Ngrombeng Dulu PENGGUNAAN PAKAIAN BEKAS DULU DAN KINI
41 susulan berupa terganggunya proses produksi dalam negeri dan meningkatnya angka
pemutusan hubungan kerja PHK.
4
Hancurnya proses produksi dalam negeri dan meningkatnya PHK berkontribusi pada kenaikan harga pelbagai jenis komoditas
pokok
5
dan hilangnya sumber pendapatan masyarakat. Pada level mikro hilangnya sumber pendapatan atau mata pencaharian
masyarakat pada gilirannya berimplikasi pada semakin rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat sebagaimana ditandai dengan lemahnya daya beli.
Pelbagai problem sosial yang berakar pada kesejahteraan akibat krisis ekonomi terjadi di sana-sini.
6
Kebijakan pemulihan kondisi ekonomi nasional melalui mekanisme hutang yang dilakukan pemerintah kepada lembaga keuangan asing
internasional seperti World Bank dan IMF International Monetary Fund justru
melahirkan problem susulan baru.
7
Kebijakan yang diyakini sebagai resep jitu untuk keluar dari permasalahan selain meningkatkan beban hutang luar negeri,
8
justru memantik inflasi dan melemahkan nilai tukar rupiah atas dollar Amerika hingga
4
Lihat, “DEPERINDAG RI: Industri Kulit PHK 18 ribu Karyawan”, Kedaulatan Rakyat, 25 Agustus
1998, hlm. 2.
5
Lihat, “Harga Minyak Sawit dan Daging Ayam Kembali Melambung”, Kedaulatan Rakyat, 7 Juli
1998, hlm. 2. Juga, “Setelah Beras, Giliran Gula Pasir Naik”, Bernas, 8 Juli 1998, hlm. 2.
6
Lihat, “Dampak Krisis, Angka Drop Out Naik”, Kedaulatan Rakyat, 25 Juli 1998, hlm. 2. Lihat,
“KAKANWIL Depdikbud DIY: Banyak Pelajar Jadi Pengasong”, Kedaulatan Rakyat, 11 September
1998, hlm. 2. Lihat, “Akibat Krisis Jadi Polisi Palsu”, Kedaulatan Rakyat, 25 Agustus 1998, hlm. 2.
Lihat, “Pasien RSJ Pakem Meningkat Selama Krisis”, Bernas, 24 Juli 1998, hlm. 2. Lihat, “Akibat
Krisis Terpaksa Mengemis”, Bernas, 25 Juli 1998, hlm. 2.
7
Lihat, “Untuk Menutup Defisit APBN 199899 Bank Dunia Bantu 4-6 Miliar Dolar”, Kedaulatan
Rakyat, 11 Juli 1998, hlm.2
8
Lihat, “Lagi, Injeksi Rp. 8,8 Triliun: BI Terperangkap Pasar Uang”, Kedaulatanan Rakyat, 12 Juli
1998, hlm. 2. Sementara itu hutang luar negeri Indonesia per 2002 sebesar Rp. 1.500 triliun dan naik menjadi Rp. 1.700 triliun pada 2009. Tentang hutang luar negeri, politik anggaran, dan dampaknya
terhadap kehancuran alam dan lingkungan di Indonesia, lihat Patricia Adams 2002, Odious Debts
[Utang Najis] Obral Utang, Korupsi dan Kerusakan Lingkungan di Dunia, terj. Eddy Zainury, Jakarta: INFID. Perhitungan hutang Indonesia versi pemerintah tahun 2009 adalah Rp. 1.500 triliun
atau 30 dari GDP Gross Domestic Brutto sebesar Rp. 5.000 trilliun dengan nilai kurs Rp.
10.000dollar sebagaimana disampaikan Menteri Keuangan kala itu, Sri Mulyani, dalam sebuah talkshow “Wimar Live”, Metro-TV, 5 Juni 2009.
42 mendekati angka Rp. 20.000 per US 1.
9
“Dhuwit ora ana ajine” uang tak lagi punya nilai adalah ungkapan yang kerap keluar dari mulut orang kecil untuk
mengilustrasikan situasi kala itu. Kondisi sosial ekonomi yang berubah secara drastis sebagaimana
diakibatkan oleh krisis ekonomi inilah kiranya yang kemudian menjadi faktor pendorong atau penggerak penggunaan rombengan atau pakaian bekas dalam
masyarakat Yogyakarta pada akhir 1990-an.
10
Selama kurun waktu ini penggunaan rombengan atau pakaian bekas dalam masyarakat mengalami peningkatan yang
sangat signifikan. Intensitas dan cakupan penggunaan rombengan dalam masyarakat
Yogyakarta dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan yang semakin luas dan mendalam. Sementara itu percepatan penggunaan pakaian bekas atau rombengan
lewat cara ngrombèng sebagaimana berkambang dalam masyarakat juga tidak
terlepas dari keberadaan dan peran pedagang rombengan itu sendiri. Hampir semua pedagang rombengan adalah korban PHK. Korban yang berusaha bangkit dari
keterpurukan keadaan sebagaimana diakibatkan krisis multidimesi dan mencoba bangkit untuk memertahankan kehidupan mereka melalui aktivitas ekonomi
perdagangan.
A.2. Motif dan Pelaku Ngrombèng
Dalam kondisi sebagaimana dikemukakan di atas, ngrombèng muncul ke
permukaan sebagai salah satu model konsumsi yang banyak dilakukan masyarakat
9
Lihat, “Januari-Juni Yogya Inflasi 44,88 Pct: Sembako Naik Terus, Super Market Sepi”, Kedaulatan Rakyat, 7 Juli 1998, hlm.2.
10
Lihat, “Pakaian Bekas Pun Laris”, Kedaulatan Rakyat, 12 Januari 1999, hlm. 2.
