Ngrombèng Kini PENGGUNAAN PAKAIAN BEKAS DULU DAN KINI

64 B.2. Motif Ngrombeng Sebagaimana berkaitan dengan gagasan sebelumnya, alasan yang mendasari aktivitas ngrombéng pada saat sekarang ini tidak lagi semata-mata diletakkan pada pertimbangan yang bersifat ekonomis. Ngrombéng sebagaimana dilakukan oleh para pengguna pakaian bekas tidak semata-mata didorong oleh perhitungan mendapatkan kemurahan atau penghematan. Dengan kata lain aktivitas ngrombéng pada masa kini masih saja memuat unsur pertimbangan yang bersifat ekonomis seperti halnya dulu. Pertimbangan kemurahan atau penghematan sudah pasti masih tetap memengaruhi dasar pertimbangan mengapa orang membeli pakaian bekas atau rombengan . Hanya saja motif semacam itu sudah tidak lagi terlalu menonjol sebagaimana dulu. Hal ini bisa dikaitkan dengan perkembangan model dan bentuk konsumsi mode modern saat ini yang mulai banyak dan bisa diakses tanpa memerthitungkan disparitas harga sebagaimana dulu. Masuknya baju-baju buatan China sekarang kembali lagi ke nama RRT dalam kondisinya yang baru dan memiliki harga yang sangat kompetitif atau murah, kiranya bisa dipakai untuk memerkuat argumen ini. Baju-baju buatan RRT sebagaimana berkembang di pasar secara amat luas telah banyak melahirkan pasar- pasar lokal baru. Melalui meanisme perdagangan hadirnya baju-baju buatan RRT ini telah melahirkan banyak pelaku-pelaku bisnis pakaian lokal terlibat di dalamnya. Demikian selanjutnya dari para pelaku perdagangan dan pasar pakaian buatan RRT itu memiliki sifat yang sangat jelas: harganya sangat murah. Seandainya motif yang mendasari penggunaan pakaian bekas atau adalah demi penghematan atau kemurahan, dengan selisih harga pakaian bekas yang tidak terpaut jauh atau bahkan 65 sama dengan harga pakaian baru buatan China, dipastikan para pembeli pakaian bekas akan berpindah orientasi dan berbondong-bondong melakukan migrasi konsumsi terhadap pakaian buatan RRT atau pakaian sejenis yang memiliki harga murah. Aktivitas ngrombéng kini lebih didasarkan pada alasan atau pertimbangan yang bersifat sosio-kultural, yakni demi kelayakan atau gengsi . Dari konteks ini upaya pemenuhan kebutuhan sebagaimana dilakukan oleh para konsumen lewat cara ngrombéng tidak berhenti pada dihasilkannya kepuasan yang semata-mata bersifat ekonomis, melainkan juga juga bersifat sosio-kultural. Dalam pengertian semacam ini, aktivitas ngrombéng bisa dianalogikan sebagai sebuah aktivitas atau upaya konsumen untuk memeroleh tiket sebagaimana dipersyaratkan oleh dunia sosial dan budaya yang mereka perlukan manakala mereka kelak harus terlibat di dalamnya. Keberhasilan para konsumen dalam memenuhi kebutuhan semacam itu pada gilirannya akan melahirkan efek balik kepada konsumen berupa penerimaan dan pengakuan sosio-kultural. B.3. Pelaku Ngrombeng Perubahan latar belakang dan motif ngrombéng sebagaimana diutarakan di atas pada gilirannya berpengaruh pada pola dan ruang lingkup penggunaan pakaian bekas atau rombengan dalam masyarakat pada umumnya. Bagaimana ruang lingkup ngrombéng saat ini? Seberapa luas ruang lingkup dan cakupan ngrombéng saat ini? Siapa saja yang terlibat di dalam aktivitas ngrombéng pada masa kini? Saat ini ngrombéng tidak bisa lagi ditempatkan sebagai aktivitas