pihak yang bersedia membantu saya dalam menyebarkan

kuesioner saya.

10.Kedua orangtua saya, Dalius & Cresensia Denny. (makasih atas segala doa,


(14)

xii

Inda selama ini. Semoga ini menjadi kado terindah untuk segala pengorbanan kalian)

11.Kedua adik kandung saya, Christian Ronald Putra dan Brigitta Tri Adinda.

(kalian berdua menjadi semangat yang selalu membakarku untuk terus berjuang)

12.Sahabat saya Gadis Sumatera: Maia Simanungkalit dan Indah Noo, ingatlah

bahwa persahabatan yang tulus takkan lekang oleh waktu; Vero,Esri, Cicil, Sr.

Petra, Sr. Marcel, Opa, Tyas, Winda, yang setia mendengar keluh kesah dan

kecemasan saya selama ini.

13.Para sahabat kecil saya yang selalu ada meski jauh: Ririn, Atik, Selvi, dan

Ayu. (melawan keterbatasan walaupun sedikit kemungkinan-takkan menyerah

untuk hadapi hingga sedih tak mau datang lagi/Ipank-SahabatKecil)

14.Seluruh keluarga baru saya di Forum Mahasiswa Kabupaten Landak

Yogyakarta (FORMAKAL). FORMAKAL UYE!

15.Teman-teman saya di MAGIS 2013, terutama kepada Mbak Tiwi, Kak Kons,

Baros, Kak Ance, Mas Giri, Mas Pras, dan Roben. Ad Maiorem Dei Gloriam~

16.Teman-teman Mitra Perpustakaan, Mbak Lala, Mbak Nissa, Mbak

Herlina(makasih Mbak udah bantu mengoreksi skripsiku), Remma, Erni,

Yovi, Agnes, Iwan, Mita, Wita, Tuti, Natasha, Septy, dan Singgih. (makasih

ya udah dengerin curhatku soal skripsi, dan atas segala bantuan yang takkan kulupakan)


(15)

xiii

17.Cewek-cewek Kost Gifa (kost terakhir selama kuliah): Eliza, Mbak Christyn,

Vitha, Vera, Eta, Dewi, Maria, dan Inung. (makasih ya udah bantuin ini itu

selama tinggal bareng)

18.Semua orang yang telah dikirim Tuhan untuk menolong saya dan terlebih

mendorong saya untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. (Kalian roar

biasa!)

19.Dan terakhir buat kekasih saya, Albertus Dwi Kurniawan. Terima kasih

karena kamu tak pernah lelah menyemangati saya dalam menyelesaikan

skripsi ini, bahkan ketika saya sudah tidak yakin dengan apa yang saya

lakukan. Saya akan selalu ingat ucapanmu bahwa “hanya keyakinan yang kita

butuhkan untuk hidup”.

Akhir kata, penulis berharap bahwa skripsi yang jauh dari sempurna ini

dapat bermanfaat bagi kita semua. Kiranya, anugerah yang Tuhan berikan pada

kita menjadi berkat bagi hidup orang-orang di sekitar kita.

Yogyakarta,


(16)

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xvii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah... 8

C. Tujuan ... 8

D. Manfaat ... 8

BAB II LANDASAN TEORI A. Religiusitas ... 10


(17)

xv

2. Jenis Religiusitas ... 12

3. Alat UkurReligiusitas ... 13

4. Tahap Perkembangan Religiusitas………...15

5. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Religiusitas…………18

B. Komunikasi Seksual ... ….20

1. Definisi Komunikasi………....20

2. Komunikasi Seksual……….21

a. Definisi Komunikasi Seksual………...21

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Seksual....23

C. Perempuan Dewasa Menikah ... 24

1. Definisi………24

2. Pola Komunikasi……….26

3. Seksualitas Perempuan Dewasa Menikah………...27

D. Dinamika Hubungan ... 30

E. Hipotesis ... 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 35

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 35

C. Definisi Operasional ... 35

1. Religiusitas………..35

2. Komunikasi Seksual………....36


(18)

xvi

E. Metode Pengumpulan Data ... 37

1. Religion Scale... 37

2. Survey terhadap Komunikasi Seksual ... 40

3. Skala Komunikasi Seksual ... 41

F. Uji Coba Alat Ukur... 42

1. Validitas………..43

2. Seleksi Item……….43

3. Reliabilitas……….. 45

G. Metode Analisis Data ……….45

1. Uji Asumsi ………..45

a. Uji Normalitas ……….45

b. Uji Linearitas ………...46

2. Uji Hipotesis ... 46

a. Uji Korelasi………..46

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subyek Penelitian ... 48

B. Pelaksanaan Penelitian ... 52

C. Deskripsi Data Penelitian ... 52

D. Hasil Penelitian ... 56

1. Uji Asumsi ………..56

a. Uji Normalitas ………...56


(19)

xvii

2. Uji Hipotesis………57

E. Analisis Tambahan ... 59

F. Pembahasan………60

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 63

B. Keterbatasan Penelitian ... 63

C. Saran ………...64

DAFTAR PUSTAKA ... 65


(20)

xviii

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Kerangka Berpikir Antara Religiusitas dan Komunikasi

Seksual……….………...34

Bagan 2.Scatter Plot Hubungan Religiusitas dan Komunikasi


(21)

xix

DAFTAR TABEL

Tabel 1.Sistem Penilaian Religion Scale ... 39

Tabel 2.Blue-Print Skala Komunikasi Seksual ... 42

Tabel 3.Sistem Penilaian Skala Komunikasi Seksual ... 42

Table 4.Blue-Print Penulisan Item Setelah Uji Coba ... 44

Tabel 5.Deskripsi Subyek Berdasarkan Usia ... 48

Tabel 6.Deskripsi Subyek Berdasarkan Suku ... 49

Tabel 7.Deskripsi Subyek Berdasarkan Agama ... 49

Tabel 8. Deskripsi Subyek Berdasarkan Jenjang Pendidikan ..…………50

Tabel 9. Deskripsi Subyek Berdasarkan Pekerjaan …..………50

Tabel 10. Deskripsi Subyek Berdasarkan Usia Pernikahan………...51

Tabel 11. Deskripsi Subyek Berdasarkan Jumlah Anak………51

Tabel 12. Skor Subyek Pada Variabel Religiusitas………54

Tabel 13. Skor Subyek Pada Variabel Komunikasi Seksual………..55

Tabel 14. Uji Normalitas………56

Tabel 15. Uji Linearitas………..57

Tabel 16. Uji Hipotesis………...57


(22)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Form Survey Komunikasi Seksual ... 71

Lampiran 2. Hasil Analisis Survey Komunikasi Seksual... 73

Lampiran 3. Skala Uji Coba ... 77

Lampiran 4. Back-Translation Religion Scale ... 86

Lampiran 5. Reliabilitas dan Korelasi Item Total Religion Scale Uji Coba ...89

Lampiran 6. Reliabilitas dan Korelasi Total Skala Komunikasi Seksual

Uji Coba………90 Lampiran 7. Skala Komunikasi Seksual Final ... 92

Lampiran 8. Skala Penelitian Final ... 93


(23)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hubungan seksual yang memuaskan bagi pasangan suami-istri turut

mempengaruhi kepuasan terhadap kehidupan pernikahan yang dijalani. Hal

ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Byers; Byers, Demmons, dan

Lawrance; Cupach dan Comstock; Morokoff dan Gillilland; Trudel; Young,

Denny, Luquis, dan Young yang menemukan bahwa terdapat hubungan yang

positif antara kepuasan seksual dengan kepuasan hubungan (dalam Menard &

Offman, 2009). Henderson-King dan Veroff (dalam Timm & Keiley, 2011)

mengatakan pula bahwa kepuasan seksual memiliki kaitan yang erat dengan

kepuasan pernikahan.Selain meningkatkan kepuasan hubungan pernikahan,

kepuasan seksual pada pasangan juga menumbuhkan perasaan yang erat di

antara pasangan. Penelitian paling baru mengatakan bahwa kepuasan seksual

dapat menumbuhkan perasaan yang positif terhadap pasangan, seperti empati,

penghargaan positif, dan kohesi (Song, Bergen, & Schumm, 2008). Lee

(dalam Song, Bergen, & Schumm, 2008) menyimpulkan bahwa hubungan

seksual secara khusus menjadi penting terhadap hubungan pernikahan.

Sebagai tambahan, menurut Rosen dan Bachmann (dalam Zygmunt &

Nomejko, 2011), kepuasan seksual sangat berpengaruh terhadap kualitas

hidup dan kebahagiaan.

Pada kenyataannya, kepuasan seksual tidak selalu dapat dicapai


(24)

diperoleh dari rubrik konsultasi seputar seksologi di majalah Kartini (2009),

para istri sering mempertanyakan soal kesulitan mencapai orgasme.Salah satu

saran yang disampaikan oleh dr. Naek L. Tobing sebagai konsultan pada

rubrik tersebut, yaitu mengungkapkan permasalahan seksual secara jujur pada

suami. Fakta ini diduga terkait dengan adanya perasaan tidak nyaman untuk

berbicara tentang seksualitas pada pasangan (Hickman & Muehlenhard dalam

Matlin, 2012). Kalichman (dalam Santrock, 2002) menyatakan pula bahwa

sebagian besar individu tidak berkesempatan untuk mengekspresikan

pandangan seksual secara terbuka, bahkan kepada pasangan intim. Peneliti

menduga bahwa permasalahan ini kemudian memicu munculnya

miskomunikasi seksual yang diduga dapat menurunkan tingkat kepuasan

seksual.

