Kerangka Konseptual Teoretik PENDAHULUAN

20 merupakan pintu masuk yang dipergunakan Baudrillard, mengikuti jejak seniornya Louis Althusser, untuk mempersoalkan hal fundamental di dalam kapitalisme yang hampir selalu berjaya dan sulit sekali dipatahkan dalam mempengaruhi gerak dan kehidupan masyarakat modern dewasa ini. Melalui sudut pandang konsumsi Baudrillard melihat aspek multiplikasi dan pergerakan objek-objek konsumsi atau bentuk-bentuk komoditas dan implikasinya secara psikologis, sosial, dan kultural. Melalui teori masyarakat konsumen Jean Baudrillard menggambarkan pelbagai trend atau kecenderungan yang muncul dalam masyarakat kontemporer yang telah sedemikian rupa dipenetrasi oleh kekuatan pasar. Masyarakat konsumen oleh Jean Baudrillard diilustrasikan sebagai sebuah masyarakat yang di dalamnya mengalami “ general hysteria” – sebuah suasana dan mentalitas yang senantiasa menghabituasi, mengondisikan, dan menggiring anggota-anggotanya untuk secara terus menerus mengkonsumsi ubiquiotus alih-alih memproduksi dan memfetishkan kenikmatan satisfaction pelbagai barang dan jasa sebagaimana direproduksi secara terus menerus oleh pasar dalam skala yang bersifat massif dan massal. 12 Barang dan jasa sebagaimana berkembang dalam masyarakat saat ini diproduksi pertama-tama bukan untuk memenuhi kebutuhan, tetapi untuk -- meminjam istilah Karl Marx – mereproduksi sarana-sarana produksi, sebagaimana ditandai dengan penciptaan pelbagai bentuk kebutuhan baru. 13 Berkenaan dengan kajian ini, teori masyarakat konsumen akan dipakai untuk menggambarkan trend atau kecenderungan umum sebagaimana berkembang luas dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat Yogyakarta kontemporer. Sebuah situasi 12 Jean Baudrillard 1996, “The Consumer Society” dalam Mark Poster ed., Op. cit, hlm. 45. 13 M. Gottdiener 1995, Postmodern Semiotics. Material Culture and the Forms of Posmodern Life. London: Blackwell. 21 yang mengerangkai, menggerakkan, dan menghabituasi kebiasaan hidup masyarakat Yogyakarta kontemporer dalam melahirkan pelbagai kode, norma, peraturan dan hukum, atau ekspektasi social mereka bersama objek-objek konsumsi. Sebuah sistem bahasa sebagaimana kemudian berkembang luas dan tertancap dalam keyakinan masyarakat pada umumnya. Sebuah kekuatan yang memiliki andeel peran sangat besar atau signifikan dalam menstrukturkan persepsi, sikap dan tindakan masyarakat baik secara individual maupun kolektif; terutama berkenaan dengan cara mereka memaknai dan berhubungan dengan komoditas lewat pemenuhan kebutuhan atau konsumsi. Terkait erat dengan persoalan masyarakat konsumen adalah komodifikasi -- proses perubahan nilai sebuah objek konsumsi atau bentuk komoditas lewat proses produksi. Proses itu menempatkan objek konsumsi atau bentuk komoditas memiliki nilai fungsi sign function. Dalam pengertian ini suatu objek konsumsi atau bentuk komoditas yang di lempar ke pasar selain memiliki kegunaan function dan nilai tukar, juga memiliki nilai tanda sign. Dengan demikian proses komodifikasi atau produksi setiap objek konsumsi atau bentuk komoditas pada dasarnya selain dimaksudkan untuk menaikkan nilai guna dan nilai tukar, juga untuk menaikkan nilai tanda. Dalam konteks konsumsi setiap objek konsumsi atau bentuk komoditas digunakan tidak saja karena nilai fungsional nilai guna dan nilai tukarnya, melainkan juga karena nilai tandanya. Implikasinya, saat seseorang mengkonsumsi suatu objek konsumsi atau bentuk komoditas tertentu, ia tidak tidak saja mengkonsumsi nilai guna dan nilai tukar, tetapi juga nila tanda. Nilai tanda ini memiliki peran yang cukup penting, karena ia akan dipergunakan untuk menjawab 22 kebutuhan dasar para konsumen atau pembeli pakaian bekas akan prestige. yang bisa dicukupi dengan hal-hal bermakna. E.2. Teori Identitas dan Subjek Jacques Lacan Kerangka konseptual kedua yang akan dipergunakan dalam kajian ini adalah teori identitas atau teori subjek sebagaimana dikemukakan oleh Jacques Emile Lacan lewat teori Tahap Cermin mirrror stage theory. 