Pakaian Bekas dan Identitas

180 masyarakat sebagaimana diistilahkan oleh Jean Baudrillard dengan consumer society. Sebuah masyarakat yang di dalamnya berkembang suatu suasana dan mentalitas yang senantiasa menghabituasi, memaksa, dan menggiring orang-orang yang ada di dalamnya untuk senantiasa berpartisipasi dalam aktivitas konsumsi alih- alih produksi, dan memuja kenikmatan enjoyment, pleasure alih-alih melakukan pelbagai pilihan rasional atas pelbagai komoditas yang hadir secara massif dan massal. 1 Dalam masyarakat semacam itu proses konsumsi yang berlangsung sudah sedemikian rupa sampai pada tahap -- meminjam istilah Jean Baudrillard -- “ general hysteria.” 2 Pergerakan dan multiplikasi objek konsumsi sebagaimana dikemukakan di atas dengan demikian sejatinya bukan hanya merepresentasikan lahirnya sebuah consumer society, tetapi sekaligus merepresentasikan terbentuknya sebuah consumer culture. Dalam pengertian ini pelbagai bentuk komoditas atau objek-objek konsumsi yang ada tidak hanya mempenetrasi proses dan aktivitas sosial dan ekonomi rumah tangga masyarakat secara umum, melainkan juga telah mengintrusi atau merembes hingga pada proses pemaknaan atas pengalaman psikologis orang baik secara individual maupun kelompok. Dengan kata lain, konsumsi sebagaimana berkembang dalam masyarakat saat ini memiliki kekuatan besar dalam pembentukan identitas, komunikasi antar-personal, dan pengategorisasian peristiwa. Keadaan semacam ini bisa diilustrasikan sebagai sebuah proses dalam mana masyarakat konsumen telah sedemikian rupa tergantikan oleh masyarakat konsumeris. Dari aras ini, konsumsi yang terjadi di dalam masyarakat modern secara signifikan memainkan peran sosial 1 Jean Baudrillard 1998, The Consumer Society: Myths and Structure. London: Sage Publication. 2 Jean Baudrillard 1996,“The Consumer Society” dalam Mark Poster ed., Jean Baudrillard: Selected Writings, Stanford: California University Press, hlm. 29-55. 181 formatif yang bersifat fundamental, yakni sebagai bagian dari cara hidup way of life. Dalam situasi semacam ini terjadi perubahan dan pergeseran dalam pengertian konsumsi. Jika pada mulanya konsumsi mengacu pada aktivitas orang dalam memenuhi kebutuhan, kini ia telah bergeser menjadi sejenis kebutuhan baru. Proses pemenuhan kebutuhan sebagaimana berkembang dalam masyarakat dan budaya konsumen telah bergeser menjadi aktivisme yang dalam realitas keseharian ditandai oleh aktivitas belanja. Dalam pelbagai bentuk dan model konsumsi masyarakat semacam itu konsumen diarahkan sedemikian rupa menjadi homo economicus dala arti manusia yang mabuk untuk melakukan aktvitas konsumsi. Suatu aktivitas yang dalam bentuk keseharian direpresentasikan dalam aktivitas berbelanja. Di tengah masyarakat yang telah sedemikian dikepung atau dibanjiri oleh pelbagai komoditas secara berlimpah ruah, konsumsi telah menyeret para konsumen sedemikian rupa masuk dalam sebuah aktivitas berbelanja secara terus menerus tanpa berkesudahan. Ekspresi kebahasaan manusia masa kini secara eksistensial seolah-olah hanya akan tercapai lewat pelbagai komoditas sebagaimana dibawakan oleh pelbagai situs konsumsi perdagangan. Bebelanja bagi manusia masa kini menjadi ritus yang akan selalu berulang- ulang dilakukan tanpa mengenal titik akhir kebersudahan. Demikian persis di sini sekali lagi kita menyaksikan bahwa konsumsi tidak lagi berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan, melainkan menjadi sejenis kebutuhan baru. Ketika sesorang selesai dengan kebutuhan yang satu, orang segera akan berpindah dengan kebutuhan lainnya. karenanya, manakala seseorang telah mendapatkan bentuk komoditas tertentu, ia akan mencari bentuk komoditas lainnya. Gagasan bahwa sejatinya 182 dalam suatu komoditas atau objek konsumsi memiliki nilai substitusi telah sedemikian rupa terpinggirkan oleh dorongan untuk selalu mencari dan menumpuk pelbagai bentuk komoditas. Konsumen mengidap kesalahan persepsi dalam menempatkan pengertian konsumsi. Konsumsi tidak lagi dipahami sebagai penggunaan barang untuk memenuhi kebutuhan, tetapi lebih dekat dengan pengertian menumpuk barang. Kesalahan persepsi sebagaimana dialami oleh para konsumen dalam asumsi psikoanalisis Lacanian bukan bersifat ontologis, dalam arti berkaitan dengan persoalan benar dan salah, melainkan lebih bersifat primodial. Semacam bakat yang sudah melekat dalam diri para konsumen. Perubahan arah dan makna konsumsi juga berimbas pada posisi konsumen dalam hubungannya dengan pelbagai bentuk komoditas yang ada di sekelilingnya. Dalam model konsumsi yang serba berkelebihan dan tidak mengenal ujung akhir, posisi konsumen dan komoditas atau objek-objek konsumsi mengalami paradoks. Di hadapan pelbagai bentuk komoditas atau objek-objek konsumsi, posisi konsumen sebagai terjadi sekarang bukan lagi sebagai subjek yang memiliki kedaulatan atas dirinya sendiri. Sebaliknya, posisi konsumen telah mengalami objektivikasi. Konsumen sebagaimana berkembang dalam masyarakat konsumen sejauh ini telah dikebawahkan atau menjadi objek pelbagai bentuk komoditas atau objek konsumsi. Pelbagai bentuk komoditas atau objek-objek konsumsi saat ini berada pada posisi yang lebih tinggi dibandingkan pengguna atau konsumennya. Pelbagai bentuk komoditas atau objek-objek konsumsi itu oleh para konsumen dianggap memiliki nilai fetish yang mengatasi bentuknya secara objektif. Di dalam pelbagai bentuk komoditas atau objek konsumsi itu – dalam terminologi sosiologi dan antropologi – telah dilumuri dengan mana atau kekuatan magis yang membuat konsumen atau 183 penggunanya melemparkan kediriannya di bawah duli komoditas karena merasa aman, nyaman, dan lengkap. Para konsumen dalam hal ini mengalami apa yang disebut fetish. 3 Dalam masyarakat dan budaya konsumen sebagaimana diistilahkan Baudrillard tengah mengalami general hysteria pada dasarnya menggarisbawahi lahirnya subjek neurosis. 4 Dalam kondisi seperti itu konsumsi menjadi jembatan yang menghubungkan subjek konsumen dengan bahasa atau langue, aturan, dan tatanan tertentu baca: Law of the Father. Sebuah tatanan sosial yang menempatkan persoalan partisipasi orang dalam kehidupan masyarakat dan budaya berdasarkan intensivitas dalam berhubungan dengan pelbagai bentuk komoditas. Hubungan subjek dengan bahasa sebagaimana direpresentasikan lewat komoditas menjadi neraca partisipasi orang dalam masyarakat dan budaya Other. Orang yang sangat intens berhubungan dengan komoditas akan mendapatkan pengakuan sosio-kultural tinggi. Sebaliknya, orang yang memiliki jarak yang cukup jauh dengan komoditas yang ada di sekelilingnya justru akan terpinggirkan, karena dianggap aneh atau berbeda dari yang lain. Orang dikatakan berhasil memasuki dunia sosial dan budaya dipandang berdasarkan sejauh mana ia berhubungan dengan pelbagai bentuk komoditas yang ada dalam masyarakat. Seleksi dan “kecerdasan konsumsi” orang sebagaimana ditandai dengan penggunaan barang atau komoditas sesuai kegunaan atau berusia panjang, saat ini justru menjadi suatu keanehan dan tidak bisa dipahami secara umum. 3 Objek menjadi fetish bukan dalam pengertian objek itu dalam dirinya sndiri in situ, melainkan karena pemaknaan yang diberikan orang terhadapnya. Dengan kata lain karena pikiran orang yang masih dikuasai oleh falus maternal maternal phallic. 4 Bruce Fink 1997, Op. cit., hlm.115. 184 Dalam asumsi kebahasaan sebagaimana dikembangkan dalam psikoanalisis Lacanian, subjek konsumen yang mengalami neurosis merepresentasikan subjek yang berhasil memasuki dunia simbolik, dunia bahasa, atau dunia sosial melalui penggunaan pelbagai bentuk komoditas. Berkenaan dengan penggunaan bahasa, mereka sama sekali tidak memiliki persoalan. Subjek neurosis bahkan sangat taat dan konsekuen dengan penggunaan bahasa sebagaimana direpresentasikan lewat pelbagai bentuk komoditas yang ada dalam masyarakat. Meskipun tidak memiliki keyakinan dalam hal penggunaan bahasa yang ada dalam masyarakat, subjek neurosis bisa menggunakan bahasa tanpa menemui hambatan. Hanya saja, pengertian berbahasa sebagaimana dilakukan oleh para konsumen yang mengalami neurosis pada dasarnya tidak lain hanyalah menirukan kata-kata, ucapan, atau omongan orang lain sebagaimana berkembang dalam masyarakat dan budaya konsumen. Subjek neurosis memang menggunakan simbol-simbol bahasa yang ada dalam masyarakat, tetapi tidak lebih hanya sebagai transmiiter bahasa. Artinya aktivitas berbahasa yang dilakukan tidak lebih hanya mengulang atau menggunakan bahasa yang telah ada atau digunakan dalam masyarakat. Selain terkait dengan aspek penggunaan bahasa, Lacan juga melihat persoalan subjek neurosis dalam kaitannya dengan persoalan represi. Jika dalam penggunaan bahasa subjek neurosis dipandang secara negatif, maka terkait dengan represi Lacan melihat subjek yang mengalami neurosis secara positif. Subjek neurosis adalah sibjek yang berhasil merepresi pelbagai bentuk dorongan libidinal libidinal drive yang mengkondisikan mereka untuk terus berkubang atau hidup menetap dalam dunia imajiner. Dunia imajiner adalah nama lain dari tatanan psikis yang di dalamnya mengacu pada pengalaman primordial seseorang. Momen seorang 185 anak yang hidup atau berada dalam kondisi ketercukupan atau kepenuhan azali, yakni hidup bersatu padu bersama ibunya. Subjek neurosis berhasil melepaskan jerat yang berasal dari dorongan libidinalnya untuk tetap mencintai ibunya incest dengan cara menarik diri withdrawal dari tatanan imajiner dan menggantikan objek-objek kenikmatannya dengan pelbagai penanda bahasa sebagaimana direpresentasikan dalam aturan, larangan, dan hukum yang ada dalam masyarakat. Dikaitkan dengan persoalan ego identitas, subjek neurosis juga berhasil memproses ideal ich atau ideal ego yang dihasilkan dari proses identifikasi perdana dengan realitas untuk pertama kali, menjadi ich ideal atau ego ideal sesuai dengan harapan masyarakat. A.2. Pengetahuan Paranoia dan Lahirnya Desire Akan tetapi drama pemenuhan kebutuhan orang sebagaimana berkembang dalam masyarakat dan budaya konsumen rupa-rupanya tidak langsung bisa diasumsikan berakhir dengan lahirnya subjek neurosis. Sebelum subjek sepenuhnya dilumat atau menyerahkan diri pada bahasa, simbol, atau situasi sosial, cara subjek mengenali realitas sekelilingnya secara primordial juga dipengaruhi oleh bakat bawaannya berupa pengetahuan paranoid. Pengetahuan paranoia merupakan cara orang memahami realitas sebagaimana diidap oleh orang yang mengalami gangguan mental paranoia disertai dengan halusinasi dan delusi. 5 Sebuah gangguan mental yang dicirikan dengan kecemasan anxiety, kecurigaan, atau ketakutan berlebihan 5 Dalam pelbagai literatur, paranoia kata benda, nomina sering dipertukarkan dengan paranoid kata sifat, adjektiva. Untuk paranoia, lihat Luiz Eduardo Prado De Olievera, “Paranoia” dalam Alain de Mijolla ed..2005, International Dictionary of Psychoanalysis, New York: Thomson Gale, hlm. 1229-1231. 186 hingga timbul delusi. Pemikiran paranoid biasanya disertai anggapan akan dianiaya oleh sesuatu yang mengancamnya. Delusi adalah suatu keyakinan yang dipegang secara kuat namun tidak akurat, yang terus ada dan tidak memiliki dasar dalam realitas. Dalam ilmu psikiatri, delusi diartikan sebagai kepercayaan yang persifat patologis dan terjadi secara berkebalikan. Sebagai sebuah penyakit, delusi berbeda dari kesalahan berdasar pada informasi yang tidak lengkap, dogma, kebodohan, memori yang buruk, ilusi, atau efek lain dari persepsi. Delusi menempatkan seseorang melakukan tindakan berdasarkan persepsi yang salah dan membuatnya membayangkan orang lain melakukan respons negatif, sehingga akan menguatkan rasa takutnya. 6 Dalam kaca mata psikoanalisis Lacanian, pengalaman paranoia dialami oleh seorang anak yang berada dalam transisi yakni pada akhir fase cermin dan memasuki fase pascacermin atau perpindahan dari struktur imajiner ke struktur simbolik. Saat seorang anak dalam keadaan pengetahuan tentang dirinya Inenwelt yang masih cair atau belum mapan karena masih diwarnai dengan unsur-unsur imajiner harus membangun pengetahuan tentang dunia sekitarnya Umwelt. Hal yang menonjol dari situasi ini, Sang Anak mengalami kecemasan luar biasa anxiety berada dalam ketidakpastian. Dalam situasi semacam itu Sang Anak sejatinya hanya bisa menerka-nerka tentang realitas yang ada di depannya. Dari satu sisi anak mengalami bahwa dirinya adalah liyan other, serta hubungan dirinya dengan liyan tidak mapan, tidak solid; di sisi lain ia ingin dan harus menggunakan pengalamnnya yang semacam ini untuk mengetahui dunia dan masyarakat Other. 6 D. Freeman P.A. Garety 2004 Paranoia: The Psychology of Persecutory Delusions. Hove: Psychology Press, hlm 89-92. Lebih lanjut tentang delusi, lihat Leonard Shengold 1995, Delusions of everyday life. New Haven: Yale University Press. 187 Dengan kata lain dari satu sisi jagad cilik Innenwelt Sang Anak yang begitu labil dan tidak solid harus ia pakai untuk mengetahui dunia sekitarnya Umwelt. Pengetahuan yang dihasilkan seorang anak semacam inilah yang disebut dengn pengetahuan paranoid. Dengan demikian pengetahuan paranoid muncul karena tarik menarik antara ketidakmapanan seseorang dalam mengetahui situasi yang sarat dengan hubungan imajiner, dengan kemapanan dunia luarnya yang ingin diketahuinya. Setelah melewati proses pembentukan ego sebagaimana berlangsung pada tahap pertama Ideal Ich atau Ideal Ego lewat mekanisme identifikasi primer primary identification atau identifikasi imajiner imaginary identification yang dialami seorang anak pada tahap cermin, Sang Anak hanya bisa menduga-duga atas apa yang akan terjadi dengan dunia selanjutnya. Sebuah dunia yang sarat dengan pelbagai kemungkinan yang belum akan terurai sebelum ia benar-benar masuk sepenuhnya di dalam fase perkembangan psikis kemudian. Sebuah mekanisme identifikasi atau idealisasi diri seorang anak dengan sesuatu atau seseorang di luar dirinya; dengan apa yang menstrukturkkan subjek sebagai lawan bagi dirinya, sehingga dengan demikian melibatkan agresivitas dan alienasi The constitution of the ego by identification with something which is outside and even against the subject is what structures the subject as a rival with himself and thus involves aggressivity and alienation. 7 Demikian selanjutnya sintesis awali ego terhadap alter ego menjadikan Sang Anak mengalami alienasi The initial synthesis of the ego is 7 Jacques Lacan 1977, Écrits: A Selection, Trans. Alan Sheridan. London: Tavistock Publications, hlm. 22 188 essentially an alter ego, it is alienated. 8 Saat Sang Anak untuk pertama kali merasakan apa yang terjadi dengan mengatakan meminjam pernyataan Rimbaud, I is an other. 9 Dari keterangan di atas tampak bahwa pengalaman traumatik sebagaimana tergores dalam masa lalu para konsumen mode kontemporer itu bukanlah kejadian yang muncul serta-merta, tetapi memiliki akar sejarah yang jauh di belakang. Demikian halnya pengalaman traumatik bukanlah pengalaman biasa atau sederhana, melainkan memiliki kompleksitas tertentu. Mengikuti gagasan Lacan, pengalaman traumatik itu secara genealogi bisa dirunut sejak tahap cermin. Pengalaman traumatik seseorang yang secara primordial dialami sejak masa kanak-kanak sebagaimana ditandai oleh lahirnya kebutuhan need. Dalam kaitan ini apa yang menonjol adalah bahwa apa yang selama ini dipahami sebagai kebutuhan anak ternyata tidak lahir dari diri Sang Anak itu sendiri, tetapi dari orang lain; ibu atau pengasuhnya other. Apa yang dibutuhkan Sang Anak tidak lain adalah jawaban yang diberikan ibu. Tangisan Sang Anak di telinga Sang Ibu hanya berarti bahwa ia membutuhkan belaian atau air susu, maka ibu datang memberikan pelukan atau susu kepadanya. Kebutuhan Sang Anak tidak lain merupakan hasil dari dugaan ibu. Belaian dan air susu adalah jawaban yang paling mungkin dan satu-satunya yang bisa didapatkan Sang Anak dari ibunya. Persis di sini subjek anak dalam tahap ini adalah subjek kebutuhan subject as needs. 10 8 Sebagai catatan, pernyataan “I is an other” yang diubah oleh Lacan menjadi ‘I am an other’ dengan demikian bukan sebuah pernyataan tunggak, tetapi merupakan sebuah sintesis dalam arti Hegelian. Sehingga pernyataan itu harus dibaca menjadi: I tesis, other sintesis, dan I is an other sintesis. Lihat, Jacques Lacan 1993, The Seminar. Book III. The Psychoses, 1955-56, trans. Russell Grigg. London: Routledge, hlm. 39 9 Jacques Lacan 1977, Op. Cit., hlm. 23. 10 Philip Hill 1997, Lacan for Beginners, London: Writers and Readers Limited, hlm. 63. 189 Pengalaman anak berhubungan dengan bahasa di atas menggarisbawahi pengalaman ambiguitas -- pengalaman lepasnya harapan dari kenyataan yang di dalamnya melibatkan bahasa. Sebelumnya, keinginan anak atas sesuatu disampaikan lewat tangisan. Pada mulanya tangisan anak segera akan mendapatkan jawaban dari ibunya: Sang Ibu datang memberikan dekapan atau air susunya. Dekapan dan air susu ibu menempatkan Sang Anak dalam pengalaman kebertubuhan, pengalaman orang yang memiliki tubuh yang utuh atau tidak lagi terfragmentasi. Ketika anak mulai menemukan ego sebagai identitas dan subjektivitasnya self recognition sebagaimana ditandai dengan penggunaan proper name kata ganti “aku”, problem baru muncul. Sebelum Sang Anak mengenali identitas dan subjektivitasnya, serta belum bisa mengartikulasikan kebutuhannya needs dalam bahasa, apa yang ia butuhkan segera terpenuhi. Ibu selalu hadir dan siap menjawab atau memenuhi segala apa yang ia butuhkan manakala Sang Anak menangis. Akan tetapi ketika Sang Anak mulai memiliki pemahaman diri dan memiliki kemampuan berbahasa meski masih sangat terbatas, hubungan Sang Anak dengan ibunya mulai ditentukan oleh keradaan dan peran bahasa. Kebutuhan Sang Anak dalam perkembangan selanjutnya harus dikemukakan melalui perantaraan penanda, simbol, atau bahasa. Hanya lewat bahasalah kebutuhan Sang Anak menjadi ada, nyata, dan bisa dipahami ibunya liyan. Berkat persentuhan Sang Anak dengan bahasa, Sang Ibu kini tidak lagi menduga-duga apa sejatinya permintaan demand Sang Anak. Demikian halnya Sang Anak harus mengutarakan apa yang ia minta kepada ibu lewat bahasa. Ketika meminta minum karena haus misalnya, permintaannya harus ia utarakan lewat bahasa, lewat kata-kata. Pemuasan kebutuhan Sang Anak berupa minuman hanya 190 mungkin didapatkan lewat bahasa. Bahasa sebagaimana diutarakan Sang Anak memungkinkan Sang Ibu memahami apa yang tengah diminta atau diajukan Sang Anak. Sebaliknya, Sang Ibu tiba-tiba tidak akan datang memberikan apa yang dimaui Sang Anak seandainya ia tidak merumuskannya dalam bahasa, dalam kata- kata atau kalimat. Hanya dan melalui bahasa atau tindakan artikulasilah permintaan Sang Anak menjadi ada eksis sekaligus menjadi satu hal yang mungkin dipenuhi Sang Ibu. Tanpa artikulasi kebutuhan Sang Anak tidak akan pernah ada dan tidak akan pernah terpenuhi. Ketidakmampuan Sang Anak dalam menggunakan bahasa menjadikan pengalaman itu tetap menjadi sesuatu yang bersifat laten atau tidak bisa dikenali. Karena tidak dikenali pengalaman itu akan selalu terjadi berulang-ulang dan menjadi bagian dari memori yang akan tersimpan di alam bawah sadar Sang Anak. Selain ambiguitas momen di atas sekaligus menggarisbwahi pengalaman anak akan alienasi. Pengalaman keterasingan yang dialami Sang Anak manakala bersinggungan dengan bahasa. Karena pertemuannya dengan bahasa, Sang Anak mau tidak mau harus mengalami kertebelahan identitas; pengalaman disatukan sekaligus dipisahkan dengan dirinya sendiri. Lewat gagasannya tentang tahap cermin akhir Lacanian, pengalaman Sang Anak akan diri, keakuan, atau ego-nya dimungkinkan berkat pertemuannyan dengan diri dan realitas di luar dirinya sendiri. Pertemuan Sang Anak dengan bahasa dilaluinya lewat momen identifikasi. Sang Anak dikejar oleh sebuah pertanyaan reflektif: “siapa aku” Who am I. Lewat momen identifikasi Sang Anak berusaha mengetahui siapa dirinya dan menetapkan identitas keakuanyaa. Pada aras ini, pengetahuan dan penetapan identitas Sang Anak lahir karena pertemuannya dengan diri yang lain sebagaimana direpresentasikan 191 oleh ibu someone atau sosok pengganti ibu something. Penetapan identitas Sang Anak tampak nyata lewat penggunaan bahasa, momen untuk kali pertama Sang Anak menggunakan kata ganti proper name “aku” sebagai representasi dari dirinya. Lewat penggunaan kata ganti “aku” Sang Anak sesuatu yang nyata, dan ada bersama dengan diri dan realitas di luar dirinya sendiri. Dalam ungkapan lain Sang Anak menjadi ada, nyata, real di depan diri lain sebagai seorang subjek lewat penggunaan bahasa. Akan tetapi persis di sini, Sang Anak harus mengalami kehilangan loss atau kekurangan lack. Ia harus menanggalkan identitas primordial atau identitas pra-bahasa dan menggantikannya dengan identitas bentukan bahasa. Ia harus menggantikan identitas dirinya sebelumnya yang masih terfragmentasi atau cair nothing atau nameless dengan diri yang lebih tetap dan solid hasil