Pokok-pokok Gagasan dan Sistematika Penyajian

37 identifikasi dan identitas yang dihasilkan dari pengguna pakaian bekas. Untuk keperluan ini akan dikemukakan dasar pertimbangan dan putusan pengguna dalam mengkonsumsi pakaian bekas. Terkait dengan subjektivitas akan dibahas proses pembentukan subjektivitas dan subjek lewat konsumsi dan pemaknaanya secara sosial. Untuk keperluan ini akan dikemukakan tiga hal: identifikasi, transfigurasi atas sosok atau penampilan para konsumen yang diolah dan dihasilkan lewat penggunaan pakaian bekas; dan melihat tarik ulur atau proses negosiasi yang terjadi selama proses tersebut. Bab V merupakan penutup uraian. Pada bagian awal uraian akan dikemukakan kembali pokok-pokok pikiran dan penjelasan sebagaimana telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya berdasarkan pada rumusan permasalahan yang telah ditetapkan. Sementara pada bagian penghujung uraian akan disampaikan benang merah atau kesimpulan atas keseluruhan pembahasan sebagaimana telah dikemukakan dalam setiap bab sebagai satu kesatuan pemahaman. 38

Bab II PENGGUNAAN PAKAIAN BEKAS DULU DAN KINI

Bagian ini akan menggambarkan ruang lingkup penggunaan pakaian bekas dalam masyarakat Yogyakarta secara umum. Apa yang kemudian perlu digarisbawahi adalah bahwa penggunaan pakaian bekas dalam masyarakat secara faktual sudah banyak mengalami perubahan. Dari aras ini sebuah komparasi historis kiranya perlu dilakukan. Komparasi historis ini diharapkan berfaedah untuk melihat pelbagai perkembangan dan perubahan penggunaan pakaian bekas sebagaimana terjadi dalam masyarakat Yogyakarta pada umumnya. Sebagai batasan waktu, penggunaan pakaian bekas atau pakaian “awul-awul” yang ada akan dilacak sejak pertengahan sampai dengan akhir tahun 1990-an. Sebuah kurun waktu yang menandai terjadinya akselerasi penggunaan pakaian bekas atau pakaian “awul- awul” sebagai bagian dari rutinitas hidup masyarakat Yogyakarta kontemporer. Dari keperluan sebagaimana diungkapkan di atas, dalam paragraf-paragraf selanjutnya akan diisi dengan sebuah perbandingan atas sejumlah hal yang dipandang cukup relevan untuk dilihat secara lebih lanjut. Hal-hal relevan yang dimaksudkan adalah meliputi: latar belakang atau faktor yang mendorong dan menggerakkan penggunaan pakaian bekas dalam masyarakat sebagaimana diperjualbelikan oleh sejumlah pedagang. Hal lainnya adalah melihat ruang lingkup keberadaan pakaian bekas sebagaimana berkembang di tengah-tengah masyarakat Yogyakarta kontemporer lewat perdagangan yang meliputi cakupan, sebaran, dan 39 heterogenitas para pengguna konsumen pakaian bekas atau rombengan, serta bagaimana pakaian bekas tersebut pada akhirnya diperagakan para penggunanya dalam hubungan atau komunikasi sosial.

A. Ngrombeng Dulu

A.1. Latar Belakang Ngrombeng Penggunaan pakaian bekas sebagaimana berkembang dalam masyarakat Yogyakarta era 1990-an bisa diperiksa melalui keberadaan istilah ngrombèng. Secara etimologi, kata ngrombèng yang merupakan kosa kata Bahasa Jawa, adalah kata bentukan dengan kata dasar rombèng. 1 Sebagai adjektiva atau kata keterangan, rombèng diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia sebagai ‘rombeng’ diterjemahkan sebagai “compang-camping, sobek karena sudah tua“. Selain kata ngrombèng diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia sebagai ‘merombeng’ , dari kata dasar rombeng ini dihasilkan kata rombèngan diadopsi secara tetap dalam Bahasa Indonesia sebagai ‘rombengan’ . Kata ngrombeng, yang merupakan verba atau kata kerja, diterjemahkan sebagai “menjual barang-barang bekas kepada tukang loak”. Sementara kata rombengan, yang merupakan nomina atau kata benda, diterjemahkan sebagai “barang-barang pakaian, alat-alat yang sudah lama bekas pakai, rongsokan; barang-barang yang sudah dijual oleh tukang loak; barang loakan”. 2 1 Kata rombeng sejajar dengan kata loak atau rosok. Tentang kesejajaran makna dan konjugasi dari ketiga kata ini, periksa Eko Endarmoko 2008, Tesaurus Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm. 533. 2 Departemen Pendidikan Nasional 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat, Jakarta: PT. Gramedia Utama, hlm. 849. Eko Endarmoko 2007, Loc. cit. Kecuali kata ngrombèng penulisan 40 Batasan leksikal tentang sifat dan cara orang berhubungan dengan rombengan seperti dikemukakan di atas kiranya tidak sepenuhnya memiliki akurasi yang memadai. Sifat rombengan sebagaimana dilukiskan sebagai sesuatu yang sudah “compang-camping” atau “koyak-koyak,” dalam kenyataan keseharian kiranya jauh dari kenyataan. Apabila sifat rombengan yang dimaksudkan adalah lusuh atau cacat-cacat kecil seperti kancing hilang, jahitan dhèdhèl lepas atau ritsluiting rusak, barangkali masih bisa dibenarkan. Deskripsi tentang sifat atau kondisi rombengan sebagaimana dinyatakan dalam kamus di atas kiranya mengandung eksagerasi dan hanya sesuai jika yang dimaksudkan adalah gombal; bekas kain yang tidak lagi memiliki nilai. 3 Demikian halnya secara sosio- antropologis istilah ngrombèng tidak hanya terbatas pada aktivitas menjual rombengan, tetapi juga meliputi aktivitas membeli pakaian bekas atau rombengan. Popularitas ngrombèng pada masa lalu berkait berkelindan dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan sejumlah negara Asia sebagaimana berlangsung pada tahun 1998. Krisis yang awalnya merupakan krisis moneter populer dengan istilah “Krismon”, tetapi kemudian menjadi krisis ekonomi yang memiliki efek domino dalam pelbagai dimensi kehidupan sosial masyarakat. Pada level makro, krisis ekonomi tersebut berdampak pada goncangnya fondasi perekonomian nasional di pelbagai sektor sebagaimana ditandai dengan terjadinya “ capital flight” investasi asing keluar Indonesia dan bangkrutnya perusahaan nasional di pelbagai sektor dan level. Hal yang kemudian melahirkan dampak dan pelafalan kata rombèng dan rombèngan, selanjutnya akan mengikuti padan kata sebagaimana diadopsi dalam langue Bahasa Indonesia. 3 Secara sosio-antropologis pakaian semacam ini bisa dipersamakan dengan “klambi têlêsan” atau “klambi rêgêtan” sebagaimana dikenakan oleh para petani, pengrajin batu bata, genting, atau batako. Pakaian semacam ini akan dikenakan secara sengaja untuk “ber-têlês-têlês” berbasah-basah di lumpur atau “ber-rêgêt-rêgêt” berkotor-kotor dalam adonan tanah liat dan semen.