43 Yogyakarta. Sebuah model pemenuhan kebutuhan yang banyak dilakukan oleh
orang-orang yang berasal dari kalangan menengah-bawah. Para pegawai negeri golongan rendah seperti pesuruh dan penjaga malam; para penjaga kios atau toko
kelontong, petugas kebersihan rumah sakit atau hotel, pelayan rumah makan, kuli bangunan, tukang becak, para pekerja domestik seperti pembantu rumah tangga,
serta para pelajar dan mahasiswa miskin, merupakan pelaku utama aktivitas ngrombeng. Pada masa itu dengan sangat mudah orang bisa menyaksikan aksi
mereka dalam mengkonsumsi pakaian bekas atau pakaian “awul-awul”. Pada waktu- waktu tertentu secara rutin mereka membelanjakan sebagian uangnya untuk
membeli pakaian bekas atau rombengan yang mereka butuhkan. Tanpa bermaksud mereduksi fenomena
ngrombèng sebagai pengalaman personal, saya akan memasukkan unsur pengalaman saya sebagai saksi sekaligus
pelaku ngrombèng ke dalam narasi ini. Sebagaimana mahasiswa indekost-an pada
umumnya yang akrab dengan problem keuangan, tidak pelak menggiring saya untuk tercerap dalam aktivitas
ngrombèng. Dalam seminggu saya bisa dua sampai tiga kali ngrombèng. Hal itu saya lakukan untuk mencari pelbagai jenis pakaian yang saya
perlukan. Ngrombèng semakin intensif saya lakukan seiring keterlibatan saya
dengan organisasi kemanusiaan seperti search and rescue SAR dan
kepecintalaaman di lingkup intra kampus yang kerap memerlukan penggunaan jenis pakaian sesuai standard tertentu saat berada di lapangan. Selain pakaian seragam,
saya masih memerlukan pakaian hangat seperti jumper, pull-over, celana atau jaket.
Ketika membeli pakaian baru sebagaimana yang dimaksudkan menjadi sebuah kemustahilan, secara mati-matian saya pun berusaha memenuhinya dengan cara
ngrombèng.
44 Bagi saya, penggunaan pakaian bekas
bukan merupakan pengalaman yang sama sekali baru. Sebelumnya saya sudah cukup familiar dengan pakaian bekas.
Debut pertama saya berhubungan dengan pakaian bekas bermula sejak masih kecil. Pengalaman yang saya maksudkan adalah pengalaman
nglungsur melungsur.
11
Nglungsur menjadi salah satu cara orang berhubungan dengan pakaian bekas dan aksesoris lainnya yang cukup lazim dilakukan orang pada jaman dulu.
Nglungsur yang saya alami berada di dalam ruang sosial terbatas atau bersifat internal batih
family yakni hanya melibatkan antar-anggota dalam satu keluarga. Dalam konteks ini kebutuhan akan pakaian bisa langsung dicukupi secara terbatas dan cuma-cuma.
Nglungsur kadang juga berkembang secara eksternal atau antar-keluarga dalam arti masing-masing orang tidak mengenal sama sekali.
Nglungsur dalam pengertian kedua salah satinya bisa dilihat dalam kegiatan sosial kemanusiaan seperti bakti
sosial atau bantuan kemanusiaan.
12
Di tengah situasi keterpaksaan akibat krisis semacam itu ngrombèng menjadi
tumpuan pemenuhan kebutuhan sebagian besar masyarakat yang paling terpengaruh oleh adanya krisis.
Ngrombèng menjadi aktivitas rutin dalam mengakses pakaian yang mereka butuhkan.
Lewat cara ngrombèng mereka bisa mendapatkan pelbagai jenis pakaian seperti kaos, kemeja celana, baju hangat seperti
pull-over dan jumper, jaket, selimut-selimut tebal, seprei,
bedcover kain penutup tempat tidur, hingga gorden. Lewat cara ngrombèng masyarakat Yogyakarta pada umumnya bisa
11
Pemindahtanganan pakaian oleh seseorang kepada orang lain hand something down. Departemen
Pendidikan Nasional 2008. Op.cit., hlm. 442.
12
Keberadaan pakaian bekas sebagai barang pemberian lungsuran masih bisa ditemui hingga kini.
Dies natalis kampus-kampus di Yogyakarta selain diisi acara seminar juga diisi dengan pasar murah, donor darah, bakti sosial lewat pemberian pakaian
lungsuran dikenal sebagai “pakaian pantas pakai” ke panti asuhan dan panti wreda. Dalam event kebencanaan seperti erupsi Merapi 2010,
misalnya, pakaian bekas lungsuran merupakan item yang bisa ditemui di hampir setiap posko..
45 menemukan pelbagai jenis dan model pakaian dengan harga per item barang yang
bervariasi, yakni antara Rp. 1.000 hingga Rp. 1.500 untuk pelbagai jenis dan model kaos dan kemeja, Rp. 2.000 hingga Rp. 2.500 untuk celana panjang dan jaket, dan
Rp. 5.000 hingga Rp. 5.500 untuk selimut, seprei dan bedcover. Para pembeli itu
juga kerap mendapatkan harga ekstra berupa rabat dari para penjual manakala mereka membeli pakaian lebih dari dua buah.