yang semata-mata 66 mencerminkan aktivitas yang dilakukan oleh kelompok sosial tertentu, dalam hal ini masyarakat menengah-bawah. Aktivitas itu kin telah sedemikian rupa berkembang atau melebar hingga keluar dari batasan kelompok tersebut. Berdasarkan hasil observasi lapangan, diketahui bahwa para pelaku ngrombéng pada masa kini tidak lagi didominasi oleh kelompok masyarakat yang datang dari strata sosial ekonomi menengah-bawah, melainkan juga melibatkan kelompok masyarakat dari strata sosial dan ekonomi atas. Pengguna pakaian bekas atau rombengan sebagaimana berlangsung pada saat ini tidak hanya terbatas pada orang-orang yang memiliki keterbatasan atau hambatan ekonomi finansial sebagaiamana halnya pada masa lalu. Para pelaku atau pengguna pakaian bekas pada saat ini juga meliputi orang-orang yang memiliki ketercukupan secara ekonomi finansial. Para pengguna pakaian bekas atau rombengan saat ini tidak hanya terbatas di kalangan para pegawai negeri golongan rendah seperti pesuruh dan penjaga malam; para pekerja swasta dan domestik seperti penjaga toko, pelayan rumah makan, kuli bangunan, tukang becak, pembantu rumah tangga; serta para pelajar dan mahasiswa miskin sebagaimana dominan terjadi pada waktu sebelumnya. Para pengguna pakaian bekas atau rombengan saat ini meliputi orang- orang dengan pelbagai ragam macam profesi dan background sosial ekonomi yang berkecukupan, yakni mulai para mahasiswa yang datang dari keluarga kaya, musisi pemain band, guru, dosen, pegawai departemen, polisi, tentara, perawat, pegawai bank, bahkan hingga dokter. Dari uraian sebagaimana dikemukakan di atas ruang lingkup ngrombéng sebagaimana berkembang dalam masyarakat pada masa kini sudah bersifat lintas- kelas atau lintas-kelompok sosial. Perkembangan penggunaan pakaian bekas atau 67 ngrombéng di tengah masyarakat Yogyakarta saat ini telah sedemikian rupa melampaui sekat-sekat kelompok baik dalam pengertian kelas sosial maupun ekonomi yang dulu menganga secara diametral. Demikian halnya ngrombéng pada saat yang bersamaan juga memiliki kekuatan dalam memertemukan, atau bahkan menghancurkan gap kepentingan yang berkembang di kedua kelompok sosial yang pada masa lalu terbentang secara tajam. Perubahan ini kiranya menegaskan bahwa aktivitas ngrombéng sebagaimana berlangsung pada masa kini telah sedemikian rupa tertancap atau terterima secara sosio-kultural sebagai bagian dari sejarah konsumsi masyarakat secara luas. Dengan demikian aktivitas ngrombéng itu pun saat sekarang telah berkembang sedemikian menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat Yogyakarta pada umumnya. B.4. Ruang Hidup Ngrombeng Memasuki awal tahun 2000-an, pakaian bekas atau pakaian “awul-awul” mengambil bentuk dan ruang hidup yang sama sekali berbeda dari kurun waktu sebelumnya. Pakaian bekas atau pakaian “awul-awul” yang ada kini tidak lagi diperdagangkan di atas lapak atau terpal dan di pajang begitu saja di sepanjang trotoar, emperan toko, atau los-los pasar tradisional yang kotor, berdenu, kumuh, dan gelap. Pada awal 2000-an pakaian bekas atau pakaian “awul-awul” itu mulai mengambil tempat di gerai-gerai pakaian sebagaimana lazimnya kios-kios pakaian pada umumnya. Dalam wujud sebagaiman yang sekarang ini, pakaian