BERBAGAI KESALAHPAHAMAN KINERJA KONSELOR SEKOLAH MENURUT PERSEPSI GURU BIDANG STUDI DI SMA NEGERI SE KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN AJARAN 20152016

(1)

SE-KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN AJARAN 2015/2016

SKRIPSI

Disusun dalam rangka penyelesaian Studi Strata 1 untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh

Dwi Yogianti Kurnia Widyastuti 1301411056

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


(2)

(3)

(4)

(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto

“JANGAN PUTUS ASA” Seringkali ini adalah kunci yang membuka

keberhasilan. Karena Allah selalu bersama kita dan menjadi seperti apa yang

kita prasangkakan.

( Dwi Yogianti Kurnia )

Persembahan

Skripsi ini Saya persembahkan untuk

Almamater


(6)

vi

PRAKATA

Alhamdulillahi robbil „alamin, puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat, rahmat, dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Berbagai Kesalahpahaman Kinerja Konselor Sekolah Menurut Persepsi Guru Bidang Studi di SMA Negeri se-Kabupaten Purbalingga Tahun Ajaran 2015/2016” dengan baik.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari kendala dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada pihak-pihak berikut:

1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum., Rektor Universitas Negeri Semarang yang bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan pendidikan di Universitas Negeri Semarang.

2. Prof. Dr. Fakhruddin M.Pd.,Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah memberikan ijin penelitian.

3. Drs. Eko Nusantoro, M.Pd.,Ketua Jurusan Bimbingan dan Konseling yang telah memberikan ijin penelitian dan dukungan untuk segera menyelesaikan skripsi.

4. Prof. Dr. Sugiyo, M.Si, Dosen penguji I yang telah memberikan bimbingan dan kesempurnaan skripsi ini.

5. Drs. Eko Nusantoro, M.Pd. Kons, Dosen penguji II yang telah memberikan bimbingan dan kesempurnaan skripsi ini.


(7)

vii

6. Dr. Awalya, M.Pd., Kons., Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta dengan sabar membimbing dan memberikan motivasi hingga terselesaikannya penyusunan skripsi ini.

7. Bapak dan Ibu dosen Bimbingan dan Konseling yang telah memberikan bimbingan dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

8. Kepala sekolah SMA Negeri se-Kabupaten Purbalingga yang telah memberikan ijin penelitian.

9. Guru bidang studi SMA Negeri se-Kabupaten Purbalingga yang telah berpartisipasi dalam penelitian skripsi ini.

10.Guru Bimbingan dan Konseling SMA Negeri se-Kabupaten Purbalingga yang telah membantu dan berpartisipasi dalam penelitian skripsi ini.

11.Orang tuaku Bapak Sarko dan Ibu Kalimah, kakakku Andri Tri Pratomo, adikku Shevtin Rizky Purnamasari serta keluarga besarku di Purbalingga yang selalu memberikan doa dan motivasinya.

12.Sahabat-sahabat mahasiswa BK yang senantiasa memberikan dukungan dan semangat.

13.Sahabatku Regina, Itsna, Ika, Jeki, Novi, Hari, Cumi, Khoirureza, Ire dan Upin Ipin 3 yang selalu memberikan dukungan dan semangat.

14.Sahabat-sahabat PPL, KKN dan PLBK yang selalu memberi semangat dan motivasi.

15.Sahabat-sahabatku Kos Shinta yang selalu memberi semangat dan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini.


(8)

viii

16.Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, serta dapat memberikan inspirasi positif terkait dengan perkembangan ilmu bimbingan dan konseling.

Semarang, 2016 Penulis


(9)

ix

ABSTRAK

Widyastuti, Dwi Yogianti K. 2016. Berbagai Kesalahpahaman Kinerja Konselor Sekolah Menurut Persepsi Guru Bidang Studi di SMA Negeri se-Kabupaten Purbalingga Tahun Ajaran 2015/2016. Skripsi, Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing: Dr. Awalya, M.Pd., Kons.

Kata Kunci: Persepsi , kesalahpahaman kinerja konselor.