14 Dalam konteks penelitian ini teori tahap cermin Lacanian berfaedah untuk melihat proses identifikasi atau pembentukan ego dan subjektivitas yang dialami oleh para konsumen atau pengguna pakaian bekas dalam kaitannya dengan aktivitas konsumsi mereka terhadap pakaian bekas. Melalui teori tahap cermin analisis tidak hanya terbatas pada fenomena kemanusiaan yang berada di permukaan, tetapi dimungkinkan masuk hingga level terdalam dan sejauh ini banyak terabaikan saat kita melihat persoalan manusia. Dengan kata lain melalui teori ini dimungkinkan menguak dan memahami struktur internal atau struktur psikis, kejiwaan, atau mental para pengguna pakaian bekas. Lewat teori Tahap Cermin Lacan mengemukakan dua hal pokok terkait dengan persoalan subjek: penemuan Ego identitas dan kekuatan yang berbicara dan menggerakkan orang untuk melakukan sesuatu speaking subject, subjek ketidaksadaran melalui bahasa wacana. Melalui teori Tahap Cermin tersebut, Jacques Lacan merumuskan proses pembentukan subjek manusia ke dalam tiga tahap atau fase, yakni: Pra-Cermin, Cermin, dan Pasca-Cermin. Terkait erat dengan 14 Jacques Lacan 2006, “The Mirror Stage as Formative of the I Function and Revealed in Psychoanalytic Experience,” dalam Ecrits, terj. Bruce Fink, N.Y.-London: W.W. Norton Company Inc., hlm. 75-81. 23 ketiga fase atau tahap pembentukan subjek tersebut Lacan mengemukakan enam elemen penting yang dominan mewarnai setiap tahapan. Elemen yang dimaksudkan adalah: gairah hidup desire, persepsi kemampuan untuk mengenali diri sendiri, identifikasi penyamaan atau idealisasi, hubungan subjek dengan wacana, serta hubungan subjek dan dunia luar -- baik dalam pengertian Innenwelt dunia kecil maupun Umwelt dunia besar. 15 Berdasarkan hipotesisnya tentang adanya Tahap Cermin, Lacan selanjutnya merumuskan adanya proses penemuan Ego identitas seseorang berjalan dalam tiga tahap: Pra-Cermin, Cermin dan Pasca-Cermin. Tahap Pra-cermin yang dialami seorang anak saat berumur 0-6 bulan sang anak sepenuhnya tenggelam dalam kondisi kepenuhan dan kenikmatan primordial, yakni menjadi satu dengan ibunya. Berkaitan dengan persepsi, penemuan diri Sang Anak masih bersifat proprioseptif proprioceptive – yakni berjalan sesuai dengan rangsangan yang berasal dari sumber bio-fisik sang anak sendiri. 16 Dalam situasi dan kondisi ini Sang Anak masih mengeksplorasi persepsi sensoris censory perception yang bersumber pada bio- fisiknya. Demikian halnya gambar images tentang dirinya yang ia terima dari ibunya mengalir begitu saja tanpa berhasil ia kendalikan. Persatuan primordial dengan ibunya juga ditandai dengan belum adanya identitas diri, karena diri Sang Anak masih dalam keadaan terfragmentasi. Berkaitan dengan bahasa, ia sudah menerimanya namun belum bisa menggunakannya. Pada Tahap Cermin yang dialami seorang anak pada usia 6-18 bulan Sang Anak menemukan ke- diri-annya self dalam image ibu atau sosok lain yang 15 Loc. Cit., hlm. 78. 16 John M. Verhaar 1989, “ Aku Yang Semu: Jacques Lacan”, dalam John M. Verhaar, Identitas Manusia Menurut Psikologi dan Psikiatri Abad Ke-20, Yogyakarta: Kanisius-BPK Gunung Mulia, hlm. 57. 