bekas, rombengan, atau pakaian “awul-awul” itu memerkenalkan diri kepada khalayak ramai warga masyarakat Yogyakarta dalam citra atau nada yang jauh lebih 68 “murwat”, lebih pantas, dibandingkan dengan pada waktu-waktu sebelumnya. Pakaian “awul-awul” saat sekarang ini memerkenalkan diri dalam beragam nama yang cukup memikat. Nama-nama yang paling kerap mereka pajang dalam spanduk rentang mereka adalah: “pakaian sisa import”, “pakaian eks import”, “pakaian second”, atau “second hand clothes”. 19 Di gerai-gerai dengan ukuran luas yang bervariasi, pakaian bekas itu kini diperlakukan dengan cara yang sama sekali berbeda dari sebelumnya. Ia tidak lagi dibiarkan terserak apa adanya, teronggok di karung, atau menggunung secara awul- awulan di atas plastik dan terpal, tetapi digantung dengan menggunakan hanger dan 19 Istilah-istilah ini saya nukil dari tulisan sebagaimana tertera pada spanduk yang dibentangkan oleh para pedagang di gerai atau kios mereka. Gambar 3a Pakaian Bekas Kini Di sebuah rumah limasan mentereng, persis di depan Kecamatan Nganpila, mereka bilang: “ex import” 69 dikaitkan pada rak gantung yang terbuat dari aluminium atau logam. Di sela-sela gantungan ditempatkan juga banyak sekali obat pengharum dan obat penyerap air. Pakaian bekas itu pun dipilah-pilah atau diklasifikasikan sesuai dengan kelompok umur atau jenis kelamin pengguna, serta diletakkan secara teratur dalam sebuah barisan. Ada juga di antara pakaian bekas itu yang dilipat dan ditempatkan di rak yang terbuat dari kayu panjang bertingkat dengan pola dan susunan yang rapi. Tidak ketinggalan di gerai itu juga terdapat sebuah bilik berpintu yang terbuat dari papan yang dilengkapi dengan gantungan baju dan sebuah cermin berukuran satu badan yang dikhususkan bagi para konsumen untuk berpantas diri. Jika pada waktu sebelumnya perdagangan pakaian bekas hampir semuanya dijalankan melalui sistem dan mekanisme pertukaran konvensional sebagaimana halnya sarthir, sejak awal tahun 2000-an mereka telah melakukan transformasi Gambar 3b Pakaian Bekas Kini Mereka pun bicara penuh dengan Bahasa Inggris 70 bentuk yang luar biasa. Pakaian bekas sebagaiman dalam perwujudannya sekarang telah sedemikian rupa hadir dalam corak penampilan baru dan manajemen perdagangan yang cukup modern. Dari puluhan gerai pakaian bekas sebagaimana tersisa di pelbagai penjuru kota Yogyakarta, hampir semuanya mengadopsi pola menejemen baru. Hal itu salah satunya bisa dilihat dari penggunaan karyawan yang diikat dalam kontrak disertai dengan tugas, jam kerja, dan gaji yang cukup jelas. Karyawan yang dimaksudkan adalah tenaga-tenaga kerja yang diadopsi dari sekitar tempat mereka berdagang. Akan tetapi tidak jarang ada juga mereka yang datang dari luar kota atau luar kabupaten. Tenaga-tenaga lokal itu pada umumnya oleh sang pemilik gerai atau para pedagang rombengan kemudian dipekerjakan sebagai pramuniaga. Gambar 3c Pakaian Bekas Kini Mbak-mbak yang siap dan sigap membantu dan meyakinkan konsumen di “Sandang Murah”, Jl. Adiscipto dan “Sandang Murah”, Jl. P. Diponegoro. 