Pertumbuhan dan Pergerakan Perdagangan Pakaian Bekas

79 langsung di daerah-daerah perbatasan Indonesia dengan negara tetangga terutama Malaysia, seperti di Entikong di Kalimantan, marak dilakukan oleh polisi atau pihak pabean. 5 Reaksi pemerintah itu mendapat kritik dan penentangan dari banyak pihak terutama pedagang pakaian bekas. Protes terbesar datang dari pedagang pakaian bekas di Surabaya. Para pedagang yang tergabung dalam Asosiasi Pedagang Pakaian Bekas APPB Jawa Timur dan Front Aksi Mahasiswa memrotes kedatangan Menteri Perdagangan yang baru, Marie Pangestu, saat melakukan inspeksi mendadak ke Pasar Genteng, Surabaya pada 27 Oktober 2004. Meski mendapat banyak protes, rupanya ia lebih memilih berdiri di pihak API, dan tetap memberlakukan surat keputusan yang telah dikeluarkan oleh seniornya. 6 Meski menerima hambatan keras dari pihak aparat pemerintah berupa penyitaan dan pembakaran sebagaimana gencar dilakukan sejak tahun 2004, aktivitas perdagangan pakaian bekas dalam masyarakat tidak total terhenti. Seiring dengan meningkatnya represi pemerintah, perdagangan pakaian bekas masih tetap berjalan. 7 Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa tindakan pemerintah itu secara signifikan ikut mengontribusi menurunnya tingkat perkembangan dan pergerakan perdagangan pakaian bekas dalam masyarakat. Penurunan itu salah satunya bisa dilihat dengan sangat jelas dari melambatnya laju pertumbuhan dan persebaran gerai pakaian bekas. Sebagai ilustrasi, apabila sebelum terbitnya larangan oleh pemerintah pertumbuhan gerai pakaian bekas baru bisa mencapai 8-9 buah per bulan, maka 5 Lihat “Pintu Impor Melalui Pos Lintas Batas Entikong Ditutup Perdagangan Turun Drastis”, Kompas.com; diakses pada 12 Mei 2010. 6 Lihat, “Pedagang Pakaian Bekas Demo Marie Pangestu”, www.gatra.com edisi 29102004 diakses pada 20 Mei 2009. 7 Lihat, “Perdagangan Pakaian Bekas Impor Tetap Marak di Senen.”, bisnisjakarta.com, edisi 28 Juli 2004, diakses pada 20 Mei 2009. Meski dikategorikan sebagai kegiatan kriminal, faktanya belum satu pedagang pakaian bekas pun dikabarkan media ditangkap oleh aparat pemerintah. 80 setelah pelarangan pertumbuhan kemudian menurun menjadi hanya 1-2 buah per bulan. 8 Penurunan juga tampak dari lambatnya perputaran pakaian bekas dalam masyarakat. Jika sebelumnya perputaran pakaian bekas bisa mencapai 14-15 bal per bulan, pasca larangan menurun drastis menjadi 5-7 bal per bulan. 9 Represi pemerintah mengakibatkan volume pakaian bekas yang beredar di pasar mengalami penyusutan secara signifikan. Hampir semua pedagang kemudian mengalami kesulitan mencari atau kulakan pakaian bekas di jaringan pasar yang biasa mereka lakukan. Ketika barang ada di tangan, muncul problem baru. Harga kulakan pakaian bekas itu kini menjadi sangat tinggi. Jika sebelumnya harga kulakan hanya berada dalam kisaran Rp. 400.000 hingga Rp. 450.000 per-bal, sesudah adanya larangan pemerintah, harga itu melonjak hingga menembus angka Rp. 1,9 juta sampai Rp 2 juta per-bal. Seiring dengan kenaikan harga kulakan, para pedagang pakaian bekas itu pun mau tidak mau harus menaikkan harga jual barang dagangan mereka. Soal penyesuaian harga itu cukup disikapi dengan hati-hati oleh para pedagang, karena apabila dagangan mereka tidak bisa terserap di pasar atau dikonsumsi orang karena kendala harga, maka hal itu sudah pasti bisa menjadi bumerang bagi keberlanjutan usaha mereka. Kondisi di atas pada menjadikan perdagangan pakaian bekas berkembang dalam skema darwinisme, the survival of the fittest. Jika sebelumnya kelangsungan perdagangan pakaian bekas semata-mata hanya ditentukan oleh kekuatan para pedagang dalam memutarkan dagangannya, kini juga ditentukan oleh kemampuan 8 Wawancara dengan Fadel pada 14 Mei 2010. 9 Bal adalah ukuran yang lazim dalam dunia garment. Volume bal bergantung pada jenis dan jumlah pakaian yang dimuatnya. Untuk kaos dan kemeja, 1 bal kurang lebih berisi 500 potong; untuk celana berbahan katun kurang lebih 350 potong; celana berbahan denimjeans kurang lebih 120-150 potong, dan jaket berbahan denim atau kulit 1 bal kurang lebih 100-130 potong. Wawancara dengan Dedi, pemilik gerai NN tanpa nama di Senuko, Godean pada 10 Mei 2010. 