Kebanyakan kasus miskomunikasi seksual memperlihatkan bahwa pria

dan wanita memberikan interpretasi dan respon berbeda terhadap situasi

seksual (Beres, 2010). Beres (2010) mengatakan pula bahwa pria seringkali

berpotensi tidak mampu membaca isyarat seksual pada wanita. Julia Kristeva

(dalam Junus, 2013) bahkan menegaskan bahwa laki-laki merasa lebih tahu

tentang seksualitas perempuan dan menganggapnya sama dengan seksualitas

pada kaumnya. Kekeliruan dalam menangkap makna dari pesan seksual

tersebut menjadi sangat berpengaruh pada sikap individu terhadap pasangan

didalam hubungan seksual. Lebih jauh lagi, ketidakcocokan dalam

pemahaman seksual tersebut dapat memicu konflik antara suami-istri yang


(25)

Komunikasi seksual menjadi topik yang penting dipelajari karena

berkaitan dengan usaha yang dilakukan pasangan untuk mencapai kepuasan

seksual. Setiati (2006) mengatakan bahwa kunci keintiman dalam melakukan

aktivitas seks adalah sikap keterbukaan pasangan dalam menerima obrolan

seputar seks. Disebutkan pula bahwa komunikasi seksual merupakan aspek

yang sangat penting bagi perkembangan hubungan (dalam Sprecher &

McKinney, 1993). Beberapa studi yang dirangkum dalam Oattes dan Offman

(2007) telah menemukan bahwa komunikasi seksual memiliki hubungan yang

positif dengan kepuasan seksual dan kesejahteraan hubungan. Sebagaimana

yang dikemukakan oleh Wardayati (dalam Intisari-Online, 2011), komunikasi

seksual suami-istri penting dilakukan agar pasangan saling memahami

kebutuhan seksual mereka. Wardayati (dalam Intisari-Online, 2011)

menyebutkan pula bahwa komunikasi seksual yang baik dapat menciptakan

kehidupan seksual yang harmonis pada pasangan. Menurut Elizabeth Babin

(dalam Kompas, 2012), kepuasan pasangan dipengaruhi oleh kemampuan

individu dalam berkomunikasi saat berhubungan seksual. Sebagai tambahan,

Haavio-Manila dan Kontula menyebutkan bahwa komunikasi seksual juga

dapat dilakukan untuk menolak aktivitas seksual yang tidak diinginkan (dalam

Zygmunt & Nomejko, 2011).

Sampai saat ini penelitian di bidang komunikasi seksual yang bertujuan

untuk meningkatkan kepuasan seksual pada pasangan suami-istri masih

terbilang sedikit (Oattes & Offman, 2007). Studi mengenai komunikasi


(26)

anak, serta dalam relasi berpacaran pada remaja. Hal ini selaras dengan

pendapat Menard dan Offman (2009) yang menyebutkan bahwa sebagian

besar penelitian di bidang komunikasi seksual berfokus pada komunikasi

orangtua-anak yang bertujuan untuk memberikan pendidikan seks. Adapun

komunikasi seksual yang dipelajari dalam konteks remaja bertujuan untuk

memberikan pemahaman tentang perilaku seks yang aman guna terhindar dari

penyakit menular dan kehamilan yang tidak diinginkan. Peneliti berpendapat

bahwa penting untuk mempelajari komunikasi seksual pada konteks hubungan

suami-istri terkait dengan tujuannya dalam mencapai kepuasan seksual.

Setiap individu, baik suami maupun istri perlu memiliki kemampuan

yang baik dalam komunikasi seksual bersama pasangan. Akan tetapi, tidak

jarang muncul perasaan takut untuk membicarakan soal seks yang disebabkan

individu tidak menguasai bidang tersebut (Groves, 1978). Penelitian dewasa

ini telah menemukan bahwa kemampuan individu dalam melakukan

komunikasi seksual dipengaruhi oleh harga diri seksual yang dimilikinya

(Menard & Offman, 2009). Dalam penelitian tersebut, Menard dan Offman

(2009) menemukan bahwa individu dengan harga diri seksual yang tinggi

kemungkinan lebih mampu untuk melakukan komunikasi seksual yang asertif.

Selain itu, Ethier et al. dan Holmbeck et al. (dalam Oattes & Offman, 2007)

juga menemukan bahwa terdapat hubungan harga diri seksual dan perilaku

seksual, termasuk pula komunikasi seksual. Berdasarkan temuan ini, dapat


(27)

dengan baik, bergantung pada tingkat harga diri seksual yang dimiliki

individu.

Beberapa penelitian lain mengenai komunikasi seksual menemukan

bahwa kemampuan komunikasi seksual pada wanita lebih rendah

dibandingkan pria. Sebagaimana dalam penelitian Brehm et al., O’Sullivan dan Gaines (dalam Matlin, 2012), kebanyakan perempuan mengatakan bahwa

mereka kesulitan untuk mengkomunikasikan pesan seksual secara verbal.

Padahal untuk dapat mengalami kepuasan seksual, penting bagi seorang

perempuan untuk dapat berterusterang kepada suaminya mengenai apa yang

dibutuhkan agar dapat terangsang (dalam Maslan, 2010). Sebaliknya, laki-laki

lebih percaya diri untuk mengungkapkan kebutuhan seksual mereka

dibandingkan dengan perempuan (Rosenthal et al. dalam Oattes & Offman,

2007).

Terdapat faktor-faktor yang menyebabkan perempuan tidak dapat

mengungkapkan seksualitas mereka secara bebas sebagaimana pada laki-laki.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Barrientos dan Paez; Carpenter,

Nathanson, dan Kim; Lieu; Pines dan Friedman (dalam Ashdown,

Hackathorn, & Clark, 2011), harapan sosial memberi batasan terhadap

seksualitas perempuan, khususnya dalam ekspresi seksual. Keadaan tersebut

muncul sebagai konstruksi sosial-budaya yang telah mendefinisikan laki-laki

secara alamiah sebagai makhluk seksual, sedangkan perempuan lebih

diharapkan untuk menginginkan hubungan romantis dengan pasangan(James,


(28)

Peneliti menduga bahwa terdapat faktor lain yang dapat memprediksi

kemampuan perempuan dalam melakukan komunikasi seksual. Ketika

bercermin pada konteks sosial-masyarakat saat ini, peneliti melihat bahwa

topik mengenai seksualitas memang masih dianggap tidak pantas untuk

diperbincangkan secara terbuka. Segala sesuatu yang berhubungan dengan

seksualitas menjadi hal yang tabu untuk diketahui terutama bagi individu yang

belum mencapai usia dewasa. Sebagaimana yang ditemukan Pratiwi (2009) di

Yogyakarta, dimana anak-anak usia sekolah dasar menunjukkan ekspresi

ketidaknyamanan dan ketertutupan selama berbicara mengenai seksualitas.

Salah seorang responden pada penelitian Pratiwi tersebut menyebutkan kata

“burung” untuk menamai alat kelamin laki-laki, dan “kupu-kupu” sebagai nama alat kelamin perempuan. Keadaan tersebut muncul akibatperasaan

maluketika membicarakan seksualitas yang berkembang didalam diri individu

sejak kecil. Hal ini sesuai dengan pendapat Tukker (2013) dimana banyak

anak kecil yang memperoleh pemahaman akan seks sebagai sesuatu yang

salah dan memalukan. Pemahaman ini bersumber pada norma sosial yang

berlaku didalam masyarakat, khususnya norma agama sebagai hasil konstruksi

dari kehidupan religius.

Dampak kehidupan religius terhadap seksualitas telah diperlihatkan

melalui penelitian-penelitian terdahulu. Seperti pada penelitian Ahrold dan

Meston; McCree, Wingood, DiClemente, Davies, dan Harrington (dalam Woo

& Brotto, 2012), yang menemukan pengaruh dari interaksi budaya dan


(29)

danNorton, pandangan sebagian orang terhadap seks sangat didominasi oleh

ideologi agama (dalam Ashdown, Hackathorn, & Clark, 2011). Religiusitas

individu tidak hanya dapat memprediksi perilaku individu dalam berhubungan

intim, melainkan dapat memprediksi perilaku seksual tertentu, seperti

masturbasi (Davidson, Darling, & Norton,1995). Selain itu, penelitian Woo

dan Brotto (2012) terhadap wanita Asia Timur dan Euro-Kanada telah

menemukan bahwa level yang tinggi pada religiusitas menyebabkan tingginya

level sex guilt yang kemudian menyebabkan hasrat seksual menjadi rendah.

Berdasarkan temuan-temuan tersebut, peneliti menduga bahwa religiusitas

juga berhubungan dengan perilaku individu dalam komunikasi seksual.

Sisi religiusitas disinyalir memiliki dampak bagi kehidupan seksualitas

perempuan, khususnya dalam komunikasi seksual yang akan diteliti. Hal ini

mengacu pada pendapat Priyatna (2013) bahwa pengungkapan atau ekspresi

seksualitas, khususnya hasrat seksual, seringkali digambarkan sebagai bentuk

kesalahan dan dosa. Menurut Priyatna lagi, perempuan pada umumnya merasa

kesulitan untuk menceritakan pengalaman seksualnya pada laki-laki lain

bahkan kepada suami karena pengalaman seksual perempuan sering dimaknai

sebagai hal yang kotor, salah, dan dosa. Pemaknaan seksualitas sebagai hal

yang kotor, salah, dan dosa tersebut diduga berkaitan dengan aspek religius

pada diri perempuan, dan menyebabkan perempuan tidak nyaman dengan

seksualitasnya. Oleh karena itu, peneliti merasa bahwa penting untuk


(30)

seksual, terutama pada perempuan yang secara sosial tidak mudah untuk

mengekspresikan seksualitasnya.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah religiusitas pada perempuan dewasa yang telah menikah memiliki

hubungan dengan kemampuan dalam melakukan komunikasi seksual?

C. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah sisi religiusitas

perempuan dewasa yang telah menikah memiliki hubungan dengan

kemampuan dalam melakukan komunikasi seksual.

D. Manfaat

1. Teoritis

Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan di bidang ilmu

psikologi, terutama Psikologi Sosial, Psikologi Klinis, dan Psikologi

Perkembangan mengenai religiusitas dan komunikasi seksual. Selain itu,

hasil penelitian ini juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan referensi bagi

penelitian selanjutnya dalam bidang komunikasi seksual.

2. Praktis

- Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan bagi Praktisi di bidang Psikologi, Konseling Perkawinan, atau Lembaga Perkawinan dalam


(31)

memberikan pemahaman bagi pasangan suami istri dalam masalah

seksualitas.

- Hasil penelitian ini juga dapat memberikan pengetahuan mengenai komunikasi seksual bagi pasangan suami istri agar kehidupan seksual

pasangan semakin harmoni. Bagi istri, pengetahuan ini dapat

digunakan untuk dapat diterapkan dalam hubungan seksualnya

bersama pasangan. Sedangkan bagi suami, penelitian ini diharapkan

dapat memberi pemahaman mengenai kemampuan komunikasi seksual

pada istri, sehingga keduanya dapat menyelesaikan permasalahan


(32)

10

BAB II

LANDASAN TEORI

A. RELIGIUSITAS

1. Definisi Religiusitas

Pemahaman mengenai konsep religiusitas didahului dengan

pengetahuan yang terkait dengan konsep kepercayaan atau agama. Agama

didefinisikan sebagai relasi manusia dengan Tuhan sebagaimana didalam

penghayatan manusia (Dister, 1988). Menurut Dister (1988), agama

dipandang pula sebagai suatu sikap yang dihayati manusia secara lahir dan

batin. Kemudian, Glock dan Stark mendefinisikan agama sebagai simbol,

sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang menuju pada

suatu makna tertinggi dan disusun dalam suatu lembaga (dalam Ancok,

1994).

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, kepercayaan atau agama

merupakan suatu lembaga sosial berbentuk simbol, sistem keyakinan,

sistem nilai, dan sistem perilaku yang berusaha untuk mengatur sikap dan

cara hidup yang dihayati secara lahir batin sebagai relasi antara manusia

dengan Tuhan.

Terdapat empat motif psikologis yang menyebabkan individu

memilih untuk memeluk suatu agama (Dister, 1988). Pertama, agama

dianggap sebagai sarana untuk mengatasi frustasi. Kedua, agama

merupakan sarana untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat.


(33)

Keempat, agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan. Keempat

motif beragama tersebut menjadi dasar perilaku religius individu.

Hardjana (1993) menyebutkan bahwa terdapat enam faktor utama

yang mendorong individu untuk beragama. Pertama, manusia ingin

mendapatkan keamanan dari malapetaka yang tak dapat dikuasai. Kedua,

untuk mencari perlindungan dalam menghadapi ketidakpastian hidup.

Ketiga, agama dijadikan acuan dalam mencari kejelasan atas makna hidup

dan alam raya. Keempat, agama digunakan dalam memperoleh

pembenaran akan segala praktik kehidupan yang baik. Kelima, melalui

agama individu dapat meneguhkan tata nilai kehidupan. Terakhir,

memeluk agama merupakan alasan individu untuk memuaskan hasrat jiwa

yang paling dalam: menemukan Tuhan didalam hidup.

Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti melihat bahwa secara

psikologis terdapat faktor-faktor terkait kebutuhan intelektual, fisik, dan

sosial-emosi yang mendorong individu untuk memeluk agama dengan

tujuan mencapai kesejahteraan pribadi.

Religiusitas memiliki pengertian yang berbeda dengan agama.

Menurut Ratnawati, dkk (2002), religiusitas merupakan sikap atau

tindakan yang dilakukan secara terus menerus dalam upaya mencari

jawaban atas sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan aspek

eksistensialnya. Kemudian, lebih khusus Najib menyatakan bahwa

religiusitas menunjuk pada suatu pengalaman yang memunculkan rasa


(34)

abstrak (dalam Ratnawati, 2002). De Visser, Smith, Richters, dan Rissel

(2007) mendefinisikan religiusitas sebagai suatu kekuatan dari keyakinan

religius yang dicerminkan kedalam sikap (memandang agama sebagai

sesuatu yang penting) dan perilaku (frekuensi kehadiran di gereja). Selain

itu, menurut Rodolpho, Penteado, Borges, dan Alvarez (2013), religiusitas

adalah konsep menyeluruh mengenai kapasitas untuk menghidupi

pengalaman keagamaan yang meliputi kedekatan dengan Tuhan.

Dapat disimpulkan bahwa religiusitas merupakan sikap yang berasal

dari keyakinan individu terhadap pengalaman keagamaan yang

menimbulkan rasa kedekatan dengan Tuhan sebagai pribadi yang abstrak

dan mendorong individu untuk mencari makna eksistensinya.

2. Jenis Religiusitas

Konsep religiusitas menurut Gordon Allport (dalam King &

Crowther, 2004) dibagi menjadi religiusitas intrinsik dan religiusitas

ekstrinsik. Religiusitas intrinsik merupakan suatu orientasi religius yang

bertujuan untuk mencapai pemahaman akan religiusitas itu sendiri.

Menurut Allport (dalam Crapps, 1993), religiusitas intrinsik mengarahkan

individu untuk memandang agama sebagai iman yang bernilai pada diri

sendiri, menuntut keterlibatan, dan mengatasi kepentingan diri.

Sedangkan, religiusitas ekstrinsik lebih bertujuan sebagai sarana menuju

kesejahteraan sosial, seperti rasa nyaman dan penerimaan. Individu dengan

religiusitas yang berorientasi ekstrinsik memandang agama sebagai


(35)

status, bertahan melawan kenyataan, atau memberi sanksi pada suatu cara

hidup (Allport dalam Crapps, 1993). Allport (dalam Elias, 1975)

membedakan individu yang berorientasi intrinsik sebagai individu yang

menghidupi agama, dan individu dengan orientasi ekstrinsik sebagai

individu yang memanfaatkan agama.

Berdasarkan pada konsep religiusitas intrinsik dan ekstrinsik, maka

pengukuran terhadap tingkat religiusitas dilakukan dengan menggunakan

Religion Scale (Bardis, 1961). Religion scale ini dimaksudkan untuk

mengukur sikap terhadap keyakinan dan praktik-praktik religius

(Kauffman dalam King & Crowther, 2004).

3. Alat Ukur Religiusitas

Pengukuran terhadap tingkat religiusitas pada penelitian ini

menggunakan Religion Scale (Bardis, 1961). Semakin tinggi skor subjek

pada skala ini, menunjukkan bahwa subjek memiliki tingkat religiusitas

yang semakin tinggi pula. Tiga aspek besar didalam keyakinan yang akan

diukur adalah (1) konsep mengenai kodrat dan karakter ketuhanan; (2)

doktrin yang berkenaan dengan kewajiban timbal balik dan keharusan

antara ketuhanan dan kemanusiaan; dan (3) tatanan perilaku yang

dirancang agar sesuai dengan kehendak Tuhan dan untuk meyakinkan

orang-orang percaya akan suara hatinya bahwa apapun ganjaran yang akan

diterima dan kebebasan dari hukuman di dunia bergantung pada imannya.

Ketiga aspek besar tersebut menjadi tolak ukur terhadap tinggi atau


(36)

Sikap religiusitas yang berorientasi intrinsik dan ekstrinsik secara

tersirat dapat ditemukan pada setiap item religion scale. Terdapat 6 butir

item yang dapat digolongkan kedalam religiusitas intrinsik (1, 5, 7, 11, 13,

& 23), dan ke-18 butir item sisanya dapat digolongkan kedalam

religiusitas ekstrinsik (2, 3, 4, 6, 8, 9, 10, 12, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21,

22, & 24). Item-item yang cenderung berorientasi intrinsik memiliki

makna yang menunjukkan bahwa individu dengan orientasi tersebut

memandang agama sebagai iman yang bernilai pada diri sendiri, menuntut

keterlibatan, dan mengatasi kepentingan diri. Sedangkan, item-item

dengan kecenderungan ekstrinsik dimaknai melalui pandangan terhadap

agama sebagai tameng yang berguna untuk mendukung kepercayaan diri,

memperbaiki status, bertahan melawan kenyataan, atau memberi sanksi

pada suatu cara hidup.

Melalui item-item yang berorientasi intrinsik, religiusitas dinyatakan

sebagai penghayatan agama yang dihidupi oleh individu. Sebagai contoh,

pada item nomor 5 (lampiran 8) yang berbunyi: “keyakinan pada Tuhan

membuat hidup lebih bermakna.” Melalui item tersebut, religiusitas

ditunjukkan sebagai pemaknaanakan kehadiran Tuhan didalam hidup

manusia.Sedangkan, pada item-item yang berorientasi ekstrinsik,

religiusitas lebih dipandang sebagai sikap yang menjadi kewajiban bagi

para penganut agama. Misalnya, pada item nomor 4 (lampiran 8) yang


(37)

sekali jika memungkinkan.” Pada item tersebut sikap religiusitas ditunjukkan melalui kewajiban hadir ke tempat ibadah.

