10 hal itu terungkap dalam pelbagai jargon seperti “kota revolusi”, “kota pendidikan
atau pelajar”, “kota budaya”, atau “kota seniman” yang di sana segala sesuatunya dianggap sudah ada “sejak dari sononya”
taken for granted dan dianggap sama sekali tidak mengalami perubahan atau pergeseran. Sebuah corak pemahaman atau
cara pandang yang bersifat esensialis substansialis dan sejatinya dapat dipastikan justru akan menenggelamkan aktualitas Yogyakarta ke dalam ruang yang sempit,
baku dan beku. Pada level etis, penelitian atau kajian ini dimaksudkan sebagai semacan
proposal untuk mengembangkan imajinasi atau “bahasa” baru dalam melihat dan menarasikan persoalan konsumsi mode pakaian masyarakat sebagaimana
berlangsung pada masa kini. Lazimnya, persoalan konsumsi selama ini oleh pelbagai kalangan lebih banyak dilihat atau didekati dalam kerangka normatif dan totalistik.
Pendekatan dan sikap semacam ini salah satunya ditunjukkan oleh Kementerian Perdagangan melalui program “KONCER” yang mereka kembangkan lewat
serangkaian kegiatan kampanye Lihat Gambar 1.
6
Sebuah aktivitas yang merepresentasikan praktik wacana normalisasi dalam arti Faucaultian yang
bertumpu pada kesalehan normatif dan dikembangkan untuk tujuan “membetulkan” atau “mereparasi” proses konsumsi masyarakat. Selain merepresentasikan tindakan
yang bersifat ambigu, kampanye itu pun menjadi sesuatu yang muspra useless dan
menjadi seruan basi death appeal. Hal itu karena kampanye itu sama sekali
6
“KONCER” kependekan dari “Konsumen Cerdas” adalah kampanye Deperindag untuk “mencintai produk dalam negeri 100” dan “kearifan berbelanja”. Melalui spot iklan di TV publik dan swasta
dan spanduk rentang bertuliskan “Ayo Menjadi KONsumen CERdas” yang dipasang di terminal, stasiun, dan bandara, pemerintah menyerukan tiga hal kepada konsumen: 1 Teliti sebelum membeli,
2 Perhatikan label dan masa kedaluwarsa, 3 Pastikan produk bertanda jaminan mutu SNI, 4 Beli sesuai kebutuhan. Anehnya, sejauh yang saya ketahui spanduk semacam itu tidak dipasang atau tidak
dijumpai di
departemen store atau mall. Tentang kampanye “KONCER” lihat www.deperindag. go.id; diakses pada 28 Oktober 2010.
11 menafikan kenyataan bahwa persoalan konsumsi pada saat ini sudah menjadi bagian
dari pengalaman dan penghayatan hidup masyarakat sehari-hari.
D. Tinjauan Pustaka
Di kalangan para intelektual bidang sosial dan humaniora tanah air, fenomena pakaian bekas sebagaimana berkembang di tengah-tengah masyarakat saat
ini sama sekali belum mendapatkan perhatian. Dalam pengertian bahwa fenomena pakaian bekas belum pernah diangkat ke permukaan sebagai objek riset atau kajian
ilmiah lain sebagaimana kemudian diwujudkan dalam bentuk artikel ilmiah, paper, skripsi, tesis, atau disertasi. Sebaliknya, di negara-negara barat fenomena pakaian
bekas selama dua dekade ke belakang sudah mendapatkan perhatian dari kalangan
Gambar 1 Kampanye ala Pemerintah
Spanduk rentang di Stasiun Kereta Api Tugu Yogyakarta 2782010.
12 intelektual ilmu sosial humaniora dalam pelbagai ragam sudut pandang. Untuk
keperluan kajian ini selanjutnya akan dibicarakan dua artikel yang melihat persoalan pakaian bekas. Dua artikel yang dimaksudkan bersumber dari dua bahan pustaka
yang memiliki relevansi dengan objek penelitian ini. Artikel pertama adalah “Second-Hand Dresses and The Role of the Ragmarket” karangan Angela
McRobbie
7
, dan kedua adalah “Ukay-ukay Chic: Tales of Second Hand Clothing Fashion and trade in the Philppine Cordillera” karangan B. Linne Milgram.