71 Tugas utama para pramuniaga adalah melayani dan membantu konsumen pada saat memilih atau membeli rombengan, di samping menata ulang pakaian sebelum dan setelah gerai buka. Sedangkan jam kerja mereka mulai dari jam 8 pagi hingga sekitar jam 5 sore. Tenaga-tenaga kerja lokal itu menerima gaji dari para pedagang yang diterimakan setiap bulan dalam jumlah yang terbilang pantas. 20 Di tengah beban hidup masyarakat yang semakin berat akibat hempangan krisis ekonomi sebagaimana ditandai dengan tingginya angka tuna karya karena PHK Pemutusan Hubungan Kerja dan kian melemahnya daya beli masyarakat, perdagangan pakaian bekas mampu menyerap tenaga-tenaga kerja lokal. 21 Pengadopsian tenaga lokal sebagaimana dilakukan oleh para pedagang banyak mendapatkan respon positif dari masyarakat setempat. Di sisi lain langkah para pedagang tersebut sekaligus bisa dipakai untuk menaikkan modal sosial mereka yang akan bermanfaat dalam menjalankan dan menjaga keberlanjutan usaha mereka di kemudian hari. Rombengan sebagaimana beredar di tengah-tengah masyarakat Yogyakarta sekarang ini adalah pakaian yang sebagian besar mempunyai merk, gaya, dan model tertentu. Merk, gaya atau mode adalah nama lain dari memiliki ciri dan kekhususan, “memiliki nama” atau terkenal, dalam arti dikenal banyak orang, dikenakan banyak orang. Orang banyak yang dimaksudkan barangkali adalah orang-orang yang datang dari kalangan sosial ekonomi atas atau orang kaya. Atau setidaknya orang yang kaya, dalam arti memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam hal mengkonsumsi 20 Besarnya upah atau gaji yang diterimakan kepada para pekerja lokal bervariasi. Saya tidak berhasil menggali informasi pasti tentang besarnya gaji yang diterimakan Fadel kepada para pekerjanya. Ia hanya menggunakan istilah “pantas”. Dedi pemilik gerai di Senuko yang juga memerkerjakan tenaga lokal, mengatakan bahwa upah yang diterimakan kepada karyawannya berkisar antara Rp. 250.000 s.d. Rp. 300.000 per bulan. Wawancara terpisah dengan Fadel dan Tedi, pada 23 Oktober 2010. 21 Baik Fadel maupun Dedi menjelaskan bahwa mereka memekerjakan 2 karyawan setiap gerai. 72 pelbagai pakaian dengan merk atau model yang sudah terkenal. Dengan demikian aktivitas ngrombeng sekarang ini tidak melulu berarti mengkonsumsi pakaian perse, melainkan mengkonsumsi tanda. Dari aras yang sama kita juga mencatat adanya pergeseran status barang, dari status komoditas menjadi satus tanda sign. B.5. Membawakan Si Rombeng Sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya, pakaian bekas atau rombengan pada saat sekarang ini tidak saja digunakan oleh masyarakat dari kalangan menengah-bawah, tetapi juga dari kalangan atas. Dari aras ini menggarisbawahi kenyataan bahwa penggunaan rombengan telah mendapatkan akseptabilitas publik yang besar atau memiliki bentang cakupan yang semakin luas. Gejala ini sekaligus menegaskan tentang naiknya status pakaian bekas atau rombengan di tengah masyarakat. Status pakaian bekas atau rombengan di tengah masyarakat Yogyakarta saat ini tampak jauh lebih “terhormat” dibandingkan dengan waktu sebelumnya. Pakaian bekas kini seolah sejajar dengan pakaian baru. Ke- “bekas”-an rombengan tidak lagi bisa begitu saja diidentikkan dengan identitas rombengan sebagai pakaian bekas. Saat ini pakaian bekas atau rombengan tidak lagi dilihat sebagai barang yang “ora murwat” tidak layak. Pakaian bekas atau rombengan itu oleh banyak kalangan