13
Sebagai sebuah aktivitas yang dilakukan secara rutin dan telah sedemikian rupa terintegrasi ke dalam aktivitas hidup keseharian,
ngrombèng berbeda dari model penggunaan pakaian pada umumnya yang dilakukan secara spontan atau
hanya bersifat sambil lalu. Dibandingkan dengan model konsumsi pada umumnya ngrombèng muncul dengan alasan yang lebih mendasar. Jika begitu, apa sejatinya
alasan yang mendasari aktivitas ngrombèng pada masa lalu? Sebagaimana
diutarakan pada bagian sebelumnya, ngrombèng merepresentasikan keterpaksaan
konsumsi. Keterpaksaan yang dialami oleh sebagian besar masyarakat kalangan menengah bawah dalam memenuhi kebutuhan mereka akan pakaian. Sebuah
aktivitas pemenuhan kebutuhan konsumsi yang muncul karena kendala finansial seiring dengan semakin memburuknya keasdaan karena krisis ekonomi yang
melemahkan daya beli. Dengan demikian pada masa ini ngrombèng
merepresentasikan model konsumsi masyarakat yang tengah menghadapi keterjepitan keadaan; dalam hal ini adalah ekonomi finansial.
13
Harga ini diperhitungkan di awal krisis 1998. Sejak tahun 2002 penjualan dilakukan dengan sistem pagu yakni dengan menentukan harga terendah dan tertinggi setiap jenis pakaian. Dalam
perkembangan kemudian, pagu yang ditetapkan mengalami peningkatkan dan semakin bervariasi. Pada tahun 2009, pagu terendah yang ditetapkan adalah sebesar Rp. 10.000 dan harga tertinggi Rp.
125.000. Uraian lebih jauh tentang hal ini akan dibahas pada Bab III.
46 Ngrombèng pada saat yang sama juga mengingatkan pada model pertukaran
ekonomi sebagaimana berkembang dalam masyarakat pada umumnya. Dalam model pertukaran yang sedemikian rupa menekankan keuntungan, konsumsi yang
berkembang dalam masyarakat cenderung menjadi bersifat fait a compli atau
eitheror. Dalam model pertukaran semacam ini relasi antara komoditas dan konsumen sedemikian rupa berjalan sesuai rumus yang sepenuhnya ditetapkan
pasar: take it or leave it. Dalil ini mengasumsikan faktor nilai tukar ekonomi uang
sebagai variabel pokok yang harus dicukupi oleh konsumen ketika harus berhubungan dengan barang dagangan atau komoditas. Dalam model pertukaran
semacam itu proses pemenuhan kebutuhan konsumen sepenuhnya didasarkan pada kemampuan finansial mereka. Konsumsi sepenuhnya sangat ditentukan oleh
kapasitas konsumen dalam menggenggam nilai tukar ekonomi. Ketika seorang konsumen mengkonsumsi suatu komoditas tertentu, dengan sendirinya orang itu
memang memiliki kemampuan finansial untuk membelinya. Bagi kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi dan
finansial lebih kondisi semacam itu sudah barang pasti bukan merupakan persoalan. Akan tetapi sebaliknya, bagi kelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan
finansial, konsumsi kemudian menjadi sesuatu yang dilematis. Hubungan antara konsumen dan komoditas kemudian menjadi sebuah
armagedon pertarungan; sebuah hubungan yang bersendikan pada dalil “harta atau nyawa”. Konsekuensi dalil
itu mengerikan: memilih harta, nyawa hilang; memilih nyawa, harta hilang. Konsumen boleh jadi bisa memaksakan diri agar kebutuhannya terpenuhi dengan
cara menggunakan lebih dulu uang makan atau mengutang pada kerabat. Hanya saja hal itu tentunya bukan opsi terbaik untuk diambil. Putusan itu hanya akan
47 melahirkan masalah baru, karena begitu satu kebutuhan tercukupi, kebutuhan lain
justru akan tetap menganga karena tidak terpenuhi. Dilema yang ada pada akhirnya melahirkan perasaan ketidaknyamanan
unpleasure di kalangan para konsumen. Sampai di sini bisa jelas kiranya bahwa alasan utama orang untuk
mengkonsumsi pakaian bekas atau ngrombèng pertama-tama didasarkan pada alasan
atau pertimbangan ekonomi, yakni demi kemurahan. Ngrombèng dengan kata lain
merupakan wujud konkret dari sikap berhemat. Dengan mengkonsumsi rombengan atau pakaian “awul-awul” yang
nota bene merupakan barang lama dan berharga murah, para konsumen merasa sangat tertolong. Bagi mereka yang memiliki
keterbatasan finansial, ngrombèng menyodorkan kesempatan untuk mengatasi
proses konsumsi yang terkendala oleh persoalan harga. Penghematan yang ditempuh dengan cara mengkonsumsi rombengan pada gilirannya juga berkaitan dengan
elastisitas kemampuan mereka dalam hal konsumsi. Dengan demikian di samping akan mengatasi persoalan kendala harga untuk satu jenis kebutuhan,
ngrombèng juga membuka kesempatan pada konsumen untuk memerluas jangkauan mereka
dalam memenuhi kebutuhan hidup lainnya. Hal lain yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah bahwa di dalam
sistem pertukaran yang berorientasi profit, pemenuhan kebutuhan sebagaimana berlangsung di pasar modern cenderung berjalan menuju satu arah. Implikasinya,
apa yang dilakukan konsumen dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka tidak lebih sekedar “menyetujui” setiap keputusan sebagaimana tekah ditentukan oleh
pasar. Dalam situasi semacam itu apa yang dibayangkan sebagai kemungkinan atau alternatif berada dalam posisi marginal atau bahkan bisa dikatakan tidak ada sama
sekali. Ketentuan pasar sebagaimana mendasari sistem pertukaran ekonomi modern
48 semacam ini menjadikan proses konsumsi tidak lebih sebagai tindakan
mengkonsumsi komoditas “yang harus dan yang hanya itu saja”. Ketiadaan kemungkinan atau alternatif menjadikan aktivitas membeli juga hanya memiliki satu
arti, yakni membeli komoditas baru sebagaimana disodorkan oleh pasar dengan harga yang mahal.