81 mereka dalam menjaga kontinyuitas akses terhadap pakaian bekas di pasar yang harganya menjadi semakin mahal. Bagi pedagang bermodal cukup hal yang demikian bukan merupakan persoalan sehingga mereka tetap bisa bertahan. Akan tetapi sebaliknya, bagi pedagang yang tidak kuat secara permodalan hal itu akan menimbulkan masalah yang tidak sederhana. Menghadapi hal semacam itu ada sebagian pedagang yang kemudian menempuh upaya penyelamatan dengan cara menjual satu jenis pakaian bekas tertentu. Sementara sebagian lainnya secara tragis terpaksa harus gulung tikar. Para pedagang ini harus menjual sisa rombengan berikut gerainya kepada pedagang lain yang memiliki modal lebih besar. 10 Kedua, berkenaan dengan keterlibatan Indonesia di dalam persepakatan perdagangan bebas negara-negara ASEAN dengan China ACFTA, ASEAN-China Free Trade Agreement; yang ditandatangani oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 November 2009. Sebuah persepakatan yang tidak saja berimplikasi pada membanjirnya pelbagai produk China, termasuk pakaian, ke Indonesia, tetapi juga membuka kemungkinan kepada para pedagang garmen Indonesia beralih profesi sebagai importir. 11 Harga yang sangat kompetitif baca: murah dan jaminan legalisasi secara Government to Government yang menjanjikan keleluasaan akses dan keberlanjutan usaha tak pelak mampu menyedot animo para pedagang pakaian. Hal itu pulalah yang kemudian mendorong sebagian pedagang 10 Fadel adalah satu-satunya pedagang pakaian bekas yang paling ulet dan masih tetap berjaya hingga saat kini. Di bawah nama atau bendera “Sandang Murah”sampai sekarang ini Fadel memiliki atau menggoperasikan 9 gerai pakaian bekas sebagaimana tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta. Sebagian gerainya dibeli dari temannya yang beralih usaha atau gulung tikar. Wawancara, pada 14 Mei 2010. 11 Selain pakaian, juga kendaraan bermotor, alat-alat elektronik, makanan, dan buah-buahan. Lihat “Presiden: ACFTA Bukan Ancaman, Tapi Peluang”, Kompas.com 2 April 2010. Juga “ACFTA Diteken, Realisasi Investasi China ke Indonesia Meningkat”, Kompas.com 3 April 2010. Keduanya diakses pada 11 April 2010. 82 pakaian bekas meninggalkan usaha lamanya dan terlibat sebagai distributor dan pengecer. Di pasar Beringharjo, sampai saat ini, aktivitas perdagangan pakaian asal China itu banyak melibatkan para eks pedagang pakaian bekas. A.2. Jumlah, Area, Lokasi dan Sebaran Perdagangan Pakaian Bekas Gerai pakaian bekas di Yogyakarta yang sejauh ini bisa dijangkau lewat penelitian lapangan tercatat sebanyak 57 buah. 12 Dari total keseluruhan gerai yang ada 40 buah 70 di antaranya dilakukan dalam manajemen keluarga, dalam arti hanya terbatas melibatkan satu keluarga batih, familiy yang di dalamnya terdiri dari: suami, isteri, dan anak atau saudara. Sementara itu 17 buah sisanya 30 dikelola dalam manajemen yang relatif modern. Hal itu bisa dilihat dari cara pedagang melibatkan sejumlah tenaga kerja lokal Yogyakarta yang mereka pekerjakan sebagai pramuniaga seperti halnya pada awal 2000-an. Dari ke-17 gerai pakaian bekas sebagaimana disebutkan dalam kategori terakhir 9 buah di antaranya berada di bawah bendera dagang “Sandang Murah” milik Fadel; 3 buah di bawah nama “Mega Obral”, “Anissa Collection” dan “Annisa Fashion” milik Tedy; 5 buah di bawah nama “Top Obral”, “Vina Collection”, dan 3 buah sisanya berada di bawah payung “XX” baca: tanpa nama sebagaimana dimiliki oleh Amrizal. Sejak awal kemunculannya perdagangan pakaian bekas berkembang melalui jalur rantai. Kegiatan itu melibatkan tiga pelaku dan tiga peran dengan tanggung jawab yang berbeda, yakni: pengepul grosir, perantara distributor, dan pengecer. Untuk posisi grosir masing-masing dipegang oleh tiga orang, yakni: Haji Haryono 12 Ke-57 gerai rombengan atau pakaian bekas ini bisa dilihat pada Lampiran. 83 yang berdomisili di Kediri, Jawa Timur; Fredi yang berdomisili Pasar Tanah Abang, Jakarta; dan Reinhard Simanjuntak yang berdomisili di Medan, Sumatera Utara. Di lapangan Haji Haryono berperan mengoordinasi seluruh perdagangan pakaian bekas untuk wilayah Jawa dan Madura, sementara Fredi mengawaki seluruh perdagangan pakaian bekas di wilayah Jakarta dan Bandung, dan Reinhard Simanjuntak mengendalikan seluruh perdagangan pakaian bekas di wilayah Sumatera. Fadel, Tedy, dan Amrizal, awalnya adalah distributor untuk wilayah Yogyakarta di bawah koordinasi Haji Haryono. Pasca pelarangan dari pemerintah, ketiganya memutuskan memilih menjadi pengecer dengan cara membuka gerai pakaian bekas sendiri. 