4. Tahap Perkembangan Religiusitas

James W. Fowler (dalam Cremers,1995) telah mengembangkan teori

mengenai religiusitas (keberagamaan). Terdapat tujuh tahap

perkembangan kepercayaan menurut Fowler, yakni:

a. Kepercayaan Awal dan Elementer (usia 0 – 2 tahun)

Rasa percaya dan setia yang elementer pada semua orang dan

lingkungan yang mengasuh sang bayi, serta pada gambaran kenyataan

yang paling akhir dan mendasar.

b. Kepercayaan Intuitif – Proyektif (usia 2 – 6 tahun)

Tahapan ini terjadi pada masa kanak-kanak. Sifat anak-anak yang

masih egosentris menyebabkan mereka sulit membedakan pandangan

mereka dengan pandangan dari orangtua terhadap Tuhan, malaikat,

dan surga / neraka. Anak-anak memiliki pikiran bahwa menyembah

Tuhan merupakan suatu kewajiban yang memiliki ganjaran bila tidak

dilakukan.

c. Kepercayaan Mistis – Harfiah (usia 6 – 11 tahun)

Dalam tahapan ini, anak-anak mulai dapat berpikir secara logis

meskipun belum mampu berpikir secara abstrak. Cara pandang mereka

terhadap keagamaan masih dipengaruhi oleh pandangan dari orangtua

dan lingkungan masyarakat. Segala pemahaman yang diperoleh dari


(38)

mereka memandang bahwa Tuhan memiliki kekuasaan dan kekuatan

dalam hidup mereka.

d. Kepercayaan Sintetis – Konvensional (usia 12 tahun – dewasa)

Tahapan ini terjadi pada remaja awal yang merupakan masa transisi

dari masa anak-anak. Dalam tahapan ini, remaja mulai mampu berpikir

secara abstrak sehingga lebih bersikap kritis terhadap pengetahuan

yang berasal dari luar diri mereka. Remaja juga mulai menginginkan

hubungan yang intim dengan Tuhan, sehingga mereka mulai meyakini

kegiatan-kegiatan yang bersifat keagamaan dan tokoh yang menjadi

panutan dalam hal keagamaan. Kelemahan yang mereka alami pada

tahap ini adalah ketidakmampuan untuk menganalisis alternative

ideology agama secara tepat, yang juga sering terjadi pada orang

dewasa menurut Fowler.

e. Kepercayaan Individuatif – Reflektif (dimulai pada usia 18 tahun) Tahap ini terjadi pada masa transisi dari masa remaja menuju dewasa

awal. Individu telah memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan

dan melakukan tanggungjawab terhadap apa yang diyakininya.

Individu pada tahap ini telah memiliki kesadaran bahwa keyakinan

yang mereka yakini memiliki arti bagi kehidupan mereka sehingga

harus diperjuangkan.

f. Kepercayaan Konjungtif (dimulai pada usai 35 tahun)

Tahap ini terjadi pada tengah baya dan selanjutnya, sekitar umur 35


(39)

hidup yang sebelumnya telah ditetapkan dengan jelas kini menjadi

kabur dan seakan-akan kosong. Mulai timbul kesadaran baru dan

pengakuan kritis terhadap berbagai macam polaritas, ketegangan,

kedwiartian, dan multidimensionalitas yang dirasakan dalam diri

individu.

g. Kepercayaan yang Mengacu pada Universalitas (usia 30 tahun dan

seterusnya)

Tahap ini sebenarnya jarang terjadi, apabila terjadi umumnya setelah

umur 30 tahun. Individu yang telah mencapai tahap ini melepaskan diri

sebagai pusat istimewa proses konstitusi kepercayaan dan semakin

mundur ke belakang. Individu ini mengalami perombakan radikal

terhadap segala pikiran, nilai, dan komitmennya yang biasa. Dorongan

hati yang dimiliki semata-mata berasal dari kebajikan ilahi, seperti

cinta kasih inklusif dan keadilan universal serta penghargaan yang

amat tinggi terhadap nilai hidup.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diketahui mengenai

karakteristik perkembangan kepercayaan pada individu dewasa. Individu

pada usia dewasa memasuki perkembangan kepercayaan yang dinamakan

tahap Individuatif – Reflektif. Pada tahap ini, individu memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan dan melakukan tanggungjawab

terhadap apa yang diyakininya. Dengan adanya kemampuan tersebut,


(40)

kehidupan mereka sehingga harus diperjuangkan. Dapat dikatakan pula

bahwa pada tahapan ini individu memiliki religiusitas yang lebih stabil.

5. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Religiusitas

a. Faktor Emosi

i. Kesejahteraan Psikologis

Witter, Stock, Okun, dan Haring (dalam Chamberlain &

Zika, 1988) menemukan bahwa terdapat hubungan yang positif

antara religiusitas dan kesejahteraan psikologis.

ii. Rasa Bersalah Seksual

Pada penelitian Woo dan Brotto (2012) terhadap perempuan

Asia timur, ditemukan bahwa level yang tinggi pada religiusitas

menyebabkan sex guilt meningkat, dan hal tersebut menyebabkan

hasrat seksual menurun.

b. Faktor Demografi

Beberapa faktor demografi yang berhubungan dengan

religiusitas, yakni gender, usia, dan etnis. Dalam hal gender,

ditemukan bahwa terdapat perbedaan tingkat religiusitas antara

perempuan dan laki-laki. Perempuan cenderung lebih berminat pada

agama dan juga lebih banyak terlibat aktif dalam kegiatan keagamaan

dibandingkan laki-laki (Hurlock, 1980). Menurut Beit-Hallahmi dan

Argyle (dalam Walter & Davie, 1998), religiusitas perempuan lebih

tinggi dibandingkan laki-laki, baik dalam hal intensitas kehadiran di


(41)

dimiliki. Selain itu, ditemukan pula bahwa tingkat religiusitas pada

perempuan Amerika kulit hitam segala usia melebihi tingkat

religiusitas pada laki-lakinya (Levin & Taylor, 1993).

Tingkat religiusitas dipengaruhi pula oleh faktor usia. Hal

tersebut sesuai dengan pendapat Witter, Stock, Okun, dan Haring yang

mengatakan bahwa religiusitas pada individu yang lebih tua memiliki

pengaruh yang kuat terhadap kesejahteraan psikologis (dalam

Chamberlain & Zika, 1988).

Berdasarkan faktor etnis, Mitchell menemukan bahwa warisan

budaya pada kebanyakan kelompok etnis berkaitan dengan masyarakat

dan tradisi religius (dalam Ahrold & Meston, 2008).

Salah satu faktor emosi yang terkait dengan religiusitas adalah

munculnya perasaan bersalah seksual, khususnya pada perempuan. Rasa

bersalah seksual tersebut tidak hanya dapat mempengaruhi ekspresi

seksual perempuan dalam hal hasrat seksual, tetapi diduga pula dapat

mempengaruhi komunikasi seksual. Oleh karena itu, peneliti ingin melihat

hubungan antara religiusitas dengan kemampuan komunikasi seksual pada


(42)

B. KOMUNIKASI SEKSUAL 1. Definisi Komunikasi

Berelson dan Steiner (dalam Fisher, 1986) mendefinisikan

komunikasi sebagai suatu proses penyampaian informasi, ide, emosi,

keterampilan, melalui penggunaan simbol-kata, gambar, angka, atau

grafik. Menurut DeVito (2011), komunikasi mengacu pada tindakan, oleh

satu orang atau lebih, yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi

oleh gangguan, terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh

tertentu, dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik.

Berdasarkan pengertian tersebut, komunikasi dapat diartikan sebagai

proses yang bertujuan untuk menyampaikan pesan berupa informasi

maupun ide tertentu melalui berbagai media yang memiliki pengaruh bagi

pengirim dan penerima pesan. Pada suatu relasi interpersonal dikenal

istilah komunikasi interpersonal.

Wiryanto (2004) mendefinisikan komunikasi interpersonal sebagai

komunikasi yang berlangsung dalam situasi tatap muka antara dua orang

atau lebih, baik secara terorganisir maupun didalam kerumunan.

Sedangkan, menurut Verderber et al. (dalam Budyatna & Ganiem, 2011),

komunikasi interpersonal merupakan proses dimana individu menciptakan

dan mengelola hubungan mereka, melaksanakan tanggung jawab secara

timbal balik dalam menciptakan makna. Emmers-Sommer dan Allen


(43)

dengan kesehatan, dimana komunikasi dapat mempengaruhi emosi, serta

kesejahteraan mental dan fisik kita (dalam Parker & Ivanov, 2013).

Beberapa pengertian diatas menyebutkan bahwa komunikasi

interpersonal memiliki makna bagi setiap individu yang terlibat dalam

proses tersebut, sehingga dapat mempengaruhi kesejahteraan fisik dan

mental. Selain itu, Budyatna dan Ganiem (2011) menyebutkan bahwa

keberhasilan didalam komunikasi interpersonal secara relatif dapat

meningkatkan kebahagiaan dan produktivitas individu. Didalam

mengembangkan relasi interpersonal, khususnya didalam relasi yang intim

antara perempuan dan laki-laki, penting untuk mempelajari komunikasi

sebagai faktor yang dapat meningkatkan kualitas hubungan.