Dihadapkan pada kecenderungan sebagaimana diutarakan di atas, bagi mereka yang memiliki keterbatasan finansial,
ngrombèng merepresentasikan upaya atau kreativitas orang dalam menciptakan jalan keluar dari himpitan permasalahan
yang muncul dalam hal konsumsi. Sebuah siasat yang dilakukan konsumen ketika menghadapi sebuah dilema tertentu. Akan tetapi, mengapa keputusan itu kemudian
dikembangkan lewat cara ngrombèng? Mengapa ngrombèng menjadi tumpuan
keputusan dan upaya itu? Dalam kondisi yang dilematis dan seolah-lah tidak terjembatani semacam itu,
ngrombèng dipandang oleh sebagian besar orang sebagai aktivitas yang paling realistis dilakukan terutama konsumen kalangan menengah-
bawah. Kata realistis adalah kata lain dari ideal. Idealitas ngrombèng terletak pada
kekuatannya dalam mengurangi tensi atau tegangan yang berakar pada sistem dan mekanisme pertukaran modern yang ternyata berpotensi melahirkan banyak
dilemma yang tidak mudah dipecahkan. Ngrombèng memiliki kekuatan yang akan menjamin konsumen keluar dari
dilema dan ketidaknyamanan konsumsi modern yang tidak memberi ruang gerak kepada mereka.
Ngrombèng mereka tempatkan sebagai sesuatu yang bisa memulihkan proses konsumsi sehingga tidak menjadi sesuatu yang membebani
hidup mereka sehari-hari dalam memenuhi kebutuhan. Ngrombèng juga menegaskan
bahwa ketika orang mengkonsumsi suatu komoditas, pertama-tama bukan karena
49 komoditas itu
perse, tetapi karena alternatif yang ada di dalamnya. Dengan ngrombèng terbuka celah kemungkinan bagi para konsumen untuk berkelit atau
mengelak dari keharusan pasar, bahwa mengkonsumsi suatu komoditas tidak semata-mata berarti mengkonsumsi sesuatu yang baru. Para konsumen itu juga
mencoba untuk menghindar dari adagium pasar: ana dhuwit ana barang ada uang
ada barang dan ana rupa ana rega ada kualits ada harga yang telah diterima dan
berkembang sedemikian rupa sebagai semacam keyakinan dalam masyarakat pada umumnya
.
A.3. Ruang Hidup, Identitas, dan Nilai Ngrombèng
Fenomena ngrombèng sebagaimana berkembang luas di tengah masyarkat
Yogyakarta tidak bisa dipisahkan dari ruang hidup atau tempat di mana pakaian bekas atau rombengan itu diperjualbelikan. Aktivitas
ngrombèng dalam masyarakat Yogyakarta mengingatkan pada fenomena ekonomi perdagangan pakaian bekas
sarthir – akronim dari pasar sênthir,
14
yang terkenal di era 1960-1980-an. Istilah sarthir mengacu pada model perdagangan casual kali lima yang dilakukan para
pedagang bermodal kecil dengan cara menggelar barang dagangan mereka di bawah pohon, trotoar jalan, atau emperan toko dengan plastik, tikar, atau terpal sebagai
alas, dan lampu minyak bersumbu sênthir sebagai sumber penerangan. Sarthir
umumnya beroperasi lebih kurang mulai dari jam 19 hingga jam 24 tengah malam atau bahkan dini hari. Selain pakaian bekas, di tempat
sarthir juga diperjualbelikan
14
Ada sebagian masyarakat yang menyebut sarthir dengan Klithikan. Konon nama ini merupakan
anomatope dari bunyi “klithik-klithik” yang muncul dari bunyi barang saat didagangkan. Lihat, “Pasar Klithikan Kuncen”, JogjaTrip.com diakses pada 10 April 2010.
50 pelbagai barang lain seperti:
audiovideo player, radio, recorder, amplifier dan TV bekas; seterika listrik, lampu belajar, kipas angin; hingga perkakas sepeda dan
sepeda motor bekas. Secara sosiologis sarthir juga distigmakan memiliki kaitan
dengan aktivitas kriminal seperti pencurian, kekerasan dan pelacuran. Mulai kapan aktivitas ekonomi
sarthir muncul di tengah masyarakat tidak seorang pun bisa memastikannya. Sebagian masyarakat ada yang meyakini bahwa ia
muncul di awal tahun 1970-an seiring dengan penataan ekonomi rejim Orde Baru dari pertanian ke non-pertanian pasca G30S. Sementara sebagian yang lain
mengatakan bahwa kegiatan ekonomi masyarakat berskala kecil ini muncul ke tengah-tengah masyarakat Yogyakarta sekitar akhir 1960-an. Satu kurun waktu yang
berkaitan erat dengan memburuknya kondisi ekonomi Indonesia pada periode terakhir pemerintahan politik rezim Soekarno.
15
Apa yang cukup jelas kemudian adalah setelah
pamor sarthir meredup, pada awal hingga akhir tahun 1990-an muncul bentuk perdagangan serupa yang tidak memerlukan waktu lama menjadi
booming di Yogyakarta: “awul-awul”. Sebagaimana halnya sarthir bentuk perdagangan ini dilakukan dengan cara sangat sederhana. Para pedagang meletakkan
dagangannya begitu saja di atas tikar plastik atau terpal secara memanjang mengikuti arah trotoar jalan; Sebagian penjual menjajakan daganganya di los-los
pasar tradisional. Di lokasi itu tidak seorang pedagang pun yang merasa perlu memilah dan
menata pakaian terlebih dulu. Di sepanjang trotoar jalan-jalan utama kota atau los- los pasar tradisional ratusan pedagang bekas itu menggelar dagangan mereka yang
15
Sekurang-kurangnya ada empat lokasi sarthir di Yogyakarta yang cukup terkenal di era 1980-an:
1 sarthir Senopati di kawasan Shopping Center, 2 sarthir Pakualaman di kawasan alun-alun Puro
Pakualaman, 3 sarthir Haji Dahlan di halaman Gedoeng Pertemoean Muhammadijah, di kawasan
Ngabean, dan 4 sarthir Terban yang berlokasi di Terminal “Colt Kampus” Terban.