24 berfungsi sebagai sumber kenikmatan. Dengan kata lain ke- diri-an Sang Anak bersifat imajiner. Berkenaan dengan persepsi, dikarenakan pengenalan diri Sang Anak masih terfragmentasi, maka ia belum bisa membedakan mana self ibunya dan mana self-nya sendiri. Pengalaman menyolok pada fase ini adalah munculnya perasaan bangga narsistik saat untuk kali pertama seorang anak menemukan dirinya sejajar dengan konsep Aha Erlebnis sebagaimana dikemukakan oleh Wolgang Kohler. 17 Dikarenakan diri yang ditemukan masih bercampur baur dengan diri ibunya, ia mengalami misrecognition atau miscognition – salah kenal. Berkaitan dengan bahasa, pada tahap ini Sang Anak mulai belajar menggunakan bahasa, tetapi belum mengetahui maksudnya. Pada Tahap Pasca-Cermin kesatuan primordial yang dinikmati seorang anak terhadap ibunya mulai retak. Retaknya hubungan antara anak dan ibu berkaitan dengan kehadiran sosok Sang Ayah Name-of-the-Father yang merupakan metafor pelbagai hukum dan aturan sosial dan budaya yang muncul sebagai akibat penggunaan bahasa dalam masyarakat. Pengalaman paling mencolok pada tahap ini terletak pada pengalaman Sang Anak saat mulai menggunakan bahasa. Dalam hal ini pengalaman ke- aku-an Sang Anak tidak lagi dibangun berdasarkan pada images, tetapi dalam bentuk penggunaan bahasa simbolik. Pada tahap ini ke- aku-an Sang Anak sepenuhnya ditentukan oleh hubungan sosial yang muncul sebagai konsekuensi dari penggunaan bahasa. Dalam tahap ini Sang Anak diajarkan untuk menerima pelbagai perintah dan larangan dari orang lain. Perubahan yang menimpa Sang Anak ini pada akhirnya melahirkan trauma dalam dirinya. Implikasinya, gairah 17 Lihat, “Aha Erleibnis” dalam www.english.hawai.educriticalinklacantermsahha.html diakses pada 22 Novermber 2010. 25 hidup desire Sang Anak senantiasa diarahkan pada kesatuan primordial atau dalam bentuk apa saja yang bisa mengembalikan pada situasi ini. Selain proses pembentukan subjek di atas Lacan juga menjelasan tentang struktur dunia subjek seseorang yang mencakup tiga tatanan, yakni: Imajiner, Simbolik, dan Real. Ketiga struktur tersebut merepresentasikan kedewasaan subjek seseorang dalam menapaki proses sosialisasi dan pembudayaan. Sebuah konsekuenasi yang harus ditemui manakala harus berhubungan dengan realitas atau kehidupan masyarakat dan budaya. Struktur real adalah dunia subjek seseorang sebelum didefinisikan dalam pelbagai istilah. Dunia kepenuhan, dunia pra bahasa, dunia pra-sejarah yang berjalan dalam prinsip kenikmatan sebagaimana digambarkan dunia anak saat sepenuhnya tergantung dengan ibunya. Dalam hal ini pengalaman Sang Anak sepenuhnya adalah pengalaman Sang Ibu. Struktur imajiner adalah dunia subjek seseorang sebelum memasuki dunia simbolik, bahasa, sosial, atau masyarakat. Di dalamnya disarati dengan gambar atau imej imago sebagaimana dipantulkan oleh sumber kenikmatan yang digambarkan oleh sosok ibu atau apapun yang diasumsikan mampu memberikan kenikmatan. Struktur simbolik adalah dunia ditapaki oleh subjek seseorang yang telah memasuki situasi sosial yang berjalan berdasarkan pada prinsip keteraturan. Dari ketiga tahap perkembangan subjek itu, Lacan sejatinya tengah memfokuskan perhatian pada pengalaman seorang anak dalam menghadapi situasi Oediphus Complex. Perkembangan subjek dalam hal ini sepenuhnya sangat ditentukan oleh bagaimana seseorang mengatasi permasalahan Oediphus Complex. Tahap ini merupakan tahap yang sangat krusial dan menentukan dalam kehidupan psikis Sang Anak. Dikatakan sebagai hal krusial, karena dalam tahap ini Sang Anak 26 berada dalam situasi ambigu: apabila tetap mencintai Sang Ibu ia akan dikutuk dan dikebiri Sang Ayah sekaligus kehilangan identitasnya. Demikian halnya apabila Sang Anak patuh pada