bentukan bahasa “aku”. Berkat penggunaan bahasa semacam itu Sang Anak menjadi ada something di depan liyan other atau realitas. Hanya dengan begitu ia menjadi ada dan bisa dipahami oleh orang lain sebagai diri yang relatif utuh dan tidak. Akan tetapi dalam waktu yang sama, Sang Anak harus terpisah dengan dirinya karena bahasa. Ia tidak bisa lagi menggunakan identitas pra-bahasa sebelumnya untuk membawakan dirinya di hadapan orang lain Other. Sang Anak menjadi subjek bahasa subject as language. Pengalaman ambiguitas dan alienasi pada fase cermin ini melahirkan luka batin trauma yang akan mengendap dalam ketidaksadaran sebagai residual energy dan akan mempengaruhi kehidupan psikisnya kelak. Pengalaman yang tidak menyenangkan ini akan terus berulang dan berkembang menjadi trauma dalam diri Sang Anak. Setelah mengalami ambiguitas berkenaan dengan kebutuhan dan pengalaman alienasi karena bahasa sebagaimana ditandai lepasnya harapan dan kenyataan, 192 pengalaman traumatik Sang Anak masih harus berlanjut. Kali ini Sang Anak harus mengalami frustrasi karena hubungannya dengan ibunya mengalami interupsi atau keterpisahan. Pengalaman frustasi itu berasal dari kondisi hadir dan absennya Sang Ibu; pengalaman Sang Anak saat mendapati ibunya yang ternyata kadang hadir memberikan dekapan atau puting susunya ke mulutnya dan kadang terlambat merespons keinginannya pengalaman FortDa. Pengalaman interupsi yang dialami Sang Anak dalam memeroleh kenikmatan repetitif berupa kebiasaan mendekap susu atau mengulum puting susu ibunya menggarisbawahi lahirnya pengalaman lack atau loos. Sebuah pengalaman yang mengacu pada momen Sang Anak harus terpisahkan atau kehilangan sumber kenikmatan yang selama ini menempatkannya dalam keutuhan, kenyamanan, dan keamanan. Pengalaman frustasi ini semakin kental ketika Sang Anak harus menerima regulasi dan distansiasi dari sumber kenikmatan atau ibunya berupa dekapan dan air susu ibunya dengan cara disapih weaned. Pengalaman terlepasnya harapan dari kenyataan sebagaimana di alami Sang Anak karena bahasa seperti disebutkan terakhir di atas menempatkan pengalaman seorang anak yang berada di fase akhir masa cermin dan memasuki fase pasca- cermin. Pengalaman terakhir tersebut merepresentasikan pengalaman seorang anak masuk ke dalam tatanan sosio-kultural Name-of-the-Father, dunia bahasa, atau struktur Simbolik. Dalam hal ini Sang Anak ditarik untuk masuk dalam dunia pendidikan yang di sana ia harus masuk dalam pelbagai kemungkinan yang tak terduga lewat pengalaman atau persinggungannya dengan bahasa yang berlaku dalam masyarakat secara umum. Lewat pengalaman semacam ini Sang Anak dipahamkan bahwa tidak bisa selamanya ia bisa atau diizinkan hidup menempel 193 dalam pelukan ibu atau terpenuhi keinginannya. Sang Anak mau tidak mau harus menerima proses normalisasi atau pembudayaan sebagaimana dilakukan oleh Sang Ayah lewat momen separasi dan kastrasi. Sang Anak harus belajar menggunakan bahasa sebagaimana direpresentasikan dalam tata aturan, larangan, atau hukum Law of the Father yang berkembang dalam masyarakat dan budaya yang akan menjauhkannya dengan kenikmatannya utuh bersatu dengan ibunya. Dalam asumsi kebutuhan dan bahasa yang bermuara pada terakumulasinya pengalaman traumatik yang tidak menyenangkan sebagaimana diutarakan di atas, sekaligus menjadi batu pijakan lahirnya hasrat desire dalam diri Sang Anak. Di bawah ancaman kastrasi dan separasi sebagaimana dilakukan oleh Sang Ayah sebagai representasi budaya dan masyarakat, Sang Anak didorong untuk menemukan dan mengartikulasikan gairah hidup atau desire-nya dalam situasi sosial dengan cara melakukan persesuaian appropriation dengan pelbagai aturan dan tatanan dari Sang Ayah atau tatanan simbolik. Sebagaimana diketahui hasrat utama Sang Anak adalah bersatu dengan ibunya. Gairah hidup seorang anak adalah menjadikan dirinya sebagai objek hasrat ibu atau falus matrnal maternal phallic lewat momen incest. Di bawah ancaman kastrasi yang dilakukan oleh Sang Ayah simbolik, hasrat Sang Anak untuk terus menyatu dengan ibu perlahan-lahan dijauhkan. Sebagai semacam resolusi Sang Anak diberi kesempatan kepada Sang Ayah untuk mengalihkan hasratnya kepada sosok yang lain di luar ibu lewat pengenalannya dengan dunia sosial dan budaya Other. Sang Anak secara perlahan ditarik dari kenikmatan primordial yang ada dalam tatanan imajinernya Innenwelt dan didorong untuk mematangkan ego dan subjektivitas yang sesungguhnya untuk 194 betemu dengan Other atau budaya dan masyarakat lewat pelbagai macam bentuk aturan dan larangan. Dari hal terakhir sebagaimana diutarakan di atas, Sang Anak juga dipaksa untuk mengembangkan pengetahuannya lewat pertemuannya dengan Other melalui dunia bahasa, dunia makna, dunia nilai, dunia sosial dan budaya Umwelt. Separasi dan kastrasi sebagaimana dialami Sang Anak merupakan bentuk penyelamatan atau proses normalisasi dalam pengertian Foucaultian sebagaimana dilakukan Sang Ayah kepada Sang Anak agar ia terbebas dari hasrat ibu mOther’s desire yang sebagian diantaranya telah diarahkan kepada diri Sang Ayah. Apa yang dialami Sang Anak ternyata juga menegaskan pengalaman negatif yang dialami Sang Ibu. Perpisahannya dengan Sang Anak dan ketidakmungkinannya untuk mengendong dan menyusui anaknya untuk selamanya, menjadikan Sang Ibu juga mengalami lacking. Sebuah pengalaman kehilangan atas phallic kekuasaan akibat harus melepaskan Sang Anak membangun dunia atau kehidupannnya sendiri. Karena persatuan ulang menjadi satu hal yang terlarang dan niscaya, lack yang dialami Sang Ibu harus ia isi atau ia kompensasikan dengan sosok lain di luar sosok Sang Anak, yakni Sang Ayah simbolik maka jadilah Sang Ibu berubah tidak lagi mother melainkan mOther. 11 Pengalaman transisi dari dunia imajiner ke dunia simbolik sebagaimana dialami Sang Anak kembali menjadi peristiwa yang sangat mencemaskan. Hal ini dikarenakan bahwa di tengah ketidakstabilan atau ketidakmapanan pengetahuan Sang Anak berkait dengan identitas dan subjektivitasnya, sebagaimana ditandai 11 Bruce Fink 1995, The Lacanian Subject. Between Language and Jouissance, New Jersey: Princeton University Press, hlm. 35. 195 dengan ambiguitas, alienasi, dan misrecognition, ia hanya bisa menduga-duga. Pengetahuan Sang Anak dalam menghadapi dunia baru, dunia yang masih asing, dunia yang belum pernah ditinggali, hanya bisa dikembangkan dengan cara menerka-nerka. Persis di sinilah Sang Anak sejatinya tengah mengalami paranoia. Tarikan Sang Ayah simbolik yang menjauhkan Sang Anak dari ibu diterima dengan penuh syak wasangka dan kecurigaan. Dunia luar dirasakan Sang Anak sebagai sesuatu yang mengancam dirinya. Akibatnya Sang Anak tidak bisa begitu saja diyakinkan untuk mempercayai apa yang akan terjadi di dunia luar atau dunia barunya. Ketidakpercayaan Sang Anak itu bahkan tidak hanya berkaitan dengan persepsinya tentang dunia luar Umwelt, tetapi pada saat yang bersamaan juga terarah pada dirinya Inenwelt. Dalam pengertian ini Sang Anak juga mengalami kesulitan dalam membangun keyakinan atas pengetahuan yang ia miliki tentang dirinya sendiri. 12 Kekhawatiran Sang Anak terhadap dunia luar di atas bisa dijelaskan dari pembahasan Lacan tentang feminization. Sebagai bagian dari psikopatologis psikosis, 13 paranoia merupakan reaksi atau perlawanan atas homoseksualitas. 14 Dalam hal ini Sang Anak menolak proses seksualisasi atau pen-gender-an sebagaimana dilakukan oleh Sang Ayah kepadanya. Momen yang dialami Sang Anak lewat lewat proses kastrasi dan separasi yang dilakukan Sang Ayah. Saat Sang Anak dipaksa untuk meninggalkan sumber kenikmatannya yakni ibunya agar berpindah pada Liyan Other sebagaimana diwakili oleh Sang Ayah simbolik 12 Bruce Fink 1997, Clinical Introduction to Lacanian Psychoanalysis. Theory and Technique, London: Harvard University Press, hlm. 98. 13 Franc¸ Oise Brette menyebut gejala ini dengan istilah “traumatic neuroris”. Lebih lanjut lihat tulisannya, “ Traumatic Neurosis”, dalam Alain de Mijolla ed..2005, International Dictionary of Psychoanalysis, New York: Thomson Gale, hlm. 1803-1804. 14 Bruce Fink 1997, Loc. Cit. 196 symbolic father. Pada dasarnya, secara primordial Sang Anak baik laki-laki maupun perempuan memiliki bakat menjadi bisexual; dalam arti bahwa ia tidak hanya bisa menghasrati perempuan diwakili oleh sosok ibu dan tapi juga bisa menghasrati laki-laki diwakili oleh sosok ayah sebagai lawan jenis berbeda yang ada di luar dirinya. Lewat momen kastrasi Sang Anak dipaksa mengalihkan hasratnya dari ibu atau ayah biologisnya hanya kepada satu lawan jenis: laki-laki atau perempuan. Karena ketidakpercayaan atas pengetahuannya atas dirinya dan kecurigaan terhadap dunia luar yang sangat tinggi, serta bahwa hasrat primordialnya adalah bersatu dengan ibu atau ayah biologisnya oedipus complex syndrome, perintah Sang Ayah simbolik agar ia mencari perempuan atau laki-laki pengganti ibu atau ayah biologisnya ditafsirkan secara keliru. Jika Sang Anak adalah laki-laki, karena desire primordialnya adalah mencintai ibu incest, maka pencarian dan pertemuannya dengan figur perempuan selain ibu justru menjadikannya sebagai homoseksual dalam arti gay. Hal itu karena sosok perempuan di luar ibu akan dipersepsikan sebagai sosok bukan ibu atau bukan objek hasratnya. Perempuan yang bukan ibu di sini adalah laki-laki Demikian sebaliknya jika Sang Anak adalah perempuan, karena desire primordialnya adalah mencintai ayah incest, maka pencarian dan pertemuannya dengan figur laki-laki selain ayah akan menjadikannya sebagai homoseksual, dalam arti lesbian. Laki-laki yang bukan ayah di sini adalah perempuan Dengan demikian biseksualitas Sang Anak sejatinya adalah heteroseksual, hanya karena lawan jenis yang dihasratinya adalah ibu atau ayah biologisnya sendiri, maka heteroseksualitasnya merupakan biseksualitas. Aturan sosial yang memaksakan Sang Anak menjadi heteroseksual dalam arti bukan biseksual atau homoseksual justru dipahami sebagai semacam 197 seruan agar ia meletakkan orientasi seksualnya baca: desirenya menjadi homoseksual. Sang anak menolak proses seksualisasi heteroseksualisasi sosial yang dalam persepsinya adalah homoseksualisasi, karena hasrat Sang Anak adalah biseksual dalam arti heteroseksual indogen sebagaimana berjalan lewat mekanisme incest. 15 Dalam konteks penelitian ini konsumsi pakaian bekas sebagaimana berkembang di Yogyakarta merepresentasikan pengetahuan paranoia yang dialami oleh sejumlah konsumen terkait dengan bentuk dan model konsumsi mode masyarakat dan budaya konsumen dewasa ini. Bila demikian, ada apa dengan bentuk dan model konsumsi mode dewasa ini? Apanya dari bentuk dan model konsumsi yang membuat konsumen mengidap paranoia? Bagaimana bentuk dan model konsumsi mode sebagaimana berkembang sekarang bisa melahirkan pengalaman paranoia? Mengapa sebagian konsumen menaruh ketidakpercayaan terhadap bentuk dan model konsumsi mode sekarang ini? Pertanyaan-pertanyaan ini menggiring pada pemahaman tentang realitas konsumsi mutakhir sebagaimana dikembangkan lewat perdagangan. Seperti disampaikan sebelumnya, perilaku pasar mode modern dalam melakukan pelipatgandaan dan perputaran pelbagai bentuk komoditas menunjukkan kecenderungannya yang semakin massif. Lebih dari itu pelbagai bentuk dan model konsumsi mode sebagaimana berkembang dalam masyarakat lewat perdagangan akhir-akhir ini juga tampak semakin eksesif. Sejumlah konsumen mode belakangan ini rupa-rupanya mulai merasakan bahwa ritme konsumsi mode sebagaimana berkembang pada saat ini tidak lagi berada dalam genggaman mereka. Ritme konsumsi masyarakat saat ini hampir 15 Ibid. 198 sepenuhnya telah terlepas dari jangkauan konsumen dan lebih ditentukan sedemikian rupa oleh gerak perputaran mesin pasar. Dengan kata lain seiring dengan laju kecepatan dan percepatan mesin produksi dalam industri pakaian mode, sejumlah konsumen merasakan bahwa pasar telah menyerobot kedaulatan mereka dalam hal mengkonsumsi mode. Perasaan semacam itu pertama-tama dan terutama dipicu oleh karena pelbagai penyeragaman atas pelbagai jenis, model dan citarasa taste dalam dunia pakaian sebagaimana berkembang luas dalam masyarakat masa kini. Penyeragaman yang kini terjadi tampak semakin efektif manakala pasar melakukan kultivasi nilai-nilai modernitas dalam komoditas yang mereka hasilkan. Dunia mode sebagaimana berkembang luas dalam masyarakat lewat aktivitas produksi atau industri telah sedemikian rupa menggiring konsumen untuk menelan mentah-mentah pelbagai wacana modernitas. Wacana modernitas tersebut sekurang- kurangnya direpresentasikan secara kasat mata dalam tiga unsur, yakni: kebaruan new, ke-serba-berganti-an ephemeral, dan kemutakhiran up to date yang diselipkan dalam pelbagai bentuk komoditas pakaian. Kondisi sebagaimana diilustrasikan di atas kiranya semakin mendapatkan keabsahannya manakala wacana modernitas didesiminasikan dengan cara menginsersikan ke dalam pelbagai bentuk dan model konsumsi mode dan diperbanyak melalui proses produksi itu kemudian telah menggantikan Name-of-the- Father dunia mode sebelumnya. Pelbagai bentuk dan model konsumsi mode pasca- oedipal sebagaimana berlangsung dalam masyarakat sekarang ini telah menggantikan hukum bermode Name-of-the-Father sebelumnya. Sebagaimana menjadi pengetahuan umum, apabila dalam kurun waktu sebelumnya pelbagai bentuk dan model konsumsi mode sebagaimana berkembang dalam masyarakat 199 berjalan sesuai dengan hukum bermode yang ada, maka saat sekarang ini hukum bermode masyarakat sepenuhnya telah digantikan oleh sesuatu yang telah sedemikian rupa di-setel atau dikehendaki pasar dan dikembangkan lewat mekanisme produksi atau industri mode. Gejala masasilasi atau estetisasi pasar mode sebagaimana berlangsung dewasa ini oleh banyak pengamat dan praktisi mode pada umumnya diistilahkan sebagai penanda matinya mode. 16 Dalam perkembangan berikutnya, seiring dengan laju kecepatan dan percepatan produksi mode modern mengontribusi lahirnya situasi yang paradoksal dalam dunia konsumsi mode masyarakat secara luas. Lewat pelbagai situs konsumsi mode, tampak bahwa jumlah pelbagai bentuk komoditas pakaian yang beredar di pasar dari hari ke hari semakin bertumpah ruah dan jauh melebihi kemampuan konsumen untuk mencerapnya. Pelbagai model dan jenis pakaian sebagaimana berkembang dalam masyarakat dan disebarluaskan lewat perdagangan atau pasar mode saat sekarang berjalan dalam skema yang menekankan unsur ke-serbabaru-an, ke-serbamutakhir-an, dan cepat sekali berganti ephemeral. Persis pada titik inilah kemudian para konsumen dihinggapi dengan sejenis kebingungan yang sama sekali berbeda dari jenis kebingungan yang biasa ia rasakan. Bingung bukan karena pakaian yang beredar di pasar kini menjadi terlalu banyak meski hal ini sudah pasti cukup membingungkan, tetapi bahwa model dan jenis pakaian yang tersedia di pasar seolah-olah sama sekali tidak menunjukkan keragaman atau keserbanekaan, tetapi sebaliknya justru menjadi seragam. Dengan demikian kebaruan pakian 16 Yuniya Kawanura 2005, “Sociological Discourse and Empirical Studies of fashion” dalam Yuniya Kawanura, Fashion-ology. An intoduction to Fashion Studies, Oxfor-New York: Berg, hlm. 29-30. 200 sebagaimana ditawarkan oleh pasar mode yang berkembang dalam masyarakat saat ini terletak pada keseragaman komoditas. Bagaimana pengetahuan paranoia ini ikut mewarnai persepsi konsumen pakaian bisa diikuti dari dari ungakapan pengalaman konsumen pakaian bekas berikut. Ungkapan sebagaimana dinyatakan SS, laki-laki, 23 tahun, mahasiswa tingkat akhir Fakultas Kedokteran Umum UGM, asal Medan, adalah ilustrasi terbaik dari persoalan tersebut. Dalam kaitannya dengan situasi konsumsi mode mutakhir SS menyatakan penilaiannya sebagai berikut: “Aku kenal pakaian bekas sudah lama. Sejak SMA kelas I. Di kampungku sana, Medan sana, orang menyebutnya pakaian “CAKAR atau Cap Karung”. Lucu, ya? Macam di sini, kan: “Awul- awul”? Di sini aku di juluki “Raja Rombeng”. Yang mendorong aku membeli pakaian bekas tidak yang baru? Apa ya? Begini, Bang. Menurut aku, karena pakaian baru, macam yang ada di mall-mall itu, semuanya sama. Semuanya seragam. Pengalamanku kalau lagi belanja apa gitu di mall, lalu iseng-iseng lihat pakaian yang ada di counter-counter, tidak hanya apa yang ada di counter A ada di counter B, tapi yang di mall A pasti pula di mall B, gitu. Ya modelnya, ya merknya, ya warna dan lain-lainnya sama. Yang membedakan kali cuma satu, harganya. Pakaian yang dijual di mall besar macam di Carefour harga lebih mahal daripada yang dijual di Ramai. Baru memang, tapi bagi aku nggak menarik. Yaitu tadi, karena seragam atau sama itu tadi soalnya. Kata anak-anak di sini, pakaian yang dijual di mall, macam seragam anak panti asuhan, gitu. Memang sesekali aku beli juga yang baru di mall. Tapi yang itu terakhir beli sudah lama kali. Karena sama semua gitu jadi nggak tertarik aku untuk beli.” 17 Dari pengalaman SS di atas pelbagai pakaian baru sebagaimana diperjualbelian di mall-mall terkemuka di Yogyakarta ternyata ia rasakan tidak menyentuh keinginannya. Konter-konter yang ada di sejumlah mall itu tak ubahnya merupakan pusat laboratorium penangkaran mutan yang khas memiliki keseragaman prototipe 17 Wawancara dengan CS pada 13 Juni 2010. 201 DNA sebagaimana kerap menjadi tema-tema film futuristik fiksi keluaran Hollywood. Mall menjadi semacam gudang penyimpanan beribu-ribu plasma nutfah yang dihasilkan dari proses kloning. Dalam sebuah mekanisme kloning sudah barang pasti sulit mengharapkan adanya jenis, bentuk atau model pakaian lain yang berbeda atau berada di luar cetak biru yang sudah ditetapkan. Ucapan sebagaimana diutarakan teman SS tentang koleksi pakaian-pakaian baru yang diperjualbelikan di sejumlah mall di Yogyakarta kiranya merupakan ucapan yang paling tepat dalam mewakili perasaan konsumen secara mendasar. Kebaruan pakaian-pakaian baru sebagaimana diperjualbelikan di sejumlah mall tidak lain hanyalah kesamaan atau keseragaman itu sendiri. Kesamaan dan keseragaman harga yang mahal, model, motif, dan merek pakaian-pakaian baru sebagaimana dijualbelikan di mall justru dirasakan oleh para konsumen pakaian sebagai tak ubahnya dengan jauh dari niat untuk melecehkan “seragam anak panti asuhan.” Dengan demikian siapa oun yang kemudian mengenakannya akan terjatuh sebagai sekali lagi, tidak berniat melecehkan anak atau anggota panti asuhan. Pada aras ini paranoia konsumsi sebagaimana dialami konsumen berakar pada pengalaman konsumen dalam menghadapi pelbagai pakaian baru yang masing- masing tidak memiliki atau tidak menegaskan adanya perbedaan. Kebaruan pakaian baru tidak mampu memantik keyakinan konsumen pakaian akan adanya nilai kebaruan dalam pakaian baru. Dalam skema penyeragaman sebagaimana disampaikan di muka, para konsumen pakaian saat ini mengalami kebimbangan yang sama sekali berbeda dari kebimbangan yang pernah mereka rasakan sebelumnya. Bimbang bukan karena pilihan yang tersedia menjadi terlalu banyak, akan tetapi bahwa pilihan yang 202 tersedia dalam perkembangannya ternyata sama sekali dirasakan bukan berarti sebuah pilihan atau alternatif, melainkan suatu pilihan yang semata-mata sudah dipilihkan oleh pasar. Alternatif yang tersedia bukanlah alternatif, karena alternatif yang disodorkan telah sedemikian rupa menjadi sebuah alternatif yang “hanya itu saja” dan “tidak ada yang lainnya”: That’s all There is no alternative Para konsumen mengalami sejenis kecemasan yang sama sekali berbeda dari kecemasan yang pernah dirasakan sebelumnya. Cemas bukan karena harus banyak menentukan pilihan, tetapi bahwa apa yang dipahami sebagai memilih dalam perkembangan kemudian seolah-olah sama sekali bukan berarti menentukan pilihan, melainkan menjadi identik dengan tidak memilih. Hal itu dikarenakan pakaian yang ditawarkan pasar sudah merupakan keharusan, sesuatu yang “harus itu” dan “tidak bisa ditawar atau ditolak”. That’s only that Just take it or leave it Pengalaman paranoid yang lahir karena rasa frustrasi, cemas, dan bingung yang sangat mendalam itu mempengaruhi mereka dalam menjatuhkan pilihan terhadap pakaian yang sesuai dengan apa yang diinginkan disampaikan. Pengalaman semacam itu dirasakan SD, perempuan, 20 tahun, asal Menado, mahasiswi Politeknik Akademi Perhotelan Indonesia, Yogyakarta. Dalam kaitan ini ia mengungkapkan perasaannya sebagai berikut: “Saya kenal pakaian bekas setelah beberapa bulan ada Yogya. Sekarang boleh dibilang saya pelanggan tetap pakaian bekas. Di Menado ada juga. Di sana istilahnya “Babe” -- Barang Bekas. Salah satu pusat penjualannya persis di sebelah gereja kami biasa beribadat. Kebetulan sebelah gereja ada tanah kosong. Pakaian ditaruh di bangku dari kayu atau bambu, lalu di atasnya dipasang tenda-tenda gitu, tidak seperti di sini ditata bagus di kios-kios. Dulu kalau belanja pakaian saya seringnya ke Davao atau Manila, di Filipina. Pertama kali di Yogya kalau beli baju ya ke mall. Tapi lama-lama saya berpikir, masak baju yang saya beli di Davao ada 203 juga di Menado, ada juga di Yogya. Belum yang dijual cuma gitu- gitu juga. Sama aja. Nggak merk-nya, nggak model-nya sama semua. Anehnya kadang baju dengan merk sama, model sama di Menado jauh lebih mahal dari yang di Davao atau Yogya. Yang disebut pakaian retail seperti DG atau DKNY sama saja. Modelnya sekarang nggak ada beda dengan model pakaian yang dari China atau Korea. Semuanya ngikut trend mode, sih. Coba deh, Mas perhatikan. Kalau yang lagi ngetrend itu model kotak-kotak, semua mall di Indonesia pasti jual kota-kotak semua. Hari ini apanya, katakan modelnya. Besoknya apanya, mungkin warnanya. Besoknya apanya, mungkin potongannya. Besoknya apalagi, gituuu terus nggak putus-putus. Daripada pening saya memutuskan lari aja ke pakaian bekas. ” 18 Ungkapan sebagaimana dikemukakan oleh SD di atas merepresentasikan pengalaman kemasgulan Jawa: kagol yang ia alami akibat bentuk dan jenis komoditas pakaian sebagaimana dibawakan oleh pelbagai pasar mode modern yang masing-masing di antaranya sama sekali tidak menunjukkan perbedaan tetapi justru sebaliknya. Sebuah pengalaman frustrasi yang ia terima ketika pada satu saat mau tidak mau harus bersinggungan dengan bentuk dan model konsumsi mode mutakhir sebagaimana dibawakan oleh pasar mode modern yang ia temui di Yogyakarta, Menado, Davao, dan Manila. Sebuah pengalaman yang akhirnya membuatnya merasa pening dan ragu-ragu manakala harus berhubungan atau menggunakan bentuk komoditas pakaian baru. Perasaan yang muncul dan kemudian mendorongnya untuk mengkonsumsi pakaian bekas sebagaimana diperjualbelikan di gerai pakaian bekas yang untuk beberapa waktu sebelumnya sama sekali tidak pernah ia kenal. Kemasgulan dan keragu-raguan konsumen pakaian sebagaimana diwakili SD dikarenakan aktivitas membeli pakaian baru yang sebelumnya sungguh-sungguh ia 18 Wawancara dengan SD pada 13 Juni 2010. 