2. Komunikasi Seksual

a. Definisi Komunikasi Seksual

Menurut Beebe, S.A, et al (2011) komunikasi seksual merupakan

bentuk dari menceritakan kepada pasangan mengenai seks,

keterbukaan diri, dan mendiskusikan aktivitas seksual sebelumnya

yang berpengaruh terhadap seksual dan kepuasan hubungan.

Komunikasi seksual juga merupakan ungkapan pasangan akan hasrat

seksual secara verbal maupun nonverbal, termasuk penerimaan atau

penolakan terhadap ajakan pasangan untuk melakukan hubungan

seksual. Komunikasi seksual juga mengacu pada sebuah proses diskusi

mengenai aspek kehidupan seksual seseorang terhadap pasangannya.


(44)

didiskusikan seperti praktek seksual, kenikmatan seksual, dan ajakan

seksual (Faulker & Lanutti, Holmberg & Blair, dalam Babin 2013).

Selain itu, Rehmanet al. (2011) menyatakan bahwa komunikasi seksual

dilakukan dengan membicarakan topik-topik terkait seksualitas

bersama pasangan.

Komunikasi seksual juga dapat dipahami sebagai suatu

kemampuan untuk membicarakan dan memulai perilaku seksual yang

memuaskan (Morokoffet al., dalam Oattes & Offman, 2007). Sebagai

tambahan, menurut Cupach dan Comstock (dalam Oattes & Offman,

2007), komunikasi seksual mengarahkan pasangan untuk saling

memberi pengertian mengenai kebutuhan seksual mereka, hasrat

seksual dan pilihan dalam melakukan hubungan seksual.

Penelitian terdahulu mendefinisikan komunikasi seksual dalam

bentuk sexual self disclosure dan sexual assertiveness.Sexual

self-disclosure adalah kemampuan untuk mengkomunikasikan

pilihan-pilihan seksual secara terbuka (Rehman et al., 2011). Sedangkan,

sexual assertiveness merupakan kemampuan seseorang untuk

mengkomunikasikan kebutuhan seksual dan memulai perilaku seksual

dengan pasangan (Shafer dalam Menard & Offman, 2009).

Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, dapat disimpulkan

bahwa komunikasi seksual merupakan suatu kemampuan untuk

mendiskusikan berbagai aspek kehidupan seksual, seperti keterbukaan


(45)

aktivitas seksual sebelumnya kepada pasangan baik secara verbal

maupun non-verbal.

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Seksual

Oattes dan Offman (2007) telah membuktikan bahwa harga diri

global dan harga diri seksual mempengaruhi kemampuan seseorang

dalam melakukan komunikasi seksual. Individu dengan harga diri

global dan harga diri seksual yang tinggi cenderung mampu untuk

berkomunikasi seksual. Penelitian sebelumnya juga telah

membuktikan bahwa individu dengan harga diri global yang tinggi

memiliki kemampuan komunikasi seksual yang tinggi pula (Ferroni &

Taffe, dalam Oattes & Offman, 2007). Serupa dengan penelitian Adler

dan Hendrick (1991) yang menemukan bahwa individu dengan harga

diri seksual yang tinggi akan lebih menerima seksualitas mereka dan

dengan demikian individu tersebut mampu untuk berpikir serta

menyiapkan interaksi seksual selanjutnya. Zeanah dan Schwarz

mendefinisikan harga diri seksual sebagai reaksi afektif seseorang pada

penilaian subjektif atas pikiran, perasaan, dan perilaku seksual

seseorang (Menard & Offman, 2009).

Selain itu, terdapat penelitian yang menemukan bahwa

kemampuan diferensiasi diri juga dapat mempengaruhi komunikasi

seksual pasangan. Diferensiasi diri merupakan proses perkembangan

yang memampukan individu untuk menetapkan batasan didalam relasi


(46)

dan keterhubungan dengan menjaga otonomi diri, selama tetap

terhubung dengan sistem relasi (Bowen dalam Timm & Keiley, 2011).

Scnarch (dalam Timm & Keiley, 2011) berpendapat bahwa

kemampuan diferensiasi diri dalam relasi intim mengarahkan pasangan

untuk dapat berbicara secara terbuka mengenai berbagai masalah,

kebutuhan, dan fantasi seksual tanpa dibebani rasa cemas.

Beebe, S.A, et al (2011) memandang komunikasi seksual sebagai

ungkapan individuakan hasrat seksual secara verbal maupun

nonverbal. Ungkapan akan hasrat seksual tersebut, baik secara verbal

maupun nonverbal, merupakan salah satu bentuk dari ekspresi seksual.

Beberapa penelitian yang dirangkum dalam Murray, Ciarrocchi, dan

Murray-Swank (2007) telah menunjukkan bahwa terhambatnya

ekspresi seksual disebabkan oleh pengaruh sikap religiusitas dengan

sex guilt sebagai mediatornya. Berdasarkan temuan tersebut, peneliti

menyimpulkan bahwa perilaku komunikasi seksual turut dipengaruhi

pula oleh sikap religiusitas yang dimiliki oleh individu.

C. Perempuan Dewasa Menikah 1. Definisi

Usia dewasa dikategorikan menjadi dewasa awal, dewasa madya,

dan dewasa lanjut (Hurlock, 1980). Subjek dewasa pada penelitian ini

adalah perempuan dewasa awal (usia18-40 tahun) dan perempuan dewasa


(47)

Erikson, isu utama permulaan masa dewasa ditandai dengan munculnya

rasa intimasi versus isolasi (Papalia et al., 2008). Apabila pada tahap ini

seorang individu dewasa tidak dapat membuat komitmen personal

terhadap orang lain, maka mereka akan terisolasi dan lebih terpaku pada

pikiran atau kegiatannya sendiri. Oleh karena itu, setiap individu pada

tahap ini akan berusaha menyelesaikan tugas perkembangannya yakni

dengan mencapai intimasi.

Masa dewasa mencirikan adanya sikap kedewasaan yang

menunjukkan adanya sikap pertanggungjawaban penuh atas pembentukan

diri sendiri (Kartono, 1992). Dalam hal ini, perempuan dianggap dewasa

apabila seorang perempuan mampu memahami dirinya sendiri dan mulai

merencanakan pola hidup bagi masa depannya. Menurut Kartono (1992),

perempuan dewasa adalah perempuan yang sudah memiliki bentuk dan

sifat yang relatif stabil. Kestabilan pribadi pada perempuan dewasa

memungkinkannya untuk memilih bidang studi, profesi/pekerjaan, dan

relasi sosial yang bersifat stabil pula, termasuk didalam relasi pernikahan.

Seorang individu dewasa akan menjalin relasi pernikahan dengan

pasangan yang telah dianggap cocok. Definisi pernikahan atau perkawinan

berdasarkan Undang Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu suatu ikatan lahir

batin antara pria dan wanita dengan tujuan membentuk keluarga yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa (Asmin, 1986).

Definisi tersebut menunjukkan bahwa suatu ikatan pernikahan memiliki


(48)

Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, perempuan dewasa

menikah adalah seorang perempuan usia 18-60 tahun yang telah terikat

lahir-batin dengan seorang laki-laki untuk membentuk keluarga

berdasarkan agama yang dianut.

2. Pola Komunikasi

Komunikasi dapat berupa komunikasi verbal dan komunikasi

non-verbal. Komunikasi verbal mengacu pada bentuk komunikasi yang

dilakukan melalui kata-kata. Sedangkan, komunikasi non-verbal

merupakan bentuk komunikasi yang tidak berfokus pada kata-kata aktual,

seperti intonasi suara, ekspresi wajah, bahkan jarak antara seseorang

dengan orang lainnya saat berdiri. Selanjutnya, akan dijelaskan bagaimana

karakteristik pola komunikasi verbal pada perempuan yang berbeda

dengan pola komunikasi pada laki-laki (dalam Matlin, 2012).

Terdapat stereotip dimana perempuan sangat aktif dalam berbicara.

Bahkan, dikatakan bahwa perempuan mampu berbicara selama

berjam-jam lamanya. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Athenstaedt et

al., Mehl et al., Niedzwienska menemukan bahwa tidak banyak perbedaan

gender yang besar dalam jumlah waktu percakapan antara perempuan dan

laki-laki pada mahasiswa. Penelitian Aries, M. Crawford, Eckert dan

McConnell-Ginet, Romaine, Thomson et al. bahkan menemukan bahwa

laki-laki lebih aktif berbicara dibanding perempuan. Dalam hal


(49)

bahwa laki-laki cenderung lebih sering menginterupsi pembicaraan

daripada perempuan.

Perempuan dan laki-laki juga memiliki perbedaan dalam gaya

maupun isi dari bahasa ketika melakukan komunikasi verbal. Carli

menemukan bahwa orang-orang jarang menggunakan bahasa yang

menunjukkan keragu-raguan ketika mereka berbicara pada jenis kelamin

yang sama. Sebaliknya, ketika perempuan berbicara pada laki-laki, mereka

nampaknya lebih sering menggunakan bentuk kalimat yang menunjukkan

keragu-raguan. Misalnya, “saya tidak yakin”. Sedangkan, isi pembicaraan yang seringkali dibahas oleh perempuan berdasarkan urutan intensitasnya

berkisar seputar dunia sosial, proses berpikir, emosi, pekerjaan, dan

seks.Hasil penelitian yang dilakukan oleh Newman et al. tersebut

menunjukkan bahwa perempuan sangat jarang membicarakan soal seks.