perintah Sang Ayah, ia akan kehilangan gairah hidupnya desire karena harus terpisah dengan ibunya yang selama ini menjadi sumber hidupnya. Bagi orang yang bersedia masuk ke dalam proses pendewasaan, sosialisasi, atau pembudayaan, mereka sama sekali tidak memiliki persoalan dengan ketiga tahapan dan struktur subjek yang dilaluinya. Orang dikatakan tidak memiliki masalah “normal” secara kejiwaan apabila ia mampu menghadirkan ketiga struktur subjek itu secara bersamaan. Dengan kata lain, orang dikatakan normal secara psikis, jika memiliki kemampuan untuk menuntaskan problem oedipus compkex dengan cara menghadirkan dan mengintegrasikan ketiga struktur psikis tersebut secara bersama-sama. Sebaliknya apabila seseorang gagal menuntaskan problem Oediphus Complex dan tidak bisa mengintegrasikan ketiga struktur subjek tersebut secara bersama-sama dikatakan sebagai tidak normal atau mengidap gangguan mental mental disturbance. Subjek yang mengalami problem psikis terentang antara: psikosis, neurosis, dan perversif. Suatu bentuk gangguan emosi dan mental yang akan ditanggung dan dampaknya bisa sangat membekas di dalam tahap perkembangan hidup seseorang kelak kemudian hari. Luas dan rumitnya gagasan Lacan sebagaimana diutarakan lewat teori Tahap Cermin di atas, memungkinkan teori tersebut diturunkan atau di- breakdown ke dalam sejumlah konsep kunci. Adapun konsep-konsep turunan yang relevan dan akan dipergunakan dalam penelitian ini meliputi: identifikasi primer primary identification atau identifikasi imajiner imaginary identification, identifikasi 27 sekunder secondary identification atau identifikasi simbolik symbolic identification, Ideal Ego Ich Ideal, Ideal Ich Ich ideal, ambiguitas dan alienasi sekunder, object a libidinal drive, separasi, kastrasi, fantasi, dan sublimasi. Penjelasan lebih lanjut mengenai konsep-konsep kunci dari teori Tahap Cermin tersebut selanjutnya disampaikan dalam paragraf-paragraf berikut. [1] Identifikasi primer primary identification atau Imaginary identification. Sesuai gagasan Lacan, identifikasi primer merupakan mekanisme penyamaan atau idealisasi diri yang dilakukan oleh seseorang yang tengah menapaki fase Cermin atau tahap Imajiner. Mekanisme psikis ini mengacu pada pengalaman seorang anak dalam melakukan idealisasi diri dengan pelbagai imej sebagaimana dipantulkan oleh cermin, yang dalam hal ini dipersonifikasikan lewat sosok ibu atau sosok yang dianggap mampu memberikan pelbagai objek kenikmatan. Identifikasi primer dalam fase cermin sejatinya bersifat pra-sejarah. Hal ini dikarenakan bahwa kesadaran diri seorang anak sepenuhnya masih ditentukan oleh ibu. Kesadaran diri kebertubuhan seorang anak masih bersifat fragmentatif. Momen identifikasi dalam hal ini sebatas pada adanya pengembangan persepsi tentang keutuhan kebertubuhan lewat realitas lain ibu. Dalam fase ini belum terbedakan antara tubuh Sang Anak dengan tubuh ibu. Identitas diri ego yang kelak akan diakui sebagai identitas personalnya Ideal Ego, Ideal Ich merupakan identitas khayalan imagery sebagaimana yang direfleksikan oleh liyan other, ibu. [2] Identifikasi sekunder secondary identification atau symbolic identification. Mekanisme penyamaan atau idealisasi diri yang dilakukan oleh seseorang yang telah menapaki fase Pasca Cermin atau tahap Simbolik. Mekanisme psikis semacam ini mengacu pada pengalaman seseorang dalam melakukan idealisasi diri pada tahap 28 simbolik; identifikasi seseorang dengan Name-of-the Father sebagaimana direpresentasikan dalam pelbagai macam tata aturan, larangan, atau hukum berpakaian sebagaimana berlaku dalam masyarakat Law of the Father. Identitas diri ego sebagaimana dihasilkan dari proses identifikasi dalam struktur simbolik ini merupakan identitas yang sesungguhnya kelak akan dijadikan sebagai identitas sosialnya Ego Ideal, Ich Ideal. 