204 lakukan secara nyata, belakangan dirasakan tidak lebih dari sekedar hanya menjadi “seolah-olah membeli”. Dalam kondisi dikepung oleh banyaknya bentuk-bentuk komoditas pakaian yang serba seragam, ada di mana-mana, dan telah menjadi pilihan dan ketentuan pasar, tiba-tiba ia merasakan bahwa aktivitas membeli yang ia lakukan sama sekali menjadi “tidak sama dengan membeli” atau bahkan menjadi identik dengan “sama saja dengan tidak membeli”. Bagi SD kebaruan pakaian- pakaian baru tidak bisa menjamin keyakinannya tentang kebaruan pakaian baru yang ada di luar skema pasar. Sebuah situasi dan kondisi yang rupa-rupanya sangat tidak ia harapkan. Ambiguitas semacam itu muncul dikarenakan bahwa pakaian yang konsumen pilih sejatinya sudah sedemikian rupa merupakan sesuatu yang sudah dipilihkan pasar dan tidak “melibatkan” dirinya. Karena proses penyeragaman atau estetisasi tersebut, pakaian baru dirasakan tidak memiliki perbedaan dengan pakaian lama. Pakaian baru ia rasakan justru tidak bisa menunjukkan nilai kebaruannya secara lebih otentik. Dalam asumsi kebahasaan, bahasa masyarakat konsumen sebagaimana ia pergunakan dengan cara mengkonsumsi pakaian baru ia rasakan tidak bisa dipakai sebagai media untuk mengartikulasikan apa yang sejatinya ia inginkan. Alternatif yang ada atau ditawarkan pasar selama ini menjadi sesuatu yang berada di luar keinginannya. Hal itu karena altermatif yang ada bersifat imperatif dan tidak bisa ditawar: “hanya ini” atau “hanya itu”. Satu hal yang hanya akan terjadi ketika pilihan yang ditawarkan merupakan pilihan yang tidak membuka kemungkinan. Pilihan yang memiliki probabilitas mendekati nol Selain model yang seragam, bahasa mode modern juga memberikan kepadanya warna yang sama sekali membuatnya tidak yakin kepada dirinya apakah ia sanggup untuk mengenakannya 205 karena bertolak belakang dengan warna kulit tubuhnya yang hitam. Apa yang selama ini ia rasakan sebagai satu kepastian dari pasar mode modern sejauh ini adalah kemampuannya dalam membuatnya selalu mengalami penderitaan Jawaban yang diberikan oleh pasar mode modern yang ia rasakan sebagai sesuatu yang sudah hampir pasti baca: aksiomatik adalah bahwa pasar mode modern pasti tidak akan memenuhi harapannya Dalam skema penyeragaman dalam konsumsi mode sebagaimana berkembang dalam masyaraka saat ini, SD mengalami sejenis kebimbangan yang sama sekali berbeda dari kebimbangan yang pernah ia rasakan sebelumnya. Bimbang bukan karena pilihan yang tersedia menjadi terlalu banyak, tetapi pilihan yang tersedia dalam perkembangannya ternyata sama sekali bukan berarti sebuah pilihan atau alternatif, melainkan suatu pilihan yang sudah sedemikian rupa dipilihkan orang lain. Alternatif yang tersedia bukanlah alternatif, karena alternatif yang disodorkan masyarakat menjadi sebuah alternatif yang “hanya itu saja” dan “tidak ada yang lainnya”: That’s all There is no alternative SD mengalami sejenis kecemasan yang sama sekali berbeda dari kecemasan yang pernah dirasakan sebelumnya. Cemas bukan karena harus banyak menentukan pilihan, tetapi apa yang dipahami sebagai memilih dalam kemudian seolah-olah sama sekali bukan berarti menentukan pilihan, melainkan menjadi identik dengan tidak memilih. Hal itu karena pakaian yang ditawarkan pasar sudah merupakan keharusan, sesuatu yang “harus itu” dan “tidak bisa ditawar atau ditolak”. That’s only that Just take it or leave it Dalam kondisi sebagaimana diutarakan di atas para konsumen tiba-tiba diterkam oleh perasaan keragu-raguan. Perasaan semacam itu muncul karena seiring 206 dengan kecepatan dan percepatan pergantian mode pakaian yang ada di pasar deasa ini, apa yang dipahami dengan makna berganti dalam perkembangan kemudian seolah-olah menjadi berhimpit dengan pengertian stagnan atau mandek. Para konsumen merasa risau, karena seiring dengan cepatnya pembaruan pakaian yang terjadi di pasar, apa yang disebut sebagai baru atau mutakhir kemudian cepat sekali menjadi usang. Di wilayah cita rasa atau selera taste pun tidak lepas dari pengaruh itu. Saat ini para konsumen merasa resah ketika mendapati bahwa rasa pakaian baru sebagaimana ditawarkan pasar modern sudah tidak ada rasanya. Domestikasi atau -- meminjam istilah Piere Bourdieu – estetisasi rasa, penyeragaman rasa, 19 yang dialami para konsumen atau pembeli bahkan menjadikan mereka mati rasa. Dalam situasi paradoksal semacam itu para konsumen mengalami ketidakpastian apakah pilihan yang disodorkan pasar benar- benar menjawab kebutuhan ataukah justru sebaliknya. Dari apa yang diuraikan di atas tampak bahwa perkembangan dan proses konsumsi mode dalam masyarakat Yogyakarta kontemporer oleh sebagian konsumen dalam perkembangan kemudian justru dirasakan mengendala mereka sendiri. Reproduksi kebaruan yang dilakukan pasar mode seperti yang terjadi saat ini oleh sebagian konsumen dirasakan justru merenggut kebebasan mereka saat berhubungan dengan pakaian; saat mereka mau tidak mau harus menggunakan bahasa masyarakat konsumen yang ada. Model dan bentuk konsumsi mode modern sebagaimana berkambang saat ini dirasakan menjadi sangat tertutup dan tidak toleran terhadap pelbagai kemungkinan atau alternatif. Kemungkinan dan alternatif 19 Randal Johnson 1993, “Piere Bourdieu on Art, Literature and Culture” dalam Randal Johnson, ed., Piere Bourdieu: The Field of Cultural Production. Essay on Art and Literature, United Kingdom: Polity, hlm.1-2. 207 yang ada tidak lain adalah kemungkinan dan alternatif telah menjadi cetak biru pasar. Dalam kehidupan masyarakat dan budaya konsumen yang neurotik di satu sisi, dan gerak perputaran mesin produksi mode mutakhir yang serba seragam di sisi lain, pada akhirnya mendorong terjadinya perubahan persepsi, sikap, dan tindakan sebagian konsumen dalam melihat model konsumsi mode modern dewasa ini. Dari situasi ambiguitas semacam itu pada akhirnya memantik hasrat desire para konsumen untuk mencari bentuk dan model komoditas pakaian yang dinilai mampu menjanjikan apa yang mereka inginkan. Dari keterangan di atas, pengalaman paranoia sebagaimana dialami oleh sejumlah konsumen mode ditandai dengan kepastian konsumen yang tidak lagi bisa menaruh kepercayaan terhadap pelbagai bentuk dan model konsumsi mode modern. Para konsumen itu tidak memiliki keyakinan tepatnya, tidak bisa diyakinkan bahwa bentuk dan model konsumsi mode modern sebagaimana berkembang dalam masyarakat dan budaya konsumen mampu menjawab kebutuhan mereka akan pakaian. Dengan kata lain sejumlah konsumen mengalami ketidakyakinan secara mendasar bahwa pelbagai bentuk dan model konsumsi modern sebagaimana disebarluaskan lewat perdagangan mampu menjamin apa yang sesungguhnya mereka butuhkan. Dari perilaku pasar mode mutakhir, para konsumen mode menyangsikan kemampuan pelbagai bentuk dan model konsumsi mode modern dalam menjawab kebutuhan mereka yang sesungguhnya. Di mata sejumlah konsumen pelbagai bentuk dan model konsumsi mode mutakhir bahkan dinilai gagal memenuhi memuaskan kebutuhan mereka akan pakaian sebagaimana menjadi keinginan mereka. 208 Pengetahuan paranoid dalam memahami realitas sebagaimana diutarakan di atas dalam perkembangan kemudian menjadi titik pemicu bagi sejumlah konsumen untuk mencari dan menemukan pelbagai bentuk dan jenis komoditas pakaian serta bentuk dan model konsumsi mode alternatif. Bentuk dan jenis komoditas pakaian serta bentuk dan model konsumsi mode alternatif yang dirasakan lebih mewakili dengan apa yang selama ini mereka inginkan di luar apa yang ada dan menjadi cetak biru masyarakat dan budaya konsumen saat ini. Dengan kata lain berangkat dari pengetahuan paranoia di atas sejumlah konsumen mulai mengelupas keaslian wajah atau bahasa masyarakat dan budaya konsumen sebagaimana berkembang saat ini berkenaan dengan persoalan pakaian. Apa yang mendorong keinginan dan upaya sejumlah konsumen mode semacam itu sekaligus menunjukkan kemampuan atau kreativitas dalam memberikan celah kemungkinan dalam melihat persoalan yang sejauh ini dipastikan tidak akan sempat terjangkau oleh penglihatan atau pemikiran para konsumen yang kebanyakan telah mengidap neurosis. Demikian akhirnya pertimbangan dan putusan sejumlah konsumen itu kemudian mereka jatuhkan pada pakaian bekas. Meneruskan apa yang telah dibicarakan di atas, pembahasan tentang pengetahuan paranoid tersebut akan ditempatkan sebagai semacam pemicu bagi bangkitnya pengalaman traumatik, pengalaman negativitas, atau ketidaksadaran yang dialami konsumen pada masa lalu. Pelbagai bentuk pengalaman yang tidak menyenangkan atau menyakitkan yang mereka alami dan tidak mendapatkan pemuasan atau tidak sempat muncul ke alam kesadaran sehingga tetap mengendap dalam ketidaksadaran konsumen dalam bentuk memori, residu, reminiscense, gagasan, remainder, jejak-jejak ingatan. Lewat pengetahuan paranoid terbuka celah 209 bagi pelbagai dorongan libidinal libidinal drive sebagaimana telah direpresi ke dalam alam bawah sadar konsumen untuk menyeruak ke permukaan atau alam kesadaran. Pelbagai silang sengkarut kehidupan masyarakat dan budaya konsumen sebagaimana berlangsung dewasa ini menjadi pemicu signifikan bagi munculnya pelbagai dorongan libidinal yang merupakan bagian dari ketidaksadaran konsumen atau selama ini direpresi dalam alam bawah sadar. Dari data yang bisa dikumpulkan di lapangan, dari 20 orang responden penelitian ini, secara keseluruhan 100 menyebutkan faktor penyeragaman atau estetisasi rasa sebagai permasalahan utama dan paling menonjol dalam model dan bentuk konsumsi mode modern pada masa sekarang. Sebuah permasalahan yang paling kerap mereka temui manakala harus berhubungan dengan pakaian baru sebagaimana ditawarkan lewat situs-situs konsumsi modern seperti mall atau department store. Faktor penyeragaman atau estetisasi mode tersebut pada saat yang sama sekaligus menjadi pemicu bangkitnya pengalaman traumatik atau pengalaman negativitas yang mereka alami berkenaan dengan pakaian pada masa lalu ke permukaan sebagai sebuah simptom. Dorongan energi libidal atau represional dalam kaitannya dengan kekuatan pakaian bekas sebagai bentuk komoditas dan model konsumsi mode alternatif dalam melahirkan fantasi sebagaimana dibayangkan oleh para konsumen. Berangkat dari gagasan sebagaimana dikemukakan pada bagian terakhir uraian di atas, paragraf-paragraf berikut selanjutnya akan menguraikan pelbagai simptom atau trauma masa lalu para konsumen pakaian bekas berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan akan pakaian. Pengalaman tidak menyenangkan atau pengalaman negativitas yang dialami oleh para konsumen pakaian bekas ketika 210 harus merepresi pelbagai dorongan libidinal yang berasal dari Id dan tetap membekas kuat dalam alam bawah sadar. Pelbagai dorongan yang untuk beberapa waktu tidak sempat terpuaskan disatisfaction atau tidak sempat diproses ke dalam alam kesadaran lewat pelbagai penanda dan struktur bahasa kesadaran. Pembahasan tentang simptom sekaligus akan dikaitkan dengan persoalan nilai yang masih tersisa dari pakaian bekas yang menurut konsumen tertentu tidak lagi diperhitungkan tetapi justru mampu melahirkan suatu fantasi kepada para konsumen pakaian bekas. Setelah itu dalam aras wacana atau kebahasaan, persoalan penggunaan pakaian bekas akan ditempatkan sebagai praktik diskursif yang dibangun oleh para konsumen pakaian bekas dalam menghadapi fetishisme konsumsi mode mutakhir yang hingga kurun waktu ini menjadi bahasa master of signifier yang memiliki kekuatan besar dan menentukan dalam kehidupan masyarakat dan budaya konsumen. A.3. Pakaian Bekas, Simptom dan Fantasi Dalam pembicaraan sebelumnya telah disinggung bahwa bentuk dan model konsumsi mode modern sebagaimana berkembang dalam masyarakat dan budaya konsumen dan disebarluaskan lewat perdagangan telah memantik atau memberi celah bagi dorongan libidinal yang direpresi dalam ketidaksadaran konsumen muncul ke permukaan the eruption of the repressed. Energi represional atau residual energy dalam pengertian Freudian yang manakala muncul ke permukaan bisa mengambil bentuk dalam terdistorsi, simptom, mimpi, keseleo lidah, dan sebagainya. Bagaimana energi libidinal atau energi represional yang tidak bisa 211 dihancurkan dan perwujudannya manakala muncul ke permukaan dijelaskan dalam keterangan sebagai berikut: “Since repression does not destroy the ideas or memories that are its target, but merely confines them to the unconscious, the repressed material is always liable to return in a distorted form, in symptoms, dreams, slips of the tongue, etc. the return of the repressed” 20 Dari uraian di atas diketahui bahwa pengalaman traumatik seseorang dipenuhi dengan ingatan, gagasan, atau pengalaman tidak menyenangkan atau menyakitkan dan bersifat laten. Pengalaman itu berkaitan erat dengan permasalahan dorongan libidinal yang berasal dari alam bawah sadar mereka yang demi kenyamanan dan kestabilan psikis harus direpresi dalam alam bawah sadar sebagai ketidaksadaran. Demikian halnya pelbagai dorongan represional atau ketidaksadaran seseorang ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan, melainkan berlapis-lapis. Pelbagai bentuk dorongan libidinal yang tidak sempat mendapatkan pemuasan itu selanjutnya membidani lahirnya hasrat seseorang untuk kembali dalam pengalaman primordialnya; hidup dalam kepenuhan bersama ibunya. Hasrat ini untuk beberapa waktu dilakukan lewat mekanisme fantasi -- daya yang diarahkan untuk membayangkan sesuatu, terutama hal-hal yang tidak real dalam arti di luar realitas yang simbolik atas apa yang diinginkan. Ketika dorongan represional itu kelak kemudian muncul ke permukaan maka akan melahirkan efek berupa adanya simptom psikopatologis dalam pelbagai manifestainya. 20 Dylan Evans 1996, An Introductory Dictionary of Lacanian Psychoanalysis. London and New York: Routledge, hlm. 168 212 . Lewat pengetahuan paranoia sebagaimana dikembangkan oleh para konsumen mode modern secara psikoanalitik Lacanian merepresentasikan tarik ulur antara pengetahuan dan realitas. Di satu sisi pengetahuan seseorang akan identitas dan subjektivitasnya belum mapan, di sisi lain gerak psikis mengharuskan seseorang mengembangkan pengetahuannya akan dunia sosial dan budaya di sekitarnya. Sebuah gejala yang dialami seseorang yang tengah berada dalam transisi dari akhir fase pascacermin hingga memasuki tahap simbolik. Sebuah pengalaman yang mendorong seseorang untuk melakukan pengembangan pengetahuan berdasarkan pada dugaan-dugaan dan penuh dengan kekhawatiran anxieties. Demikian selanjutnya putusan konsumen untuk mencari dan menentukan bentuk dan model konsumsi mode di luar cetak biru konsumsi masyarakat dan budaya konsumen merupakan sejenis pengetahuan yang telah sedemikian rupa dilumuri oleh noda paranoia. Pada aras ini konsumsi pakaian bekas sebagaimana dilakukan oleh para konsumen memiliki kaitan dengan pengalaman traumatik yang mereka alami pada masa lalu. Pertanyaan kemudian: pengalaman simptomatik macam apa yang ada dalam alam bawah sadar konsumen pakaian bekas? Bagaimana simptom tersebut diselesaikan konsumen lewat putusan mereka menggunakan pakaian bekas? Apa yang dijanjikan oleh pakaian bekas terhadap para konsumen? Untuk mendapatkan jawaban dari ketiga pertanyaan sebagaimana dikemukakan di atas, paragraf-paragraf berikut ini menguraikan pengalaman yang dialami oleh empat konsumen atau pengguna pakaian bekas. Kesempatan pertama diberikan kepada JN, laki-laki, 22 tahun, asal Flores, mahasiswa Fakultas Farmasi, UGM. Dalam kaitan persoalan pengalaman traumatik JN menyatakan pengalamannya sebagai berikut: 213 “Sudah 2 tahun lebih kalau cari baju saya carinya ke kios pakaian bekas. Yang saya incar dari pakaian bekas itu tiga, Kak. Selain murah, model, motif, warna, dan motif. Saya suka baju model klasik, motif polos, dengan warna kalem. Kalau merk, di antara merk-merk yang ada saya suka Abercrombie, DKNY, Fossil, atau New Look. Kalau beli baru di mall gambling, Kak. Sudah model sama semua dia punya warna parah Terang-terang semua, nggak cocok sama kulit saya yang hitam. Pokoknya menderita-lah kalau ke mall” [..] Saya tahu merk-merk itu ketika piknik perpisahan SMA di Bali. Di Flores ggak kenal kami dengan merk-merk itu. Kakak saya yang kuliah di Yogya lebih dulu kenal merk-merk itu. Saya tahu dari dia. Saya masih ingat saya sempat mogok sekolah karena celana merk JAG. Saya pingin sekali punya tapi bisa apa? Saya tidak ada uang. Kalau ada uang, saya mesti cari lagi di luar kota. Paling dekat Bali atau Surabaya. Ongkos ke sana uang siapa? Jadi keinginan itu saya pendam saja dalam hati. Baru di Yogya ini saya bisa cari dan beli, meski second.” 21 Dari ilustrasi di atas, putusan JN menggunakan pakaian bekas yang ia peroleh di gerai rombengan berkaitan dengan endapan pengalaman masa lalunya yang menrenyuhkan hati. Pada usia remaja ia sangat mengingini celana merk JAG yang ia kenal dari kakaknya, tapi keinginan itu harus ia represi karena ia tidak memiliki uang untuk membelinya. Kalau harus beli paling dekat ia harus membeli celana itu di Bali atau di Surabaya. Kemungkinan yang bisa dipastikan justru akan memperparah keadaannya, karena hal itu menjadi satu kemustahilan untuk dilakukan karena ongkos transportasi yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga celana, yang sudah hampir pasti tidak mungkin akan ia lakukan. Kekecewaan hatinya yang ia pendam bertahun-tahun terpuaskan manakala ia memiliki kesempatan untuk mengambil studi di Yogyakarta. Lewat gerai pakaian bekas JN seolah-olah berhasil menemukan “kekasih yang selama ini ia idam- idamkan”. Dalam pengalaman JN, celana merk JAG menjadi obat yang bisa 21 Wawancara dengan JN pada 13 Juni 2010. 214 memulihkan kekecewaan yang ia tanggung bertahun-tahun. Kekecewaan yang berasal dari keinginan untuk memiliki celana merk JAG yang harus ia pupus karena tidak punya uang untuk membelinya. Celana merk JAG yang ia ketemukan di gerai pakaian bekas memungkinkan JN bertemu dengan dorongan libidinal atau ketidaksadarannya yang demi kestabilan psikisnya dengan berat hati harus ia tenggelamkan sedemikian rupa dalam alam bawah sadarnya. Lewat celana bekas tersebut JN mendapatkan keyakinan atau keberanian diri untuk kembali pada masa lalunya yang menyakitkan. Proses ini sudah barang pasti bukan peristiwa kecil dan sederhana, sebab dengan demikian JN telah mereklamasi keinginannya yang sempat berlubang karena ia sama sekali tidak bisa memuaskannya. Sebuah dorongan akan sesuatu yang selama ini sangat ia inginkan tetapi terpaksa harus ia tunda. Ungkapan JN di atas juga merepresentasikan pengalaman orang yang tengah mengalami frustrasi manakala berhubungan dengan pelbagai bentuk dan model konsumsi mode modern sebagaimana disebarluaskan lewat pasar. Selain menunjuk pada persoalan keseragaman sebagaimana rata-rata diacu atau dialami oleh sebagian besar responden, JN juga menunjuk pada aspek “penderitaan konsumsi” yang kemudian mengubah keputusannya untuk berpindah kepada pakaian bekas. Ketika ia mengindahkan perintah Sang Ayah simbolik dengan cara menggunakan bahasa masyarakat konsumen lewat pelbagai bentuk pakaian baru yang ada di pasaran, JN justru harus menelan kekecewaan . Pakaian baru yang bagi orang kebanyakan bisa mendekatkan orang pada kegembiraan atau bahkan kemewahan justru dirasakan JN sebagai penderitaan. Kekecewaan yang dialami JN berpangkal dari kenyataan bahwa pakaian-pakaian baru yang diperjualbelikan di mall yang sama sekali tidak toleran terhadap persoalan model dan warna sebagaimana yang ia inginkan. 