13 `Dari ke-57 gerai pakaian bekas sebagaimana diidentifikasikan di lapangan tersebar di tiga area, yakni: dalam kota, pinggir kota, dan luar kota. Area dalam kota adalah daerah yang secara administratif termasuk wilayah Kota atau provinsi. Area pinggir kota adalah daerah yang secara administratif ada di perbatasan antara 13 Wawancara secara terpisah dengan Tedy, Fadel, dan Amrizal pada 10 Mei 2010. Gambar 4a Gerai Pakaian Bekas di Dalam Kota Gerai Pakaian Bekas “Murah Obral”, Jl. Sultan Agung. 84 Gambar 4b Gerai Pakaian Bekas di Dalam Kota Gerai Pakaian Bekas “Sandang Murah”, Jl. Diponegoro Tugu. wilayah Kota dan Kabupaten. Area luar kota adalah daerah yang secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten. Gerai pakaian bekas pinggir kota, perbatasan antara wilayah Kota dan wilayah Kabupaten Sleman tersebar di daerah Depok, Demangan, Babarsari, dan Wirobrajan. Gerai di perbatasan antara wilayah Kota dan Kabupaten Bantul tersebar di daerah Karangkajen, Rejowinangun, dan Glagahsari. Sementara gerai pakaian bekas luar kota di wilayah Kabupaten Sleman meliputi daerah Cebongan, Senuko, Godean, Beran, Ngaglik, dan Gamping; dan daerah Banguntapan untuk wilayah Kabupaten Bantul. Berdasarkan ketiga area atau wilayah sebaran perdagangan pakaian bekas di atas, tampak bahwa ke-57 gerai yang ada di Yogyakarta tersebar secara merata. Meskipun begitu jumlah, proporsi, dan persentase gerai pakaian bekas di setiap area cukup bervariasi. Menurut data yang berhasil dikumpulkan selama observasi di lapangan, jumlah gerai pakaian bekas di area dalam kota tercatat sebanyak 30 buah atau 53 dari total keseluruhan gerai pakaian bekas yang ada di pelbagai tempat di 85 Yogyakarta. 14 Sementara itu jumlah gerai yang bertempat di area pinggir kota atau perbatasan tercatat sebanyak 14 buah atau 24 dari keseluruhan gerai yang ada. 15 Sedangkan jumlah gerai di area luar kota tercatat sebanyak 13 buah atau 23 dari total gerai yang ada. 16 Dari jumlah dan persentase ketiga area itu tampak bahwa wilayah dalam kota merupakan area terpadat dan berada di urutan pertama, disusul dengan area pinggir kota, dan terakhir adalah area luar kota. Perhitungan tentang jumlah dan sebaran gerai di ketiga area itu disajikan pada Tabel 2 berikut. Pada Tabel 2 di atas, ada satu hal yang kiranya cukup penting untuk mendapatkan perhatian. Dari angka-angka sebagaimana tertera dalam tabel itu tampak bahwa jumlah antara gerai pakaian bekas yang ada di pinggir dan luar kota dibandingkan dengan jumlah gerai di dalam kota tidak terpaut jauh. Lebih lanjut selisih angka tersebut menandai terjadinya pergeseran trend perdagangan pakaian 14 Ke-30 buah gerai itu, 4 buah di Ngupasan , 5 buah di Ngampilan, 4 buah di Umbulharjo, 1 buah di Pakualaman, 5 buah di Ngasem, 1 buah di Poncowinatan, 1 buah di Suryatmajan, 1 buah di Randubelang, 3 buah di Sentul, 4 buah di Tamansari, dan 1 buah di Mergangsan. 15 Ke-14 buah gerai itu 1 buah di Condong Catur , 2 buah di Catur Tunggal, 2 buah di Karangkajen, 1 buah di Demangan , 1 buah di Banguntapan, 1 buah di Rejowinangun, 2 buah di Glagahsari, 2 buah di Wirobrajan, dan 2 buah di Gamping . 16 Ke-13 buah gerai itu 3 buah di Cebongan, 3 buah di Senuko, 1 buah di Ngijon, 1 buah di Rejondani, 1 buah di Beran, dan 2 buah di Gamping, 1 buah di Ngancar. Area Jumlah Persentase Dalam Kota 30 53 Pinggir Kota 14 24 Luar Kota 13 23 Total 57 100 Tabel 2 Area dan Sebaran Gerai Pakaian Bekas di Yogyakarta Hingga Tahun 2012 86 Gambar 5 Gerai Pakaian Bekas di Batas Kota Atas: Gerai pakaian bekas “Anissa Fashion” “Annisa Collection”, Jl. Wates Km. 3. Bawah: Gerai pakaian bekas “Sandang Murah, Jl. Adisucipto. bekas dari dalam kota ke sisi luar kota. Berdasarkan pada pengamatan atas titik-titik persebaran gerai pakaian bekas di lapangan dan konfirmasi dengan sejumlah pedagang, wilayah dalam kota kini tidak lagi menjadi area pilihan utama untuk menempatkan atau membuka gerai di sana. 17 Hal itu bertolak belakang dengan waktu sebelumnya yang menempatkan area dalam kota sebagai area favorit perdagangan. Jika begitu, apa yang mendorong adanya pergeseran itu? 17 Wawancara secara terpisah masing-masing dengan Amrizal Jl. Parangtritis dan Dedi Jl. Godean pada 15 Oktober 2011. 