Banyak persepsi tentang konselor di sekolah, baik negatif maupun positif. Banyak yang sudah memahami peranan konselor beserta tugas-tugasnya di sekolah, namun masih ada pula yang kurang tepat dalam berpersepsi. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah mengetahui gambaran berbagai kesalahpahaman kinerja konselor menurut persepsi guru bidang studi di SMA Negeri se-Kabupaten Purbalingga.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu penelitian deskriptif kuantitatif. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah guru bidang studi di SMA Negeri se-Kabupaten Purbalingga. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala psikologis. Teknik analisis data dalam penelitian ini dengan menggunakan analisis deskriptif persentase.

Hasil penelitian adalah dapat diketahui bahwa dari kesuluruhan poin kesalahpahaman yang dipakai, Bimbingan dan konseling dibatasi hanya untuk klien-klien tertentu saja, sebesar 79,96 %. Kemudian diikuti dengan Konselor sekolah didalam melaksanakan pelayanan bimbingan dan konseling hanya bekerja sendiri sebesar 79,87%. Menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien sebesar 79,83%. Tugas konselor didalam Bimbingan dan konseling disamakan saja dengan atau dipisahkan sama sekali dari pendidikan pada persentase 79,13 %. Menganggap hasil pekerjaan konselor harus segera dilihat 74,10%. Kemudian diikuti dengan Pekerjaan konselor sekolah dapat dilakukan oleh siapa saja pada persentase 73,30%. Konselor sekolah dianggap sebagai polisi sekolah yaitu 71,53%. Bimbingan dan konseling yang dilakukan konselor dianggap semata-mata sebagai proses pemberian nasihat pada persentase 59,96%.

Simpulan dalam penelitian kesalahpahaman-kesalahpahaman kinerja konselor menurut persepsi guru bidang studi masih banyak terjadi. Dari delapan indikator yang dipakai, terdapat 7 poin kesalahpahaman pada kategori tinggi dan satu poin pada kategori sedang..


(10)

x

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL... i

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii iii PENGESAHAN... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN... v

PRAKATA ... vi

ABSTRAK... ix

DAFTAR ISI... x

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR... xv

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah... 8

1.3 Tujuan Penelitian... 8

1.4 Manfaat Penelitian... 9

1.5 Sistematika Skripsi... 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu... 11

2.2 Konsep Dasar Persepsi... 21

2.2.1 Pengertian Persepsi ... 21

2.2.2 Faktor yang mempengaruhi persepsi ... 23

2.2.3 Proses Terjadinya Persepsi ... 26

2.2.4 Indikator Persepsi... 28

2.3 Guru Bidang Studi ... 30


(11)

xi

2.3.2 Macam-macam Guru Bidang Studi... 30

2.3.3 Peran Guru Bidang Studi dalam BK... 30

2.4 Kinerja Konselor... 33

2.4.1 Pengertian Kinerja ... 33

2.4.2 Unsur Kinerja ... 35

2.4.3 Wujud atau Bentuk Kinerja Konselor... 36

2.4.4 Pentingnya Persepsi Guru Bidang Studi terhadap Kinerja Konselor... 2.5 Kesalahpahaman ... 2.5.1 Pengertian Kesalahpahaman ... 2.5.2 Persepsi Guru Bidang Studi terhadap Kinerja yang Salah ... 2.6 Kerangka Pemikiran ... BAB 3 METODE PENELITIAN 36 39 39 40 48 3.1 Jenis Penelitian... 51

3.2 Variabel Penelitian... 52

3.3 Definisi Operasional ... 3.4 Populasi dan Sampel ... 3.5 Metode Pengumpulan Data ... 53 54 56 3.6 Validitas dan Reliabelitas ... 59

3.7 Teknik Analisis Data ... 62

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian ... 4.2 Pembahasan ... 4.2.1 Persepsi guru bidang studi terhadap kesalahpahaman bahwa tugas

konselor didalam Bimbingan dan Konseling disamakan dengan atau dipisahkan sama sekali dari pendidikan... 4.2.2 Persepsi Guru Bidang Studi terhadap Kesalahpahaman bahwa

Konselor Sekolah Adalah Polisi Sekolah ... 4.2.3 Persepsi Guru Bidang Studi terhadap Kesalahpahaman bahwa

Bimbingan dan Konseling yang Dilakukan Konselor Dianggap 64 70 82

71


(12)

xii

Semata-mata Sebagai Proses Pemberian Nasihat ... 4.2.4 Persepsi guru bidang studi terhadap kesalahpahaman bahwa

bimbingan dan konseling dibatasi hanya untuk klien-klien tertentu saja ...