215 Ketika ia harus menerima resolusi sebagaimana ditawarkan Sang Ayah dengan menggunakan bahasa masyarakat dan budaya konsumen dengan cara menggunakan pakaian baru, JN ternyata harus mengalami frustrasi. Mall menjadikan keinginannya sebagai pertaruhan atau perjudian. Gambling adalah bahasa yang lazim dikembangkan dalam ilmu matematika. Konsep ini menggarisbawahi persoalan probabilitas atau kemungkinan. Dalam bahasa populer istilah ini telah mengalami penciutan atau peyorasi makna menjadi “kemungkinan yang tidak mungkin” yang dalam bahasa matematika sejajar dengan pengertian “probabilitas yang mendekati angka nol 0”. Istilah ini dipakai JN untuk mengambarkan ketidakmampuan pasar mode modern dalam memuaskan keinginan konsumen. Gambling mengambarkan sebuah kondisi menggantung, antara “Ya” dan “Tidak”. Sebuah kondisi yang akan menempatkan konsumen dalam kondisi yang tidak nyaman karena didera oleh perasaan sangsi, tidak yakin. Jawaban pasar mode modern kepada JN secara gambling membuat JN tidak memiliki harapan, karenanya harapannya untuk mendapatkan pakaian yang sesuai dengan keinginannya jauh-jauh hari sudah harus segera ia kendorkan atau ia pupus di tengah jalan. Di lain kesempatan pakaian bekas memungkinkan JN bertemu dengan pakaian bermerk Abercrombie, DKNY, Fossil, atau New Look yang ia suka. Berbeda dari pakaian baru yang tidak jelas merknya, identitas pakaian bekas keluaran negeri Paman Sam Amerika itu justru sangat tampak jelas di matanya. Pertemuan JN dengan pakaian bekas bukanlah pertemuan orang dengan barang semata. Dalam pertemuan tersebut juga mempertemukan dua identitas. Pertemuan JN yang anak Flores, Indonesia dengan Abercrombie, DKNY, Fossil, dan New Look yang merupakan pakaian buatan dan ala Amerika. Demikian halnya alasan JN 216 mogok sekolah waktu SMA bukan semata-mata karena ia gagal mendapatkan celana, tetapi juga merepresentasikan gagalnya pertemuan dua identitas, yakni identitas JN dengan identitas JAG yang merupakan celana bikinan Amerika. JN merasa jatuh ketika proses identifikasi yang ia alami sewaktu SMA gagal diwujudkan. JN merasa tidak utuh karena proses pembentukan subjektivitasnya lewat momen identifikasi harus tertunda. Pakaian bekas di pasar membuka kesempatan bagi JN untuk bertemu dengan identitas, rasa, imej, nilai atau tanda ke- Amerika-an sebagaimana direpresentasikan dalam pelbagai merk pakaian yang ia perlukan untuk pembentukan ego atau identitasnya. Pakaian bekas telah sedemikian rupa memungkinkan bagi JN bertemu kembali dengan objek a object cause of desire sehingga ia pun kemudian merasa nyaman dan mampu membuatnya berlama-lama berada di zona itu. Pakaian bekas memungkinkan JN kembali pada masa lampau dan bertemu pengalaman traumatiknya. Lebih dari itu pakaian bekas mampu melahirkan fantasi phantasy, disimbolisasikan dengan a 22 pada JN untuk menuntaskan pengalaman traumatik atau simptomnya untuk memiliki pakaian bermerk yang sangat ia idam-idamkan di masa lalu tetapi harus ia represi karena tidak memiliki uang untuk membelinya. Pakaian bekas membuat JN tidak “kagol” lagi. Selain itu pakaan bekas juga mampu memberikan jaminan pada JN untuk menghindari bahasa konsumsi modern yang membebaninya. Satu hal yang menurut perhitungan orang kebanyakan atau nalar umum yang berduit terbiasa dengan mode justru bukan menjadi persoalan atau tidak bermakna. Secara fisik atau biologis JN memang telah memasuki fase pasca-cermin, 22 Lebih jauh tentang simbolisasi dan pembahasan tentang fantasi psikoanalisis Lacanian, lihat Alfredo Eidelsztein 2009, Graph of Desire. Using the Work of Jacques Lacan, terj. Florencia F.C. Shanahan, London: Karnac Books Ltd., hlm. 163-164. 217 dunia simbolik, dunia sosial, dunia masyarakat. Akan tetapi karena “penderitaan” bahasa konsumsi mode modern ia mengurungkan niatnya untuk memasuksi dunia Liyan Other sepenuhnya sebagaimana direpresentasikan oleh pakaian baru yang diperjualbelian di mall-mall terkemuka di Yogyakarta. Untuk menghindari bahasa Liyan atau masyarakat yang ia rasakan tidak bisa menjamin keyakinan dan berseberangan dengan keinginannya secara langsung JN menempuh cara melingkar. Ia kemudian menggunakan bahasa yang tidak lagi diperhitungkan oleh masyarakat konsumen pada umumnya, yakni bahasa pakaian bekas. Dengan menggunakan pakaian bekas ia menemukan keyakinannya. Dengan pakaian bekas ia juga menemukan kemampuannya dalam berbahasa dalam arti mengemukakan perasaan dan pikiran sendiri. Lewat pakaian bekas yang ia kenakan, ia seolah-olah tengah berkata kepada dirinya sendiri, meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ia tidak mau sekedar “ela-elu” atau “anut grubyuk” alias tidak lebih sekedar ikut-ikutan dengan pola konsumsi sebagaimana dilakukan oleh para konsumen mode modern dan merupakan bahasa masyarakat yang mengalami neurosis. Dengan mengenakan pakaian bekas ia membangun siasat untuk melakukan penghindaran disavowal. Ia membuka startegi agar dirinya tidak tidak terjatuh sebagai orang yang sekedar merupakan transmiter bahasa mode sebagaimana tersedia dalam masyarakat dan budaya konsumen yang neurotik. Putusan JN mengenakan pakaian bekas adalah suatu cara untuk bertetmu dengan Other sebagaimana direpresentasikan dalam pelbagai bentuk dan model konsumi mode zaman sekarang secara langsung. Dalam persepsi JN bertemu dengan Other atau berbahasa mode modern justru memiliki potensi “mencelakakan dirinya” . Keputusannya untuk mengenakan pakaian bekas adalah salah satu cara 218 agar Liyan Other tidak bisa mengurung dirinya terlalu jauh dan menjauhkannya dari sumber hasratnya. Dunia simbolik, dunia bahasa, atau dunia masyarakat, merupakan zona yang membahayakan bagi dirinya: di dalamnya dimungkinkan terdapat hal-hal yang tidak terduga, termasuk hal-hal yang antagonistik, yang ujungnya akan mendegradasikan dirinya. Ia tidak mau menjadi bagian dari “anak- anak panti asuhan” akibat menggunakan bahasa masyarakat konsumen yang telah di-stel pasar sedemikian rupa. Pakaian baru sebagai bahasa masyarakat dan budaya konsumen yang mau tidak mau ia tinggali saat ini menjadi sesuatu yang asing dan mengancam dirinya. Bersentuhan dengan pakaian baru amenjadi bala’ atau kutukan baginya, sehingga sudah sepantasnya kiranya jika harus ia siasati. Konter-konter yang ada di dalam mall-mall itu ia pahami tak ubahnya pusat laboratorium penangkaran mutan yang khas memiliki keseragaman prototipe sebagaimana kerap menjadi tema-tema film futuristik keluaran Hollywood. Mall menjadi semacam gudang penyimpanan beribu-ribu plasma nutfah yang dihasilkan dari proses kloning. Dalam sebuah mekanisme kloning sudah barang pasti sulit mengharapkan adanya jenis, bentuk atau model pakaian lain yang berbeda atau berada di luar cetak biru yang sudah ditetapkan. JN memahami bahwa dunia masyarakat konsumen tidak bisa mewujudkan atau memuaskan keinginannya terkait dengan pakaian. Kebaruan pakaian-pakaian baru itu tidak lain hanyalah kesamaan atau keseragaman. Kesamaan dan keseragaman model, motif, dan merek pakaian- pakaian baru sebagaimana dijual di mall ia bayangkan melemparkannya menjadi manusia yang tidak otentik bila sempat ia sentuh. Ia akan menjadi manusia massa atau binatang konsumsi yang hanya mampu meloncat dari satu kandang kebaruan ke kandang kebaruan lain yang akan menguras energinya. 219 Pengalaman JN sekaligus menggaraisbawahi pengalaman lack atau loss yang kedua kali sejak perpisahannya dengan ibunya. Pengalaman yang ia peroleh saat ia harus menerima proses pendewasaan sebagai subjek dalam struktur simbolik atau sosial budaya. Pengalaman lack, loss, atau kehilangan yang dialami JN untuk kedua kali menghampirinya berangkat dari kenyataan yang sama sekali berada di luar perhitungannya. Dalam hal ini Other, Sang Ayah simbolik, Sang Masyarakat, Sang Sosial, Sang Bahasa yang selama ini menjadi reservoir penanda treasure of signifier di mana seluruh harapan dan keinginan subjek konsumen untuk mendapatkan kenikmatan pengganti digantungkan, ternyata juga mengalami lack. Di depan mata dan hidungnya JN menyaksikan bahwa Sang Ayah tengah diperdaya oleh hasratnya yang ia arahkan pada ibunya Other’s desire atau mOther. Sang Ayah tempat ia menggantungkan harapan untuk mendapatkan kenikmatan ternyata telah ditelikung oleh kekuatan pasar Hal inilah yang kemudian mendorong JN menolak bertemu dengan Other sepenuhnya, atau masuk menjadi objek hasrat masyarakat dan budaya konsumen tanpa reserve. Pengalaman kedua dikemukakan oleh HK, laki-laki, umur 42 tahun, asal Lampung, dokter tetap yang bekerja di Rumah Sakit Daerah RSUD, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Dalam kaitan dengan persoalan di atas ia mengungkapkan pengalamannya sebagai berikut: “Selain praktik di rumah sakit, saya juga mengajar di akademi keperawatan. Wajarlah kalau harus sedikit menjaga penampilan dengan jas. Untuk antisipasi kolega yang suka ngeledek kalau yang saya pakai hanya yang itu-itu saja saya cari ke pakaian bekas. Beli baru, makin ke sini makin mahal, sementara bahan, potongan, model, dan ukuran makin nggak jelas, nggak nyaman, dan sering nggak pas. Makanya saya lalu mengoleksi jas dari sini. Sejauh ini saya dapat jas yang sesuai ukuran dan keinginan. Model yang saya 220 suka yang kancingnya empat di depan. Seneng banget saya bisa dapat lagi yang begini. [...] Model jas itu adalah model kesukaan dokter “X” 23 dokter pembimbing skripsi dan praktik dan yang membawa saya memasuki dunia medis sebagai dokter dan dosen. Saya ingat betul dulu beberapa waktu sebelum pelantikan dokter. Saya selalu pingin nangis kalau ingat yang ini. Saya masih belum punya uang sepeserpun. Tidak seperti dokter sekarang, dulu sejak Coas praktik medik: pen hingga PTT praktik tidak tetap: pen saya belum mendapatkan gaji. Lazim di kedokteran saat pelantikan kita harus mengenakan setelan dan jas. Ya, sampai kini, dokter itu identik dengan setelan dan jas. Jadi kalau AKAKOM di TV bilang “kampus mahasiswa berdasi” itu sudah saya alami jauh sebelumnya. Mau minta uang orang tua di Lampung yang tani dan orang trans transmigran: pen tidak mungkin. Saya coba cari pinjaman teman, tidak ada yang free. Mau pinjam senior malu. Lalu saya coba cari di penjahitan, ada tapi saya tidak kuat beli. Mereka jual dengan harga Rp. 75 ribu. Tahun 80-an harga itu senilai ¾ SPP kuliah di KU Kedokteran Umum UGM. Sayang, kan? Lalu saya cari di rombengan, nggak dapet, karena waktunya mepet dan baru kepikiran belakangan. Akhirnya dengan wajah memelas saya nekad menemui dokter “X” lalu cerita apa adanya ke pada beliau. Sama beliau saya diberi lungsuran jas. Alhamdulillah, meski sedikit kebesaran, ya kebesaran karena beliau itu badannya gemuk, jas itu saya pakai pada saat acara pelantikan. Untuk mengenang jasa baik dokter “X” jas itu masih saya simpan sampai sekarang.” 24 Dari ilustrasi di atas, putusan HK menggunakan jas yang ia peroleh di gerai rombengan berkaitan dengan endapan pengalaman masa lalunya yang menrenyuhkan hati. Jas yang ia beli dari gerai rombengan menjadi reminder tanda mata tentang tentang kejadian yang ia alami pada tahun 1980-an beberapa saat sebelum ia dilantik menjadi seorang dokter. Jas yang ia beli di gerai pakaian bekas menjadi reminder atas keinginannya memiliki sepotong jas yang tidak bisa ia penuhi karena tidak memiliki uang untuk membelinya, sementara jas itu sangat ia butuhkan untuk mengikuti acara pelantikan dirinya sebagai dokter. Kejadian yang sekaligus menempatkan budi baik dokter “X” dosen pembimbing skripsinya yang telah 23 Atas permintaan HK, identitas dokter yang bersangkutan disamarkan. 24 Wawancara dengan HK pada 14 Juni 2010. 221 melungsurkan jasnya kepada HK sehingga memungkinkan ia memiliki sepotong jas dan mengikuti upacara pelantikan dokter yang membanggakan hatinya. Dengan demikian apa yang sejatinya ia beli dari sepotong jas di gerai pakaian bekas adalah kemampuan jas dalam menghubungkan realitas masa kini HK yang telah menjadi dokter dan dosen sebuah akademi keperawatan dengan endapan, remainder atau pengalaman simptomatik masa lampau HK yang tidak menyenangkan beberapa saat sebelum menjadi dokter. Pada saat yang sama jas bekas dengan model double breast menghubungkan realitas masa kini HK dengan reminder tentang sosok dokter “X” yang telah “menyelamatkan muka” HK sehingga ia tetap bisa tegak di tengah komunitas medis dengan mengikuti upacara penobatan dirinya sebagai dokter. Sementara itu kebiasaan HK mengoleksi jas merepresentasikan mekanisme fiksasi yang masih berjalan dalam diri HK. Dalam hal ini HK mengompensasikan ketidamampuannya membeli satu jas pun mampu karena keterbatasan finansial. Dengan demikian ia tengah menghadapi endapan pengalaman yang menyakitkan dan berada dalam alam bawah sadarnya dengan cara membedol dan memindahkannya pada masa kini. Demikian selanjutnya menarik kiranya untuk melihat bagaimana HK menghadapi pengalaman yang sama sekali tidak menyenangkan batinnya di masa lalu. Dalam hal ini langkah HK untuk menutup pengalaman traumatiknya di masa lampau tidak saja mengarahkan usahanya pada dirinya sendiri, tetapi juga ia arahkan kepada orang lain. Di tengah subjektivitasnya sebagai seorang dokter dan kelaziman bahasa kedokteran yang menempatkan penggunaan setelan dan jas sedemikian rupa sebagai salah satu ciri atau identitasnya, telah mendorongnya untuk melakukan langkah antipasi atau mekanisme pertahanan diri self defense mechanism lewat 222 sebuah mekanisme proyeksi. Mekanisme proyeksi ini berkaitan situasi sosial atau komunitasnya yang terkadang tidak ramah hanya karena persoalan pakaian atau jas yang dikenakan. Ia tidak mau diledek atau diolok-olok karena jas yang ia kenakan yang menurut teman-temannya “hanya itu-itu saja” alias tidak pernah ganti. Mekanisme proyeksi sebagaimana dilakukan HK diperlukan untuk menempatkan posisi subjektivitasnya sebagai dokter dan dosen dalam komunikasi sosialnya bersama kolega atau teman sejawatnya. Dengan begitu posisi subjek HK sebagai dokter dan dosen tetap terjaga di depan orang lain other. Satu hal yang nyaris terjadi beberapa saat sebelum pelantikan jika tidak ada uluran tangan dokter “x”. Cara itu ia wujudkan dengan jalan mengoleksi jas bekas yang ia beli dari gerai pakaian bekas. Jumlah jas yang lebih dari satu memungkinkannya untuk melakukan penggantian identitas berkali-kali dengan cara mengganti properties sebagaimana direpresentasikan oleh model jas bekas yang ia koleksi. Di mata koleganya dan komunitas medik di mana pada akhirnya ia geluti, ia senantiasa menjadi orang yang senantiasa baru. Baru dalam pengertian ini adalah bukan yang lampau, bukan yang telah lalu, saat di mana HK belum mampu membeli jas melainkan hanya jas lungsuran dan belum dilantik atau dikukuhkan sebagai seorang dengan profesi yang secara sosial dinilai berbobot, dokter. Berdasarkan keterangan di atas, secara klinis tampak adanya gejala gangguan mental mental disturbance dalam diri HK, yakni neurosis yang mengambil bentuk berupa obsesi. 25 Gejala atau simptom tersebut berada di luar jaungkauan HK untuk menyadarinya. Fantasi HK yang mengalami obsesi sejauh ini menyiratkan hubungan dirinya dengan objek hasratnya. Akan tetapi ia menolak untuk mengakui 25 Bruce Fink 1997, Op. cit., hlm. 116. 223 bahwasanya objek hasrat atau sesuatu yang ia ingini dalam pengalaman HK adalah sepotong jas memiliki hubungan atau keterkaitan erat dengan hasrat orang lain di luar dirinya Other. Dalam persepsi HK, orang lain tidak lagi memiliki kaitan dengan jas sebagaimana yang ia inginkan. Dengan demikian kedudukan objek hasrat atau jas yang ia ingini di masa lalu sebagaimana ia kumpulkan di gerai rombengan pada saat ini dimaksudkan semata-mata untuk melengkapi subjektivitasnya. Dalam hal ini objek hasrat atau jas yang diingini HK ia persatukan dengan subjektivitas HK sebagai seorang dokter. Dari ungkapan di atas HK juga mengilustrasikan hubungannya dengan Other lewat konsumsi. Hanya saja rupanya ia harus menelan kekecewaan, sebab apa yang ia harapkan agar dunia konsumsi mode modern bisa menyodorkan pada dirinya sebuah jas yang cocok dengan keinginannya tidak terwujud. Jas baru sebagaimana diperjualbelikan di pelbagai situs konsumsi modern semakin hari ia rasakan semakin mengecewakan. Dari segi harga ia rasakan semakin mahal, tetapi dari segi model dan kualitas bahan ia rasakan semakin tidak baik. Persis di sini mengingatkan pada janji Sang Ayah sebagaimana pernah ia teken dalam sebuah pakta pada kurun oedipal. Janji bahwa Sang Ayah akan memberikan solusi, sebagai kompensasi Sang Anak melepaskan hasratnya akan ibunya, ternyata tidak bisa ia penuhi. Pakta yang membuat Sang Anak rela dikastrasi dan mencari objek pengganti hasratnya di luar diri ibunya tidak mendapatkan jawaban memadai. Akan tetapi demikianlah yang harus ia terima, sebab Sang Ayah, ternyata juga mengalami lack. Lack yang menimpa Sang Ayah berasal dari ibu yang saat ini sangat potensial membentuk dunia sosial: pasar 224 Menarik pula kiranya untuk melihat pilihan HK terhadap jas yang ia beli di rombengan. Sejauh ini menunjukkan bahwa model jas yang menjadi kesukaan HK adalah model jas yang sama dengan model jas orang yang ia hormatinya; dokter senior dan pembimbing skripsinya. Tampak bahwa identitas jas senior HK terpatri dalam ketidaksadaran HK mendorongnya untuk menemukan identitas jas yang sama atau serupa dengan apa yang pernah ia dapatkan atau diberikan seniornya itu. Kesamaan identitas jas sebagaimana identitas jas yang dimiliki seniornya oleh HK diproyeksikan kepada pelbagai model jas yang ia sukai dan tersedia di gerai rombengan. Apa yang yang hendak dikatakan adalah kesamaan atau kemiripan identitas atas jas yang diberikan seniornya itu menjadi sebagian dari hasrat HK untuk mengkonsumsi pelbagai ragam jas yang ada di pasar rombengan. Dengan kata lain HK tidak sekedar membeli sepotong jas, tetapi membeli sejarah, membeli riwayat, atau membeli kenangan. Keinginannya membeli jas didorong oleh hasratnya untuk menemukan pelbagai jas dengan identitas kebekasan sebagaimana ia alami saat mendapat lungsuran dari seniornya Berikutnya adalah pengalaman SY, laki-laki, 21 tahun, asal Palembang, mahasiswa Komunikasi, FISIPOl, UGM. Dalam kaitan hal yang sama ia mengutarakan pengalamannya sebagai berikut: “Saya ngrombeng sudah lama. Sejak SMA Klass II saya ke Jogja. Pindah sekolah di sini. Di rumah berantem terus sama Bokap bapak: pen.. di Jogja saya ikut, Bu Dhe. Kakak sudah lebih dulu ke Jogja, kost sendiri. Kenal rombeng dari teman-teman kampus. Betul macam di surga kalau ke sana. Saya cuma beli satu kalau ke sana. Celana curdoray. Yang garis-garis kecil itu, Mas. Bukan yang besar. Kalau yang besar itu buatan Bandung. Gak tahu pokoknya kalau ke sana cuma beli curdoray itu. Warna juga hanya satu, coklat muda baige gitu. Merk-nya aku masih ingat betul: Louis. Itu yang sejak kecil nggak kesampaian saya punya. Hanya ngliatin gitu di toko. Kasihan 225 nggak, Mas. [...] Bapak kan ceritanya tentara, tahu sendiri gaji tentara kan, Mas. Udah gitu kakakku, UGM juga, lulus barusan dari FE Fakultas Ekonomi: pen, dulu bandelnya minta ampun. Kalau minta nggak dituruti minggat. Pernah nyopet karena pingin beli jam tangan. Ketangkep, digebuki massa, disel polisi. Sama Bokap diambil. Kata mama, dia anak Bokap. Jadi apa yang dia mau pasti dituruti Bokap. Pas jatah saya uang sudah habis. Kalau didesak, kalau nggak dijawab dengan besok-besok, ya cuma dapet semprot dimarahi: pen. Kalau tetep ngrengek: dipukul, Mas Tahun 2000 di Palembang harga celana itu sudah nyampe Rp. 350 ribu. Karena Bokap gak ada uang, ya sudah terpaksa kunci mulut saja meski di hati rasanya pingin bunuh diri.” Meski diutarakan dalam bahasa yang ringan, tuturan SY di atas merepresentasikan luka batin yang ia alami di masa lalu saat ia berusia remaja. Dari tuturan di atas tampak bahwa aktivitas belanja celana curdoray warna coklat dengan merk Louis di gerai pakaian bekas sebagaimana dilakukan SY merepresentasikan pengalaman menyakitkan yang ia terima berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan akan celana yang tidak kesampaian atau tidak mendapatkan pemuasan. Pada saat SY berusia remaja ia sangat mengingini sebuah celana panjang jenis curdoray warna coklat dengan merk Louis. Sebagai seorang remaja yang secara ekonomi atau finansial masih sepenuhnya menjadi tanggungan orang tuanya keinginan SY sangat bergantung pada kemurahan hati orang tuanya. Akan tetapi manakala keinginannya itu ia sampaikan kepada ayahnya, ayahnya hanya meresponsnya dengan menyatakan “Ya, besok”. Ketika permintaan itu kembali ia sampaikan kepada ayahnya, apa yang ia dapatkan hanyalah semprotan alias dimarahi. Demikian selanjutnya ketika keinginan itu ia ajukan lagi kepada ayahnya secara merengek-rengek, apa yang ia dapatkan adalah pukulan Pengalaman menyakitkan yang dialami SY berkenaan dengan keinginannya untuk memiliki celana demikian halnya dengan kekerasan verbal dan fisik yang diperoleh dari 226 ayahnya berakar pada keterbatasan ekonomi yang dihadapi keluarganya. Ayah SY yang hanya seorang anggota tentara dengan gaji kecil tidak memiliki cukup uang untuk dibagi kepadanya. Ayahnya tidak memiliki cukup uang untuk meluluskan apa yang ia minta. Keinginan untuk memiliki sebuah celana model curdoray, warna coklat atau beige, dengan merk Louis seharga Rp. 350.000 dengan sangat terpaksa harus ia tenggelamkan dalam-dalam ke alam bawah sadarnya. Jenis celana yang hanya curdoray, yang hanya berwarna coklat atau beige, dan hanya merk Louis sebagaimana ia cari di gerai pakaian bekas pada saat ini merefleksikan kuatnya dorongan keinginan yang bergejolak dalam batinnya sebagaimana hal itu memiliki akar yang panjang dalam pengalaman masa lalunya. Sebuah dorongan keinginan yang selama ini harus ia tekan sedemikian rupa agar tidak pernah muncul ke permukaan. Demikian hal itu sekaligus merefleksikan beratnya beban psikis yang berakar pada kuatnya perintah Sang Ayah biologis yang harus ia jalankan sebagai sebuah hukum atau – menurut istilah Bruce Fink -- paternal function sejak SY menapaki fase remajanya. Sebuah pengalaman menyakitkan yang terjadi pada masa lalu dan sangat membekas kuat dalam batinnya hingga saat sekarang. Pada aras ini secara klinis tampak terdapat gejala gangguan mental mental disturbance dalam diri SY, yakni neurosis yang mengambil bentuk berupa histeria. Tanpa pernah disadari oleh SY berkembang keyakinan dalam dirinya bahwa apa yang harus ia utamakan adalah bagaimana agar Other, yang dalam hal ini keberadaanya diwakili oleh sosok ayah biologisnya, menemukan desire atau hasratnya melalui objek dalam dirinya. Dalam kaitan ini SY mengidentifikasikan dirinya sebagai objek yang tidak dimiliki oleh ayah biologisnya Object that the 227 other is missing. 