Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
3 “melipat” melainkan juga mengubah dunia sebagai sebuah pasar ekonomi
finanscape.
1
Berkenaan dengan persoalan transformasi kapitalisme konsumsi, hal itu menggarisbawahi adanya perubahan dalam proses produksi. Maksudnya, barang dan
jasa sebagaimana diproduksi para kapitalis saat ini semata-mata tidak lagi didasarkan pada putusan mereka sendiri, tetapi juga mengadopsi kemauan
libido konsumen. Trend semacam ini pada gilirannya mendorong lahirnya komodifikasi --
strategi untuk mengakselerasikan faktor penambahan nilai barang dan kemauan konsumen dalam proses produksi sejauh dan seluas mungkin.
2
Dengan demikian pelbagai objek konsumsi sebagaimana berkembang dalam masyarakat Yogyakarta
kontemporer sejatinya merepresentasikan realitas industri. Dari contoh-contoh sebagaimana dikemukakan di atas berturut-turut kita menyaksikan berlangsungnya
proses komodifikasi yang meliputi hasrat belanja, kulinaritas, penampilan, gaya, kecantikan, ruang, waktu luang, mobilitas, komunikasi sampai dengan gosip. Trend
semacam itu semakin deras seiring dengan revolusi yang terjadi dalam dunia teknologi dan media massa.
Mendekatnya objek-objek konsumsi atau komoditas baik yang bersifat fisik- material dan jasa secara massif dan massal dalam kehidupan sosial dan budaya
Yogyakarta kontempore pada perkembangan selanjutnya ikut menentukan arah dan pembentukan masyarakat sebagaimana diistilahkan oleh Jean Baudrillard dengan
consumer society. Sebuah masyarakat yang di dalamnya berkembang suatu suasana dan mentalitas yang senantiasa menghabituasi, membebani, serta menggiring orang-
1
Arjun Appadurai, “Disjuncture and Difference in The Global Cultural Economy” dalam Simon During ed., 1999,
The Cultural Studies Reader, London and N.Y.: Routledge, hlm. 220-dst.
2
Mengenai masifitas komodifikasi barang dalam arus globalisasi periksa karya menarik Graham Dunkley 2004,
Free Trade: Myth, Reality and Alternatives, New York: St. Martin Press.
4 orang yang ada di dalamnya untuk senantiasa berpartisipasi dalam aktivitas
konsumsi alih-alih produksi, dan memuja kenikmatan enjoyment, pleasure alih-
alih melakukan pelbagai pilihan rasional atas pelbagai komoditas yang hadir secara massif dan massal.
3
Dalam situasi semacam ini, apa yang menonjol kemudian adalah terjadinya perubahan dalam pengertian konsumsi. Jika pada mulanya konsumsi
mengacu pada aktivitas orang dalam memenuhi kebutuhan, maka kini istilah itu telah bergeser menjadi sejenis kebutuhan baru masyarakat modern.
Pergerakan dan multiplikasi objek konsumsi sebagaimana dikemukakan di atas sejatinya bukan hanya merepresentasikan lahirnya
consumer society, tetapi sekaligus merepresentasikan terbentuknya
consumer culture. Dalam pengertian ini objek-objek konsumsi tidak hanya mempenetrasi proses dan aktivitas sosial dan
ekonomi rumah tangga masyarakat secara umum, melainkan juga telah mengintrusi atau merembes hingga pada proses pemaknaan atas pengalaman psikologis orang.
Dengan kata lain, konsumsi sebagaimana berkembang saat ini memiliki kekuatan besar dalam menentukan arah dan pembentukan identitas, komunikasi antar-
personal, dan pengkategorisasian peristiwa. Keadaan semacam ini bisa diilustrasikan sebagai sebuah proses dalam mana masyarakat konsumen telah sedemikian rupa
tergantikan oleh masyarakat konsumeris. Dari aras ini, konsumsi yang terjadi di dalam masyarakat modern secara signifikan memainkan peran sosial formatif yang
bersifat fundamental, yakni sebagai sebuah cara hidup way of life.