51 volumenya bergunung-gunung. Para pedagang itu rata-rata memulai aktivitasnya
mulai dari jam 8 pagi sampai sekitar jam 9 malam. Menjelang Maghrib tiba sebagian penjual kemudian menggunakan lampu-lampu minyak petormax sebagai alat
penerang kegiatannya. Sementara sebagian lainnya memasang lampu pijar dengan listrik yang ditarik dari kios atau rumah penduduk terdekat dengan jalan di mana
mereka mangkal. Mengandalkan pada ingatan, aktivitas ngrombeng dalam hal ini
“ngawul” tersebar di 20 lokasi sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1 berikut.
16
16
Ingatan itu saya konfirmasikan ulang dengan Fadel, pemilik gerai “Sandang Murah”, dan Teddy, pemilik gerai NN, tanpa nama di Jln. KH. Ahmad Dahlan, sebagai “wong gaek” orang lama dalam
perdagangan rombengan atau pakaian “awul-awul” di Yogyakarta. Selama periode itu mereka berdua masing-masing mangkal di trotoar Jln. Ngasem dan Jln. KH. Ahmad Dahlan. Di area itu pula
keduanya kemudian mengembangkan rombengan atau pakaian “awul-awul” dalam bentuknya yang sekarang.
Wawancara terpisah dilakukan pada 17 Oktober 2010.
Titik Lokasi
1 Jl. Nyi Condrolukito PDAM Gemawang hingga Jl. A.M. Sangaji
Jetis ke barat sampai Maerakaca. 2
Pasar Kranggan Jl. Poncowinatan 3
Jl. P. Mangkubumi: Tugu ke selatan sampai Stasiun KA Tugu. 4
Kantor Samsat, Pingit hingga Gampingan Jl. HOS Cokroaminoto 5
Jl. Wirobrajan hingga Bayeman. 6
Jl. Kaliurang Kentungan hingga Pasar Terban Jl. C. Simanjuntak. 7
Jl. Gejayan hingga depan RRI dan Pasar Demangan. 8
Bunderan UGM hingga Jln. Colombo UNY. 9
Pasar Demangan hingga perpustakaan IAIN Jl. Adisutjipto. 10
IAIN Sunan Kalijaga hingga Walikota Jl. Kapas. 11
TVRI Karangwaru hingga perempatan Pingit Jl. Magelang. 12
Jl. Sultan Agung Semaki hingga shopping center Jl. P. Senapati.
13 Pasar Beringharjo
14 Seputaran Stadion Mandala Krida hingga Jl. Gayam.
15 Jl. Gajah Mada hingga Alun-alun Puro Pakualaman.
16 Gereja Kotabaru hingga Jl. Ahmad Jazuli Masjid Syuhada.
17 Seputaran Stadion Kridosono Jln. Yos Sudarso.
18 Seputaran Alun-alun Lor.
19 Seputaran Alun-alun Kidul.
20 Sepanjang Jl. Ngasem.
Tabel 1. 20 Lokasi Perdagangan “Awul-awul”
52 Ngrombèng dalam hal ini berarti “awul-awul” menemukan momentumnya
di awal bulan. Bagi sebagian besar mahasiswa indeskost-an, awal bulan menjadi
penanda bagi mereka untuk mencari “pakaian baru” dalam arti belum pernah dimiliki setelah krisis finansial mereka usai dengan datangnya uang dari orang tua.
Jika untuk kebutuhan makan kami mengembangkan siasat “STEREO” alias Sêga
Sêtengah Témpéné Loro, nasi setengah piring plus 2 tempe atau “SANJUNG LABEL”
Sêgané Munjung Lawuhé Sambêl, nasi bak gunung, lauknya sambal, untuk kebutuhan pakaian kami mengisinya dengan
cara ngrombèng. Jika kebutuhan lain masih menganga atau belum terpenuhi, tidak jarang kami pun kemudian akan
menjual istilahnya dulu “melego” atau “nyekolahke” istilah populer untuk ‘menggadaikan’ barang-barang yang kami miliki, seperti: mesin ketik, gitar,
audio player seperti radio atau tape, ransel atau koper, sepeda kayuh, hingga sepeda
motor ke pegadaian untuk sejumlah uang. Aktivitas terakhir ini bukan tanpa resiko, sebab jika kita gagal menebus barang yang telah disepakati dengan pihak pegadaian
sesuai “jatuh tempo”, maka semua barang akan di- beslaag sita.
Akan tetapi ngrombèng pada awalnya sejatinya merupakan aktivitas yang
penuh dengan kelemahan dan spekulasi. Lokasi perdagangan yang kotor, gelap, dan tidak nyaman, tidak cukup memberi keleluasaan kepada kami sebagai pembeli untuk
memilih dan meneliti pakaian yang akan dibeli secara memadai. Demikian halnya hospitalitas penjual yang rendah, seperti tampak pada sikap mereka yang tidak
memberi kesempatan kepada pembeli untuk bisa memilih secara cepat melainkan terlebih dulu harus
ngawul-awul, tidak mengizinkan pembeli mencoba pakaian terlebih dulu, atau tidak menerima penukaran pakaian yang sudah dibeli, praktis
meniadakan aspek kenyamanan kepada para pembeli pada saat berbelanja di situ.