26 Dalam hal ini SY menghilangkan subjektivitasnya sendiri dan lebih mementingkan desire of Other atau hasrat Sang Ayah biologisnya. SY menempatkan dirinya sebagai sesuatu yang akan melengkapi hasrat ayahnya atau menjadi objek Sang Ayah. Untuk mengetahui desire Sang Ayah mau tidak mau ia harus menjadi menjadi objek. Dengan demikian, kenikmatan yang akan didapatkan SY bukan terletak pada kerelaannya menjalankan perintah ayahnya, melainkan pada bagaimana ia menjalani desire orang lain. Salah satu cara SY untuk menikmati sesuatu tidak dilakukan atau diarahkan pada dirinya sendiri, melainkan ia lekatkan pada orang lain. Tanpa disadari SY ternyata pura-pura bohong, ia pura-pura tidak menikmati situasi tersebut, meski yang terjadi justru adalah yang sebaliknya. 27 Demikian halnya berangkat dari persoalan model dan merk, SY pengalaman sangat ekstrem. Apa yang ia tahu dan apa yang ia mau dari pelbagai bentuk celana yang ada di rombengan hanya satu: curdoray bergaris kecil. Demikian halnya merk celana yang ia tahu dan ia mau beli di rombengan hanya satu: Louis. Model celana curdoray bergaris kecil buatan luar yang berbeda dari curdoray bergaris besar buatan Bandung dengan merk Louis ibarat sosok Echo dalam mitologi Yunani, sosok peri manis dan merana di pegunungan karena cintanya ditampik oleh Narsius yang atas izin Jupiter boleh menggoda semua orang dengan suaranya yang merdu dan senantiasa terngiang-ngiang di telinga pendengarnya. 28 Celana model curdoray kecil dengan merk Louis sudah pasti bukan sekedar sepotong kain, juga bukan sepotong celana buatan Bandung. Dari merk, terutama, orang semua mengenal bahwa celana itu adalah celana buatan Italia. Garis kecil curdoray dan merk Louis inilah yang 26 Bruce Fink 1997, Op.cit., hlm. 90 27 Ibid., hlm. 91 28 Sukartini Silitongan-Djojohadikusumo, t.a.t., Mitologi Yunani, Jakarta: Djambatan, hlm. 39-40. 228 terngiang-ngiang dalam ingatan SY. Model dan merk ini merepresentasikan cita rasa dan mampu membangun imajinasi keitalian SY. Identitas pakaian bekas sebagai bekasnya orang Italia dan kebekasan pakaian buatan Italia menumpuk menjadi satu membangun satu riwayat, jejak traces bagi SY. Dengan cepat bisa dikatakan bahwa karena model dan merk sebagai representasi ke-Itali-an inilah yang mendorong SY terus merengek di masa lalu, dan memasang mata tajam di gerai rombengan atau pakaian bekas saat ini. Pengalaman terakhir yang akan diketengahkan di sini adalah pengalaman CS; perempuan, 24, asal Medan, alumni komunikasi UGM, penyiar radio swasta milik UGM. Dalam kaitan permasalahan sebagaimana tengah kita diskusikan, ia mengutarakan pengalamannya sebagai berikut: “Jangan tanya aku, Bang soal Cakar Cap Karung, pakaian bekas: pen. Sejak jaman kuliah dulu sampai sekarang ya merk Cakar koleksinya. Kenal pertama waktu magang di radio G 29 di Gayam sana. Terus tahu banyak Cakar mangkal di utara terminal Umbulharjo. Yang jual orang Minang semua. Aku ke sana. Tahu nggak, Bang. Aku pura- puranya jadi wartawan yang lagi ngliput berita. Bawa recorder dan kamera gitu. Gitulah aku pun lalu belanja di situ. Terus jadi pelanggan tetap ... he he ... tertawa: pen. Zaman itu malu juga aku sama kawan- kawan kalau nggak nyamar gitu. Aku sukanya celana model cargo gini, Bang. Yang bagus kualitasnya tuh yang dari Korea. Merknya Makoto. Tahunya celana aku ya cuma itu, modelnya merknya. Tapi itu celana memorable, Bang. Memori orang elit ekonomi sulit: pen waktu SMA. Aku tinggal sama Mama, single parent. Papa sudah meninggal sejak aku SD. Mama ibu rumah tangga. Kita jualan kue sampai SMA. Dititipin di gereja-gereja atau mana saja yang penting laku. Sebelum sekolah aku puter komplek jualan kue. Bah Jadi sedih kalau ingat itu Waktu aku ultah 17, Mama tanya minta dibelikan apa. Dia tahu aku suka lirik-lirik celana itu di toko. Tapi aku bilang: ‘Mama, nggak usah. Uangnya ditabung saja untuk modal usaha.’ Kasihan Mama jika aku berterus terang tentang celana itu. Aku tidak tega minta celana seharga 200-250 ribu itu ke Mama. Jadi ya gitu keinginan itu aku pendam, aku kubur dalam-dalam“ 29 Atas permintaan interviewee atau responden nama radio swasta disamarkan dakam inisial. 229 Dari pengalaman sebagaimana diungkapkan CS di atas merepresentasikan luka batin yang ia alami di masa lalu saat ia berusia 17 tahun. Dari tuturan di atas tampak bahwa aktivitas belanja celana cargo, merk Makoto buatan Korea di gerai pakaian bekas sebagaimana dilakukan CS merepresentasikan pengalaman menyakitkan yang ia terima berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan akan celana yang tidak kesampaian atau tidak terpuaskan. Pada saat CS berusia remaja ia sangat mengingini sebuah celana panjang model cargo dengan merk Makoto, buatan Korea. Sebagai seorang perempuan remaja yang datang dari keluarga piatu, single parent, dengan kondisi ekonomi yang biasa bahkan cenderung kurang, keinginan CS terhadap celana yang berharga 200-250 ribu tersebut akhirnya harus ia kubur dalam-dalam. Ia tidak ingin permintaannya akan membebani keuangan ibunya yang mengandalkan kehidupannya dengan cara berjualan kue. Dari latar belakang keluarga semacam itu, celana dengan model dan merk yang sama menjadi semacam kuburan yang dengannya ia bisa mengalami kembali masa lalunya yang tidak menyenangkan. Sebuah pengalaman traumatik akibat lepasnya harapan untuk memiliki sepotong celana dari kenyataan yang di dalamnya ia mau tidak mau harus melakukan sebuah perdamaian. Jenis celana cargo merk Makoto sebagaimana ia beli di gerai pakaian bekas pada saat ini merefleksikan kuatnya dorongan keinginan yang bergejolak dalam batinnya sebagaimana hal itu memiliki akar yang mendalam pada masa lalunya. Sebuah dorongan keinginan yang pada kahirnya harus ia tekan sedemikian rupa agar tidak pernah muncul ke permukaan. Demikian hal itu sekaligus merefleksikan beratnya beban psikis yang berakar pada besarnya rasa iba CS terhadap situasi ekonomi keluarga yang 230 dijalankan ibunya sendirian. Sebuah pengalaman tidak mengenakkan yang terjadi pada masa lalu dan sangat membekas kuat dalam batinnya hingga saat sekarang. Pada aras ini secara klinis tampak terdapat gejala gangguan mental mental disturbance dalam diri CS, yakni neuroris yang mengambil bentuk berupa histeria. Sebagaimana pengalaman YS sebelumnya, tanpa pernah disadari berkembang keyakinan dalam diri CS bahwa apa yang harus ia utamakan adalah bagaimana agar Other, yang dalam hal ini diwakili oleh sosok ibunya, menemukan desire atau hasratnya melalui objek dalam dirinya. Ia mengidentifikasikan dirinya sebagai objek yang tidak dimiliki oleh ibunya Object that the other is missing. 30 Dalam hal ini CS menghilangkan subjektivitasnya sendiri dan lebih mementingkan desire of Other sebagaimana diisi oleh sosok ibu biologisnya. CS menempatkan dirinya sebagai sesuatu yang akan melengkapi hasrat ibunya atau menjadi objek Sang Ibu. Untuk mengetahui desire Sang Ibu mau ia rela menjadi objek. Dengan demikian, kenikmatan yang akan didapatkan CS bukan lagi terdpat terletak pada kerelaannya memupus keinginannya dengan melihat ibunya, melainkan pada bagaimana ia menjalani desire orang lain. Salah satu cara CS untuk menikmati sesuatu yang sangat ia ingini, dalam hal ini adalah sepotong celana jenis cargo dengan merk Makoto buatan Korea, tidak dilakukan atau diarahkan pada dirinya sendiri, melainkan ia kaitkan dengan keberadaan orang lain sebagaimana dalam ini diwakili oleh sosok ibunya. Dari keempat ilustrasi sebagaimana disampaikan oleh para pengguna pakaian bekas di atas menunjukkan bahwa pertimbangan dan keputusan konsumen untuk menggunakan pakaian bekas sejauh ini berkaitan erat dengan residu, reminiscenes, 30 Bruce Fink 200x, Op.cit., hlm. 231 memori, jejak-jejak ingatan yang karena sebab-sebab tertentu harus direpresi ke alam bawah sadar sebagai bagian dari ketidaksadaran dan melahirkan pengalaman traumatik. Pakaian bekas sebagaimana berkembang luas dalam masyarakat sejauh ini memberi kemungkinan kepada para konsumen atau penggunanya untuk “memulihkan” pengalaman traumatiknya akibat lepasnya harapan dari kenyataan. Pengalaman yang berakar pada ketidakmampuan konsumen dalam memenuhi keinginannya untuk memiliki suatu objek yang sangat diingini tetapi terkendala oleh sebab-sebab tertentu yang dalam hal ini ini secara mayoritas adalah ketidakmampuan finansial. Pada aras ini, pakaian bekas menjadi semacam kendaraan yang memungkinkan para konsumen untuk berkanjang ke masa lampau; bertemu kembali dengan pengalaman traumatiknya sendiri; kembali mengenali dorongan libidnalnya libidinal drive yang terpaksa harus mereka tenggelamkan ke dalam alam bawah sadar demi sebuah kesetimbangan psikisnya. Sebagaimana dikatakan sebelumnya, langkah ini memiliki arti taktis, yakni bisa dipakai untuk mendiagnosis ulang kondisi psikis konsumen pasca-trauma hingga waktu yang lebih belakangan. Hal ini didasarkan pada fakta bahwasannya pelbagai dorongan libidinal yang ada pada diri seseorang pada dasarnya tidak bisa dihancurkan lewat mekanisme represi. Sebagai sebuah mekanisme psikis keberhasilan represi tidak lebih sekedar menenggelamkan atau mengalihkan pelbagai dorongan libidinal tersebut ke tempat yang lain, yakni ke alam bawah sadar sebagai bagian dati ketidaksadaran. Dengan demikian dorongan libidinal itu tetap ada dan akan mengkristal dalam bentuk residu, kenangan, atau jejak-jejak ingatan sebagai sebuah ketidaksadaran. 232 Dari arah lain konsumsi pakaian bekas juga memiliki makna strategis. Hal ini dikarenakan bahwa dengan mengenali pelbagai dorongan libidinalnya yang demi kestabilan psikis terpaksa harus ditenggelamkan atau ditekan ke dalam alam bawah sadarnya, konsumen memiliki kesempatan untuk mengurangi intensitas trauma yang dialaminya. Dengan kata lain cara itu memungkinkan agar kenyataan trauma berkurang nyatanya. 31 Dengan kata pakaian bekas memberikan kemungkinan kepada subjek konsumen untuk melakukan fantasi atas pelbagai pengalaman yang tidak mengenakkan berkenaan dengan kebutuhan akan pakaian yang membekas dalam dirinya sehingga bisa diratakan, diselesaikan, atau dipenuhi. Fantasi di sini menjadi reminder yang diperlukan oleh subjek konsumen untuk mengerjakan ulang pelbagai bentuk endapan, memori, remainder, residu, atau jejak-jejak ingatan traces yang membekas dalam psikis konsumen. Satu langkah pada gilirannya memungkinkan trauma atau simptom yang ada tidak berkembang menjadi imej yang menyakitkan dan mempengaruhi kehiduapan psikis konsumen selanjutnya. Dalam skema yang lebih luas, berdasarkan pengetahuan paranoia keempat pengguna pakaian bekas sebagaimana dikemukakan di atas tampak jelas bahwa partisipasi mereka dalam dunia masyarakat konsumsi yang neurotik telah berkaitan dengan simptom atau trauma yang di dalamna bersemayam pengalaman yang menyakitkan. Satu hal yang menjadi dasar pembenar untuk meragukan model konsumsi modern sekaligus melahirkan desire untuk melakukan fantasi. Seiring dengan kecepatan dan percepatan pergantian mode dan jenis pakaian yang ada di pasar, apa yang dipahami sebagai pakaian baru seolah-olah tidak memiliki beda dengan pakaian lama. Lewat mekanisme penyeragaman sebagaimana merupakan 31 Philip Hill 1997, Op. cit., hlm. 47. 233 blue print pasar, pakaian baru sebagaimana ditawarkan dalam pelbagai bentuk dan model konsumsi mode modern dirasakan telah kehilangan aspek kebaruannya. Kebaruan pakaian baru tidak lagi memiliki nilai keotentikan layaknya pakaian baru. Seiring dengan laju kecepatan dan percepatan mesin produksi mode yang sangat cepat dan hadir ke tengah masyarakat dalam jumlah yang berlimpah ruah, kebaruan pakaian baru seolah menumpuk di satu titik dalam waktu yang seketika itu juga. Laju perkembangan dan pergantian mode sebagaimana dihasilkan oleh mesin produksi dan pasar yang sangat cepat dalam perkembangan kemudian seolah-olah menjadikan pengertian perubahan atau pergantian berhimpit makna dengan pengertian mandek. Efeknya para konsumen merasa risau, sebab apa yang disebut sebagai baru atau mutakhir dalam waktu yang cepat kemudian akan berubah menjadi usang. Demikian halnya di wilayah cita rasa atau selera taste pun tidak lepas dari pengaruh. Saat ini para konsumen merasa resah ketika mendapati bahwa rasa pakaian sebagaimana ditawarkan pasar mode modern dirasakan sudah tidak ada rasanya. Para konsumen atau pembeli pakaian baru bahkan menjadi mati rasa baal karena domestikasi atau penyeragaman rasa yang terjadi. Hal itu karena mereka telah mengalami – meminjam istilah Piere Bourdieu – estetisasi rasa, penyeragaman rasa sebagaimana dilakukan pasar mode. 32 Dalam situasi paradoksal semacam itu para konsumen mengalami kekhawatiran apakah pilihan yang disodorkan pasar benar-benar menjawab kebutuhan ataukah justru sebaliknya, justru akan mengecewakannya. Demikian halnya mereka pun sebenarnya juga tidak memiliki cukup keyakinan atas apa yang mereka lakukan. 32 Randal Johnson 1993, “Piere Bourdieu on Art, Literature and Culture” dalam Randal Johnson, ed., Piere Bourdieu: The Field of Cultural Production. Essay on Art and Literature, United Kingdom: Polity, hlm.1-2. 234 Dari uraian di atas tampak bahwa perkembangan dan proses konsumsi mode dalam masyarakat Yogyakarta kontemporer oleh sebagian konsumen kemudian justru dirasakan mengendala mereka sendiri. Reproduksi kebaruan yang dilakukan pasar mode seperti yang terjadi saat ini oleh sebagian konsumen dirasakan justru merenggut kebebasan mereka saat berhubungan dengan pakaian. Model dan bentuk konsumsi mode modern sebagaimana yang ada dirasakan menjadi sangat tertutup dan tidak toleran terhadap kemungkinan atau alternatif, selain alternatif yang telah menjadi cetak biru pasar. Dalam kehidupan masyarakat dan budaya konsumen yang tengah mengidap general hysteria dari satu sisi, dan gerak perputaran mesin produksi mode mutakhir yang sangat cepat dan penyeragaman mode di sisi lain kemudian mendorong terjadinya perubahan persepsi, sikap, dan tindakan sebagian konsumen dalam melihat model konsumsi mode modern saat ini. Pengalaman paranoia sebagaimana dikemukakan di atas selanjutnya memantik semangat sebagian konsumen untuk mengimajinasikan dan mencari bentuk dan model konsumsi mode lain yang diandaikan mampu memulihkan keyakinan mereka seperti kondisi awal sebelum mengalami goncangan. Di antara konsumen kemudian muncul dorongan yang sangat untuk menemukan jalan keluar dari persoalan yang tengah mereka hadapi. Imajinasi dan pencarian konsumen itu akhirnya mereka jatuhkan pada pakaian bekas. Pakaian bekas dinilai oleh para konsumen memiliki kemungkinan dalam melahirkan pilihan atau alternatif konsumsi sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri. Pakaian bekas menjadi alternatif konsumsi bagi sebagian orang yang mengidealkan bentuk komoditas yang bebas dan bisa dipakaian untuk melawan kooptasi modernitas sebagaimana dibawakan pasar mode modern. Sebuah model dan bentuk konsumsi mode yang selama ini mengarsiteki 235 terjadinya penyeragaman pelbagai bentuk komoditas dan estetisasi rasa di tengah masyarakat secara luas. Ketidakyakinan konsumen terhadap bahasa masyarakat konsumen pada gilirannya menjadi daya dorong signifikan bagi sejumlah konsumen untuk mencari bentuk komoditas pakaian dan model konsumsi alternatif di luar model konsumsi yang telah ada. Suatu pencarian yang kemudian mereka bayangkan terdapat dalam pakaian bekas. Dengan demikian penggunaan pakaian bekas mengacu pada pencarian kemungkinan untuk merumuskan bahasa yang menurut mereka lebih mewakili keinginan dan perasaan mereka sendiri. Bahasa yang tidak merupakan bahasa yang berasal dari luar dirinya, tetapi sebaliknya berasal dari dirinya sendiri. Demikian halnya keputusan konsumen untuk menggunakan pakaian bekas dibangun berdasarkan pada keyakinan bahwa pakaian bekas sebagaimana ditawarkan lewat perdagangan memiliki kekuatan cukup signifikan yang akan membebaskan mereka dari belitan persoalan yang tengah mereka hadapi ketika harus berhubungan dengan masyarakat konsumen sekarang ini. Pakaian bekas oleh para konsumen dipercayai memiliki kekuatan besar dalam melepaskan mereka dari tekanan dan jerat fetishisme konsumsi modern yang saat ini menjadi bagian dari dunianya tetapi telah sedemikian rupa sulit dipahami atau problemantik. Uraian di atas secara tidak langsung juga menggambarkan tentang ekspektasi para konsumen tentang bentuk komoditas dan model konsumsi mode lain yang bisa dipakai untuk memroses ulang pengalaman traumatik mereka yang lahir karena proses konsumi. Pengalaman yang tidak menyenangkan dan belum terurai atau belum terpuaskan sehingga mengendap dalam alam bawah sadar mereka dalam pelbagai bentuk residu, reminscenes, atau memori sebagai sebuah ketidaksadaran. 236 Sebuah kondisi yang di tengah era konsumsi mode modern yang neurotik semakin dirasa perlu untuk mendapatkan jawaban atau penyaluran sehingga tidak akan melahirkan imej yang semakin mengganggu mental atau psikis mereka. Mereka membayangkan sebuah bentuk dan model konsumsi mode yang bisa menambal lubang psikis yang tetap akan terbawa dan memengaruhi mereka dalam melakukan pertimbangan dan putusan di masa depan khususnya saat harus berhubungan dengan komoditas pakaian. Sebuah bentuk komoditas dan model konsumsi mode lain di luar model yang ada sekarang dipandang heterogen dan terbuka terhadap pelbagai bentuk negosiasi dan kreativitas. A.4. Pakaian Bekas Sebagai Kombinasi Dalam masyarakat dan budaya konsumen seperti sekarang ini apresiasi orang terhadap pakaian tidak bisa dilepaskan dari penekanannya pada fungsi tanda sign- function. 33 Fungsi tanda ini melekat sesuai dengan status pakaian saat ini sebagai bentuk komoditas commodity form. Dalam hal ini fungsi tanda menggantikan nilai guna dan nilai tukar pakaian. Kata menggantikan di sini bukan berarti nilai guna dan tukar pakaian hilang sama sekali, tetapi hanya tidak banyak mendapat penekanan atau menajdi perhatian utama. Lewat konsep sign-function bisa juga dipakai untuk melihat pluralitas nilai dalam pakaian, yakni bahwa selain memiliki nilai guna dan nilai tukar, di dalam sebuah pakaian juga terselip adanya nilai tanda sign value. Sepotong pakaian yang dipakai seseorang tidak melulu karena nilai 33 Tentang the practical dan the significant, lihat Roland Barthes 1968, Elements of Semiology, terj. Annete Lavers dan Collins Smith, New York: Hill Wang, hlm. 42. 