Pembeli Pakaian Bekas. PERGERAKAN DAN KOMODIFIKASI PAKAIAN BEKAS

172 sekarang tidak saja melibatkan orang-orang dengan latar belakang sosial ekonomi menengah bawah sebagaimana dalam hal ini diwakili oleh profesi musisi, 75 tetapi juga kelompok atau sosial ekonomi menengah atas. 76 Data itu juga menggarisbawahi tentang penggunaan pakaian bekas dalam masyarakat yang semakin luas. 75 Sebagai musisi genre underground, K, laki-laki, 35 tahun, menjelaskan bahwa ia dan groupnya yang terdiri dari 4 orang hanya mendapatkan uang apresiasi antara Rp.350.000 hingga Rp. 400.000 setiap pentas. Undangan pentas fluktuatif; sebulan paling banyak 3-4 kali. Wawancara pada 13 November 2011. 76 Khusus mahasiswa penentuan status mereka ditimbang berdasarkan biaya pondokan dan alat transportasi yang mereka miliki. Dari 2 kelompok, yakni “Kelompok Kotabaru” dan “Kelompok Depok”, biaya pondokan masing-masing adalah Rp. 3,5 juta per bulan dan Rp. 2,5 juta per bulan. Dari 10 orang mahasiswa tersebut, 7 orang 70 di antaranya memiliki mobil. Untuk responden lainnya asumsi dikembangkan berdasarkan informasi umum tentang gaji rata-rata yang mereka terima sesuai profesi masing-masing. Gambar 20 Tongkrongan Pembeli Pembeli bermobil tengah mampir di dua gerai Sandang Murah, Jln. Ngasem. 173 Gambar 21a Suasana di Gerai Suasana di gerai Mega Obral, Jl. KH. Ahmad Dahlan No.6. Informasi lainnya adalah bahwa berdasarkan pada jenis kelamin gender pembeli dari 20 responden meliputi perempuan dan laki-laki. Kedua kelompok gender konsumen itu memiliki perimbangan jumlah dan persentase yang sama yakni masing 10 orang 50. Dari itu menunjukkan bahwa pembeli pakaian bekas tidak didominasi oleh satu gender tertentu. Sebaliknya, konsumsi pakaian bekas sebagaimana berkembang dalam masyarakat Yogyakarta mencakup kedua-duanya, laki-laki dan perempuan. Kedua kelompok pengguna inilah yang selama ini menjadi penyakap pakaian bekas di tengah-tengah masyarakat Yogyakarta kontemporer. Transaki dan sirkulasi pakaian bekas dalam masyarakat sejauh ini melibatkan kedua kelompok gender tersebut. Di samping itu dari fakta yang ada menggarisbawahi kenyataan bahwa pakaian bekas sebagaimana ditawarkan dalam bentuk perdagangan memiliki cakupan pembeli dengan latar belakang gender beragam. 174 Suasana di gerai Sandang Murah, Jl.Adisutjipto. Gambar 21b Suasana di Gerai Sementara itu berdasarkan pada komposisi umur atau usia pembeli, diketahui bahwa secara umum range usia mereka rata-rata terentang antara umur 21 hingga 40 tahun. Untuk pembeli dari kalangan mahasiswa, range usia mereka terentang antara 21 hingga 23 tahun. Selain itu kelompok ini merupakan kelompok yang paling banyak sekaligus paling aktif terlibat dalam proses konsumsi pakaian bekas ti tengah masyarakat Yogyakarta masa kini. Dalam perspektif psikologi perkembangan usia antara 21 hingga 30 tahun dikategorikan sebagai orang muda yang menginjak masa dewasa awal, sedangkan di atas usia 30 tahun dikategorikan sebagai dewasa dan tua. Dari perspektif umur atau usia pembeli ini menandaskan bahwa para pengguna pakaian bekas tidak didominasi oleh kelompok usia tertentu. atau hanya terdiri dari satu kelompok umur tertentu, tetapi meliputi pelbagai kelompok umur. Suasana di gerai pakaian bekas “Sandang Murah”, Jl. Adisutjipto 175