53 Akibatnya pembeli sama sekali tidak mendapatkan kemerdekaan dan jaminan atas
apa yang dibeli. Pembeli bahkan sejatinya telah kehilangan hak atas apa yang seharusnya mereka dapatkan. Dalam situasi dan kondisi yang demikian itu faktor
luck kadang kala justru menjadi faktor dominan yang akan muncul beriringan dengan aktivitas
ngrombèng.
Pada waktu tertentu apabila sedang beruntung saya memang bisa mendapatkan rombengan
dalam kondisi yang baik. Akan tetapi yang paling sering menimpa saya adalah saya akan membawa pulang rombengan
dalam kondisi yang tidak baik. Di beberapa bagian mengandung banyak kecacatan. Untuk kemeja
misalnya, cacat yang kerap muncul adalah meliputi: kondisi lusuh mêmrêt: Jawa di
bagian krah, jahitan terlepas dhèdhèl: Jawa di bagian ketiak atau pangkal lengan,
satu dua buah kancing baju pecah atau hilang, lubang-lubang kecil bekas gigitan rengat atau tikus, lubang bekas sundutan rokok atau obat nyamuk spiral bakar, dan
Gambar 2a Pakaian Bekas Dulu
Awul-awul di Lt. IV, Beringharjo, menjelang Lebaran Sumber KR, 101199
54 bercak noda tinta atau getah. Sedangkan untuk jenis celana dan jaket, kecacatan
yang paling kerap saya temui meliputi: ritsluiting yang hilang pengaitnya hook,
macet, atau rusak; jahitan yang terbuka di bagian pangkal paha; atau adanya lubang bekas sundutan rokok di bagian dada dan lengan.
Kondisi lain yang sering bikin uring-uringan dan tidak hanya satu dua kali menimpa saya adalah ukuran pakaian bekas atau rombengan yang sama sekali tidak
sesuai badan. Ketiadaan kesempatan untuk mencoba pakaian terlebih dulu fitting
memaksa pembeli hanya bisa mengira-ngira ukuran pakaian yang akan dibeli dengan presisi tebakan 1:100. Dari kondisi semacam itu tidak mengherankan
kiranya jika kemudian pakaian bekas atau rombengan yang saya peroleh kadang bisa terlalu besar atau terlalu kecil. Kerusakan atau kecacatan dan ketidaksesuaian
ukuran itu kemudian saya akali dengan membawanya ke tukang jahit engkol
17
dikenal umum sebagai tukang vermak yang dulu banyak sekali mangkal di Pasar Kranggan atau seputaran Gereja Jetis. Di tangan-tangan terampil seperti mereka
nasib dan keberuntungan pakaian bekas atau rombengan yang mengenaskan itu saya serahkan. Estimasi waktu reparasi mereka hitung dari besar kecilnya kecacatan.
Untuk kecacatan sebagaimana yang dapatkan kurang dari satu jam usai. Jahitan yang terbuka
dhèdhèl di bagian ketiak untuk baju atau di pangkal paha untuk celana akan mereka jahit ulang. Untuk kancing baju, pengait celana, atau
ritsluiting yang rusak akan mereka ganti dengan yang baru. Sementara kondisi kain
yang lusuh di bagian kerah atau lubang bekas api rokok pada kemeja dan jaket,
17
Mesin jahit engkol dibedakan dari mesin jahit jenis pedal-string yang biasa dipakai oleh penjahit-
penjahit besar tailor atau konveksi yang untuk menjalankannya bertumpu pada kaki. Untuk
menjalankan mesin jahit engkol, pengguna harus memutar mengengkol pedal pemutar gir yang
ditempel di badan mesin rata-rata bagian kanan. Dengan model ini penjahit harus punya keterampilan lebih, karena pada saat tangan kanan mengengkol, tangan kiri harus menyetir pakaian
yang dijahit agar tetap lurus.
55 masing-masing akan mereka siasati dengan cara membalik kain, menggantinya
dengan kain sewarna, atau mengubah model kerah. Untuk jenis kecacatan karena bercak noda yang menempel pada pakaian, akan mereka oper ke koleganya tukang
blauw harafiah: biru dan naptol yang ada di lokasi yang sama guna dilakukan pewarnaan ulang. Sementara untuk pakaian yang terlalu besar atau terlalu kecil, saya
atasi dengan satu cara: memberikannya pada orang yang mau, termasuk kepada pejahit itu sendiri. Biaya vermak yang melebihi harga rombengan adalah alasan
yang paling masuk akal mendasari tindakan saya itu. Si Tukang vermak dengan senang menerima “bingkisan” saya.
Begitu sampai di pondokan pakaian bekas atau rombengan itu tidak langsung saya kenakan, tetapi akan saya rendam terlebih dulu dengan air biasa selama satu
malam. Selain dimaksudkan untuk melepaskan kotoran, merendam dengan air biasa berguna untuk menghidupkan kembali serat pakaian yang kering selama rombengan
itu berada di lapak di bawah terik matahari dan angin malam. Khusus untuk pakaian yang dinaptol, agar tidak merusak warna pakaian lain, saya pisahkan dari pakaian
lainnya. Keesokan harinya rombengan itu saya bilas dengan air biasa, lalu direndam
lagi dengan menambahkan deterjen dan membiarkannya selama tiga hingga empat jam. Setelah proses merendam dipandang cukup, pakaian dikucek, disikat, dibilas
berkali-kali hingga bersih, lalu dijemur. Jika ada panas seharian rombengan akan saya seterika pada sore harinya. Jika tidak ada panas sama sekali, terpaksa harus
menunggu hingga betul-betul kering. Jika dilanggar akan menyiksa diri sendiri. Pakaian bekas punya karakteristik yang cukup mencolok dibanding pakaian yang
biasa kita pakai. Kadang meski sudah dicuci kotoran yang dihasilkannya sangat banyak sehingga memerlukan berulang kali pembilasan.