237 gunanya use value practical operation, tapi juga karena nilai tandanya. Dalam konteks konsumsi kedua nilai ini memiliki perbedaan. Jika nilai guna suatu barang pada satu ketika diasumsikan akan habis atau kehilangan utilitasnya, tidak demikian halnya dengan nilai tanda. Nilai tanda sebagaimana terdapat dalam pelbagai bentuk komoditas atau objek konsumsi juatru akan bertambah banyak atau berlipat-lipat ketika dipergunakan. Pembicaraan tentang nilai tanda menjadi satu hal yang sangat strategis untuk melihat kondisi masyarakat konsumen sekarang ini. Apabila dalam sistem pertukaran pra-konsumtif atau pra-modern ekses konsumsi sejauh ini terbatas melahirkan apa yang diistilahkan oleh Karl Marx dengan fetishisme komoditas, maka dalam masyarakat konsumen sebagaimana berkembang saat ini ekses yang terbentuk berubah menjadi fetishisme nilai tanda. 34 Dalam konteks pergeseran nilai semacam itu saat sekarang ini pakaian dipakai bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan dasar akan nilai fungsi yang bisa dipenuhi dengan hal-hal praktis the practical, tetapi berkaitan dengan kebutuhan akan gengsi prestige yang akan dipenuhi dengan hal-hal bermakna the significant. Logika yang mendasari fungsi pakaian sebagaimana berkembang saat ini tidak lagi dibangun berdasarkan pada logika kegunaan logic of utility, melainkan logika status logic of status. 35 Keyakinan semacam itu muncul karena begitu pakaian berada di tengah-tengah pasar, ia tidak saja mengusung nilai guna dan nilai tukar, exchange value, tetapi juga nilai tanda sign value. 34 Jean Baudrillard 1996, “For a Critique of the Political Economy of the Sign” dalam Mark Poster ed., Jean Baudrillard: Selected Writings, Stanford: California University Press, hlm. 70-73. 35 Tentang sign-function, lihat Jean Baudrillard 1981, “Sign Function and Class Logic” dalam For a Critique of the Political Economy of the Sign, terj. Charles Levin, St. Louis: Telos Press, hlm. 29- 32 238 Dari uraian tentang genealogi nilai tanda di atas selanjutnya bisa dipakai untuk melihat pesoalan pakaian bekas sebagaimana berkembang dalam masyarakat Yogyakarta kontemporer. Dalam kesadaran ekonomi politik tanda Baudrillardan khususnya tentang fungsi tanda sign-function, fenomena pakaian bekas mengarahkan pemahaman pada persoalan perubahan nilai suatu barang. Pakaian bekas yang ada di tengah masyarakat lewat perdagangan dalam hal ini memiliki status sebagai bentuk komoditas, dagangan. Selain masih memiliki nilai guna dan nilai tukar yakni bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat fungsional praktis sebagaimana kegunaan pakaian pada umumnya, sebagai bentuk komoditas pakaian bekas juga memiliki fungsi tanda. Fungsi tanda sebagaimana melekat dalam pakaian bekas ini oleh para konsumen bisa dipakai sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan mereka yang bersifat simbolik atau maknawiah. Dari paparan terakhir di atas memunculkan pertanyaan: apa sesungguhnya yang ditawarkan pakaian bekas kepada para konsumen? Nilai apa yang secara material masih dipertahankan para konsumen dari pakaian bekas lewat konsumsi? Sebelum menjawab pertanyaan di atas sekali lagi akan dibicarakan perihal nilai komoditas yang belum sempat diutarakan di atas. Dari uraian di atas apa yang penting untuk disampaikan adalah bahwa pakaian bekas sejatinya merepresentasikan realitas yang tidak tunggal tetapi berlapis-lapis. Dalam pengertian ini sebagai bentuk komoditas pakaian bekas merupakan sebuah kombinasi, sintesis, atau pemadatan beberapa nilai. Dalam konteks konsumsi atau peggunaan, di dalam pakaian bekas mengkombinasikan dua nilai, yakni: nilai guna dan nilai tukar dan nilai tanda. Bahkan kombinasi yang terjadi selanjutnya tidak hanya terbatas melibatkan unsur- unsur dalam satu klaster, tetapi memasukkan unsur di luar klaster yakni properties, 239 sifat, atau identitas sebagaimana direpresentasikan oleh pakaian bekas itu sendiri. Lewat sebuah permutasi relasi antar-nilai dalam satu barang bisa melahirkan banyak kombinasi. Hal itu dikarenakan di dalam satu sifat atau identitas sebagaimana dibawakan oleh pelbagai jenis dan model pakaian bekas – seperti dalam pakaian pada umumnya -- juga memuat banyak unsur. Sebagaimana telah diuraikan daam Bab III unsur yang dimaksudkan meliputi mode, gaya, jenis dan bahan, kualitas, merk, motif dan corak, warna, kekhususan pengguna dan lain sebagainya. Dalam sistem pertukaran di pasar unsur-unsur nilai yang paling kerap dijadikan semacam variabel kombinasi dalam konsumsi pakaian bekas adalah: kualitas, model, gaya, bahan, mode, merk, warna, dan corak dan motif. Sedangkan unsur nilai yang hampir pasti menjadi sebuah konstanta jadi tidak perlu disebutkan lagi keberadaannya adalah harganya yang murah. Dalam kombinasi semacam itu masing-masing unsur dari setiap nilai suatu barang yang dipadukan tidak saling mengeklusikan, sebaliknya justru saling mengisi atau saling mendukung. Dengan kata lain masing-masing properties dari suatu komoditas pakaian saling menunjang atau saling menghidupkan. Dalam model pertukaran non-mainstream seperti halnya pakaian bekas, konsumen diajak masuk ke dalam “pelbagai kemungkinan yang tak terduga”. Konsumen yang meluangkan waktu berbelanja di gerai akan mendapatkan pelbagai jenis pakaian bekas dengan beberapa kombinasi yang mengejutkan. Konsumen paling tidak secara matematis dimungkinkan bisa mendapatkan pakaian bekas dalam tiga probabilitas kombinasi dan tiga kategori, yakni: paling baik, baik, dan cukup baik. Kemungkinan pertama konsumen bisa mendapatkan unsur-unsur nilai pakaian bekas yang dikombinasikan secara optimal dengan kategori paling baik, 240 yakni: kualitas baik, model okey, gaya trendy, bahan istimewa, mode masih in, merk populer, corak dan motif menarik, warna baik dengan harga yang murah. Kemungkinan kedua konsumen dimungkinkan mendapatkan unsur-unsur nilai pakaian bekas yang dikombinasikan secara baik, yakni: kualitas baik, model okey, gaya biasa, bahan baik, mode biasa, merk biasa, corak biasa, dan harga murah. Kemungkinan ketiga, cukup baik, yakni: kualitas baik, model biasa, gaya biasa, bahan baik, mode biasa, merk baik, corak biasa, dan harga murah. Ajakan menebak- nebak, mengembangkan probabilitas, dan menghitung berdasar unsur-unsur pakaian semacam ini sulit dibayangkan terjadi dalam model konsumsi mode modern. Adagium populer dalam model pertukaran modern yang mengatakan “ana rega ana rupa” ada harga ada kualitas tidak membuka kemungkinan, sebab menolak dipermutasikan dibandingkan. Antara harga dan kualitas dicitrakan memiliki korelasi langsung. Hubungan antara harga dan kualitas selain saling mengeklusikan, juga diikat dalam logika kausalitas kapitalistik. Sehinga permutasinya juga miskin, yakni: satu banding satu. Dengan demikian pilihan sebagaimana ditawarkan oleh pasar mode moder tidak melahirkan pilihan apapun. Dalam praktik, pelbagai bentuk dan model konsumsi mode modern sama sekali menolak kemungkinan adanya bentuk komoditas yang memiliki “rupa biasa” kualitas biasa dan “rega biasa” harga biasa. Rumus ini tidak berlaku dalam pakaian bekas, karena berbeda unsur. Logika pertukaran modern menolak perbedaan unsur, sehingga hanya menerima keseragaman. Permutasinya adalah plus + dan plus +; sehingga dalam komoditas memiliki harga plus dengan sendirinya memiliki kualiats plus. Dalam pakaian bekas kombinasi mengikat unsurnya dalam dua kemungkinan: “rupa ana 241 rega ora ana” kualitas ada harga tidak ada dan “rupa ora ana rega ora ana” kualitas tidak ada harga tida ada. Ungkapan ini selain menggarisbawahi tentang faktor probabilitas dan kemungkinan dalam sebuah permutasi, juga menempatkan faktor harga sebagai unsur yang memungkinkan adanya negosiasi yang bisa diambil konsumen saat berhubungan dengan komoditas lewat para pedagang pakaian. Demikian halnya hubungan pedagang dan konsumen dalam pakaian bekas, sebagaimana telah disinggung pada bab awal, tidak melulu bersifat ekonomis transaksional, melainkan juga bersifat personal. Relasi antar-keduanya direpresentasikan oleh unsur harga dalam komoditas. Jika dalam bentuk dan model konsumsi modern, harga suatu komoditas ditempatkan semata-mata sebagai nilai tukar exchange value; yang satuan ukurannya adalah uang, dalam konsumsi alternatif ini harga justru “dijual” dalam arti dilemparkan kepada pembeli sebagai sebuah nilai yang untuk mendapatkannya melibatkan komunikasi; negosiasi. Dalam masyarakat Jawa dikenal ungkapan “regane mathuk” -- harganya pas, klop, atau sesuai. Pengertian “mathuk” dalam hal harga ini tidak dipatok secara terpisah dari konsumen, tetapi merupakan buah atau hasil dari transaksi dan negosiasi yang dikomunikasikan secara langsung antara penjual dan pembeli. Hubungan langsung semacam ini sudah barang pasti tidak mungkin lagi ditemukan dalam model konsumsi modern. Pada pembicaraan terdahulu lihat kembali Bab III juga telah diuraikan tentang fase atau tahap reproduksi dan komodifikasi pakaian bekas lewat teknik restorasi, pemantasan, dan pemutakhiran mode, pemetaan lokasi, dan promosi. Proses restorasi terhadap pakaian bekas meliputi pelbagai perbaikan cacat-cacat kecil yang ada dalam pakaian bekas seperti kancing pakaian yang terlepas, risluiting 242 macet, dan jahitan yang terbuka dhédhél. Proses pemantasan meliputi aktivitas cuci dan seterika. Sedangkan pemutakhiran mode adalah modifikasi bentuk dan ukuran pakaian karena adanya kecacatan, inisiatif pedagang, atau menurut permintaan konsumen. Dengan demikian pelbagai jenis dan model pakaian bekas sebagaimana beredar dalam masyarakat dan dikembangkan melalui mekanisme perdagangan dan akhirnya sampai ke tangan para konsumen, sejatinya tidak lagi sama dengan kondisi dan bentuk awalnya. Kondisi pakaian bekas itu saat ini jauh berbeda dari sebelumnya, dan sama sekali idak bisa dipersamakan lagi dengan klambi lungsuran yang hampir pasti tidak mengalami perubahan nilai ketika berada di tangan pengguna barunya. Setelah mengalami proses restorasi, pemantasan, dan pemutakhiran mode, pelbagai kecacatan pakaian bekas kini sudah tidak ada lagi. Lewat sentuhan tangan- tangan terampil dan kecakapan para pedagang secara langusng atau lewat tukang vermak, kecacatan yang diidap oleh pakaian bekas berhasil dipulihkan, sehingga kini menjadi “normal,” bahkan menjadi sama sekali “baru”. Melalui aplikasi teknologi mesin cuci dikombinasikan dengan pemakaian deterjen dengan ion pengangkat kotoran, desinfektan mustajab, cairan pengharum pakaian, dan seterika berenergi listrik, kekotoran dan ketidakpatutan pakaian bekas sudah ditanggalkan atau ditinggalkan. Melalui aplikasi teknologi jahit, bordir, dan sablon pakaian bekas yang tidak memiliki penampilan menarik telah dimodifikasi. Demikian halnya pakaian yang tidak punya identitas pun diberi nama sehingga kini menjadi bisa dikenali dan lebih bisa dikenali; modis. Melalui serangkaian proses produksi dan komodifikasi yang jalankan lewat teknik restorasi, pemantasan, dan pemutakhiran mode, promosi, dan lokasi penjualan segala “sukerta” noda, kecacatan yang 243 melekat pada pakaian bekas telah hilang “diruwat” oleh sentuhan teknis para pedagang pakaian bekas. Restorasi, pemantasan, dan pemutakhiran mode, sebagaimana dilakukan oleh para pedagang tampak semakin sempurna ketika pakaian bekas itu kemudian dipajang dengan cara digantung di tiang-tiang penggantung dan diletakkan secara rapi di rak-rak pemajangan dalam ruangan yang telah diset rapi dan menarik di gerai-gerai yang berlokasi di tempat –tempat strategis yang accessible. Dari proses restorasi dan semacamnya yang cukup canggih dan dilakukan secara tidak main- main, elastisitas nilai guna dan nilai tukar pakaian bekas telah mengalami peningkatan hingga ke jenjang yang jauh lebih tinggi dari kondisi sebelumnya. Sekarang ini pakaian bekas sebagaimana dikembangkan ke tengah masyarakat lewat perdagangan kelas kecil-menengah itu bukan saja siap disandingkan, tetapi juga siap ditandingkan dengan pelbagai jenis dan model pakaian baru sebagaimana diperjualbelikan di mall-mall atau situs konsumsi mode modern lainnya. Selain nilai guna, riwayat dan asal muasal pakaian bekas ikut juga direstorasi. Keberadaan riwayat ini kiranya cukup penting, sebab hal ini merupakan unsur pembeda dari jenis dan model pakaian baru keluaran mall yang riwayatnya hanya bisa dikenali secara terbatas lewat merk dan negara asal. Unsur riwayat dan asal muasal atau ke-“bekas-siapa”-an pakaian bekas ini pun ikut direstorasi. Lewat informasi media internasional yang diikuti secara sambil lalu menjelaskan bahwa setelah melalui serangkaian proses restorasi, baju-baju bekas sebagaimana dimiliki oleh tokoh, artis, dan selebritis yang telah meninggal seperti Lady Diana, Elizabeth Taylor, Michel Jackson, dan Elvis Presley laku terjual dalam harga miliaran rupiah di sejumlah even dan tempat pelelangan. Apa yang mendorong orang untuk 244 mengeluarkan uang sebanyak itu untuk sebuah pakaian bekas? Hal ini hanya bisa dipahami bahwa pada saat orang mengkonsumsi pakaian bekas pada dasarnya orang tengah mengkonsumsi nilai tanda. Pakaian bekas milik mendiang Lady Diana Lady Diana, Elizabeth Taylor, Michel Jackson, dan Elvis Presley menawarkan kemungkinan kepada para konsumen untuk mengkonsumsi memori atau nostalgia atas orang-orang yang diidolakan. Memori, ingatan, atau nostalgia ini kemudian akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pengertian nilai tanda yang melekat dalam pelbagai bentuk komoditas pakaian bekas. Hal yang sama terjadi di depan mata, Fitri Tropica presenter acara “The Missing Lyric” Trans TV, bersama pesinetron Dinda Kanya Dewi, Chaca Frederica dan penyanyi Dewi Gita, menjual baju-baju bekasnya dalam sebuah “garage sale,” atau “flea market” di rumahnya di daerah Menteng. Dalam waktu kurang dari empat jam semua baju bekas koleksi empat pesohor tanah air itu habis dilalap “massa”. Par atau pagu baju-baju bekas mereka terentang mulai dari Rp. 300 ribu hingga Rp. 1 juta. Bisa dipastikan bahwa ludes terjualnya pakaian bekas koleksi keempat perempuan itu mengkombinasikan Menteng sebagai penanda daerah jet-set Jakarta dengan penanda lain berupa riwayat kebekasan pakaian bekas yang merupakan bekas milik selebritis populer lengkap di dalamnya merk, jenis, model, dan sebagainya. Di samping harga pakaian yang sekarang relatif murah, dan sangat tidak mungkin bisa mereka jangkau ketika masih baru. Ungkapan “Siap merugi” jelas merupakan penanda sikap merendah Fitri Tropica. Pasti bukan karena uang ia menjual pakaiannya, sebab penghasilannya bisa ratusan juta rupiah perbulan. 36 36 Lihat, “Jual Baju Bekas, Firi Tropica Siap Rugi”, Detikhot.com, 8 Agustus 2009, diakses pada 21 Juni 2010. 245 Tafsiran lain, lewat pakaian bekas ia tengah “menjual diri”, dalam arti keartisan dan kepopopuleran secara langsung agar kelak dikenang orang. Kombinasi beragam nilai sebagaimana terdapat dalam komoditas pakaian bekas sebagaimana diutarakan di atas itulah kiranya yang ikut ditawarkan dalam bentuk dan model konsumsi alternatif pakaian bekas kepada para konsumennya. Persis di titik ini pula dapat dipahami bahwa sebagai sebuah kombinasi, pakaian bekas berhasil mengkompromikan nilai ekonomi pakaian bekas sebagai bentuk komoditas lengkap dengan nilai guna dan nilai tukar dan nilai tandanya dengan jejak-jejak traces atau memori sebagaimana dialami oleh para konsumen di masa lalu. Mengingat bahwa jika dibaca secara keseluruhan pakaian bekas pada dasarnya adalah barang yang dengan satu dan lain alasan merupakan sesuatu yang sudah “diemohi” atau dikesampingkan oleh orang kebanyakan yang sudah sangat terbiasa dengan selera dan bentuk-bentuk komoditas mode modern. Hal ini diperkuat oleh kenyataan lainnya bahwa pakaian bekas yang mereka beli atau kenakan tidak bisa dipersamakan dengan pakaian bekas pada umumnya yang tidak diangkat sebagai benda ekonomi. Pakaian bekas sebagaimana beredar di tengah masyarakat yang dikembangkan melaui mekanisme perdagangan adalah bentuk komoditas yang di dalamnya mengkombinasikan unsur-unsur harga, kualitas, dan pelbagai properties lain seperti nilai guna dan nilai tanda. Pakaian bekas yang ada di tengah masyarakat itu juga telah mengalami proses penambahan nilai sebagaimana dilakukan lewat mekanisme restorasi, pembaruan, dan pemutakhiran mode. Dengan demikian pakaian bekas bukan lagi merupakan pakaian bekas dalam arti konvensional yakni sebagai barang, tetapi adalah bentuk komoditas barang dagangan. Pakaian bekas 246 sebagaimana beredar di tengah masyarakat dalam hal ini bukanlah merupakan barang yang bersifat anonim. Ia memiliki identitas atau properties yang mampu menawarkan kepada penggunanya sebuah nilai personalitas, atau individualitas yang tidak terdapat dalam pakaian baru yang kebanyak berwajah tunggal atau seragam karena dirpoduksi secara massal. Melalui proses komodifikasi “kematian” atau “keusangan” pakaian bekas dengan demikian bisa ditunda atau ditangguhkan, sehingga tetap memiliki nilai otentisitas dan “kebaruan”. Demikian halnya ia pun memiliki riwayat yang jelas, yakni bekas orang lain atau artis dan sebagainya, sehingga tidak melulu pada merk atau model sebagaimana dalam bahasa pasar umumnya. Dari apa yang disampaikan terakhir di atas sekaligus menggarisbawahi kenyataan bahwa persoalan konsumsi pakaian bekas juga melibatkan persoalan hasrat desire. Pada saat konsumen membeli atau menggunakan pakaian bekas, maka mereka sejatinya tengah memasuki lautan hasrat. Ada dua kemungkinan model konsumsi yang akan terbentuk dilihat dari relasi antara subjek konsumen dan objek atau komoditas yang diinginkan, yakni: konsumsi obsesif dan konsumsi histeris. Model konsumsi obsesif menempatkan persoalan dorongan untuk membeli dan menggunakan pakaian bekas semata-mata terarah pada objek atau pakaian yang diingini sedemikian rupa sehingga terpisah dari hasrat orang lain. Sementara itu bagi konsumsi histeria dorongan atau hasrat untuk membeli dan mengenakan pakaian bekas dipengaruhi oleh hasrat lain. Hasrat para konsumen dengan demikian bisa dipicu baik semata oleh objeknya, tetapi juga oleh karena hasrat orang lain yang juga mengingini objek yang sama dengan dirinya. Dalam perspektif psikopatologis kedua hasrat konsumsi tersebut merepresentasikan adanya gangguan mental mental 247 disturbance sebagaimana diidap oleh masyarakat dan budaya konsumen, yakni neurosis. A.5. Alienasi dan Identifikasi Tahap Real Sebagaimana secara eksplisit telah disinggung di beberapa bagian sebelumnya, lewat pengetahuan paranoia konsumsi pakaian bekas sebagaimana berkembang dalam masyarakat berkaitan dengan persoalan identitas. Maksudnya, apa yang dilakukan oleh para konsumen dengan mengkonsumsi pakaian bekas lewat konsumsi merepresentasikan aktivitas orang dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka akan identitas. Kebutuhan akan identitas ini dirasakan konsumen sebagai sesuatu yang sangat mendasar dan tidak bisa ditunda-tunda. Hal itu dikarenakan bahwa pelbagai bentuk dan model konsumsi mode pakaian mutakhir dirasakan mengancam identitas mereka. Dengan demikian persoalan identitas menjadi kebutuhan baru dan sangat diperlukan oleh para konsumen untuk mengatasi problem alienasi dan ambiguitas yang dialami konsumen untuk yang kedua kali. Sebuah konsekuensi yang mau tidak mau harus mereka bayar mahal ketika mulai memasuki tahap pascacermin atau pasca oedipal. Momen yang menggarisbwahi pengalaman konsumen berhubungan dengan dunia atau realitas konsumsi mode modern yang dirasakan semakin mengancam dan tidak mampu menjamin keutuhan identitas mereka. Di tengah kehidupan masyarakat dan budaya konsumsi dengan pelbagai eksesnya persoalan identitas oleh sejumlah konsumen pakaian dirasakan perlu untuk ditegakkan. 248 Dalam asumsi atau pengetahuan paranoia, gejala sebagaimana dikemukakan di atas sekaligus menunjuk pada satu momen di mana para konsumen pakaian tiba- tiba didera oleh rasa tidak yakin dengan pengetahuan tentang dirinya sendiri. Sejumlah konsumen pakaian merasakan bahwa ego yang harus mereka bawakan kepada orang lain pada saat ini dalam kenyataannya dirasakan tidak sesuai dengan kenikmatan primordial yang pernah mereka kenyam sebelumnya tanpa gangguan atau interupsi pada tahap cermin atau imajiner. 37 Dalam perspektif psikoanalitik Lacanian, momen tersebut mengacu pada saat Sang Anak harus dijauhkan dari harapan primodialnya dan harus menerima harapan masyarakat Name-of-the- Father sebagaimana dipresentasikan ke dalam tata aturan mode Law of the Father. Momen yang menghadapkan antara hasrat Sang Anak untuk bersatu dengan Ibu dengan hasrat Ayah Other’s desire atau Name-of-the-Father yang ingin melepaskannya, meregulasi dan menormalisasi hasrat Sang Anak. Momen pada saat pelbagai macam tawaran identitas sebagaimana dibawakan oleh pelbagai macam pakaian baru dan dikembangkan dalam pelbagai model dan bentuk pertukaran modern, diiyakan Sang Ayah dan diadopsi sebagai bagian dari hukum dan tata aturan berpakaian. Hukum yang akan mengatur persoalan yang boleh the Do dan yang tidak boleh the Don’t dalam berpakaian sebagaimana direpresentasikan dalam tata aturan berpakaian Law of the Father dalam masyarakat dewasa ini. 37 Identifikasi perdana pada tahap Cermin banyak disebut sebagai identifikasi primordial atau pra- sejarah. Hal ini dikarenakan seorang anak masih sangat bergantung pada ibunya. Apa kemauan ibu adalah anak. Apa yang merupakan hasrat ibu adalah hasrat anak. Sophie de Mijolla-Mellor 2005, “Alienation” dalam Alain de Mijolla,ed., International Dictionary of Psychoanalysis, Vol. I, USA: Thomson Gale, hlm. 43-45. 