saat ini tidak lagi diidentikkan dengan sesuatu hal yang usang, kuno, cacat, kotor, bau dan tidak higienis seperti saat sebelumnya. Kemajuan di bidang teknologi kimia sebagaimana ditandai dengan munculnya pelbagai macam sabun cuci atau ditergen dan obat suci hama desinfektan yang belakangan banyak tersedia di pasar dalam pelbagai macam 73 bentuk, kiranya secara signfikan ikut berperan dalam menentukan perubahan itu. Kemajuan teknologi di bidang sabun, deterjen, dan desinfektan menjadikan para pembeli atau pengguna rombengan kini tidak lagi risau dengan pelbagai kotoran atau noda yang melekat pada pakaian bekas. Demikian halnya kini mereka pun tidak lagi dihinggapi oleh perasaan was-was dengan pelbagai penyakit yang dimungkinkan ada dan muncul akibat penggunaan pakaian bekas yang mereka beli. 22 Para pengguna rombengan saat ini pun sama sekali tidak menunjukkan rasa sungkan atau ewuh pekewuh saat mengkonsumsi atau mempergunakan rombengan dalam hubungan atau komunikasi sosial. Sebaliknya, mereka bahkan tampak sangat terbiasa dan tetap percaya diri dalam mengkonsumsi atau menggunakan rombengan. Luasnya cakupan para pengguna pakaian bekas atau rombengan dalam masyarakat juga merefleksikan luasnya spektrum penggunaan rombengan. Saat ini pakaian bekas itu tidak lagi dipakai dalam situasi atau kesempatan terbatas sebagaimana terjadi pada masa lalu. Jika pada masa sebelumnya rombengan hanya dikenakan dalam situasi dan kesempatan yang bersifat non-formal dan sangat terbatas, kini ia bisa dan biasa dipakai oleh penggunanya dalam situasi dan kesempatan yang bersifat resmi atau formal. Para konsumen pakaian bekas kini dengan santai bisa mengenakan baju, kaos, celana atau jas bekas untuk kuliah, praktik kerja lapangan, mengunjungi teman yang tengah dirawat di rumah sakit, menghadiri resepsi pernikahan, atau pun menonton film di bioskop bersama pacar 22 Seiring booming-nya pakaian “awul-awul”, masyarakat dunia dihebohkan dengan mewabahnya penyakit SARS Server Acute Respiratory Syndrome yang pertama kali muncul di Provinsi Guangdong, China pada tahun 2002. Penyakit yang disebabkan oleh virus dan menyerang pernafasan hingga mengakibatkan kematian itu mewabah sampai ke Eropa. Meski sempat mencabut nyawa satu orang, di Indonesia penyakit itu sama sekali tidak memiliki efek apapun. Proses jual beli pakaian “awul-awul” yang sempat dituding sebagai bagian dari penyebaran penyakit tetap berjalan seperti biasa. Tentang SARS lihat www.News-medical.netSARS diakses pada 21 Juni 2010. 74 atau teman. Demikian halnya perlakuan pengguna terhadap pakaian bekas atau rombengan pun berubah. Saat ini pakaian bekas oleh para konsumen atau penggunaya tidak hanya ditempatkan sebagai pakaian cadangan, tetapi justru dikenakan sebagai pakaian utama. Luasnya cakupan penggunaan pakaian bekas juga merefleksikan tingkat akseptabilitas publik terhadap keberadaan pakaian bekas di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Jika pada masa awal keberadaannya pakaian bekas belum bisa mengangkat derajat penggunanya dalam komunikasi sosial, kini yang terjadi adalah hal yang sebaliknya. Seiring dengan kaburnya batas-batas kelas atau kelompok sosial para pengguna rombengan, saat ini mereka tampak lebih percaya diri