Dalam trend dan arus realitas sebagaimana diilustrasikan di atas, tesis ini
selanjutnya hendak mengkaji perihal fenomena pakaian bekas sebagaimana
3
Versi ringkas karangan ini periksa, Jean Baudrillard 1996,“The Consumer Society” dalam Mark Poster ed.,
Jean Baudrillard: Selected Writings, Stanford: California University Press, hlm. 29-55. Untuk versi panjang periksa, Jean Baudrillard 1998,
The Consumer Society: Myths and Structure. London: Sage Publication.
5 berkembang luas dalam masyarakat Yogyakarta kontemporer. Fenomena yang hadir
di tengah masyarakat Yogyakarta masa kini sebagai sebuah keganjilan baca: paradoks. Paradoks yang dimaksudkan adalah bahwa kemunculan pakaian bekas
justru terjadi di tengah masyarakat Yogyakarta yang saat ini tengah menandaskan diri sebagai masyarakat modern sebagaimana ditandai oleh kelimpahruahan objek-
objek konsumsi atau komoditas dalam corak dan bentuk yang menekankan pada citarasa modern, prima, dan
up to date. Melalui bentuk dan mekanisme perdagangan casual “non-formal” pakaian bekas seolah tanpa preseden tiba-tiba menyembul di
tengah modernitas masyarakat dan kota Yogyakarta dalam volume dan kuantitas yang besar dan frekuensi yang tinggi.
Sejak awal kemunculannya pada pertengahan tahun 1990-an sebagaimana populer dikenal sebagai pakaian
awul-awul
4
sampai dengan satu dasa-warsa belakangan sebagaimana menyebut diri sebagai “pakaian import”,
5
pakaian bekas seolah menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan dari wajah kota Yogyakarta
kontemporer. Dengan sangat mudah keberadaan pakaian bekas itu bisa didapati di setiap sudur kota. Secara perlahan tapi pasti sejarah keberadaan pakaian bekas
bergerak mulai dari trotoar jalan-jalan utama, emperan toko, pasar tradisional atau
4
Istilah awul-awul sejauh ini mengacu pada dua pengertian. Pertama, pada cara penjual dalam
memerlakukan barang dagangannya. Hampir semua penjual pakaian bekas tidak melakukan pemilahan, pemisahan, penataan atau penyusunan layaknya penjual pakaian yang menjajakan barang
daganganya di gerai-gerai pakaian pada umumnya. Mereka meletakkan pakaian itu dalam satu tempat semisal karung, bak kayu, atau bahkan langsung menggelarnya begitu saja di atas terpal yang
diletakkan di sepanjang trotoar jalan atau pasar dalam kondisi
awul-awulan kusut masai. Kedua, pada cara pembeli dalam mencari dan menemukan pakaian yang diinginkan. Di tengah banyak dan
tidak tertatanya pakaian bekas yang dijajakan itu para konsumen atau pembeli terleih dulu harus meng
-awul-awul membongkar-bongkar pakaian mana yang diingini atau hendak dibeli.
5
Istilah lain sebagaimana dihadirkan oleh para penjualnya adalah “pakaian import”, “pakain ex- import” atau “pakaian second”. Istilah yang lebih menekankan pada asal-usul dan perubahan
penyajian yang mereka lakukan. Mengingat pakaian bekas saat ini tidak lagi dijajakan di trotoar secara
awul-awulan, tetapi dipajang di gerai bersewa, digantung dengan hanger, serta dibubuhi label yang menerakan harga dan nama gerai tertentu.
6 pusat keramaian lainnya, hingga akhirnya dalam bentuk kios-kios atau gerai-gerai
yang dilakukan dalam menejemen yang relatif modern. Sampai di sini bisa disaksikan bahwa di luar dugaan nasib dan keberuntungan pakaian bekas yang ada
ternyata jauh melampaui bayangan kebanyakan orang tentang pakaian bekas pada umumnya. Keberadaan pakaian bekas dalam masyarakat Yogyakarta saat ini telah
melampaui pengertian yang melekat dalam dirinya sui generis.