249 Pengalaman konsumen mode sebagaimana diutarakan di atas menempatkan seluruh pengetahuan konsumen masuk atau terintegrasi ke dalam hasrat Liyan atau masyarakat Other’s desire. 38 Pada tahap selanjutnya peristiwa semacam ini mengangkat objek-objek hasrat object of desire berada dalam satu kesamaan yang bersifat abstrak dan resiprokal antara ego konsumen dengan ego Liyan atau masyarakat. Satu kondisi yang mengingatkan pada periode transisi pasca pembentukan ego dalam tatanan imajiner. Fase di mana orang tidak hanya didorong untuk memperhatikan aspek pengenalan terhadap orang lain atau liyan other melalui ke- aku-annya, tetapi juga berkaitan dengan cara seseorang berhubungan dengan masyarakat dengan cara menempatkan diri ke dalam tata aturan sosial dan budaya Law of the Father. Keadaan ini juga bisa dilihat sebagai suatu pengalaman kehilangan loss, karena orang tidak lagi memiliki kemampuan phallic sehingga gagal memenuhi hasrat pasar mode modern other’s desire dan harapan masyarakat Other’s desire. 39 Situasi ini menempatkan seseorang dalam kemenduaan karena tarikan dua kenyataan atau keterbelahan. Di satu sisi ia harus kehilangan kemampuan inability dalam memenuhi hasrat orang lain other dan harapan masyarakat Other, sementara di sisi yang lain ia juga mengalamai kehilangan atas kemungkinan impossibilty untuk kembali ke dalam situasi primordial; situasi yang di dalamnya menjanjikan rasa aman dan penikmatan Jouissance karena bisa bersatu kembali dengan sumber hasratnya. 40 38 Juliet Michell dan Jacques Roes, ed., 1982, Feminine Sexuality: Jacques Lacan and Ecole Freudienne, New Yor: Macmillan Press, hlm. 5. 39 Bruce Fink 1995, The Lacanian’s Subject, United Kingdom: Princetown University, hlm. 8. 40 Paul Verhaeghe, “From Impossibility to Inability”: Lacan’s Theory on The Four Discourses dalam The Letter Perspectives on Psychoanalysis, 3, Spring, 1995, hlm. 3, 8. 250 Mekanisme psikis yang kemudian ditempuh oleh seseorang yang mengalami problem alienasi dan ambiguitas adalah identifikasi atau idealisasi. Identifikasi adalah konsep yang dipakai untuk menamai proses mental yang tidak disadari yang memiliki kekuatan untuk mengarahkan seseorang guna melakukan penyamaan to identify sehingga menjadi identik atau idealisasi diri dengan diri atau sifat-sifat objek yang ada di luar dirinya yang akan dipakai sebagai model diri an unconscious mental process by which someone makes part of their personality conform to the personality of another, who serves as a model. 41 Menurut Lacan sebagaimana dikutip oleh Valentin Nusinovici, identifikasi adalah istilah yang dipakai untuk menunjuk pada situasi saat seseorang menemukan object a atau liyan. Objek yang dipandang mampu memberikan kenikmatan atau membangkitkan hasrat object a is the object that causes desire. 42 Object a dalam hal ini memiliki fungsi yang sangat strategis, karena ia merupakan sumber yang akan menyediakan alat vehicle kepada seseorang yang tengah mengalami problem alienasi untuk melakukan fantasi. Fantasi sendiri memiliki kedudukan signifikan karena ia diperlukan subjek untuk memproses atau mengerjakan ulang pelbagai ingatan traumatik atau simptom sebagaimana dialami oleh seseorang sehingga tidak akan berkembang menjadi imej atau gambar yang menyakitkan atau berada di luar jangkauan kemampuan subjek untuk menanggungnya. Terkait dengan proses identifikasi atau idealisasi, melalui teori tahap cermin Lacan memerkenalkan dua bentuk atau jenis identifikasi yakni: identifikasi primer primary identification imaginary identification dan identifikasi kedua secondary 41 Alain de Mijolla 2005, “Identification” dalam Alain de Mijolla, ed., International Dictionary of Psychoanalysis, Vol. I, USA: Thomson Gale, hlm. 55. 42 Valentin Nusinovici 2005, “Object a” dalam Alain de Mijolla, ed., International Dictionary of Psychoanalysis, Vol. I, USA: Thomson Gale, hlm. 1172. 251 identification symbolic identification. Identifikasi menurut Lacan berkaitan dengan proses pendewasaan orang dalam satu proses yang berjalan secara struktural melalui dua tahap, yakni tahap imajiner dan tahap simbolik. Melalui proses identifikasi atau idealisasi orang mengalami proses simbolisasi, sosialisasi, atau kulturisasi. Demikian selanjutnya identifikasi primer atau identifikasi imajiner adalah identifikasi atau idealisasi orang yang tengah berada pada tahap Cermin. Dalam tahap ini identifikasi dan idealisasi diri seseorang diarahkan pada apa saja yang akan mengukuhkan diri sebagai sosok yang utuh tidak lagi terfragmentasi dan memberikan pengalaman untuk memasuki dunia realitas. Model diri object a yang akan diambil dan dijadikan sebagai model identitas diri Ideal Ich, Ideal Ego adalah pelbagai imej yang dipantulkan lewat orang atau objek-objek yang dipandang mampu memberikan kenikmatan jouissance. Sementara itu identifikasi kedua atau identifikasi simbolik adalah identifikasi yang dilakukan seseorang yang tengah menapaki fase simbolik it is only called symbolic because it represents the completion of the subjects passage into the symbolic order. 43 Pada tahap kedua ini identifikasi atau idealisasi diri seseorang diarahkan pada apa saja yang dimaui oleh banyak orang atau masyarakat. Sedangkan model diri object a yang akan dimabil dan dinobatkan sebagai identitasnya Ich IdealEgo Ideal, disimbolkan dengan IO adalah pelbagai ketaatan dan keteraturan, mengenai mana yang boleh do dan tidak boleh don’t atau perintah dan larangan sebagaimana berkembang luas dalam masyarakat sebagai hukum, aturan, dan norma sosial budaya Law of the Father. Sebagaimana dikatakan di atas, oleh karena para konsumen pakaian bekas pada dasarnya telah 43 Alain de Mijolla 2005, Op. cit., hlm. 56 252 menapaki tahap Pasca Cermin atau tahap Simbolik, maka yang akan mereka tempuh bukan lagi identifikasi primer melainkan identifikasi sekunder secondary identification atau simbolyc identification. Sebelum mendiskusikan secara lebih jauh, sampai pada aras ini pertanyaan yang kemudian muncul ke permukaan adalah: bagaimana para konsumen atau pengguna pakaian bekas harus ditempatkan? Termasuk dalam bentuk atau jenis identifikasi macam apakah orang-orang yang mengkonsumsi pakaian bekas semacam itu? Ke arah struktur psikis mana proses identifikasi yang dilakukan oleh para konsumen pakaian bekas itu sejatinya diarahkan? Mengingat bahwa konsumsi pakaian bekas merupakan sebuah “penyimpangan” atau “abnormalitas” dari bentuk dan model konsumsi mode modern mainstream, maka proses identifikasi sebagaimana dilakukan oleh para konsumen pakaian bekas mengambil jalan yang berbeda dari jalan “normal.” Hanya saja, karena dalam proses identifikasi pertama atau identifikasi imajiner yang berlangsung pada tahap cermin atau dunia imajiner para konsumen itu telah mengalami ambiguitas dan alienasi sehingga menolak memenuhi nglanggati: Jawa hasrat orang lain other sebagaimana direpresentasikan oleh pelbagai komoditas yang berlimpah ruah dalam realitas konsumsi mode modern; demikian halnya mereka telah mengalamai kekecewaan sehingga menolak memenuhi hasrat masyarakat Other yang telah disandera pasar sebagaimana direpresentasikan dalam pelbagai larangan dan keseharusan berpakaian zaman modern Law of the Father, maka proses identifikasi ini sepenuhnya tidak diarahkan baik pada tatanan imajiner ataupun tatatan simbolik. Demikian halnya dengan model diri object a yang akan diambil atau dipakai sebagai identitas diri mereka juga tidak berasal dari kedua 253 sumber atau tatanan tersebut. Bila begitu, ke arah mana proses identifikasi tersebut diarahkan? Sebagai bentuk dan model konsumsi non-mainstream sebagaimana sudah dibicarakan di atas, berdasarkan pada gagasan Lacan tentang teori cermin, maka bentuk dan mekanisme identifikasi yang akan ditempuh oleh para pengguna pakaian bekas sejauh ini adalah jenis identifikasi yang melampaui dunia atau tatanan imajiner dan simbolik. Dengan kata lain melampaui kebutuhan dan bahasa. Proses identifikasi kedua sebagaimana dilakukan oleh para konsumen pakaian bekas selanjutnya justru diarahkan pada tatanan real, pada dunia hasrat. Identifikasi real adalah proses identifikasi dan idealisasi yang dilakukan oleh orang-orang yang berada pada tahap pra-cermin. Tahap pra-cermin adalah tahap pra-sejarah, pra- simbolik, pra-bahasa, sebagaimana digambarkan oleh Bruce Fink sebagai “a time before the word, to some sort of presymbolic or prelinguistic moment” 44 atau dalam rumusan pendek Frederic Jameson sebagaimana dikutip oleh Madan Sarup dirumuskan sebagai aktualitas sejarah: “Real menurut Lacan tidak lain adalah Sejarah itu sendiri”. 45 Identifikasi atau idealisasi yang terjadi pada tahap real selanjutnya diarahkan pada sesuatu yang bersifat apa adanya tetapi dirasakan mampu memberikan kenikmatan Jouissance. Demikian halnya model diri, object a, atau liyan yang akan dipergunakan atau diinternasilasikan oleh subjek konsumen sebagai identitasnya dalam hal ini mengacu pada apa saja yang mampu membangkitkan fantasi mereka. Apa saja yang bisa menjadi penyebab lahirnya hasrat object cause 44 Bruce Fink 1995, Op. cit., hlm. 24. 45 Madan Sarup 1993, An Introductory Guide to Post-Structuralism and Postmodernism, 2nd Editition , Athens: The University of Georgia Press, hlm. 36. 254 desire atau memungkinkan subjek konsumen sebagai subjek hasrat desiring subject. Dengan kata lain apa yang menjadi objek hasrat diarahkan pada sesuatu yang bisa melahirkan fantasi a. Fantasi semacam ini diperlukan oleh konsumen pakaian sebagai media vehicle yang memungkinan para konsumen pakaian bekas untuk memroses ulang ingatan traumatik yang mereka pada masa lampau alami agar tidak berkembang menjadi imej yang menyakitkan dan akan memengaruhi perkembangan psikisnya di masa kini dan waktu-waktu mendatang. Dengan demikian ekspektasi identitas yang lahir dari mengkonsumsi pakaian bekas terarah pada sesuatu yang biasa-biasa saja tetapi mampu memberikan kenikmatan dan memiliki kekuatan fantasmatig kepada subjek konsumen pakaian bekas sehingga memungkinkan mereka menemui hasratnya. A.7. Penetapan Identitas lewat Teknik Collage Dari uraian sebelumnya diketahui bahwa keberadaan pakaian bekas merepresentasikan model konsumsi alternatif. Pengertian alternatif di sini berkait berkelindan dengan persoalan bekerjanya ideologi modernitas yang dikultivasi oleh kapitalisme dalam dunia mode modern melalui proses produksi atau komodifikasi dan menjadi cetak biru pasar. Sebuah kekuatan yang telah menggantikan hukum bermode Name-of-the-Father sebagaimana berkembang dalam masyarakat dan budaya konsumen saat ini. Dalam perkembangan kemudian modernisme yang telah sedemikian rupa dicangkokkan pasar di dalam pelbagai bentuk dan model konsumsi mode mutakhir tidak saja telah mengubah dunia mode pada umumnya, tetapi lebih jauh menggerakkan dan mengubah konsumen mode menjadi binatang pemburu 255 mode. Hal yang demikian itu dipertajam lewat perputaran mesin produksi pakaian. Insersi ideologi modernitas dalam pelbagai bentuk dan model konsumsi mode di satu sisi, dan dukungan gerak mesin industri pakaian modern yang berjalan sangat cepat di sisi yang lain, pada akhirnya menggiring konsumen mode zaman sekarang berkembang hingga tahap fetish. Sebagaimana telah disinggung di muka, ada harga mahal yang harus dibayar dari perubahan kondisi konsumsi semacam itu, yakni bahwa konsumen mode zaman sekarang ini secara psikologis telah mengalami neurosis. Sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelumnya, di tengah arus konsumsi masyarakat dan budaya konsumen yang telah mengalami neurosis muncul keinginan dari sejumlah konsumen untuk mencari bentuk dan model konsumsi yang diasumsikan bisa memulihkan kedaulatan atas diri mereka sendiri. Sebuah kedaulatan yang memungkinkan hubungan antara konsumen dengan pelbagai bentuk komoditas atau objek-objek komoditas berlangsung secara lebih elegan dan adil. Sebuah bentuk dan model konsumsi di luar yang telah ada sekarang, yang tidak saja akan menyediakan ruang perbedaan atau heterogenitas konsumsi berdasarkan pilihan-pilihan tertentu, tetapi juga sekaligus mampu menjamin keutuhan atau kemapanan identitas mereka sebagai konsumen. Sebuah identitas yang bisa menunda agar tidak terlalu cepat berubah sehingga mampu menjamin ego atau identitas konsumen dan tidak memusingkan mereka karena perubahannya yang cepat dan sulit diikuti. Identitas yang bisa dipakai sebagai acuan bagi konsumen mode untuk menetapkan subjektivitasnya secara lebih otentik tanpa melulu didikte oleh pergerakan dan reproduksi pelbagai bentuk komoditas atau objek-objek konsumsi sebagaimana disebarluaskan pasar. 256 Mengacu pada proses identifikasi sebagaimana diutarakan di atas, identitas sebagaimana dibayangkan oleh para pengguana pakaian bekas tidak terlampau jauh dari apa yang tersedia di dalam dunia konsumsi mode sebagaimana berkembang dewasa ini, tetapi sekaligus tidak sama dengan yang telah ada. Sebagaimana telah disinggung di atas, dari momen identifikasi kedua atai identifikasi tahap real diketahui bahwa model diri, object a, atau Ich Ideal yang akan dinobatkan oleh para konsumen pakaian bekas sebagai identitasnya adalah sesuatu yang bersifat apa. Maksudnya sesuatu yang selama ini sudah dibaikan oleh kebanyakan konsumen mode yang telah terbiasa dengan pakaian baru, tetapi dirasakan justru mampu memberikan jaminan kepastian dan kenikmatan Jouissance. Dalam asumsi linguistik, persoalan identitas sebagaimana yang dibayangkan oleh para pengguna pakaian bekas adalah bahasa yang tidak terlalu jauh dengan bahasa masyarakat pada umumnya, tetapi tidak sama persis dengan bahasa sebagaimana digunakan atau berkembang dalam masyarakat. Untuk menjajaki gagasan tentang penetapan identitas para konsumen pakaian bekas selanjutnya akan diketengahkan persoalan teknik kolase mode. Sebagaimana diuraikan di sejumlah bagian sebelumnya, terutama Bab III, pakaian bekas sebagaimana berkembang dalam masyarakat lewat mekanisme perdagangan dewasa ini menggendong pelbagai unsur sifat, properties, atau identitas tertentu. Pelbagai sifat, properties, atau identitas sebagaimana dibawakan oleh pakaian bekas tersebut terserak di antara pelbagai keragaman yang meliputi mode, model, merk, gaya, potongan, kekhususan pengguna, kekhususan penggunaan, kekhasan dan kesan yang ditampilkan, jenis dan karakter bahan, motif atau corak, warna, dan ukuran. Sementara itu dari nilai tanda pakaian bekas dikenal berdasarkan 257 kualitas, popularitas, kemutakhiran, originalitas, trendy, modis, prestisiusitasnya dan sebagainya. Berkat keberadaan sifat, properties, atau identitas sebagaimana dipresentasikan lewat pakaian bekas inilah yang memungkinkan pakaian bekas dikonsumsi orang. Dengan demikian, menggunakan satu jenis pakaian bekas tertentu pada dasarnya adalah menggunakan sifat-sifat atau properties sebagaimana dibawakan oleh pakaian tersebut. Demikian halnya melalui informasi yang telah dikemukakan sebelumnya, diketahui bahwa setiap model pakaian bekas dalam perspektif pakaian pada umumnya memiliki keunikannya masing-masing. Sebagai contoh, ditinjau dari okasionalitas atau kekhususan penggunaannya, dari setiap model pakaian bisa diperikan sedemikian rupa menjadi: pakaian formal, pakaian semi formal, dan pakaian santai. Atau, pakaian kerja, pakaian olah raga, pakaian berkabung, pakaian sekolah, pakaian hamil, pakaian dapur, pakaian pesta, pakaian ibadat, pakaian seragam dan sebagainya. Dari setiap model yang ada bisa di- break down dan dikembangkan lagi menurut variabel tertentu seperti potongan, jenis dan karakter bahan, motif, warna dan seterusnya. Hingga akhirnya untuk satu konfigurasi tersusun dari banyak unsur, sehingga memiliki banyak segi yang bisa ditinjau dari pelbagai sisi. Apa yang hendak dikatakan di sini adalah bahwa melalui pelbagai properties atau identitas sebagaimana dibawakan oleh pakaian bekas secara jelas memiliki konfigurasi atau komposisinya masing-masing. Konfigurasi pakaian tertentu pada umum dikembangkan berdasarkan konvensi Law of the Father yang lazim berkembang dalam dunia mode. Konvensi yang paling kerap diacu oleh kebanyakan konsumen atau pengguna pakaian terutama berkaitan dengan persoalan padu padan pakaian fashion coordinate atau 258 mix match. 46 Sebagai contoh, untuk pakaian formal sebagaimana dikhususkan untuk laki-laki, konfigurasi yang kemungkinan besar akan dilakukan merupakan kombinasi yang meliputi unsur-unsur pakaian seperti: jas double-breasted, tuxedo, kemeja lengan panjang, dasi, dan pantalon. Ini rumus atau aturan bakunya. Konfigurasi lain bisa dihasilkan sejauh unsur-usnur yang penyusunnya atau yang dikombinasikan memiliki kesejajaran jenis atau fungsi. Dalam hal ini jas dan kemeja adalah dua jenis pakaian yang memiliki kesejajaran fungsi sebagai atasan. Dengan demikian konfigurasi baru sebuah pakaian formal bisa dihasilkan dari kombinasi unsur-unsur pakaian seperti: jas single-breasted, tuxedo, kemeja lengan pendek, dasi, dan pantalon. Kombinasi yang mengandung ketidaksejajaran jenis pakaian, masih bisa ditoleransi sepanjang hanya akan mengubah penggolongan pakaian. Kombinasi yang mengandung unsur-unsur yang ekstrim umumnya dianggap justru akan merusak semua konfigurasi yang telah ada atau menjadi aturan baku dalam dunia mode pakaian. 47 Selanjutnya dipahami bahwa ketika seseorang menggunakan pakaian tertentu, maka ia sejatinya tengah mentransfigurasikan sosok figure, figura atau penampilannya. Sosok atau penampilan yang dihasilkan dari penggunaan pakaian itu sangat ditentukan oleh konfigurasi atau komposisi atas properties pakaian yang dikenakan. Dalam khasanah mode dikenal istilah trendy, modist, tapi ada juga faux pas. Trendy dan modist adalah istilah yang dipakai untuk menamai orang yang berhasil mentransfigurasikan penampilannya berdasarkan konfigurasi atas unsur trend dan mode gaya atau pakaian. Sebaliknya, faux pas adalah istilah yang 46 Goet Poespo 2001c, Loc. Cit., hlm. 8-10. 47 Ibid. 259 dipakai untuk menunjuk pada orang yang gagal mengolah penampilannya; orang yang dalam bahasa populer sering disebut dengan istilah “salah kostum” atau orang orang yang mengalami “korban mode.” 48 Transfigurasi dalam hal ini sangat ditentukan oleh komposisi antar unsur yang dikombinasikannya seperti: model, merk, bahan, kekhususan penggunaan. Baik buruknya penampilan seseorang dalam berpakaian sangat ditentukan oleh ketepatannya dalam mengatur komposisi antar- unsur yang dipergunakan atau disatukan. Setelah melihat transfigurasi dalam dunia mode pada umumnya normal, akan dikemukakan transfigurasi sebagaimana dilakukan oleh para pengguna pakaian bekas. Pada paragraf sebelumnya dikatakan bahwa transfigurasi ditentukan oleh komposisi dari masing-masing properties yang dibawakan oleh setiap jenis pakaian bekas yang ada. Transfigurasi yang baik atau berhasil mengandaikan adanya kecermatan dalam hal menata atau mengkomposisikan pelbagai unsur pakaian yang ada. Selain itu juga hal itu dilihat dari ketaatan pengguna pakaian terhadap Law of the Father fesyen atau mode sebagaimana lazim dikenal dengan fashion coordinate atau mix and match. 49 Komposisi yang baik dalam hal ini terdiri dari atau disusun dari pelbagai properties yang memiliki kesejajaran tertentu dan ditata secara linear atau sintagmatik. 50 Setiap bentuk pelanggaran atas aturan, demikian pelbagai bentuk modifikasi yang dilakukan secara “ceroboh” atau tidak taat azas dinilai akan mendapatkan hasil yang sebaliknya, karena hal yang demikian itu justru berarti merusak keseluruhan tatanan atau susunan yang dihasilkannya. 48 Irma Hardisurya, et al, 2011, Kamus Mode Indonesia, Jakarta: Gramedia, hlm. 77. 49 Goet Poespo 2001c, Op. cit, hlm. 8 50 Roland Barthes 1981, Op. cit., hlm. 62-63. Juga St. Sunardi 2004, Semiotika Negativa, Yogyakarta: Buku Baik, hlm. 59-60. 