dalam membeli atau menggunakan rombengan . Para konsumen itu kini bisa secara leluasa membawakan rombengan dalam pelbagai waktu dan kesempatan yang jauh lebih luas. Para pengguna pakaian bekas itu kini tidak lagi hanya menggunakan rombengan dalam situasi yang bersifat non-formal, tetapi juga dalam situasi dan kesempatan yang bersifat formal atau resmi. Seiring dengan naiknya status rombengan, maka status pengguna rombengan pun tidak sebagaimana halnya dulu. Saat ini para pengguna rombengan tidak bernasib sama dengan apa yang menimpa para pengguna rombengan pada masa lalu. Para pengguna rombengan kini tidak lagi dianggap sebagai orang yang abnormal tetapi sebaliknya dianggap sebagai orang yang melek terhadap permasalahan mode dalam pengertian model atau fesyen. Di kalangan kalangan anak muda, para pengguna pakaian bekas ini kini bahkan diterima sebagai semacam trendsetter dunia mode tanpa perlu berlenggak-lenggok di catwalk.layaknya peragawan atau peragawati. Para pengguna rombengan itu kini tidak lagi terhambat dan terbebani 75 dengan identitas pakaian bekas atau rombengan yang mereka kenakan dalam aktivitas keseharian mereka. Para pengguna pakaian bekas itu kini tidak lagi terjatuh sebagai warga kelas dua yang akan mendulang ejekan atau cibiran dari komunitas atau masyarakat luas. Dengan demikian saat ini status para pengguna pakaian bekas atau rombengan bahkan justru naik karena rombengan yang mereka kenakan. 76

Bab III PERGERAKAN DAN KOMODIFIKASI PAKAIAN BEKAS

Bagian ini menguraikan tentang seluk beluk perdagangan pakaian bekas dalam masyarakat Yogyakarta kontemporer. Secara umum uraian dimaksudkan untuk menggambarkan scope kemungkinan sebagaimana disediakan pasar pakaian bekas dalam memberikan pilihan atau alternatif konsumsi mode kepada para konsumen. Untuk keperluan ini uraian selanjutnya diarahkan pada proses pertumbuhan dan pergerakan pakaian bekas dalam masyarakat. Sebagai pendukung uraian, dikemukakan data dan informasi terkait dengan perkembangan dan perubahan perdagangan pakaian bekas sebagaimana berlangsung dalam masyarakat Yogyakarta kontemporer. Data yang dimaksudkan mencakup latar belakang historis, pola, intensitas, jumlah, area, lokasi, dan sebaran gerai pakaian bekas. Selain itu dikemukakan juga data dan informasi tentang latar belakang etnik para pedagang pakaian bekas dan jumlah gerai yang mereka kelola selama ini. Secara khusus uraian dimaksudkan untuk menggambarkan proses produksi atau komodifikasi pakaian bekas lewat perdagangan. Untuk keperluan ini uraian selanjutnya akan diarahkan pada proses produksi yang terjadi dalam perdagangan pakaian bekas. Sebagai pendukung uraian, selanjutnya akan dikemukakan data dan informasi terkait dengan proses dan teknik restorasi sebagaimana dilakukan oleh para pedagang dan data yang berkaitan dengan keragaman pakaian bekas yang meliputi: mode, model, brand, motif dan corak pakaian, jenis dan karakter bahan, 77 warna, kekhususan pengguna dan penggunaan, pakaian bekas yang paling laku atau paling diminati konsumen, serta kesan yang ditampilkan oleh pakaian bekas. Selain itu juga akan disampaikan informasi terkait dengan keragaman para konsumen atau pembeli pakaian bekas yang sekaligus merupakan responden penelitian ini.