Demikian halnya tampak jelas juga kiranya bahwa keberadaan pakaian bekas di tengah masyarakat Yogyakarta ternyata tidak dengan serta merta bisa
dipersamakan dengan gombal kain bekas -- barang yang umumnya jamak
dipersepsikan oleh banyak orang sebagai barang yang tidak lagi memiliki kegunaan fungsi dan nilai harga selain hanya untuk kain pel lap atau bahkan justru
dibuang sama sekali. Selama rentang waktu lebih dua dasawarsa lebih riwayat sejak awal kemunculannya pada akhir 1990-an pakaian bekas pun tidak juga berakhir di
Tempat Pembuangan Akhir TPA galibnya limbah atau sampah sebagaimana umumnya dipahami masyarakat. Apa yang terjadi justru hal yang berkebalikan.
Keberadaan pakaian bekas itu selama rentang waktu berselang hingga waktu belakangan justru mendapatkan penerimaan masyarakat
social acceptability secara luas. Hal ini ditandai dengan tinggi dan luasnya respons atau animo
masyarakat yang diberikan kepadanya. Dengan perkataan lain, selama kurun waktu yang relatif panjang itu pakaian bekas yang ada telah sedemikian rupa terintegrasi ke
dalam riwayat dan pengalaman konsumsi masyarakat Yogyakarta pada umumnya. Dari beberapa persoalan di atas, kita pun kemudian bisa menyaksikan bahwa
keberadaan pakaian bekas selama lebih dari satu dasawarsa ternyata telah berhasil memantik hasrat konsumsi masyarakat akan pakaian secara luas. Hal ini bisa
7 dikonfirmasi melalui dimensi pengguna atau penggunaan pakaian bekas
sebagaimana berkembang dalam masyarakat. Sejauh ini para konsumen atau pengguna pakaian bekas melibatkan pelbagai pihak dengan latar belakang status dan
profesi beragam, seperti: mahasiswa, guru, dosen, pegawai departemen, polisi, tentara, perawat, dokter, pegawai bank, penyiar radio, hingga musisi pemain band.
Dengan demikian, pakaian bekas tidak saja berhasil menarik minat konsumsi orang dengan latar belakang ekonomi dan sosial bawah, melainkan juga mereka yang
berasal dari strata ekonomi dan sosial menengah-atas. Selain merefleksikan gerak usaha para pedagang, penggunaan pakaian bekas itu juga merepresentasikan luasnya
respons pengguna atau konsumen terhadapnya. Demikian halnya penggunaan pakaian bekas tidak lagi terbatas dalam situasi dan kesempatan yang hanya bersifat
non-formal, akan tetapi sebaliknya juga bersifat formal atau memiliki jangkauan yang semakin luas.
Berdasarkan pada latar belakang sebagaimana dikemukakan secara ringkas di atas itulah yang kemudian menggelitik rasa keingintahuan
curiousity penulis secara lebih lanjut. Sebuah dorongan keingintahuan yang kemudian memicu
sekaligus memacu penulis untuk melihat fenomena tersebut secara lebih mendalam. Sebuah dorongan untuk melihat secara lebih dekat dengan cara mencari unsur-unsur
penting yang patut dipertimbangkan, dan pada saat yang sama sekaligus berusaha menemukan keterangan tentang apa yang kiranya secara empiris kurang lebih
memadai untuk menjawab keingintahuan itu. Demikian selanjutnya dari pelbagai unsur dan informasi penting yang lahir dari pengamatan semacam itu kemudian
bermuara ke dalam satu pertanyaan pokok. Sebuah pertanyaan yang sekaligus merupakan titik tumpu atau titik keberangkatan penelitian ini. Adapun pertanyaan
8 dasar atau titik keberangkatan yang dimaksudkan adalah: “Mengapa orang
mengkonsumsi pakaian bekas?”.