87 Gradasi area dan sebaran perdagangan pakaian bekas yang cenderung bergerak ke arah sisi luar kota sebagaimana dikemukakan di atas sejauh ini berkait berkelindan dengan tiga faktor. Pertama, berkaitan dengan semakin padatnya kegiatan ekonomi di area dalam kota. Hal itu ditandai dengan kian bertumbuhnya pusat-pusat konsumsi baik yang bersifat material maupun jasa. Kondisi semacam ini dalam perkembangan kemudian berimplikasi pada makin ketatnya persaingan usaha di kawasan itu. Kompetisi usaha di area kota dari waktu ke waktu semakin meningkat. Khusus berkaitan dengan gerak perdagangan pakaian bekas, kondisi itu mengakibatkan semakin tinggi atau mahalnya harga sewa tempat usaha di kawasan itu. Sebagai contoh dan perbandingan, jika harga sewa tempat usaha di sepanjang Jl. Kaliurang pada tahun 2000-an masih berada dalam kisaran angka antara Rp. 5,5 juta hingga Rp. 7,5 juta per tahun, maka sekarang harga sewa itu telah menembus angka Rp. 15 juta hingga Rp. 17 juta per tahun. 18 Kedua, berkaitan dengan kebijakan sebagaimana dilakukan oleh pihak pemerintah Kota Madia Yogyakarta berupa relokasi pusat kegiatan ekonomi sekaligus pusat keramaian publik ke sisi luar kota. Relokasi pusat kegiatan ekonomi yang berkaitan secara langsung dengan perdagangan pakaian bekas adalah pemindahan Terminal Bis Umbulharjo 2005 dan Pasar Hewan Ngasem 2008, yang masing-masing berlokasi awal di Umbulharjo dan Ngasem, ke daerah Giwangan. Pemindahan kedua pusat kegiatan ekonomi itu berdampak serius pada keberlangsungan perdagangan pakaian bekas di dua daerah itu. Pasca relokasi, gerai- gerai pakaian bekas di daerah Glagahsari dan Ngasem yang pada waktu sebelumnya 18 Fadel menyatakan bahwa harga itu berlaku untuk gerainya yang berukuran 4x6 m2. Wawancara pada 14 Mei 2010. Latif, pemilik gerai “Yola Collection”, yang beroperasi sejak 2007 di perempatan ringroad Condong Catur, mengatakan bahwa untuk menempati gerainya yang berukuran 5x8 m2, ia harus membayar uang sewa sebesar Rp. 20 juta setahun. Wawancara pada 27 Mei 2010. 88 ramai dikunjungi pembeli, belakangan menjadi sangat sepi pembeli. Sebuah keadaan yang kemudian mendorong para pedagang pakaian bekas di kedua wilayah itu memeras otak mencari jalan keluar terbaik. Ada sebagian pedagang pakaian bekas yang kemudian lebih memilih berpindah tempat atau mencari lokasi baru alih-alih meneruskan usaha ekonomisnya di sana. Sementara sebagian lainnya terpaksa harus memilih untuk menggulung tikar alias menghentikan usaha mereka untuk selamanya. 19 Ketiga, berkaitan dengan bertumbuhnya pusat-pusat ekonomi dan keramaian publik baru di daerah perbatasan dan di luar kota. Kawasan di seputaran Gamping, Beran, dan Cebongan di Sleman, dan kawasan Karangkajen di Bantul adalah contoh area di luar kota yang belakangan hari gencar melakukan pembangunan sehingga mengalami perkembangan yang sangat pesat. Apabila untuk beberapa waktu sebelumnya keempat daerah ini lebih dikenal sebagai zona penyangga buffer zones kawasan kota, belakangan ini bisa dipastikan siap memainkan peran signifikan mereka sebagai pusat perekonomian dan keramaian publik baru di Yogyakarta. Pelbagai syarat bagi kelengkapan berdirinya kota belakangan ini semakin bertumbuh pesat di empat daerah itu. Hal yang demikian itu bisa dilihat dari keberadaan dan pengembangan infrastruktur ekonomi jasa yang dikembangkan oleh pihak pemerintah maupun swasta seperti pusat-pusat pendidikan baik tingkat 19 Anwar, pemilik gerai “Pinta Collection” di Glagahsari, menjelaskan bahwa sejak pemindahan terminal bus Umbulharjo ke Giwangan ia merupakan satu-satunya pedagang yang bertahan di daerah itu hingga sekarang. Sebelumnya di daerah itu di samping gerainya terdapat 6 gerai pakaian bekas lainnya. Karena sepi pembeli mereka berpindah lokasi. Wawancara dengan Anwar pada 22 Mei 2010. Hal senada diungkapkan Fadel, bahwa sejak pemindahan Pasar Ngasem ke Giwangan, gerai- gerai pakaian bekas di Ngasem sepi pembeli. Banyak pedagang berpindah lokasi atau bahkan menghentikan usahanya. Pasca pemindahan ia sudah mengambil alih 2 gerai pakaian bekas milik temannya yang tidak mampu lagi beroperasi. Ia kini adalah satu-satunya pedagang pakaian bekas yang bertahan di daerah itu dengan mengoperasikan 5 gerai miliknya. Wawancara dengan Fadel pada 14 Mei 2010. 