18 [2] Object a atau libidinal drive. Istilah ini mengacu pada keberadaan sesuatu yang memiliki arti penting khusus untuk hasrat subjek. Sesuatu yang memiliki kemampuan membangkitkan hasrat atau gairah hidup subjek seseorang object cause desire untuk menemukan keutuhan atau kepenuhan. Sesuatu yang memiliki kemampuan menggerakkan subjek seseorang menemukan hasrat akan sesuatu yang hilang loss atau kekurangan lack. Sesuatu yang senantiasa mendorong subjek seseorang menemukan kehidupan atau menariknya untuk menuju ke sana. Sesuatu yang dimetaforkan sebagai tempat kosong di meja makan yang menunjukkan adanya kekurangan pada seseorang yang biasanya menempati lokasi itu, atau bekas sayatan di wajah yang mengingatkan pada sebuah pisau tajam yang tidak lagi ada. 19 [3] Fantasy. Momen yang menempatkan seseorang ketika menjadi subject of desire. Momen yang berlangsung pada saat seseorang melakukan mekanisme identifikasi untuk kedua kalinya secondary identification atau identifikasi pada struktur simbolik symbolic identification. Momen yang terjadi pada saat seseorang telah 18 Marc Darmon 2002, “Imaginary IdentificationSecondary Identification” dalam Alain de Mijolla ed., 2005, International Dictionary of Psychoanalysis, New York: Thomson Gale, hlm. hlm.798- 799. 19 Philip Hill 1997, Lacan for Beginners, London: Writers and Readers Inc., hlm. 77. Juga Valentin Nusinovici 2002, “Object a”, dalam Alain de Mijolla ed., 2005, International Dictionary of Psychoanalysis, New York: Thomson Gale, hlm. 1172-4. Juga, Dylan Evans 2006, An Introductory Dictionary of Lacanian Psychoanalysis. London and New York: Routledge, 2006, hlm. 128. 29 menapaki fase pasca-cemin atau memasuki dunia nilai, dunia simbolik, dunia bahasa, atau dunia sosial. Fantasi sangat diperlukan untuk mengerjakan ulang pengalaman traumatik yang dialami oleh seseorang pada masa lalu yang direpresi sebagai bagian dari ketidaksadaran. Pemrosesan ulang ini diperlukan agar apa yang direpresi tidak akan berkembang menjadi imej yang menyakitkan dan memengaruhi kestabilan psikisnya. 20 [4] Ideal Ich atau Ideal Ego. Konsep yang dipakai untuk menggambarkan penemuan identitas ego seorang anak yang berada di tahap cermin lewat mekanisme identifikasi atau idealisasi. Konsep ini mengacu pada imej yang dipantulkan oleh sumber kenikmatan sebagaimana dipersonifikasikan dengan sosok ibu atau cermin. Dari serangkaian imej yang direfleksikan oleh cermin, ibu, atau sosok pengganti ibu, dalam perkembangan kemudian satu di antaranya oleh Sang Anak akan dinobatkan atau diakui sebagai ego atau identitas dirinya sebagaimana akan dibawakan untuk berkomunikasi dengan liyan other. Ego atau identitas diri bentukan atau khayalan sebagaimana dipantulkan oleh cermin atau ibu inilah yang dinamai dengan ideal ich atau ideal ego. [5] Ich Ideal atau ego-ideal. Konsep yang dipergunakan Lacan untuk menamai identitas ego yang sebenarnya dari seorang subjek. Sebuah identitas yang dihasilkan oleh seorang subjek manakala berhubungan dengan liyan Other atau berpartisipasi secara sosial. Ego seorang subjek yang dihasilkan pada tahap pasca- cermin atau sudah menapaki tatanan simbolik lewat mekanisme identifikasi sekunder secondary identification. Sebuah penanda yang beroperasi sebagai sesuatu yang diidealkan citra ideal, sesuatu yang diinternalisasi dari hukum dan 20 Dylan Evans 2006, Op. cit., hlm. 128. 