xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1
20 Lokasi Perdagangan “Awul-awul” 50
Tabel 2
Area dan Sebaran Gerai Pakaian Bekas di Yogyakarta Hingga Tahun 2012
85
Tabel 3
Lokasi Gerai Pakaian Bekas di Yogyakarta Berdasarkan Akses Jalan
90
Tabel 4
Lokasi Gerai Pakaian Bekas di Yogyakarta Berdasarkan Jarak dengan Pusat Keramaian
91
Tabel 5
Latar Etnik Pedagang dan Jumlah Gerai Yang Dikelola 96
Tabel 6
Kategori Mode Pakaian Bekas 112
Tabel 7
Kategori Model Pakaian Bekas 117
Tabel 8
Model-model Kaos 122
Tabel 9
Model-model Kemeja 127
Tabel 10
Model-model Sweater 135
Tabel 11
Model-model Jaket 143
Tabel 12
Model-model Celana 150
Tabel 13
Jumlah dan Model Style Berdasarkan Kekhususan Pengguna
155
Tabel 14
Kategori Pakaian Bekas Berdasarkan Kesempatan 157
Tabel 15
Jenis dan Karakter Bahan 160
Tabel 16
Merk dan Negara Asal Pakaian Bekas 161
Tabel 17
Klasifikasi Asal dan Jumlah Merk Pakaian Bekas 162
Tabel 18
Merk Terlaris Menurut Negara Asalnya 163
Tabel 19
Daftar Nama-nama Merk Terlaris Menurut Negara Asal 164
Tabel 20
MotifCorak Pakaian Bekas 169
Tabel 21
Keragaman Pengguna Menurut StatusProfesi 171
1
Bab I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Selama satu dasawarsa terakhir wajah Yogyakarta tampak sangat mencengangkan. Mencengangkan dalam pengertian bahwa kehidupan sosio-kultural
Yogyakarta kontemporer sangat rapat berkaitan dengan faktor konsumsi sebagaimana ditandai dengan pelipatgandaan dan pergerakan objek-objek konsumsi
atau bentuk-bentuk komoditas. Objek-objek konsumsi atau bentuk-bentuk komoditas yang telah sedemikan rupa bermutasi ke dalam pelbagai bentuk itu telah
mengintrusi kehidupan masyarakat. Objek-objek konsumsi atau bentuk-bentuk komoditas itu tersebar di pelbagai pusat perbelanjaan baik dalam skala kecil seperti
wara-laba franchise store, menengah department store dan besar seperti mall;
toko obat dan apotik; pusat pengudapan seperti foodcourt, restaurant, dan cafe;
pusat adibusana dan mode boutique fashion; pusat pemajangan dan penjualan
kendaraan bermotor showroom dealer, hingga hunian mewah seperti real estate
dan residency terus bertumbuh sepanjang waktu. Tak pelak Yogyakarta kontemporer
seolah telah sedemikian rupa menjadi sanctuaria konsumsi global.
Tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang bserifat fisik-material, konsumsi sebagaimana berkembang di tengah masyarakat Yogyakarta kontemporer juga hadir
dalam bentuk jasa. Di sana-sini dengan mudah bisa disaksikan berkembangnya pelbagai situs-situs konsumsi jasa, seperti: pusat pemantasan dan perawatan diri
2 saloon, hair spa; pusat kebugaran dan olah raga seperti sanggar senam
gymnastic, yoga, dan binaraga; pusat cuci pakaian dan binatu laundry ironed; bengkel, cuci, dan modifikasi kendaraan bermotor; sepakbola ruang
futsal; pusat perawatan kesehatan dan pengobatan seperti pijat refleksi, akupunktur, klinik, dan
rumah sakit; pusat pelatihan dan kursus; agen perjalanan wisata dan travelling;
persewaan mobil; studio foto, rekam dan dekorasi perkawinan bridal; hingga pusat
penyiaran seperti radio dan TV korporasional serta internet. Kesemuanya muncul dan mengisi sudut-sudut kota dalam tampilan prima dan mampu mengakselerasi
proses pemenuham pelbagai kebutuhan masyarakat. Multiplikasi dan pergerakan pelbagai objek konsumsi atau bentuk
komoditas itu sendiri kiranya tidak terlepas dari perkembangan globalisasi dan transformasi kapitalisme konsumsi. Memasuki akhir abad XX, globalisasi telah
berkembang sedemikian rupa menjadi kekuatan signifikan dalam dunia modern. Globalisasi saat ini menentukan bagi adanya – meminjam istilah Arjun Appadurai --
penyatuan dan pengaburan batas-batas deterritorialization etnis dan negara di
penjuru dunia. Demikian halnya melalui reproduksi teknologi komunikasi dan media
mediascape globalisasi telah pula berhasil mempertautkan dimensi ruang dan waktu yang jauh sebelumnya menjadi kendala utama relasi antar-manusia ke
dalam prinsip-prinsip komunikasi yang semakin efektif dan kompleks. Melalui reproduksi pelbagai teknologi transportasi
technoscape globalisasi berhasil menggerus problem mobilitas dan transposisi manusia dari satu titik ke titik yang
lain. Globalisasi juga aktif memfasilitasi adanya sirkulasi ideologi ideoscape dan
bentuk-bentuk komoditas dalam irama dan kecepatan yang dari waktu ke waktu tampak semakin intens. Demikian akhirnya globalisasi tidak hanya mampu
3 “melipat” melainkan juga mengubah dunia sebagai sebuah pasar ekonomi
finanscape.
1
Berkenaan dengan persoalan transformasi kapitalisme konsumsi, hal itu menggarisbawahi adanya perubahan dalam proses produksi. Maksudnya, barang dan
jasa sebagaimana diproduksi para kapitalis saat ini semata-mata tidak lagi didasarkan pada putusan mereka sendiri, tetapi juga mengadopsi kemauan
libido konsumen. Trend semacam ini pada gilirannya mendorong lahirnya komodifikasi --
strategi untuk mengakselerasikan faktor penambahan nilai barang dan kemauan konsumen dalam proses produksi sejauh dan seluas mungkin.
2
Dengan demikian pelbagai objek konsumsi sebagaimana berkembang dalam masyarakat Yogyakarta
kontemporer sejatinya merepresentasikan realitas industri. Dari contoh-contoh sebagaimana dikemukakan di atas berturut-turut kita menyaksikan berlangsungnya
proses komodifikasi yang meliputi hasrat belanja, kulinaritas, penampilan, gaya, kecantikan, ruang, waktu luang, mobilitas, komunikasi sampai dengan gosip. Trend
semacam itu semakin deras seiring dengan revolusi yang terjadi dalam dunia teknologi dan media massa.
Mendekatnya objek-objek konsumsi atau komoditas baik yang bersifat fisik- material dan jasa secara massif dan massal dalam kehidupan sosial dan budaya
Yogyakarta kontempore pada perkembangan selanjutnya ikut menentukan arah dan pembentukan masyarakat sebagaimana diistilahkan oleh Jean Baudrillard dengan
consumer society. Sebuah masyarakat yang di dalamnya berkembang suatu suasana dan mentalitas yang senantiasa menghabituasi, membebani, serta menggiring orang-
1
Arjun Appadurai, “Disjuncture and Difference in The Global Cultural Economy” dalam Simon During ed., 1999,
The Cultural Studies Reader, London and N.Y.: Routledge, hlm. 220-dst.
2
Mengenai masifitas komodifikasi barang dalam arus globalisasi periksa karya menarik Graham Dunkley 2004,
Free Trade: Myth, Reality and Alternatives, New York: St. Martin Press.