89 atas maupun tinggi, terminal, pusat-pusat perbelanjaan, klinik dan rumah sakit, serta institusi perbankan. 20 Setelah melihat area dan sebaran perdagangan pakaian bekas secara umum, menarik kiranya untuk melihat lokasi atau tempat di mana gerai-gerai itu didirikan. Berdasarkan observasi lapangan, hampir semua gerai pakaian bekas yang ada di 20 Tentang syarat-syarat berdirinya sebuah kota dalam perspektif sosiologi perkotaan, periksa Hadi Sabari Yunus 2005, Manajemen Kota: Perspektif Spasial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 55-60. Gambar 6 Gerai Pakaian Bekas di Luar Kota Atas: Gerai pakaian bekas “XX” tanpa nama di Jl. Godean KM 11, Ngijon. Bawah: Gerai pakaian bekas “XX” di Jl. Wates KM. 5, Gamping. 90 Yogyakarta berada di tempat-tempat strategis, yakni di sepanjang jalan utama yang meliputi: jalan protokol negara, jalan provinsi, dan jalan kabupaten. Jumlah gerai pakaian bekas yang berlokasi di sepanjang jalan protokol tercatat sebanyak 9 buah 16, sementara 41 buah 72 lainnya berlokasi di sepanjang jalan provinsi, dan 7 buah 12 sisanya berlokasi di sepanjang jalan kabupaten. Dari data yang ada, jumlah gerai pakaian bekas di sepanjang jalan provinsi menduduki peringkat pertama, disusul kemudian dengan gerai di jalan protokol negara, dan jalan kabupaten. Tentang lokasi gerai dari jalan bisa diikuti dalam Tabel 3 berikut. Data di atas sekaligus menginformasikan tentang pertimbangan pedagang pakaian bekas dalam menentukan tempat usaha mereka. Berdasarkan hasil observasi di lapangan, hampir semua pedagang pakaian bekas menempatkan faktor aksesibilitas terhadap jalan sebagai hal utama yang akan mereka pertimbangkan saat hendak memulai usahanya. Di samping itu, ada satu aspek lain yang juga menjadi pertimbangan sebagian besar pedagang pakaian bekas dalam menjalankan aktivitas ekonominya, yakni keramaian publik. Hampir semua gerai pakaian bekas yang ada mengambil tempat usahanya di wilayah yang mereka perhitungkan merupakan sentral keramaian publik. Dalam khasanah budaya Jawa gejala ini sejajar dengan Tipe Jalan Jumlah Persentase Jalan Protokol Negara 9 16 Jalan Provinsi 41 72 Jalan Kabupaten 7 12 Total 57 100 Tabel 3 Lokasi Gerai Pakaian Bekas di Yogyakarta Berdasarkan Akses Jalan 91 istilah “mangku dalan”; sebuah seruan dan keyakinan yang berkambang di kalangan para pedagang tentang perlunya “memuliakan” jalan. Tentang lokasi gerai pakaian bekas dilihat dari titik keramaian publik bisa dilihat pada Tabel 4 berikut ini. Dari Tabel 4 di atas, terdapat enam titik keramaian publik yang banyak diperhitungkan oleh para pedagang pakaian bekas sebagai lokasi pilihan untuk melakukan aktivitas usaha mereka. Keenam lokasi yang dimaksudkan meliputi: sekolah atau kampus, pasar, terminal, rumah sakit, perkantoran, dan pabrik. Dari data yang berhasil dikumpulkan di lapangan tampak bahwa pasar merupakan lokasi yang banyak diincar atau diminati oleh sebagian besar pedagang pakaian bekas; disusul kemudian dengan sekolah atau kampus, kantor pemerintahan, terminal, rumah sakit, dan pabrik. Dari keenam lokasi pilihan para pedagang itu, pasar menduduki peringkat pertama dengan jumlah gerai sebanyak 28 buah 29,8, disusul oleh sekolahkampus pada peringkat kedua dengan jumlah gerai sebanyak 21 buah 40,3, dilanjutkan oleh tiga peringkat sisanya yang masing-masing adalah kantor pemerintah sebanyak 7 buah 12,3, terminal sebanyak 5 buah 8,8, rumah sakit sebanyak 4 buah 7, dan pabrik sebanyak 1 buah 1,7. Lokasi Jumlah Persentase Dekat Sekolah Kampus 21 29,8 Dekat Pasar 28 40,3 Dekat Terminal 5 8,8 Dekat Rumah Sakit 4 7 Dekat Kantor Pemerintah 7 12,3 Dekat Pabrik 1 1,7 Total 57 100 Tabel 4 Lokasi Gerai Pakaian Bekas di Yogyakarta Berdasarkan Jarak dengan Pusat Keramaian 92 Informasi selanjutnya adalah berkenaan dengan status gerai atau kios sebagai sarana utama perdagangan pakaian bekas. Sejauh ini status gerai atau kios pakaian bekas sebagaimana digunakan sebagai tempat usaha dibedakan menjadi dua: sewa dan milik sendiri. Dari ke-57 gerai pakaian bekas yang ada di Yogyakarta 55 buah 96,5 di antaranya berstatus sewa, sedangkan 2 gerai 3,5 sisanya berstatus milik sendiri. Dengan demikian tampak bahwa mayoritas gerai pakaian bekas yang beroperasi