30 tata aturan, dan akan memandu atau mengarahkan posisi subjek dalam tatatan simbolik, dan selanjutnya mengantispasi identifikasi sekunder atau produk identifikasi sekunder itu sendiri. The ego-ideal is the signifier operating as ideal, an internalized plan of the law, the guide governing the subjects position in the symbolic order, and hence anticipates secondary Oedipal identification or is a product of that identification. 21 [6] Alienasi sekunder Secondary alienation. Sebuah gangguan psikis yang diidap oleh seseorang yang telah menapaki fase pasca-cermin. Hal itu karena subjek merasakan bahwa ego yang harus ia bawakan dalam berkomunikasi dengan orang lain saat ini dalam kenyataannya tidak sesuai dengan kenikmatan primordial yang pernah ia kenyam sebelumnya tanpa gangguan atau interupsi saat berada di tahap cermin. Dalam hal ini subjek seseorang terpisah atau terasing dari dirinya sendiri. Sebuah gejala yang tidak memiliki kesempatan untuk dihindari, atau kemungkinan disintesiskan sebagai satu keseluruhan the subject is fundamentally split, alienated from himself, and there is no escape from this division, no possibility of wholeness or synthesis. 22 [7] Ambiguitas sekunder secondary ambiguity. Momen yang dalam teori tahap cermin dialami seorang pada tahap pasca-cermin atau simbolik. Setelah sang anak dipisahkan dari ibunya sebagai sumber hasrat sang anak, sang anak harus mematangkan identitasnya dalam dunia sosial. Momen yang kemudian menempatkan subjek dalam kenyataan bahwa apa yang selama ini dipahami sebagai hasratnya ternyata tidak berasal dari dirinya sendiri melainkan dari Liyan. Hasrat 21 Sophie de Mijolla-Meller 2005a, “Ego Ideal Ideal Ego” dalam Alain de Mijolla ed., International Dictionary of Psychoanalysis, New York: Thomson Gale, hlm. .798-799. 22 , Sophie de Mijolla-Meller 2005b, “Alienation”, dalam Alain de Mijolla ed., International Dictionary of Psychoanalysis, New York: Thomson Gale, hlm..798-799. 31 sang anak merupakan hasrat Liyan. Hasrat Sang Anak ditentukan oleh masyarakat dan budaya. Hal ini merupakan perulangan pengalaman ambiguitas pada akhir tahap cerrmin dan mulai masuk ke tahap awal pasca cermin, bahwa hasrat Sang Anak merupakan hasrat Sang Ibu other. [8] Struktur Real. Struktur subjek yang tidak termasuk dalam struktur Imajiner maupun Simbolik. Struktur ini sebagian tersusun dari realitas subjek, meski tidak sungguh diketahui, ia dimediasi oleh dua tatanan Imajiner dan Simbolik, sehingga saat ia muncul, subjek yang ada secara inheren sudah di-other-kan dan teralienasikan. The real stands for what is neither symbolic nor imaginary. It forms part of a subjects reality, however it is never truly known, it is mediated by the two orders of the Imaginary and the Symbolic, thus while it is present, the subject treats it as inherently Othered and alien. 23 [9] Paranoia. Istilah yang dalam psikopatologi dipakai untuk menamai gangguan mental mental disrorder dalam bentuk psikosis yang diikuti dengan delusi. Sebuah bentuk gangguan mental atau psikis yang diidap oleh seseorang yang dalam manifestasinya ditandai oleh kecurigaan atau kekhawatiran disertai dengan pelbagai waham atau halusinasi. Lewat teori tahap cermin, gejala paranoia dipakai untuk menjelaskan momen ketika seorang anak berada di akhir masa cermin dan memasuki awal tahap paca-cermin. Momen yang menempatkan pengetahuan seorang anak yang masih belum mapan dalam mengenali dirinya mau tidak mau harus mengembangkan pengetahuannya untuk memahami lingkungan sekitarnya. Dalam kondisi semacam itu Sang Anak hanya bisa menduga-duga atau menerka- 23 Matine Lerude 2002, “The Real”, dalam Alain de Mijolla ed., International Dictionary of Psychoanalysis, New York: Thomson Gale, hlm. 798-799. 