3. Seksualitas Perempuan Dewasa Menikah

Memasuki usia dewasa, perempuan memiliki minat yang lebih besar

terhadap seksualitas dibandingkan dengan masa remaja (Hurlock, 1980).

Karakteristik seksual pada perempuan dewasa dilihat sebagai sesuatu yang

khas dari perempuan dan mungkin berbeda dari karakteristik seksual pada

laki-laki. Beberapa aspek mengenai seksualitas perempuan dewasa

meliputi respon seksual, hasrat seksual, sikap terhadap seksualitas

perempuan, dan perilaku seksual.

Masters dan Johnson (dalam Matlin, 2012) menemukan bahwa


(50)

khususnya secara fisiologis. Empat tahap yang terjadi selama aktivitas

seksual perempuan, meliputi excitement phaseyang berupa rangsangan

seksual akibat sentuhan dan pikiran-pikiran erotik; plateau phaseyang

menandakan daerah klitoris semakin sensitif; orgasmic phase yang

menimbulkan kontraksi pada rahim dan bagian luar vagina; dan resolution

phaseyang menandakan kembalinya organ seksual pada kondisi awal.

Meskipun terdapat kesamaan reaksi fisiologis dengan laki-laki, perempuan

cenderung lebih menekankan pentingnya emosi dan pikiran dalam

aktivitas seksual (dalam Matlin, 2012). Menurut Hurlock (1980), respon

seksual perempuan akan menurun diakibatkan adanya sikap mawas

terhadap perilaku seksual yang dilakukan bersama pasangan.

Karakteristik seksual selanjutnya adalah hasrat seksual, yang

merupakan suatu kebutuhan untuk terlibat didalam aktivitas seksual

dengan tujuan mencapai kenikmatan fisik atau emosional (Fine &

McClelland; Tolman, dalam Matlin, 2012). Penelitian para feminis

menemukan bahwa terdapat perbedaan yang sangat besar pada hasrat

seksual perempuan dan laki-laki. Sejumlah fakta mengenai perbedaan

hasrat seksual antara perempuan dan laki-laki, yaitu: (1) perempuan tidak

banyak memikirkan tentang seks; (2) perempuan tidak sering melakukan

masturbasi seperti laki-laki; (3) perempuan tidak menginginkan aktivitas

seksual sebanyak yang diinginkan oleh laki-laki; (4) perempuan tidak

sering mengajak untuk melakukan aktivitas seksual; (5) perempuan hanya


(51)

perempuan tidak suka untuk memiliki pasangan seksual yang banyak

(Impett & Peplau; Miller et al; Mosher & Danoff-Burg; dan Vohs &

Baumeister, dalam Matlin, 2012).

Sikap individu terhadap seksualitas dipengaruhi oleh budaya dimana

individu tersebut tinggal. Mayoritas masyarakat Amerika Utara percaya

bahwa hubungan seksual diluar pernikahan dapat diterima secara wajar

dalam suatu hubungan yang dilandasi komitmen (Widmer et al., dalam

Matlin, 2012). Di negara timur, seperti Filipina, 60 % masyarakatnya

menganggap bahwa hubungan seks diluar pernikahan merupakan hal yang

tidak benar.

Masyarakat memiliki sikap yang berbeda terhadap perilaku seksual

perempuan dibandingkan dengan perilaku seksual laki-laki. Penelitian

Hatfield dan Rafson, dan Sprecher (dalam Matlin, 2012) menemukan

bahwa masyarakat Amerika Utara memiliki suatu standar ganda yang

berisi suatu keyakinan bahwa hubungan seks diluar pernikahan lebih tepat

dilakukan oleh laki-laki ketimbang perempuan.

Selain itu, terdapat pula suatu norma sosial bagi perilaku seksual,

yang dipelajari melalui kebudayaan (Bowleg et al.; DeLamater & Hyde;

Rudman & Glick, dalam Matlin, 2012). Berdasarkan norma sosial

tersebut, perempuan diharapkan dapat bertahan atau patuh secara pasif

terhadap dorongan seksual pasangannya (Impett & Peplau; Greene &

Faulkner; Morokoff, dalam Matlin, 2012). Akan tetapi, para perempuan


(52)

mengungkapakan ketertarikan erotik mereka (Peplau, dalam Matlin,

2012).

Pada aspek perilaku, perempuan memiliki perilaku seksual yang

sangat berbeda dari laki-laki.Penelitian Hill; Hyde & Oliver; Peterson &

Hyde, dalam Matlin, 2012) menemukan bahwa perilaku masturbasi lebih

umum dilakukan laki-laki daripada perempuan.

D. Dinamika Hubungan antara Religiusitas dan Komunikasi Seksual pada Perempuan Dewasa yang Telah Menikah

Sikap religiusitas terbentuk atas dasar keterikatan individu dengan

sistem kepercayaan yang diyakini. Kepercayaan atau agama merupakan suatu

relasi manusia dengan Tuhan sebagaimana didalam penghayatan manusia

(Dister, 1988). Kemudian, individu memaknai relasi tersebut kedalam suatu

sikap yang disebut sebagai religiusitas. Religiusitas dipahami sebagai sikap

yang berasal dari keyakinan individu terhadap pengalaman keagamaan yang

menimbulkan rasa kedekatan dengan Tuhan sebagai pribadi yang abstrak dan

mendorong individu untuk mencari makna eksistensinya. Pengaruh agama

terhadap perilaku manusia terutama untuk memperoleh ketenangan didalam

hidup, sehingga secara psikologis agama menjadi suatu nilai penting bagi

individu (Dister, 1998).

Keberagamaan sebagai aspek yang penting dalam kehidupan individu,

sehingga sikap religiusitas berkembang dalam setiap tahapan perkembangan


(53)

individu berada pada tahap yang disebut individuatif – reflektif. Fowler (dalam Cremers, 1995) mengatakan, individu pada tahap tersebut telah

memiliki kesadaran bahwa kepercayaan yang mereka yakini memiliki arti bagi

kehidupan mereka sehingga harus diperjuangkan secara bertanggungjawab.

Maka, tahap perkembangan kepercayaan pada perempuan dewasa berada di

tahap individuatif – reflektif, dimana perempuan dewasa menyadari bahwa kepercayaan yang mereka yakini memberikan arti bagi kehidupan sehingga

mereka mampu memperjuangkan keyakinan tersebut dengan penuh

tanggungjawab.

Selain itu, ditemukan bahwa tingkat religiusitas yang dimiliki

perempuan dewasa lebih tinggi dibandingkan religiusitas pada laki-laki

dewasa.Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Beit-Hallahmi dan Argyle

(dalam Walter & Davie, 1998) yang menemukan bahwa religiusitas

perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, baik dalam hal intensitas

kehadiran ke rumah ibadah, doa pribadi maupun isi dari keyakinan religius

yang dimiliki. Sikap religiusitas yang tinggi pada perempuan diduga

mempengaruhi sikap perempuan, khususnya terhadap seksualitas.

Penelitian terdahulu menemukan bahwa pengukuran religiusitas sering

menjadi prediktor yang signifikan terhadap sikap seksualitas perempuan

(Arnold & Meston, 2007). Woo dan Brotto (2012) menemukan bahwa

religiusitas yang tinggi dapat menyebabkan rendahnya hasrat seksual pada

perempuan Asia timur. Padahal, hasrat seksual yang rendah berhubungan


(54)

oleh Basson dalam artikel New England Journal of Medicine

(www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMcp050154). Selain hasrat seksual,

kepuasan seksual juga dipengaruhi oleh komunikasi seksual.

Komunikasi seksual merupakan suatu kemampuan untuk mendiskusikan

berbagai aspek kehidupan seksual, seperti keterbukaan diri, hasrat seksual,

ajakan seksual, kenikmatan seksual, maupun aktivitas seksual sebelumnya

kepada pasangan baik secara verbal maupun non-verbal. Hasil penelitian yang

dirangkum oleh Oattes dan Offman (2007) menunjukkan bahwa komunikasi

seksual yang baik dapat meningkatkan kepuasan seksual. Akan tetapi, tidak

semua individu mampu melakukan komunikasi seksual, terutama perempuan.

Hal ini terkait dengan pendapat Newman et al. (dalam Matlin, 2012) yang

mengatakan bahwa perempuan sangat jarang membicarakan soal seks

dibandingkan laki-laki.

Rendahnya kemampuan perempuan dalam melakukan komunikasi

seksual diduga terkait dengan tingginya sikap religiusitas yang dimiliki.

Beberapa penelitian yang dirangkum dalam Murray, Ciarrocchi, dan

Murray-Swank (2007) telah menunjukkan bahwa terhambatnya ekspresi seksual

disebabkan oleh pengaruh sikap religiusitas dengan sex guilt sebagai

mediatornya. Sikap religiusitas yang berasal dari orientasi intrinsik dan

ekstrinsik diduga berpengaruh terhadap ekspresi seksual pada perempuan

dikarenakan kedua sikap religius tersebut menempatkan seksualitas secara

normatif didalam kehidupan perempuan. Perempuan dengan religiusitas yang


(55)

sehingga tidak terlibat aktif dalam kehidupan seksual. Kemudian, sikap

religius yang ekstrinsik pada diri perempuan diduga membentuk pola pikir

yang cenderung kaku terhadap hukum agama, khususnya terkait kehidupan

seksual. Sikap religiusitas tersebut cenderung berusaha mengendalikan setiap

tatanan perilaku seksual manusia agar sesuai dengan kehendak Tuhan.