E. Kesimpulan

Dari paparan panjang di atas menggarisbawahi realitas bahwa pakaian bekas sebagai beredar di tengah masyarakat merupakan bentuk komoditas. Dengan kata lain ia merepresentasikan realitas industri atau perdagangan. Dalam realitas di pasar merupakan komoditas yang diperdagangkan melalui jalur khusus non-pemerintah. Pakaian bekas sebagaimana beredar di sejumlah tempat Indonesia umumnya dan di Yogyakarta khususnya merupakan gabungan dari pakaian bekas pakai dan pakaian riject dalam arti pakaian import yang tidak memenuhi syarat atau tidak lolos uji kelayakan karena sejumlah kecacatan yang diidapnya. Dengan kata lain pakaian bekas tersusun dari pakaian yang telah digunakan orang dan pakaian yang gagal diimpor oleh perusahaan garment dan pakaian. Sebagai bentuk komoditas pakaian bekas yang beredar di Indonesia sejauh ini didatangkan oleh para importir dalam negeri bekerjasama dengan importir luar. Negara asal pakaian bekas tersebut meliputi sejumlah negara di kawasan Asia, Eropa, Amerika, Timur Tengah, dan Australia. Pakaian bekas sebagaimana beredar di tengah masyarakat Yogyakarta selain berjumlah banyak juga beraneka ragam. Keragaman pakaian bekas tersebut meliputi jenis, merk, mode, bahan, potongan, motif atau corak, model, warna, kekhususan pengguna gender dan kekhususan penggunaan. Jumlah dan keragaman ini dalam perkembagan kemudian ikut menentukan jumlah dan perkembangan gerai pakaian sebagai saluran yang memerdagangkan pakaian bekas tersebut ke tengah masyarakat Yogyakarta. Titik-titik perdagangan pakaian bekas sebagaimana ditandai oleh keberadaan gerai atau kios pakaian bekas yang ada di Yogyakarta, tersebar di 176 pelbagai area, wilayah, dan lokasi. Keberadaan pakaian bekas di Yogyakarta tidak saja tersebar di pusat kota, tetapi juga di batas kota, hingga luar kota. Perkembangan gerai pakaian bekas sejauh ini mengikuti arah dan pertumbuhan kota. Munculnya kantung-kantung kota-kota baru di perbatasan dan pinggir kota memungkinkan pakaian bekas bergerak dari pusat ke pinggir. Tingginya jumlah dan keragaman pakaian bekas juga berpengaruh pada keragaman konsumen atau pembelinya. Sejauh ini pengguna pakaian bekas meliputi kelompok umur, jenis kelamin, dan profesi yang beragam. Akhirnya, sebagai sebuah bentuk komoditas atau objek konsumsi, pakaian bekas sebagaimana beredar di tengah masyarakat Yogyakarta melalui mekanisme perdagangan terlebih dulu telah melewati proses produksi atau komodifikasi. Dengan demikian ia sama sekali berbeda dari pakaian bekas dalam pengertian umum. Proses produksi atau komodifikasi terhadap pakaian bekas meliputi restorasi, reparasi, modifikasi, dan pembaruan mode refashioning. Implikasi dari proses produksi atau komodifikasi ini selain mengacu pada aspek fisik juga mengacu pada faktor penambahan nilai. Faktor penambahan atau perubahan nilai lewat proses produksi dan komodifikasi tersebut telah mentransfigurasikan nilai yang melekat dalam pakaian, yakni dari guna dan nilai tukar barang ke dalam nilai tanda. Efek nilai tanda yang dihasilkan merupakan elemen mendasar yang memungkinkan pakaian bekas tersebut dikonsumsi atau digunakan orang. Karena keberadaan nilai tanda inilah yang memungkinkan konsumen meletakkan kepercayaanya sebagai dasar konsumsi. 177

Bab IV FANTASI DAN SUBLIMASI

IDENTITAS DAN SUBJEK PAKAIAN BEKAS Sebagai ujung akhir kajian, bagian ini membahas tentang pembentukan identitas dan subjek para pengguna pakaian bekas. Dengan kata lain melihat bagaimana horison identitas dan subjektivitas para pengguna pakaian bekas dengan latar belakang status mereka masing-masing akhirnya dibentuk lewat proses konsumsi. Secara umum dikemukakan latar belakang yang mendasari pertimbangan dan putusan para pengguna atau konsumen dalam menggunakan pakaian bekas. Dalam kaitan ini akan dilihat persoalan histeria konsumsi mode modern dan munculnya simptom yang berakar pada pengalaman traumatik atau pengalaman negativitas konsumen terhadap pakaian pada masa lalu. Kemunculan simptom dijembatani oleh pengetahuan atau bakat paranoia sebagaimana melekat dalam pengalaman konsumen akan lack dan loss akibat proses penyeragaman dan estetisasi pasar mode pada umumnya. Persoalan akan diteruskan dengan melihat kekuatan pakaian bekas dalam melahirkan fantasi – satu hal yang diperlukan oleh konsumen untuk menetapkan identitas dan subjektivitas konsumen terhadap pelbagai identitas yang dibawakan oleh pakaian bekas. Secara khusus uraian dimaksudkan untuk menggambarkan scope permainan yang dilakukan oleh para pengguna pakaian bekas sebagaimana berlangsung dalam masyarakat Yogyakarta kontemporer. Dalam kaitan ini akan dikemukakan pelbagai