di sejumlah tempat di Yogyakarta adalah berstatus sewa. Proses sewa umumnya melibatkan para pedagang dengan para pemilik tempat bangunan yang merupakan penduduk asli setempat. Dua gerai yang berstatus milik sendiri itu masing-masing adalah: gerai “Vina Collection” milik Amrizal yang berada di Jl. K.H. Wakhid Hasyim No. 74 dan gerai “NN” tanpa nama milik Telly Simanjuntak, yang terletak di Jl. Surya, No. 420, Banguntapan, Bantul; di seputaran gedung Jogja Expo Centre. Kedua gerai pakaian bekas ini dioperasikan menjadi satu bagian dengan rumah atau tempat tinggal pedagang. Perbedaan status yang ada sejauh ini berkait berkelindan dengan performance gerai dalam menampilkan diri kepada publik. Untuk gerai yang memiliki status sewa tampak lebih atraktif. Hal ini bisa dilihat dari desain interior gerai dan display pakaian bekas yang diperdagangkan. Dalam konteks desain interior umumnya oleh para pedagang gerai yang akan akan ditata seefektif mungkin, sehingga dimungkinkan bisa menampung pakaian dalam jumlah banyak. Di beberapa gerai bahkan ada yang ditambahkan dengan pot-pot bunga yang terbuat dari plastik, bejana dari gerabah, atau sangkar burung yang didalamnya berisi burung tiruan eletronik yang bisa bersuara sebagai dekorasi. Sementara dari konteks display atau pemajangan, pakaian bekas yang ada di gerai umumnya ditata secara rapih dan 93 sistematik. Beberapa bagian dinding gerai tidak luput dipakai untuk menggantung beragam jenis pakaian. 21 Sedangkan untuk gerai yang berstatus milik sendiri tampak jauh lebih sederhana dan terkesan apa adanya. Keterangan lain yang kiranya perlu diketengahkan di sini adalah kondisi fisik bangunan atau gerai yang selama ini menjadi titik tumpu aktivitas perdagangan pakaian bekas. Berdasarkan hasil observasi di lapangan, kondisi fisik bangunan atau gerai dibedakan dalam dua kelompok, yakni: permanen dan semi permanen. Yang dimaksudkan dengan bangunan permanen adalah gerai yang secara fisik berbentuk rumah tinggal atau kios berukuran menengah hingga besar dengan lantai tegel dan berdinding tembok. Sedangkan bangunan semi permanen umumnya dikarakterisasikan oleh bentuk kios berukuran kecil dengan lantai ubin atau semen dengan dinding yang memadukan tembok dan papan kotangan: Jawa. Dari 57 gerai pakaian bekas yang beroperasi di Yogyakarta tercatat 54 buah 94,7 di antarannya termasuk kategori bangunan permanen, sedang tiga buah 5,3 sisanya merupakan bangunan semi permanen. A.3. Perilaku Ekonomi dan Etnisitas Pedagang Sebagaimana disinggung pada bagian sebelumnya, perdagangan pakaian bekas merupakan aktivitas ekonomi yang digerakkan oleh para korban PHK yang terjadi selama krisis ekonomi 1998. Hampir semua pedagang pakaian bekas merupakan bekas karyawan pelbagai institusi ekonomi bisnis. Sebelum 21 Sentuhan kreatif itu masing-masing bisa dijumpai di gerai “Murah Obral” milik Tedy di Jl. KH. Ahmad Dahlan dimana terdapat pot-pot bunga dari plastik dan bejana gerabah, dan gerai “Sandang Murah” milik Fadel di Jl.Adisutjipto dengan sangkar burung yang diisi dengan burung elektronik. 94 berkecimpung di dunia pakaian bekas, hampir semua pedagang merupakan karyawan di pelbagai perusahaan swasta dengan pelbagai konsentrasi. Di antara mereka ada yang pernah bekerja di perusahaan pertambangan seperti minyak dan batubara di Kalimantan, dan perusahaan-perusahaan perkebunan seperti kelapa sawit, karet, atau kopi di wilayah Sumatera. Ada pula yang dulunya bekerja di perusahaan pengecoran besi baja, kayu lapis, garmen, dan kantor jasa konstruksi di wilayah Jakarta dan Jawa Barat. Sebagian di antara mereka berstatus karyawan kontrak dan sebagian lain karyawan tetap. 22 Dari latar belakang semacam itu pada awalnya banyak pedagang yang mengidap rasa minder. Mereka merasa kikuk atau canggung, dan merasa kurang cakap dalam menjalankan usaha rintisannya itu. 23 Hal yang demikian itu tentunya jamak terjadi dan bisa dipahami, mengingat mereka itu sejatinya tengah mengalami cultural lag gegar budaya akibat lompatan budaya cultural leap dari buruh labours menjadi pedagang businessmen. Di sisi lain keterlibatan para eks buruh dalam perdagangan pakaian bekas sekaligus menandai adanya budaya survival survival culture. Sebuah upaya yang diciptakan oleh orang yang memiliki persoalan sosial- ekonomi dan berusaha agar tetap bisa bertahan hidup. Survival culture dalam hal ini menjadi semacam “matras pelindung” yang akan membentengi korban dari benturan persoalan hidup yang berakar pada hilangnya pendapatan atau mata pencarian. Sebuah problem yang secara psikologis bisa makin memburuk jika tidak ada jalan keluar konkret. 