32 nerka tentang dunia baru atau dunia sosial yang akan dijejakinya. Akibatnya ia bukan saja tidak yakin dengan apa yang akan terjadi. Bahkan ia pun tidak yakin dengan pengetahuan tentang dirinya sendiri. Lacan mengatakan bahwa paranoia merupakan bakat bawaan sejajar dengan konsep dosa asal dalam teologi Kristen yang dimiliki seorang anak di samping ambiguitas dan alienasi. Sebuah momen yang menempatkan pengetahuan seorang anak yang berada di dalam masa transisi antara pengetahuannya yang belum mapan dengan kemapanan atas sesuatu yang akan diketahuinya. Momen transisi antara akhir tahap cermin menuju tahap pasca- cermin. 24 [10] Delusi. Delusi adalah suatu keyakinan yang dipegang secara kuat oleh para pengidap paranoia. Sebuah keyakinan atau kesan yang sangat kuat namun tidak memiliki akurasi atau tidak memiliki dasar dalam realitas. Dalam ilmu psikiatri, delusi diartikan sebagai kepercayaan yang persifat patologis hasil dari penyakit atau proses sakit dan terjadi secara berkebalikan. Sebagai penyakit, delusi berbeda dari kepercayaan yang berdasar pada informasi yang tidak lengkap atau salah, dogma, kebodohan, memori yang buruk, ilusi, atau efek lain dari persepsi. Delusi menempatkan seorang paranoid melakukan tindakan yang mengacaukan situasi. Seorang paranoia bertindak berdasarkan persepsi yang keliru yang membuatnya mengkhayalkan respons negatif dari orang lain. 25 [11] Sublimasi. Aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dalam usahanya untuk mengubah atau menyalurkan dorongan-dorongan libidinal atau instingtual drive yang berasal dari Id-nya ke dalam pelbagai simbol atau bahasa. Dengan kata lain 24 Harold P. Blum 2002, “Paranoia” dalam Alain de Mijolla ed., International Dictionary of Psychoanalysis, New York: Thomson Gale, hlm. 1226-1229. 25 Leonard Shengold 1995, Delusions of everyday life. New Haven: Yale University Press. 33 konsep ini mengacu pada proses pembahasaan atas pelbagai dorongan libidinal atau instingtual yang berpusat pada ketidaksadaran. Proses pembahasaan ini disusun secara mandiri sehingga tidak menggunakan pelbagai simbol atau bahasa sebagaimana tersedia di tengah-tengah masyarakat. Konsep ini awalnya dikemukakan oleh Freud yang pada intinya menekankan pada kreativitas orang dalam mengalihkan dorongan agresivitas yang berasal dari Id-nya ke dalam pelbagai bentuk aktivitas yang bisa diterima secara sosial dan budaya. Freud mencontohkan, bahwa subjek yang dikuasai oleh dorongan agresivitas untuk melukai atau membunuh orang lain, kemudian dialihkan dalam provesi sebagai jagal butcher. 26

F. Metode Teknik Penelitian

Penelitian ini merupakan model penelitian kualitatif dengan menekankan aspek eksplanatoris. Salah satu model penelitian ilmiah yang mengombinasikan paparan panjang lebar disertai dengan eksplanasi atas pelbagai gejala yang menjadi sasaran. Model penelitian yang lazim dikembangkan dalam kajian sosial humaniora dan dibedakan dari model penelitian deskriptif naratif yang lebih menekankan pada penyampaian temuan dengan cara melakukan penjejeran fakta tanpa disertai dengan eksplanasi. 27 Sementara itu, untuk mendapatkan data atau informasi seperti jumlah, lokasi, dan sebaran gerai rombengan, ruang lingkup konsumen atau pengguna, alasan dan motif ngrombeng, dan nuansa yang berkembang dalam penggunaan rombengan sebagaimana yang dibutuhkan, kajian ini mengombinasikan 3 metode 26 “Sublimation”, www.NoSubject.com,-Encyclopedia of Lacanian Psychoanalysisdiakses pada 21 Juni 2013. 27 Lexy J. Moeloeng 1990, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Rosdakarya. 