A. Pertumbuhan dan Pergerakan Perdagangan Pakaian Bekas

A.1. Latar Belakang Sosio Historis Sebagaimana disinggung pada Bab II perdagangan pakaian bekas yang dimaksudkan adalah dalam bentuknya sebagaimana sekarang. Perdagangan yang tidak lagi mengambil tempat di trotoar-trotoar jalan, emperan toko pérko, dan los- los pasar tradisional seperti pada pertengahan hingga akhir tahun 1990-an, melainkan dalam bentuk gerai atau kios dengan tampilan yang lebih layak dan lebih menarik. Secara genealogis, pakaian bekas itu sendiri merupakan percampuran antara pakaian bekas pakai dan pakaian reject atau pakaian yang tidak lolos uji kelayakan import dari perusahaan pakaian karena mengalami kecacatan. Kedua jenis pakaian bekas itu didatangkan oleh para importir pakaian bekas dari sejumlah negara Eropa, Amerika, Australia, dan Asia. 1 Dalam masyarakat Yogyakarta pakaian bekas itu kemudian dipromosikan sendiri oleh para pedagangnya dalam beberapa nama atau sebutan seperti: “pakaian import”, “pakaian ex import”, “pakaian second”, atau “second hand clothes”. 1 Sebagai perbandingan periksa B. Linne Milgram 2005 “Ukay-ukay Chic: Tales of Second Hand Clothing Fashion and trade in the Philppine Cordillera” dalam Alexander Palmer dan Hazel Clark eds., OldClothes, New Looks: Second Hand Fashion. Oxford-New York: BERG, hlm. 135-153. Lihat kembali bagian tinjauan pustaka dalam Bab I. 78 Pasca “testing the water” selama satu tahun 1998-1999, perdagangan pakaian bekas di Yogyakarta mengalami masa keemasan booming. Sejak akhir 90- an hingga pertengahan tahun 2000-an perdagangan pakaian bekas berkembang pesat. Hampir di setiap pojok kota berderet gerai-gerai pakaian bekas. Selama lima tahun ke belakang jumlah gerai pakaian yang ada diperkirakan lebih dari 400 buah. Penurunan baru tampak pada tahun 2005 dan sesudahnya. 2 Sejauh ini ada dua sebab yang mengontribusi penurunan tersebut. Pertama, terkait dengan terbitnya Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Kepmenperindag No. 642MPP Kep.9 2002 yang ditandatangani oleh menteri Rini Soewandy yang intinya melarang aktivitas perdagangan pakaian bekas. 3 Larangan itu merupakan respons atas protes para pengusaha tekstil tanah air yang tergabung dalam Asosisasi Pertekstilan Indonesia API yang menolak perdagangan pakaian bekas karena dianggap “berpotensi mengancam industri garmen tanah air”. 4 Implikasinya perdagangan pakaian bekas pun kemudian masuk dalam kategori sebagai kegiatan kriminal. Pasca pemberlakukan Kepmen tersebut penyitaan, dan pembakaran berbal- bal pakaian bekas, dan penutupan jalur masuk atau import pakaian bekas secara 2 Perkiraan ini disampaikan Fadel, pemilik gerai “Sandang Murah”, yang waktu itu berperan sebagai salah satu distributor. Ia menyatakan bahwa permintaan para pengecer awalnya dicatat rapi dalam sebuah buku. Belakangan buku itu hilang sehingga pendokumentasian hanya dilakukan apa adanya, yakni hanya dalam sobekan kertas atau bekas kalender. Wawancara pada 14 Mei 2010. 3 Keputusan itu merupakan pembaharuan Kepmerindag No. 230MPPKep.71997 yang diperbarui lagi menjadi Kepmenperindag No. 732MPPKep.102002, Kepmendag No. 44M-DagPer.102008, dan Kepmendag No.56M-DagPer.122008. Perubahan terkait dengan pemisahan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian menjadi Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan pada tahun 2007. Periksa http:www. kemendag.go. id publikasi _regulasi; diakses pada 12 Mei 2010. 4 Protes API ini dikemukakan kepada Presiden Megawati dalam pertemuan dengan HIPMI Himpunan Pengusaha Muda Indonesia di Jakarta. Banyak pengamat menganggap keputusan itu berlebihan, karena garmen adalah sektor industri yang sangat tergantung pada import dan paling parah terkena krisis. Lihat, “API Protes Peredaran Pakaian Bekas”, Kompas.com, 19 Februari 2003; diakses pada 12 Mei 2010.