Perempuan dewasa pada umumnya merasa sulit untuk menceritakan

pengalaman seksual kepada laki-laki lain, bahkan kepada suaminya, karena

memiliki anggapan bahwa pengalaman seksual merupakan hal yang kotor,

salah, dan dosa (Priyatna, 2013). Anggapan tersebut diduga karena sikap

religius yang dimiliki oleh perempuan menikah. Maka, peneliti menduga

bahwa sikap religiusitas pada perempuan menjadi faktor yang menghambat

komunikasi seksual sebagai bagian dari ekspresi seksual.

E. Hipotesis

Berdasarkan uraian diatas, peneliti memiliki hipotesis yaitu terdapat

hubungan yang negatif antara religiusitas dengan kemampuan komunikasi

seksual pada perempuan dewasa yang telah menikah. Semakin tinggi

religiusitas pada perempuan dewasa yang telah menikah, maka semakin

rendah kemampuan perempuan dalam melakukan komunikasi seksual.

Sedangkan, apabila semakin rendah religiusitas, maka kemampuan dalam


(56)

34 Religius:

Memahami konsep tentang Tuhan, memahami adanya kewajiban timbal

balik antara ketuhanan dan kemanusiaan, dan meyakini adanya suatu ganjaran terhadap perilaku yang

dipengaruhi oleh iman akan Tuhan

Religiusitas

Perempuan Dewasa Menikah

Ireligius:

Tidak memahami konsep tentang Tuhan, tidak memahami adanya kewajiban timbal

balik antara ketuhanan dan kemanusiaan, dan tidak meyakini adanya suatu ganjaran terhadap perilaku yang dipengaruhi oleh

iman akan Tuhan

Komunikasi Seksual:

Tidak mampu mendiskusikan berbagai aspek kehidupan seksual, seperti keterbukaan diri, hasrat seksual, ajakan

seksual, kenikmatan seksual, maupun aktivitas seksual sebelumnya kepada pasangan baik secara verbal maupun

non-verbal

Komunikasi Seksual:

Mampu untuk mendiskusikan berbagai aspek kehidupan seksual, seperti keterbukaan diri,

hasrat seksual, ajakan seksual, kenikmatan seksual, maupun aktivitas seksual sebelumnya

kepada pasangan baik secara verbal maupun non-verbal


(57)

35

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif korelasional, yaitu

penelitian yang melihat hubungan antar variabel (Kountur,

2003).Variabel-variabel didalam penelitian ini diukur melalui instrumen penelitian sehingga

data yang terdiri dari angka-angka dapat dianalisis dengan menggunakan

prosedur statistik (Noor, 2011).

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel merupakan suatu atribut atau nilai dari orang, objek atau

kegiatan yang mempunyai variasi tertentu (Noor, 2011). Berdasarkan landasan

teori yang telah dipaparkan, penelitian ini memiliki dua variabel, yaitu:

1. Variabel Bebas : Religiusitas

2. Variabel Terikat : Komunikasi Seksual

C. Definisi Operasional

1. Religiusitas

Religiusitas merupakan sikap yang berasal dari keyakinan individu

terhadap pengalaman keagamaan yang menimbulkan rasa kedekatan

dengan Tuhan sebagai pribadi yang abstrak dan mendorong individu untuk

mencari makna eksistensinya. Pengukuran terhadap tingkat religiusitas


(58)

pada skala ini, menunjukkan bahwa subjek memiliki tingkat religiusitas

yang semakin tinggi pula.

2. Komunikasi Seksual

Komunikasi seksual adalah suatu kemampuan untuk mendiskusikan

berbagai aspek kehidupan seksual, seperti keterbukaan diri, hasrat seksual,

ajakan seksual, kenikmatan seksual, maupun aktivitas seksual sebelumnya

kepada pasangan baik secara verbal maupun non-verbal. Tingkat

komunikasi seksual diukur menggunakan skala komunikasi seksual yang

disusun sendiri oleh peneliti melalui survey pendahuluan mengenai

komunikasi seksual. Faktor-faktor didalam skala komunikasi seksual

terdiri dari perilaku seksual, peningkatan kualitas hubungan,

pandangan/nilai terhadap seksualitas, dan pengalaman seksual. Semakin

tinggi skor yang diperoleh subjek dalam skala komunikasi seksual,

menunjukkan tingkat komunikasi seksual yang tinggi pada diri subjek.

Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh subjek, hal tersebut

menunjukkan tingkat komunikasi seksual yang rendah pula pada diri

subjek.

D. Subjek Penelitian

Metode pengambilan sampel menggunakan sampling insidental, yang

merupakan suatu teknik penentuan sampel dengan menggunakan orang-orang

yang kebetulan ditemui oleh peneliti dan cocok dijadikan sebagai sampel


(59)

sebagai subjek didalam penelitian ini. Pemilihan kriteria tersebut berdasarkan

atas pertimbangan bahwa perempuan menikah memiliki frekuensi yang aktif

dalam hubungan seksual, sehingga akan lebih membantu peneliti dalam

memahami variabel komunikasi seksual. Subjek penelitian yang dipilih oleh

peneliti berkisar pada usia 18 – 60 tahun berdasarkan atas kriteria usia dewasa awal hingga dewasa madya (Hurlock, 1980).

E. Metode Pengumpulan Data

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai cara yang ditempuh oleh

peneliti dalam mengumpulkan data penelitian. Metode pengumpulan data

dalam penelitian ini menggunakan alat berupa skala pengukuran sikap jenis

Likert. Skala Likert merupakan skala yang bertujuan untuk mengukur sikap,

pendapat, dan persepsi terhadap fenomena sosial (Sugiyono, 2003). Peneliti

menggunakan religion scale, survey terhadap komunikasi seksual dan skala

komunikasi seksual dalam pengumpulan data penelitian. Religion scale

bertujuan untuk mengukur tingkat religusitas pada perempuan menikah.

Kemudian, survey terhadap komunikasi seksual bertujuan untuk mengetahui

bentuk-bentuk komunikasi seksual yang terjadi secara aktual pada masyarakat

Indonesia. Skala komunikasi seksual merupakan skala yang bertujuan untuk

mengukur tingkat komunikasi seksual yang dimiliki oleh perempuan menikah.

1. Religion Scale

Peneliti memilih religion scale berdasarkan atas artikel reviu


(60)

psikologi (King dan Crowther, 2004). Pada artikel tersebut, disajikan

beberapa alat ukur religiusitas dan spiritualitas beserta tujuan konseptual

yang dapat dipahami. Menurut King dan Crowther, sejumlah alat ukur

tersebut telah memiliki kontribusi teoritis dan empiris yang unik terhadap

literatur di bidang religi. King dan Crowther menyatakan pula bahwa

terdapat izin yang memperbolehkan para peneliti untuk menggunakan

sejumlah alat ukur yang ditinjau ulang didalam artikel tersebut.

Religion scale dimaksudkan untuk mengukur sikap terhadap

keyakinan dan praktek religius (Kauffman dalam King & Crowther, 2004).

Tiga aspek besar didalam keyakinan yang akan diukur adalah (1) konsep

mengenai kodrat dan karakter ketuhanan; (2) doktrin yang berkenaan

dengan kewajiban timbal balik dan keharusan antara ketuhanan dan

kemanusiaan; dan (3) tatanan perilaku yang dirancang agar sesuai dengan

kehendak Tuhan dan untuk meyakinkan orang-orang percaya akan suara

hatinya bahwa apapun ganjaran yang akan diterima dan kebebasan dari

hukuman di dunia bergantung pada imannya. Tahap awal dalam

penyusunan skala ini dilakukan dengan mengumpulkan sekitar 200

pernyataan singkat terkait dengan berbagai keyakinan dan praktik religius

yang kebanyakan diperoleh dari penerbitan dengan topik mengenai

keyakinan (Bardis, 1961).

Skala ini terdiri dari 25 aitem yang seluruhnya merupakan item

favorable.Religion scale diterjemahkan dengan menggunakan teknik


(61)

tinggal di luar negeri, dalam hal ini negara yang menggunakan bahasa

Inggris sebagai bahasa nasional. Teknik penerjemahan ini dilakukan

dengan menerjemahkan kembali skala yang telah diterjemahkan kedalam

bahasa Indonesia. Setelah diterjemahkan kembali kedalam bahasa Inggris,

item-item pada skala tersebut kemudian dibandingkan dengan item-item

pada skala asli untuk melihat apakah terdapat makna yang tidak sama.

Item-item yang dihasilkan melalui back-translation diperiksa kembali oleh

dosen pembimbing skripsi.

Rentang nilai pada skala ini berkisar dari angka 0 sampai 4. Angka 0

menunjukkan respon sangat tidak setuju, angka 1 menunjukkan respon

tidak setuju, angka 2 menunjukkan respon ragu-ragu, angka 3

menunjukkan respon setuju, dan angka 4 untuk menunjukkan respon yang

sangat setuju. Pemberian nilai pada skala ini dapat dilihat pada tabel

berikut.

Tabel 1

Sistem Penilaian Religion Scale

Jawaban Pernyataan

Favorable

Sangat Setuju (SS) 4

Setuju (S) 3

Ragu-ragu (R) 2

Tidak Setuju (TS) 1


(62)

2. Survey terhadap Komunikasi Seksual

Skala penelitian mengenai komunikasi seksual yang kebanyakan

dilakukan di luar negeri dirasa kurang relevan dengan kondisi budaya

masyarakat Indonesia yang sangat menjunjung tinggi nilai sopan santun.