34 yakni: penelitian dokumen dan sumber informasi, observasi berketerlibatan participatory action observation, 28 dan wawancara. 29 Observasi dilakukan dengan cara mengamati ke-57 gerai pakaian bekas sebagaimana masing-masing tersebar di wilayah Kodia Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul. Observasi yang dilakukan difokuskan untuk mengetahui jumlah, lokasi, area, dan sebaran gerai yang ada di Yogyakarta. Observasi, yang dalam hal ini adalah identifikasi, juga dipakai dalam proses penelusuran atas pelbagai keragaman dalam pakaian bekas. Indentifikasi sendiri dimaksudkan untuk melengkapi data dan informasi yang berkaitan dengan aspek keragaman pakaian bekas yang sejauh ini tidak bisa digali secara mencukupi dari para pedagang. Identifikasi dilakukan secara acak dengan mengambil sampel dua bal atau 500 buah pakaian bekas sebagaimana diperdagangkan di dua gerai pakaian bekas, yakni gerai “XX” tanpa nama milik Dedi yang masing-masing berlokasi di Jl. Godean Km. 9, Senuko dan Jl. Godean Km. 11, Ngijon, Sleman. Sementara itu serangkaian wawancara yang dilakukan terhadap para responden dimaksudkan untuk menggali informasi dan mengonfirmasi ulang pelbagai informasi yang sudah didapatkan sebelumnya kepada para konsumen dan pedagang rombengan. Wawancara sebagaimana dilakukan terhadap konsumen meliputi 20 orang responden yang terdiri dari 10 orang mahasiswa, dan 10 orang konsumen umum. Ke-10 mahasiswa terdiri dari lima mahasiswa laki-laki dan lima mahasiswa perempuan yang masing-masing tinggal di rumah pondokan laki-laki “Smash Blast” di Kotabaru dan rumah pondokan perempuan “Cherry Belle” di 28 Britha Mikkelsen 2003, Metode Penelitian Partisipatoris dan Pemberdayaan Masyarakat, terj. Hartati, Jakarta: Yayasan Obor. 29 Koentjaraningrat, “Metode Wawancara” dalam Koentjaraningrat 1981, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, hlm. 162-196. 35 sekitaran Depok, Sleman. 30 Sementara 10 orang konsumen umum merupakan pelanggan Dedi yang dijumpai saat mereka berbelanja di gerai. Sedangkan 10 orang pedagang yang dimaksudkan merupakan pedagang pakaian bekas yang dipilih secara acak dari 57 gerai yang ada.

G. Pokok-pokok Gagasan dan Sistematika Penyajian

Tesis ini diorganisasikan ke dalam lima bab. Masing-masing bab memuat pokok-pokok gagasan dan target yang hendak dicapai dalam setiap pembahasan. Bab I merupakan pendahuluan. Pada bagian ini dikemukakan informasi umum seputar orientasi atas masalah pokok yang akan dikaji; alasan pemilihan tema kajian; kedudukan, arah dan sasaran kajian; strategi dan pendekatan yang akan dipergunakan untuk mengupas permasalahan yang telah ditetapkan; serta tahap- tahap peyajian hasil penelitian. Secara formal penelitian ini dikemukakan ke dalam latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teroretik- konseptual, tinjauan pustaka, metode dan teknik penelitian, serta diakhiri dengan mengemukakan pokok-pokok gagasan dan sistematika penyajian. Bab II memaparkan persoalan tentang penggunaan pakaian bekas dalam masyarakat Yogyakarta pada umumnya. Secara umum uraian dimaksudkan untuk menjelaskan tentang ruang lingkup scope penggunaan pakaian bekas dalam masyarakat. Sementara secara khusus uraian dimaksudkan untuk menjelaskan 30 Untuk menjaga ketidaknyamanan yang barangkali muncul setelah penulisan keterangan ini, di samping karena kesepakatan antara penulis dan para responden, berkenaan dengan nama pondokan dan identitas responden sengaja disamarkan atau disebutkan dalam inisial. Dalam tradisi akademis, khususnya ilmu sosial humaniora seperti sosiologi, antropologi, dan sejarah, hal yang demikian ini bisa dibenarkan.