22 Sebagai contoh adalah Fadel dan Dedi. Fadel sebelumnya adalah karyawan tetap sebuah perusahaan tambang di Sumatera dengan masa kerja hampir 10 tahun. Sama halnya Dedi, sebelumnya adalah karyawan tetap sebuah perusahaan garmen di Bandung dengan masa kerja 12 tahun. Wawancara terpisah masing-masing pada 10 dan 14 Mei 2011. 23 Wawancara terpisah dengan Amrizal dan Tedy pada 17 Mei 2011. 95 Situasi dan kondisi di atas di sisi lain menjadi daya dorong bagi para pedagang untuk tetap berusaha mengatasi persoalan yang mereka hadapi. Termasuk di dalamnya adalah upaya mereka menjalin solidaritas di antara mereka atau membuka komunikasi dengan rekan-rekan lainnya. Pada fase awal perdagangan solidaritas dengan warna etnis ini sangat kentara. Dalam kaitan ini Dedi Suriadi menceritakan pengalamannya bahwa pada awal rintisan usahanya, ia banyak mendapatkan bantuan dari rekan sekampungnya dari Indramayu yang merantau ke Yogyakarta dan telah lebih dulu sukses dengan bisnis jasa transportasi sebagaimana dilakukan dengan cara mendirikan agen perjalanan. Teman sekampungnya itu membantunya mencarikan tempat usaha atau gerai yang akan disewa, memberikan pinjaman uang untuk modal, dan menyediakan satu kamar di rumahnya untuk menyimpan pakaian bekas dagangannya yang jumlahnya berkarung-karung secara cuma-cuma atau gratis. 24 Solidaritas yang diwarnai dengan nuansa etnik itu salah satunya tercermin dari komposisi pedagang dan gerai yang mereka kelola. Berdasarkan hasil observasi di lapangan diketahui bahwa perdagangan pakaian bekas di Yogyakarta selama ini dilakukan oleh tiga etnik, yakni: Minangkabau, Jawa, dan Batak. Dari 57 gerai pakaian bekas yang ada di pelbagai tempat di Yogyakarta saat ini, 51 buah 89,5 di antarannya dilakukan oleh para pedagang dengan latar belakang etnik Minangkabau. Jumlah ini menempatkan mereka di ranking pertama. Disusul kemudian oleh para pedagang berlatar belakang etnik Jawa dengan jumlah gerai sebanyak lima buah 8,8 di tempat kedua. Sedangkan sisanya dilakukan oleh 24 Hal senada juga dialami Fadel. Pada masa awal perantauannya di Yogyakarta, ia banyak mendapat bantuan dari rekan sekampungnya yang sukses dengan bisnis kuliner sebagaimana ia lakukan dengan cara mendirikan Rumah Makan Padang “Surya” yang berlokasi di Jl. Kaliurang. Wawancara terpisah masing-masing dengan Dedi Suryadi dan Fadel pada 20 Mei 2011. 96 pedagang berlatar belakang etnik Batak dengan jumlah gerai sebanyak satu buah 1,7 di posisi ketiga. Perhitungan mengenai latar belakang etnik para pedagang pakaian bekas dan jumlah gerai yang mereka kelola selanjutnya bisa diikuti lewat Tabel 5 berikut ini. Pada saat yang sama situasi ekonomi nasional pasca krisis yang tidak kunjung membaik turut mengontribusi terhadap proses pembentukan semangat, keahlian, dan perilaku ekonomi para pedagang pakaian bekas selanjutnya. Sebagai “pedagang baru” mereka memiliki sensitivitas terhadap pelbagai peluang dan kreativitas dalam mengolah pelbagai kemungkinan. Hal yang demikian ini bisa dilihat dalam perkembangan waktu kemudian. Dalam jangka waktu yang tidak lama para pedagang pakaian bekas yang ada tidak lagi tampil sebagai “pedagang baru” melainkan “pedagang underdog”. Demikian halnya aktivitas yang mereka lakukan merepresentasikan “perdagangan underdog”. Melalui mekanisme jual beli sebagaimana layaknya pasar, para pedagang itu berhasil menghadirkan pakaian bekas ke tengah-tengah masyarakat Yogyakarta kontemporer sebagai situs konsumsi baru. Sebuah situs konsumsi yang memerdagangkan barang-barang lama di tengah belantara situs konsumsi modern yang banyak menawarkan barang-barang baru dengan citarasa yang juga baru. No Etnik Gerai Persentase 1 Minangkabau 51 89,5 2 Jawa 5 8,8 3 Batak 1 1,7 Total 57 100 Tabel 5 Latar Etnik Pedagang Jumlah Gerai Yang Dikelola 97

B. Komodifikasi dan Reproduksi Pakaian Bekas