260 Berdasarkan pada penafsiran atas keterangan sebagaimana diutarakan oleh para responden atau keterangan responden lainnya, 51 konfigurasi yang terjadi di antara para pengguna pakaian menunjukkan hal yang berkebalikan. Dalam arti bahwa proses konfigurasi yang dilakukan lakukan oleh para pengguna pakaian bekas justru menabrak aturan atau konfigurasi sebagaimana melekat dalam properties pakaian atau sebagaimana yang telah ditetapkan sebagai acuan atau kanon dalam berpakaian secara umum dalam masyarakat. Hal yang demikian itu bisa dijelaskan dari cara atau teknik collage kolase yang mereka lakukan. Collage adalah istilah yang dipakai untuk menamai aktivitas atau proses tempel-gabung yang lazim dalam dunia mode atau seni sulam. Untuk menggambarkan proses transfigurasi pakaian bekas lewat teknik collage yang berlangsung di antara para pengguna pakaian bekas, berikut disampaikan dua pengalaman sebagaimana disampaikan oleh H dan SP sebagai ilustrasi. H, laki-laki, 37 tahun, guru bidang olahraga dan kesehatan, SMP II Sleman mengutarakan pengalamannya sebagai berikut: “Saya ini sedang cari training, Mas. Maksud saya mau saya pakai untuk njodoni sepatu anyar ini. Seminggu lalu kebetulan saya dapat drop- dropan sepatu olah raga anyar dari dinas pendidikan. Itulah kerjaan orang dinas. Belum lagi kata orang dinas, setiap guru wajib pakai sepatu itu, gak isa nolak. Cuma yang jadi masalah sekarang, saya tidak punya jodone. Soalnya sepatu drop-dropan dari dinas itu warnanya hitam. Semester lalu, saya dapat sepatu warna putih. Saya sih sebetulnya suka yang putih. Lebih gampang cari jodone. Jadilah seperti harus sibuk alias repot. Ini tadi saya ambil training dua, satu warna merah, satunya warna biru.“ 52 51 Gagagan tentang transfigurasi ini lahir jauh belakangan dari proses wawancara kepada responden. Dengan kata lain masalah transfigurasi ini tidak termasuk sebagai materi wawancara, sehingga hanya saya kembangkan berdasarkan informasi responden untuk hal lain tetapi memiliki hubungan dengan pokok permaslahan. 52 Wawancara pada 14 Juni 2010. 261 Hal senada diutarakan oleh SP, perempuan, 32 tahun, asal Palembang, dosen Akademi Pertanahan Yogyakarta sebagai berikut: “Saya mungkin staff yang paling nggak patuh di kampus saya, bahkan mungkin di dunia ... ha .. ha tertawa: pen. Kampus saya itu kan terkenalnya kampus seragam gitu, Mas. Seperti APMD Akademi Pemerintahan Masyarakat Desa: pen atau APDN Akademi Pemerintahan Dalam Negeri: pen gitu. Karena background saya dulu tidak dari situ saya sampai sekarang nggak bisa diseragami. Swear, Mas Selain terkesan kaku, juga gerah. Udah gitu warnanya putih gitu. Tapi ya itu, namanya buruh, jadi nggak berani menentang apa yang sudah lama menjadi garis kebijakan kampus. Cuma ya itu, saya selalu curi-curi kesempatan untuk memodifikasi seragam yang ada. Sejauh ini sih aman-aman saja. Pernah sekali kepergok Dekan. Rupanya dia tahu, lalu tanya kenapa bahan seragam saya lain. Saya jawab saja kalau seragam yang dari kampus kotor dan belum sempat dicuci. Di sini tadi saya dapet dua baju putih, satu Arrow, satunya nggak ingat apa merknya ... Saya beli ini buat nggantiin atasan seragam kampus yang baru terus tiap 1 semester, dan tetap baru karena jarang saya pakai jadi tetap baru. “ 53 Dari pengalaman kedua responden di atas, tampak bahwa konfigurasi pakaian tidak dibangun dengan cara mengkombinasikan kesejajaran unsur dan jenis pakaian dan kelengkapannya. Konfigurasi yang dihasilkan justru dibangun berdasarkan pada perbedaan kondisi atau umur pakaian, yakni baru dan lama. Dari perspektif lain bisa dijelaskan bahwa apa yang menonjol dari konfigurasi sebagaimana dilakukan oleh kedua konsumen pakaian bekas ini tidak dilakukan secara sintagmatik tetapi paradigmatik. Konfigurasi pakaian yang dikenakan justru disusun secara paradigmatik. Dalam kasus H, ia berniat mengkombinasikan njodoni sepatu warna hitamnya yang masih baru dengan dengan dua buah training bekas berwarna dan biru, sedangkan susunan paradigmatiknya terletak pada 53 Wawancara pada 13 Juni 2010. 262 “barunya” sepatu karena “belum pernah dipakai” digantikan oleh “barunya” celana training bekas yang “baru dibeli”. Sementara dalam kasus SP ia mengkombinasikan unsur kemeja bekas merk Arrow dengan rok bawahan seragam kampus yang masih tetap baru karena belum pernah dipakai. Menurut kaidah, aturan, atau Law of the Father bermode yang diimani oleh kebanyakan konsumen mode zaman sekarang, dalam peristiwa transfigurasi konsumen pakaian dimungkinkan hanya akan melakukan kombinasi berdasarkan pada aspek kesejajaran atau kesamaan sifat atau kondisi. Hal ini berkaitan dengan keyakinan bahwa figur yang akan dihasilkannya pun diasumsikan akan berubah menjadi lebih baik atau berbeda dari sebelumnya. Pengalaman ini dari arah yang berlainan bisa disejajarkan dengan pengalaman anak kecil yang menggunakan pelbagai bingkisan ulang tahun yang terdiri dari barang-barang baru dalam satu waktu: sepatu baru, kaos kaki baru, rok baru, undies baru, singlet baru, buku cerita baru, alat-alat lukis baru, bandana baru, tas sekolah baru, dan boneka baru, yang kemudian menjadikan anak itu muncul dalam sosoknya yang “baru”: mata membesar berbinar-berbinar, mulut mengembang menyimpan senyum senang, dan dengan bangga berkata kepada neneknya: “Lihat, Nek. Aku dapat hadiah Ultah. Semuanya baru ini, Nek. Bagus, kan?” Dari dua sketsa di atas menunjukkan kreativitas para pengguna pakaian bekas dalam melakukan transfigurasi merupakan sebuah subversi, sebab berada di luar kebiasaan atau wacana mode pada umumnya. Dari proses transfigurasi itu kemudian lahir konsumen pakaian bekas dalam sosok atau penampilannya yang baru. Baru dalam hal ini bukan karena pakaian yang ia kenakan kondisinya baru, tetapi karena cara mereka mengombinasikan pelbagai unsur pakaian yang lama 263 tetapi berbeda sama sekali dari yang seharusnya. Barunya, karena penyimpangan kombinasinya. Hal itu sekaligus merepresentasikan kreativitas para pengguna pakaian bekas dalam melahirkan model konsumsi pakaian bekas dalam sosoknya yang baru. Dalam proses itu juga menunjukkan adanya proses negosiasi konsumen pakaian bekas terhadap keseharusan peraturan dan hukum sebagaimana berlaku dalam dunia fesyen modern. Dari dua sketsa di atas menggambarkan, sekali lagi, subjek konsumen yang tidak mau tunduk atau ditelikung oleh Law of the Father mode pada umumnya . Di tangan para konsumen atau pengguna pakaian bekas pelbagai properties atau identitas sebagaimana direpresentasikan oleh pakaian bekas telah dijauhkan dari kondisi awal atau ke-“bekas”-annya. Para konsumen pakain bekas kemudian telah sedemikian memasukkan nilai baru atau nilai lain di luar yang telah ada di dalam pakaian bekas yang mereka beli atau gunakan. Di tangan mereka kanon mode seperti fashion coordinate atau mix and match yang memiliki makna mendalam dan penting dalam dunia dunia modern dan memiliki masa berlaku yang panjang neverlasting seolah-olah justru dibuat menjadi memendek, bahkan hingga expired. Pakaian bekas di tangan para konsumen atau pengguna diperlakukan secara main- main, dalam arti menyalahi kaidah bermode. Demikian halnya pakaian bekas yang mereka beli atau gunakan dipersonalisasi, atau di-“bahasa”-kan Jawa: diukarakke menurut keinginan para konsumen bekas itu sendiri. Melalui pakaian bekas drive dorongan bermode para konsumen ditampilkan tidak berdasarkan pada bahasa pasar atau bahasa yang berlaku umum dalam masyarakat, melainkan ditampilkan menurut kehendak mereka sendiri. Dengan kata lain, lewat pakaian bekas para konsumen atau pengguna mengartikulasikan keinginannya dalam bahasa yang 264 mereka susun berdasarkan pada hal-hal yang berada di luar tatanan imajiner dan tatanan simbolik. Semangat dan kreativitas para konsumen atau pengguna pakaian bekas dalam melakukan pencarian dan penetapan identitas melalui mekanisme identifikasi kedua sebagaimana terarah kepada struktur real atau pada tahap pra-cermin dan dikemukakan lewat teknik kolase di atas dalam perspektif psikoanalisis Lacanian yang dikembangkan dari Freud merepresentasikan sebuah praktik sublimasi. 54 Dalam hal ini para konsumen pakaian bekas melakukan proses pembahasaan atau artikulasi atas pelbagai dorongan libidinalnya dalam pelbagai simbol atau bahasa yang tidak diambil dari langue, master signifier atau Name-of-the-Father mode yang ada dan menjadi keyakinan masyarakat dan budaya masyarakat konsumen. Secara material simbol kebahasaan yang mereka angkat sebagai bagian dari praktik artikulasi memang berasal dari bahasa yang ada masyarakat, hanya saja bahasa masyarakat itu telah mereka sublimasikan dalam pengertian sublimate, diputihkan atau dimurnikan dari nilai-nilai yang tidak mereka setujui dan kemudian mereka isi dengan makna baru. Makna atau nilai baru yang lebih menekankan pada aspek- asepek seperti heterogentitas, otentisitas, individualitas atau personalitas, atau kebersahajaan. Pada aras ini sublimasi sebagaimana dilakukan oleh konsumen pakaian bekas merupakan sarana yang dipergunakan untuk menghadapi pelbagai bentuk dan model konsumsi mode sebagaimana berkembang dalam masyarakat dan budaya konsumsi saat ini. Melalui sebuah strategi sublimasi para konsumen atau pengguna 54 Tentang sublimasi lebih lanjut periksa Marc De Kesel 2009, “Sublimation” dalam Marc De Kesel, Eros and Ethics. Reading Jacques Lacan’s Seminar VII, terj. Sigi Jőttkandt, New York: SUNY, hlm. 163-dst. 265 pakaian bekas berusaha mengatasi problem paradoks atau ambiguitas yang menjeratnya manakala harus bersinggungan dengan pelbagai bentuk komoditas atau objek-objek konsumsi. Dihadapkan pada bahasa mode modern sebagaimana berkembang dalam masyarakat dan budaya konsumen yang memiliki kekuatan yang sangat besar mempengaruhi siapapun yang terlibat di dalamnya, sublimasi menjadi sebuah cara hindar atau cara mengelak yang paling mungkin dilakukan oleh konsumen yang mau mengambil jarak dengannya. Sublimasi merupakan strategi yang dipergunakan oleh para konsumen pakaian bekas untuk melahirkan kemungkinan baru di tengah arus konsumsi mode modern yang memiliki kekuatan untuk melakukan penyeragaman. Terkait dengan persoalan sublimasi adalah daya penggerak proses identifikasi. Dari uraian sebelumnya diketahui bahwa proses identifikasi real dalam perkembangannya tidak dibangun berdasarkan hasrat desire tetapi berdasarkan dorongan drive, trieb. Baik desire maupun drive menuntut pemuasan berupa jouissance. Hasrat dalam hal ini tidak bisa memberikan jaminan terakhir kepada subjek konsumen dalam usahanya untuk memenuhi keinginannya. Hal itu karena hasrat masih mensyaratkan atau tergantung pada pelbagai aturan, larangan, atau hukum masyarakat disimbolkan dengan SØ. Ia bahkan lahir dari larangan; dalam arti senantiasa berkait dengan keinginan untuk menabrak pelbagai larangan, aturan, atau hukum Sang Ayah transgresi. Karena transgresi semacam itu tidak mungkin dilakukan, maka agar dapat mencapai jouissance, hasrat selalu berhubungan dengan kemustahilan impossibility, bahkan akan berakhir dengan jalan buntu situasi deadlock atau dead end. Hal ini menegaskan bahwa hasrat senantiasa tergantung pada keberadaan sosok Liyan Other. Berbeda dari hasrat, dorongan tidak mengenal 266 larangan atau hukum. Demikian halnya dorongan selalu berhasil; tidak pernah gagal dalam mewujudkan tujuannya. Hal lainnya adalah bahwa pemenuhan kebutuhan akan jouissance sebagaimana dilakukan para konsumen pakaian bekas berada di luar jenis kenikmatan yang telah ada atau phallic jouissance disimbolkan dengan jΦ tetapi Other Jouissance disimbolkan dengan dengan jO. Phallic jouissance adalah istilah yang dipakai untuk menamai jouissance yang melulu didasarkan pada fungsi falus Φ atau genital. Perubahan arah kebutuhan ini menandaskan bahwa para konsumen pakaian bekas tidak mau sebagaimana dialami oleh orang yang mengalami perversi mengalami frustrasi, karena mereka tahu bahwa jika hanya berhenti di situ mereka tidak akan menemukan kepuasan lain selain kepuasan akan fetish Phallic jouissance is the jouissance that faith us, that disappoints us. 55 Pengalaman ini merupakan konsekuensi logis yang akan diterima konsumen jika masih menambatkan keinginnnya pada phallic jouissance, karena mereka akan berhadapan dengan larangan atau Name-of-the-Father SØ. Dikaitkan dengan pembahasan terdahulu, pengalaman ini telah dialami oleh para konsumen mode. Ketika bayangkan kenikmatan terbatas pada pelbagai identitas atau properties sebagaimana dibawakan oleh pakaian, mereka harus berhadapan dengan hukum bermode yang memiliki kekuatan besar untuk melumatkan mereka. Sebaliknya Other jouissance merupakan jouissance yang diperoleh seseorang, dalam hal ini adalah para konsumen mode, karena pertemuannya dengan Liyan. Jenis kenikmatan ini hanya akan diperoleh konsumen ketika mereka telah 55 Bruce Fink 2004, Lacan to the Letter. Reading Ecrits Closely. London: University of Minnesota Press, hlm. 159. 267 terlebih dulu mau melepaskan kenikmatan faliknya yang akan menyerimpung mereka untuk hanya puas akan pelbagai identitas sebagaimana dibawakan oleh komoditas pakaian dan tinggal berlama-lama dalam dunia imajiner. Hal ini menjelaskan kembali pengalaman kastrasi yang dialami oleh seorang anak pada fase pasca cermin. Hanya melalui kastrasi Other jouissance ini bisa ditemukan oleh para konsumen. Pengalaman ketika seorang anak harus melepaskan sumber kenikmatannya, yakni ibu, dan hasrat hidupnya, yakni untuk senantiasa hidup bersatu padu dengan ibunya lewat gagasannya tentang menjadi maternal phallic ibunya. Pengalaman ketika seorang anak harus meninggalkan dunia atau struktur imajinernya dan menerima pelbagai aturan, tatanan, dan hukum masyarakat yang berada pada tahap selanjutnya dalam hidupnya. Dari paparan di atas diketahui bahwa berdasarkan pada sumber kenikmatan sebagaimana dicari oleh para pengguna pakaian bekas yang mengarah pada sesuatu yang apa adanya murni, serta dari jenis kenikmatan yang menekankan pada aspek individualitas, personalitas, dan otentisitas, maka identitas yang dihasilkan dari proses identifikasi real ini adalah identitas fantasi. Persis di sini tampak bahwa hasrat konsumen untuk mengidentifikasikan diri dengan pelbagai identitas atau properties sebagaimana direpresentasikan oleh pakaian bekas sejatinya tidak semata- mata berhennti di situ, atau berada pada pakaian bekasnya, akan tetapi pada kemapuan pakaian bekas dalam melahirkan fantasi tentang “sesuatu” I t’s not the “ it” that you want. I t’s the fantasy of “ it” . So desire supports crazy fantasies . 56 Apa yang dimaksudkan Žižek dengan “sesuatu” it di sini adalah sesuatu yang sublime; 56 Dinukil dari ungkapan Slavoij Žižek dalam film dokumentasinya, “The Pervert Guide to the Cinema”. 268 yang bisa disejajarkan dengan object a dalam gagasan Lacan. Sesuatu yang mampu menyedot seluruh imajinasi orang untuk senantiasa memikirkan dan membayangkan hal lain di luar yang kita temui secara material. Sesuatu yang memiliki kekuatan untuk menggiring kesadaran orang berfikir untuk mengunjunginya, menggapainya. 57 Sesuatu yang sama sekali tidak mampu diberikan dan tidak konsumen temukan di dalam pelbagai model dan bentuk konsumsi mode masyarakat konsumen dewasa ini. Pencarian tentang sesuatu yang sederhana tetapi memiliki kekuatan yang sublime menggarisbawahi kenyataan bahwa cara konsumen memperlakukan pakaian bekas memiliki kesejajaran dengan cara orang memahami sebuah karya seni, di samping agama dan ilmu pengetahuan. Baik pakaian bekas maupun karya seni digunakan atau dibeli karena keduanya bisa memantik lahirnya fantasi kepada para pengguna atau pembelinya untuk memasuki dunia hasrat dan kenikmatan yang tak terhingga the infinite jouissance yang berada di luar yang kasat mata atau yang material. Baik pakaian bekas sebagai karya seni merepresentasikan realitas yang mampu mengatasi kondisi materialnya. Karena mengandung unsur fantasi, keduanya demikian terbuka luas dan kaya akan pelbagai macam penafsiran atau simbol-simbol kebahasaan yang akan dipakai sebagai alat untuk mengungkapkan pelbagai dorongan libidinal atau represionalnya. Karena mengandung unsur fantasi, pakaian bekas memiliki kekuatasn dan kemungkinan luas kepada para konsumennya untuk mengaksentuasikan pelbagai dorongan yang selama ini gagal diproses oleh pelbagai sistem penanda bahasa baik yang selama ini terdapat di dalam tatanan imajiner atau dalam tatanan simbolik. 57 Slavoij Žižek 1989, The Sublime Object of Ideology, London-Newyork: Verso, hlm. 173. 269

B. Pakaian Bekas dan Subjektivitas

B.1. Sublimasi: Subjektivitas Para Perombèng Berangkat dari dua keterangan terakhir dia atas, sejauh ini bisa disimpulkan bahwa subjektivitas yang dari para penggunaan pakaian bekas atau rombeng adalah subjek sublimasi. Konsep sublimasi ini untuk pertama kali dikemukakan Sigmund Freud. Dalam nada seorang “moralis” Freud mendefinisikan sublimasi sebagai proses penyaluran energi seksual libido ke dalam bentuk-bentuk aktivitas non- seksual yang bisa diterima secara kultural Sublimation is a process that diverts the flow of instinctual energy from its immediate sexual aim and subordinates it to cultural endeavors. 58 . Freud menempatkan kerja intelektual, agama dan kreasi seni sebagai bentuk-bentuk sublimasi. Dengan demikian sublimasi memiliki fungsi sebagai penyaluran atas pelbagai dorongan drive yang secara moral dan sosial dikategorikan sebagai sebuah penyimpangan seperti halnya perversi atau neurosis sehingga pada akhirnya bisa diterima dan dihargai umum. Keterangan Freud tentang persolan sublimasi adalah sebagai berikut: “In Freuds work, sublimation is a process in which the libido is channelled into apparently non-sexual activities such as artistic creation and intellectual work. Sublimation thus functions as a socially acceptable escape valve for excess sexual energy which would otherwise have to be discharged in socially unacceptable forms perverse behavior or in neurotic symptoms.” 59 58 Sophie De Mijolla-Mellor, “Sublimation” dalam Alain de Mijolla ed..2005, International Dictionary of Psychoanalysis, New York: Thomson Gale, hlm. 1679-1680. 59 “Sublimation”, Nosubject.com - Encyclopedia of Lacanian Psychoanalysis, diakses pada 4 Agustus 2013. 270 Mengikuti gagasan sebagaimana dikemukakan Freud, Lacan menekankan persoalan pengakuan sosial sebagai satu hal yang penting dari konsep sublimasi ini. Dalam kaitan ini Lacan kemudan menghubungkan persoalan sublimasi dengan masalah etika. “He follows Freud in emphasizing the fact that the element of social recognition is central to the concept, since it is only insofar as the drives are diverted towards this dimension of shared social values that they can be said to be sublimated. It is this dimension of shared social values which allows Lacan to tie in the concept of sublimation with his discussion of ethics.” 60 Contoh yang paling kerap dikutip orang untuk menjelaskan persoalan sublimasi adalah poses pengalihan dorongan agresivitas seorang yang sadis dan suka berkelahi menjadi tukang jagal butcher. 61 Akan tetapi Lacan sejatinya tidak mengikuti Freud, tetapi seperti kebiasaan Lacan melampauinya. Definisi Freud tentang sublimasi oleh Lacan selain dinilai terlalu moralistik juga mengesampingkan adanya dualitas pengaruh. Lacan selanjutnya menempatkan persoalan sublimasi sebagai proses tarik ulur antara hasrat dengan aturan etik moral. Maksudnya, suatu ketika hasrat bisa masuk dalam aturan etik, sebaliknya suatu saat aturan etik bisa melahirkan hasrat. Setelah menengahkan batasan antara drive dan desire, persoalan sublimasi oleh Lacan dinyatakan sebagai proses perubahan dorongan “petaka” doom menjadi “seorang nyonya” dame sehingga bisa diterima secara etik sosial. 62 Akan tetapi, 60 Ibid. 61 Sophie De Mijolla-Mellor 2005, Loc. Cit.. Periksa juga Marc De Keller 2009, Eros and Ethics. Reading Jacques Lacan’s Seminar VIII, New York: State University of New York Press, hlm. 166. Op. cit., hlm. 165-167. 62 Marc de Kesel 2009, Op. cit., hlm. 166. 271 hal itu hanya bersifat sementara. Dengan mengasumsikan bahwa tujuan utama aturan moral adalah untuk dilanggar the ultimate purpose of the moral law is to be trasgressed hal yang berkebalikan, maka “dame” Sang Nyonya, Sang Moral pada suatu saat bisa berubah menjadi “doom” petaka atau bahkan menjadi “damn” atau “damnation” bangsat. 63 Cara Lacan menjelaskan persoalan sublimasi ini sesungguhnya sama sekali bukan original, sebab ungkapan itu sejatinya diambil dari gagasan Freud saat ia merumuskan konsep death drive. Dalam hal ini Lacan mengatakan: “The commandment that was supposed to lead to life turned out to lead to death”. 64 Cara Lacan memahami persoalan sublimasi sejauh ini sejajar dengan gagasannya tentang projek pendewasaan, sosialisasi, dan pembudayaan subjek manusia sebagaimana ia kemukakan lewat teori tahap cerminnya. Menurut Lacan proses pendewasaan subjek seseorang menjadi “mansuia yang sesungguhnya” berjalan dalam tiga struktur klinis three clinical structures yakni: imajiner, simbolik, dan real. Subjek seseorang dikatakan mengalami pendewasaan manakala ia bisa menggabungkan ketiga struktur atau tatanan psikis itu sebagai satu kesatuan dan bisa menghadirkannya secara bersama-sama. Dewasa seacara psikis dalam pengertian ini adalah nama lain dari “normal” atau “sehat”. Dengan demikian subjek yang mau menerima proses pendewasaan dan bisa menggabungkan ketiga tatanan tersebut bisa dikatakan bahwa seseorang itu “normal”, “sehat”, atau telah berhasil menjadi manusia seutuhnya. Sebaliknya, subjek seseorang yang tidak mau menerima proses pendewasaan, sosialisasi, kulturisasi, atau normalisasi, sehingga 63 Op. cit., hlm. 168. 64 Op. cit., hlm. 163.