8
Dalam artikelnya yang berjudul “Second-Hand Dresses and The Role of the Ragmarket” ini Angela McRobbie melihat fenomena pakaian bekas dan pasar
rombengan sebagaimana dikembangkan oleh para pemudi masyarakat perkotaan Inggris era 1970-1980-an dalam kaitannya dengan pengembangan evolusi budaya
anak muda youth culture. Melalui perspektif sejarah, feminisme, dan subkultur,
McRobbie kemudian memusatkan perhatian pada peran yang dimainkan pakaian bekas dan pasar
rombengan dalam bidang ekonomi dan budaya. Dalam bidang ekonomi, pakaian bekas dan pasar
rombengan sebagaimana dilakukan oleh para pemudi memiliki peran sentralnya dalam mendorong eksistensi infrastruktur
kewirausahaan subkultur anak muda melalui sebuah “konsumerisme subversif” subversive consumerism. “Konsumerisme subversif” mengacu pada proses
produksi yang dilakukan para pemudi kota dengan cara memanfaatkan model gaun perempuan lama klasik yang secara selektif mereka beli dari penduduk perempuan
7
Angela McRobbie 1994, “Second-Hand Dresses and The Role of the Ragmarket” dalam Angela McRobbie,
Postmodernism and Popular Culture, London and New York: Routledge, hlm. 130-148. Untuk versi awal artikel ini, lihat Angela McRobbie ed., 1989,
Zoot Suits and Second-Hand Dresses: An Anthology of Fashion and Music, Boston: Unwin Hyman, hlm. 23-49.
8
B. Linne Milgram 2005 “Ukay-ukay Chic: Tales of Second Hand Clothing Fashion and trade in the Philppine Cordillera” dalam Alexander Palmer dan Hazel Clark eds.,
OldClothes, New Looks: Second Hand Fashion. Oxford-New York: BERG, hlm. 135-153.
13 setempat dan setelah ditransformasikan atau diubah dalam pelbagai bentuk dan gaya
retro dijual kembali kepada para konsumen perempuan secara selektif juga.
Dalam kegiatan ekonomi “kaki lima” ini terselip agenda politik luar biasa besar dan mendasar. Para pemudi itu tengah melancarkan perlawanan terhadap para
industrialis garmen dan kapitalis mode Inggris yang banyak melahirkan penderitaan dan krisis terutama kepada kaum perempuan. Mereka juga menyampaikan
early warning tentang kemungkinan terjadinya krisis lanjutan yang berakar pada
meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat terhadap pakaian baru. Sebuah peristiwa yang tidak hanya akan menyusutkan kantong ekonomi rumah tangga
masyarakat perkotaan Inggris yang rata-rata secara menejemen menjadi tanggungan kaum perempuan, tetapi juga akan menguras energi lingkungan, dan hanya akan
menguntungkan pihak industrialis dan kapitalis Inggris yang bergerak di bidang garmen dan mode. Kapitalis di bidang garmen dan mode adalah pihak yang dikenal
sangat rakus dan sejauh ini memiliki kemampuan di atas rata-rata untuk tetap bertahan hidup dalam situasi dan kondisi apapun.
Dalam bidang budaya, fenomena pakaian bekas dan pasar rombengan sebagaimana dilakukan oleh kaum muda itu dalam perkembangan kemudian ikut
memainkan peran signifikan dalam memberikan peluang dan menawarkan mode pakaian bekas kepada kaum muda untuk berpartisipasi dalam dunia fesyen. Proposal
sebagaimana ditawarkan lewat pengembangan mode pakaian bekas dan pasar rombengan
ini dimaksudkan sebagai counter culture para wirausahawan sekolah seni dan para disainer yang sejauh ini telah mengurangi “kemurnian” dan
“autentisitas” subkultur. Pakaian bekas dan pasar rombengan sebagaimana
dilakukan oleh para pemudi perkotaan Inggris ini merupakan pasar politik yang