Beberapa aitem pada skala yang peneliti temukan menuliskan nama bagian

genital tubuh secara jelas. Peneliti merasa kurang pantas untuk

menggunakan skala tersebut, terlebih mengingat bahwa penelitian yang

terkait bidang seksualitas menuntut kepercayaan penuh dari calon

responden untuk dapat berpartisipasi. Oleh karena itu, peneliti melakukan

survey pendahuluan terhadap komunikasi seksual guna mengetahui

bentuk-bentuk komunikasi seksual yang terjadi didalam konteks

masyarakat Indonesia.

Berdasarkan teori mengenai bentuk komunikasi yang dikemukakan

oleh Johnson (dalam Supratiknya, 1995), pesan didalam komunikasi dapat

disampaikan secara verbal melalui kata-kata, maupun secara nonverbal

melalui ekspresi atau gerakan tubuh. Kemudian, peneliti menyusun angket

yang berisi enam pertanyaan terbuka mengenai bentuk komunikasi yang

bertujuan untuk mengungkapkan segala pikiran, perasaan, atau pilihan

terkait kebutuhan seksualitas kepada pasangan. Tujuan dari pertanyaan

terbuka yakni untuk memperoleh jawaban yang dalam dan bervariasi dari

responden. Didalam menyusun keenam pertanyaan survey tersebut,

peneliti menggunakan pertimbangan dari expert judgment yang berasal


(63)

Selanjutnya angket disebarkan kepada 101 responden dewasa, 56

orang pria dan 55 orang wanita. Jawaban dari angket tersebut kemudian

dianalisis menggunakan teknik kualitatif untuk merumuskan tema umum

mengenai komunikasi seksual yang secara relevan terjadi pada masyarakat

Indonesia. Peneliti dibantu oleh dosen pembimbing skripsi dalam proses

analisis hasil angket tersebut hingga dapat merumuskan empat tema

umum. (Lampiran.2) Keempat tema umum tersebut yaitu: (1) Perilaku

seksual; (2) Peningkatan kualitas hubungan; (3) Nilai / pandangan

terhadap seksualitas; dan (4) Pengalaman seksual. Berdasarkan hasil

analisis yang diperoleh melalui survey tersebut, dapat peneliti simpulkan

bahwa komunikasi seksual pada masyarakat Indonesia mencakup empat

pesan seksualitas yang ingin disampaikan kepada pasangan baik secara

verbal maupun nonverbal.

3. Skala Komunikasi Seksual

Skala komunikasi seksual terdiri dari 24 item yang disusun

berdasarkan 4 aspek dari komunikasi seksual, yaitu komunikasi seksual

untuk mencapai “perilaku seksual”, komunikasi seksual untuk “peningkatan kualitas hubungan”, komunikasi seksual dalam mengungkapkan “nilai/pandangan terhadap seksualitas”, dan komunikasi

seksual untuk menceritakan “pengalaman seksual”. 24 item skala ini merupakan item yang telah lolos seleksi dari 40 item yang diuji cobakan

terhadap 30 orang perempuan menikah. Blue print item sebelum


(64)

Tabel 2

Blue Print Skala Komunikasi Seksual

No Aspek

Komunikasi Seksual

Favorable Unfavorable Jumlah

1. Perilaku seksual 7 3 10 2. Peningkatan kualitas

hubungan

8 2 10

3. Nilai/pandangan terhadap seksualitas

9 1 10

4. Pengalaman seksual 5 5 10

Total 29 11 40

Pilihan jawaban didalam skala komunikasi seksual, meliputi: Sangat

Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai

(STS). Sistem pemberian nilai dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3

Sistem Penilaian Skala Komunikasi Seksual

Jawaban Pernyataan

Favorable Unfavorable

Sangat Sesuai (SS) 4 1

Sesuai (S) 3 2

Tidak Sesuai (TS) 2 3 Sangat Tidak Sesuai (STS) 1 4

F. Uji Coba Alat Ukur

Peneliti melakukan uji coba terhadap skala yang akan digunakan dalam

mengumpulkan data penelitian, yakni skala komunikasi seksual dan religion

scale. Uji coba tersebut bertujuan agar hasil pengukuran melalui sejumlah

item pada skala yang akan peneliti gunakan memiliki validitas dan reliabilitas

yang dapat dipertanggungjawabkan. Subjek yang digunakan dalam uji coba

memiliki karakteristik yang sama dengan subjek penelitian, yakni perempuan


(1)

No. Pernyataan SS S TS STS 22. Saya tidak menutupi pandangan saya tentang

sikap yang sepantasnya bagi seorang perempuan terhadap keinginan seksual laki-laki.

23. Saya memuji bagian tubuh pasangan yang menurut saya seksi atau menawan.

24. Saya tidak segan untuk mengungkapkan pandangan saya terhadap cara berpakaian perempuan di tempat umum.


(2)

SKALA II

PETUNJUK PENGISIAN

Berikut ini terdapat daftar pernyataan yang berkaitan dengan agama. Bacalah semua pernyataan dengan sangat cermat dan berikan respon sesuai dengan keyakinan Anda yang sebenarnya, tanpa berkonsultasi kepada orang lain. Berilah tanda centang ( √) didalam pilihan kotak yang tersedia, yaitu:

SS : Bila Anda merasa “SANGAT SETUJU” dengan pernyataan tersebut. S : Bila Anda merasa “SETUJU” dengan pernyataan tersebut.

R : Bila Anda merasa “RAGU-RAGU” terhadap pernyataan tersebut. TS : Bila Anda merasa “TIDAK SETUJU” dengan pernyataan tersebut.

STS : Bila Anda merasa “SANGAT TIDAK SETUJU” dengan pernyataan tersebut.

Anda bebas untuk menentukan pilihan atas jawaban Anda sendiri.Dalam hal ini tidak ada jawaban benar atau salah, karena jawaban Anda mencerminkan diri Anda masing-masing.

Contoh cara pengisian:

Pernyataan SS S R TS STS

Semua orang adalah anak-anak Tuhan. √

Apabila Anda merasa ingin mengganti jawaban, maka Anda dapat mengganti pilihan jawaban dan memberi tanda centang ( √ ) pada pilihan jawaban yang menurut Anda lebih sesuai.

Contoh koreksi:

Pernyataan SS S R TS STS


(3)

Pastikan tidak ada pernyataan yang terlewatkan. Selamat Mengerjakan!

No. Pernyataan SS S R TS STS

1. Keyakinan agama yang kuat adalah hal terbaik didalam hidup.

2. Setiap sekolah harus mendorong siswa-siswanya untuk menjalankan ibadah atau persembahyangan di tempat ibadahnya. 3. Orang harus membela agama / keyakinan

mereka di atas segala hal.

4. Orang harus hadir ke tempat ibadahnya seminggu sekali jika memungkinkan. 5. Keyakinan terhadap Tuhan membuat

hidup lebih bermakna.

6. Setiap orang harus memberikan 10% dari penghasilannya untuk masjid, gereja, pura, atau lembaga agamanya masing-masing.

7. Semua orang adalah anak-anak Tuhan. 8. Orang yang menghadiri kegiatan

keagamaan secara teratur mengembangkan kebijaksanaan hidup yang kuat.

9. Kita harus selalu mengasihi musuh kita. 10. Tuhan memberikan pahala kepada orang

yang taat beragama.

11. Doa dapat menyelesaikan banyak masalah.


(4)

No. Pernyataan SS S R TS STS 12. Tiap sekolah harus memiliki tempat

ibadah untuk siswa-siswanya. 13. Ada kehidupan setelah kematian.

14. Orang harus membaca kitab suci sekurangnya satu kali dalam sehari. 15. Guru harus menekankan teladan

keagamaan didalam kelas.

16. Orang muda harus mengikuti pembinaan agama seminggu sekalisecara teratur. 17. Orang harus berdoa setidaknya sekali

sehari.

18. Acara pernikahan yang agamis lebih baik daripada acara pernikahan yang biasa. 19. Orang beragama harus berusaha

menyebarkan ajaran dari Kitab Suci. 20. Orang harus mengucap syukur setiap kali

makan.

21. Ketika seseorang merencanakan akan menikah, ia harus berkonsultasi pada pemimpin agamanya.

22. Kenakalan merupakan hal yang lebih jarang terjadi pada remaja yang mengikuti kegiatan agama secara teratur. 23. Apa yang saat ini dipandang baik (secara

moral) akan selamanya dipandang baik. 24. Anak-anak harus dibesarkan sesuai


(5)

No. Pernyataan SS S R TS STS 25. Setiap orang harus berpartisipasi

setidaknya dalam satu kegiatan keagamaan.


(6)

Lampiran 9. Analisis Tambahan Anova Satu Jalur

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig. Religiusitas Between Groups 333.682 3 111.227 1.025 .384

Within Groups 14752.460 136 108.474

Total 15086.143 139

KS Between Groups 31.948 3 10.649 .137 .938

Within Groups 10595.274 136 77.906

Total 10627.221 139

(Agama)

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig. Religiusitas Between Groups 445.274 3 148.425 1.379 .252

Within Groups 14640.868 136 107.653

Total 15086.143 139

KS Between Groups 673.777 3 224.592 3.069 .030

Within Groups 9953.444 136 73.187

Total 10627.221 139

(Jenjang Pendidikan)

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig. Religiusitas Between Groups 312.498 5 62.500 .567 .725

Within Groups 14773.645 134 110.251

Total 15086.143 139

KS Between Groups 124.657 5 24.931 .318 .901

Within Groups 10502.565 134 78.377

Total 10627.221 139