56 Dari paparan di atas tampak bahwa meski telah sedemikian rupa terikat
dalam sistem dan mekanisme pertukaran pasar, ngrombeng masih dijalankan
secara konvensional. Demikian halnya bahwa ruang hidup rombengan atau pakaian
“awul-awul” itu hanya terentang di antara trotoar jalan, pèrko èmpèran toko, atau
loos-loos pasar tradisional yang kotor, bau, berdebu, panas, dan gelap, serta dalam kondisi yang tidak nyaman, tidak ramah, dan tanpa jaminan sebagaimana halnya
sarthir. Sebuah kondisi yang pada gilirannya memertegas identitas rombengan sebagai sesuatu yang kotor dan tidak higienis. Kondisi yang secara cepat memantik
persepsi dan kesimpulan orang pada umumnya untuk mengasosiasikan rombengan dengan sesuatu yang “ora murwat” tidak pantas dikenakan. Sebagai sesuatu yang
“ora murwat”, sudah barang pasti ngrombeng pun kemudian akan terjatuh sebagai
aktivitas yang berkonotasi negatif, “ora lumrah” tidak layak dilakukan.
Gambar 2b Pakaian Bekas Dulu
“Awul-awul” di Jl. Poncowinatan, Kranggan, awal 2000-an Koleksi Penulis
57 Sebagaimana diketahui, sebagai sebuah rombengan, kategori pakaian “awul-
awul” sejatinya bukan lagi semata-mata barang goods, tetapi telah bergeser
menjadi komoditas commodity barang dagangan. Dengan kata lain sebagai barang
dagangan status atau kategori rombengan atau pakaian “awul-awul” bukan lagi barang bebas, tetapi telah sedemikian rupa bergeser menjadi barang ekonomi –
barang yang dikelola dan digerakkan dalam sistem dan mekanisme pertukaran ekonomi untuk mendapatkan nilai ekonomi atau keuntungan tertentu. Demikian
halnya untuk mendapatkan pakaian bekas orang sudah pasti harus menukarkannya dengan sejumlah uang. Dengan demikian pakaian bekas, rombengan, atau pakaian
“awul-awul” sebagaimana beredar luas dan dikonsumsi oleh masyarakat Yogyakarta pada umumnya tidak lain adalah merepresentasikan realitas perdagangan.
Perubahan status pakaian bekas dari barang goods menjadi rombengan,
dagangan, atau komoditas, pada saat yang sama mengacu pada keberadaan nilai tukar
exchange value suatu barang. Dalam hal ini pakaian bekas atau rombengan memiliki fungsi karena ia bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Melalui
sistem dan mekanisme pertukaran sebagaimana terjadi di pasar, nilai guna inilah yang kemudian dihargai dengan nilai tukar ekonomis yang dalam wujud konkretnya
dikenal dengan uang. Keberadaan nilai guna sebagaimana melekat dalam komoditas umumnya sangat disadari oleh para penjual pakaian bekas dan enjadi
orientasi utama mereka dalam menjajakan atau memerjualbelikan dagangannya. Karenanya keberadaan nilai ini pulalah yang menjadi dasar keberadaan pakaian
dalam masyarakat Yogyakarta. Di sisi lain sebagai komoditas, rombengan juga memiliki nilai fungsi
sign function. Dalam pengertian ini rombengan tidak saja memiliki nilai guna dan nilai
58 tukar tetapi juga nilai tanda
sign. Selain bisa dipakai memenuhi kebutuhan fungsional ia juga bisa dipakai sebagai alat atau instrumen untuk memenuhi
kebutuhan yang bersifat simbolik, kebutuhan akan prestige. Keberadaan akan nilai tanda ini paling dirasakan konsumen, sekaligus menjadi dasar bagi mereka untuk
mengkonsumsi suatu barang.
18
Dengan demikian pakaian bekas dikonsumsi bukan saja karena fungsi instrumentalnya tapi juga nilai simboliknya. Sampai di sini jika
sebelumnya bahwa alasan atau motif penggunaan rombengan pertama-tama didasarkan pada harganya yang murah atau terjangkau secara finansial, aktivitas itu
pun didorong oleh adanya nilai tanda yang melekat di dalamnya. Nilai inilah yang akan dipertahankan konsumen dari rombengan.
A.4. Membawakan Si Rombeng
Pakaian dibeli sudah pasti dimaksudkan untuk dikenakan. Demikian halnya dengan pakaian bekas, rombengan, atau pakaian “awul-awul”. Pada satu kesempatan
pakaian semacam itu pun saya pakai untuk mengikuti perkuliahan di kampus. Momen ini menjadi momen yang paling menggetarkan dan sulit dilupakan. Hal itu
dikarenakan bahwa sekuat apapun upaya saya menyiasati rombengan; sehebat apapun usaha saya membawakan rombengan;
di mata kawan-kawan saya identitas pakaian bekas atau rombengan itu ternyata masih menjadi sesuatu yang mencolok
mata, sehingga dengan sangat mudah dan cepat mereka kenali. Identitas ke- “bekas”-an rombengan seperti murahan, kotor, dan “ora murwat” itu
dengan cepat
18
Jean Baudrillard 1981, For A Critique of The Political Economy of the Sign, terj. Charles Levin,
USA: Tellos Press Ltd., hlm. 66.
59 dan gampang bisa mereka “endus”. Untuk membedakan mana pakaian baru dan
mana pakaian bekas atau rombengan rupa-rupanya bukan merupakan satu hal yang sulit bagi kawan-kawan saya. Identitas ke-“bekas”-an yang melekat dalam
rombengan atau pakaian “awul-awul” ibarat noda getah membandel yang membekas
pada sebuah kain yang tetap menempel dan sama sekali tidak bisa dibersihkan meski telah dicuci ribuan kali.