B.1. Pemetaan Lokasi Mendekatnya pakaian bekas di tengah-tengah kehidupan masyarakat Yogyakarta kontemporer lewat mekanisme perdagangan menandai berlangsungnya proses atau fase komodifikasi. Hampir semua hal yang berhubungan dengan pakaian bekas sebagaimana berkembang sekarang tidak bisa dilepaskan dari proses komodifikasi. Dengan demikian pakaian bekas sebagaimana berkembang dalam masyarakat saat ini pada dasarnya tidak lagi tampil sebagaimana apa adanya, tetapi telah terlebih dulu mengalami proses komodifikasi atau produksi. Komodifikasi dalam pengertian ini bisa diterjemahkan sebagai proses atau usaha sebagaimana dilakukan oleh para pedagang dalam usahanya untuk meningkatkan nilai guna dan nilai tukar ekonomi pakaian bekas yang mereka jual. 25 Komodifikasi pertama sebagaimana dilakukan para pedagang pakaian bekas adalah komodifikasi ruang lewat pemetaan lokasi. Sebagaimana diutarakan sebelumnya, pendirian gerai atau tempat usaha sama sekali tidak dilakukan secara asal-asalan, melainkan diperhitungkan berdasarkan pemetaan lokasi terhadap aspek aksesibilitas atas jalan, posisi strategisnya, dan jarak dengan pusat keramaian publik. Uraian sebagaimana disebutkan terakhir di atas sekaligus menggarisbawahi pemahaman bahwa penentuan lokasi usaha tidak hanya semata-mata bermuara pada 25 Jean Baudrillard 1996, “For a Critique of Political Economy of the Sign” dalam Mark Poster ed., Jean Baudrillard: Selected Writings, Stanford: California University Press, hlm. 57-55. 98 persoalan peningkatan kemudahan dan keleluasaan kepada pembeli dalam menjangkau atau mengakses pakaian bekas sebagaimana dikelola dalam gerai-gerai mereka. Lebih jauh persoalan penentuan lokasi usaha sebagaimana dilakukan para pedagang sekaligus berkaitan dengan peningkatan nilai tukar ruang di mana gerai pakaian bekas tersebut kelak akan didirikan. Dalam hal ini tampak bahwa perdagangan pakaian bekas dikembangkan secara beriringan dengan proses peningkatan nilai tukar ruang yang nantinya akan dijadikan lokasi usaha melalui proses komodifikasi. Peningkatan nilai tukar ruang sebagaimana dikembangkan para pedagang sejajar dengan pengembangan penampilan gerai lewat pelbagai sentuhan interior design dan display pakaian. Komodifikasi ruang sebagaimana dilakukan oleh para pedagang lewat pemetaan lokasi di mana perdagangan pakaian bekas kelak akan dijalankan memiliki peran signifikan dalam meningkatkan pendapatan atau keuntungan ekonomi pedagang. Dalam konsumsi modern yang sangat menekankan pada perhitungan dan manajemen, komodifikasi ruang yang akan dijadikan lokasi pendirian gerai atau tempat usaha memiliki peran penting dalam mereproduksikan nilai guna dan nilai tukar suatu komoditas yang diperdagangkan. Sementara itu proses reproduksi nilai guna dan nilai tukar sebagaimana inherent dalam pakaian bekas pada gilirannya menjadi satu hal mendasar bagi kestabilan dan keberlanjutan perdagangan dalam masyarakat. Hal itu karena proses komodifikasi ruang memiliki kekuatan besar dalam memberikan jaminan dan kemungkinan untuk mereproduksikan keuntungan ekonomi yang mereka peroleh secara terus menerus pada masa atau fase selanjutnya. B.2. Promosi 99 Proses komodifikasi berikutnya berkaitan dengan minat lewat promosi. Promosi yang dilakukan pedagang sejauh ini mencakup dua jenis: pasif dan aktif. Promosi pasif meliputi kegiatan seperti pemasangan papan nama, penetapan harga pas bermedia kertas atau sterofoam gabus, dan peneraan logo dan nama gerai pada kertas label hangtag. Promosi aktif mengacu pada partisipasi pedagang dalam acara-acara komersial seperti bazar atau pasar malam funfair. Berdasarkan hasil observasi lapangan, dari 57 gerai pakaian bekas yang ada di Yogyakarta, 36 buah 63,2 di antaranya menerapkan kedua jenis promosi itu, sedangkan 21 buah 36,8 sisanya tidak melakukannya sama sekali. “Sandang Murah” milik Fadel adalah satu-satunya gerai yang menerapkan kedua jenis promosi sekaligus seperti pemasangan papan nama, penetapan harga pas, peneraan logo dan nama gerai di hangtag, dan mengikuti even komersial, seperti Pameran Pembangunan Daerah di Kabupaten dan pasar malam Sekaten di Kota. Komodifikasi minat lewat promosi sebagaimana dilakukan oleh para pedagang pakaian bekas memiliki dampak positif. Di samping menunjang proses jual beli atau peningkatkan pendapatan secara langsung, promosi itu sendiri Gambar 7 Hangtag Pakauan Bekas Hangtag pakaian bekas ala “Sandang Murah”.