Tidak pelak saya pun kemudian sering menjadi bahan gunjingan di antara teman-teman kampus. Gunjingan yang kemudian mereka kemukakan secara verbal
dalam bentuk sindiran dan olok-olok. Saya disindir dan diolok-olok sebagai anggota Perguruan Kaypang – nama perguruan silat yang terdiri dari para pengemis dengan
ciri uniform tambal-tambal sebagaimana diilustrasikan dalam cerita silat karya mendiang Asmaraman Soekawati alias Kho Ping Hoo dari Solo yang terkenal di
tahun 1980-an. Gunjingan dan olok-olok sebagaimana disampaikan teman-teman saya itu sudah pasti bukanlah merupakan ekspresi kebencian, tetapi tak beda jauh
dengan celetukan. Keduanya sudah barang pasti hanya dimaksudkan sebagai semacam gurauan. Gunjingan dan olok-olok teman itu terkadang saya rasakan
cukup mengganggu. Hanya saja menghadapi gunjingan teman-teman saya memilih untuk tutup mulut. Reaksi saya tersebut merupakan ungkapan sikap saya dalam
membutatulikan komentar dan ulah teman-teman. Akan tetapi, bagaimana halnya jika harus berhadapan dengan para pembesar
kampus seperti dosen, dekan, atau rektor? Sosok yang selain “berwibawa” di depan mahasiswa suka juga main kuasa, seperti halnya mengharuskan para mahasiswanya
untuk berpakaian secara “baik dan benar”: bersih, rapi, dan formal. Persis sebagaimana bunyi peringatan yang terpampang di pintu ruang kerja mereka:
60 “Hanya Mahasiswasiswi Berpakaian Pantas dan Sopan Yang Akan Dilayani”. Atau
juga saat harus melakukan konsultasi pengisian KRS Kartu Rencana Studi, menerima KHS Kartu Hasil Studi, konsultasi skripsi, atau urusan kegiatan kampus
lainnya? Bagaimana pula halnya jika tiba-tiba harus didaulat mewakili kampus berada di depan audiens membawakan makalah dalam sebuah seminar? Atau
kegiatan wajib berupa mengunjungi pacar tercinta? Olok-olokan yang datang dari teman-teman dan peringatan para pembesar
kampus itu rupanya menggarisbawahi pada satu kenyataan, bahwa berpakaian semata-mata bukan hanya berarti mengenakan pakaian. Lebih dari itu, berpakaian
berkait berkelindan dengan cara kita mengolah penampilan. Ungkapan tentang beradab atau barbar, kaya atau miskin, intelek atau tidak intelek, tiba-tiba hadir
bukan karena hal-hal yang berkaitan dengan perilaku, kekayaan, atau luasnya pengetahuan yang kita miliki, melainkan karena pakaian yang kita kenakan.
Identitas yang diberikan orang lain lebih dulu terhubung dengan penampilan yang kita bawakan lewat pakaian. Di antara pelbagai ragam ejekan, olok-olok, dan
perintah untuk “berpakaian sopan”, rombengan yang saya pakai rupa-rupanya
belum bisa membawa diri saya pada berada dalam situasi dan kondisi sebagaimana yang diinginkan umum; situasi dan kondisi yang wajar.
Apa yang saya rasakan adalah bahwa rombengan yang saya kenakan rupanya
masih tetap membebani dan “menjebloskan” saya pada sebuah abnormalitas. Abnormalitas tersebut tidak terbatas mengacu pada pengertian persoalan sistem
berpakaian, tetapi lebih jauh menyentuh pada nilai yang berakar pada penampilan identitas. Rombengan yang saya kenakan seolah-olah mematok diri saya sebagai
warga kelas dua, bahkan “pidak pejarakan” alias miskin papa . Karena rombengan
61 yang saya kenakan, saya merasa bahwa saya tengah membawakan diri selayaknya
orang yang belum jadi orang. Identitas pakaian bekas, rombengan, atau pakaian “awul-awul” yang bekas, kotor, cacat, murahan, dan tidak hiegienis seolah-olah
tetap melekat dan telah sedemikian rupa mengontaminasi diri saya. Diri saya seolah menjadi benar-benar tercemar karena rombengan yang saya pergunakan.
Rombengan kala itu benar-benar saya sadari sangat mengendala gerak dan kebebasan saya manakala harus berhubungan atau melakukan komunikasi dengan
orang lain di luar diri saya. Kendala yang menimpa saya itu pada gilirannya menjadi sesuatu yang sudah
semestinya saya terima sebagai sebuah kewajaran atau kesemestian. Buah dari penyimpangan atau kecemaran yang saya lakukan karena menggunakan rombengan.
Semuanya menjadi sesuatu yang sudah sepantasnya saya terima secara natural atau sudah semestinya menimpa dalam diri saya. Dihadapkan pada kenyataan dan
bayangan semacam itu, saya pun dengan terpaksa harus “menyerah”. Berdamai dengan keadaan. Memilih langkah kompromi. Pada waktu-waktu selanjutnya
pakaian bekas atau rombengan itu pun tidak saya pakai lagi sebagai pakaian utama,
melainkan lebih sebagai pakaian cadangan. Sebagai sebuah pakaian cadangan, rombengan itu pun hanya akan saya pakai untuk bermain atau melibatkan diri dalam
kegiatan ekstra-kurikuler. Sebuah aktivitas dan lingkungan yang tidak banyak menuntut formalitas atau bahkan sama sekali tidak menekankan unsur kerapian, ke-
trandy-an, atau kebaruan dalam berpakaian. Sebuah lingkungan yang jauh dari kesan mulia dan dekat dengan kesan barbar, tidak berkelas, atapun sama sekali tidak
intelek
62