4.2.5 Persepsi Guru Bidang Studi terhadap Kesalahpahaman bahwa Konselor Sekolah didalam melaksanakan pelayanan bimbingan dan Konseling Hanya Bekerja Sendiri ... 4.2.6 Persepsi Guru Bidang Studi terhadap Kesalahpahaman bahwa

Pekerjaan sebagai Konselor Bisa Dilaksanakan oleh Siapa Saja... 4.2.7 Persepsi Guru Bidang Studi Terhadap Kesalahpahaman bahwa Hasil

Pekerjaan Konselor Harus Segera Dilihat ...

4.2.8 Persepsi Guru Bidang Studi terhadap Kesalahpahaman bahwa konselor menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien ... 4.3 Keterbatasan Penelitian...

74

76

76

78

80

81 82

BAB 5 PENUTUP

5.1 Simpulan... 84

5.2 Saran... 85

Daftar Pustaka... 87


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel Hal

Tabel 3.1

Tabel 3.2

Daftar Populasi Guru Bidang Studi SMA Negeri se-Kabupaten Purbalingga... Daftar Sampel tiap Sekolah ...

54 55 Tabel 3.3

Tabel 3.4

Kategori Jawaban dan Skoring Skala Persepsi... Kriteria Penilaian Persepsi ...

58 63 Tabel 4.1 Interval Persepsi Guru Bidang Studi... 65 Tabel 4.2 Analisis Tiap Indikator... 66 Tabel 4.3 Hasil Analisis Persepsi... 69


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Gambar 2.1 Gambar 3.1

Sistematika Kerangka Pemikiran ... Langkah-langkah Penyusunan Instrumen ...

Hal 50 59 Gambar 4.1 Gambar Diagram Analisis Tiap Indikator... 67 Gambar 4.2 Diagram Hasil Analisis Persepsi Guru Bidang Studi per


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Hal

Lampiran 1. Data SMA Negeri se-Kabupaten Purbalingga ... Lampiran 2. Kisi-kisi Instrumen sebelum Tryout ...

91 92

Lampiran 3. Skala Persepsi (Sebelum Tryout)... 96

Lampiran 4. Data Validitas dan Reliabelitas Skala Persepsi... 105

Lampiran 5. Kisi-kisi Instrumen Setelah Try Out... 112

Lampiran 6. Skala Persepsi (Setelah Tryout)... 116

Lampiran 7. Perhitungan sampel ... Lampiran 8. Hasil Skala Persepsi per Sekolah ... 122 124 Lampiran 9. Hasil Analisis Skala Persepsi ... Lampiran 10. Pedoman Wawancara Data Awal dengan Konselor ... Lampiran 11. Hasil Wawancara Awal dengan Konselor ... 167 171 173 Lampiran 12. Surat Ijin Penelitian ... 179


(16)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 pasal 3 menyatakan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Adanya bimbingan dan konseling disekolah adalah agar peserta didik tidak tersesat dalam proses menuju generasi yang sesuai amanat Undang-Undang. Salah satu cara atau wadah untuk mempermudah mewujudkan hal tersebut adalah layanan bimbingan dan konseling bagi peserta didik di sekolah. Tujuan tersebut seperti dijelaskan Prayitno (2004: 144), “bahwa bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu individu mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap perkembangan dan predisposisi yang dimilikinya, berbagai latar belakang yang ada, serta dengan tuntutan positif lingkungannya”. Untuk mencapai tujuan tersebut,


(17)

kegiatan bimbingan dan konseling haruslah dilaksanakan oleh seseorang yang ahli dan profesional, dalam hal ini yaitu seorang konselor.

Bimbingan dan konseling merupakan bantuan kepada individu peserta didik dalam menghadapi persoalan-persoalan yang dapat timbul dalam hidupnya atau dalam proses belajarnya. Bantuan semacam itu sangat tepat jika diberikan di sekolah, agar setiap peserta didik dapat lebih berkembang ke arah yang seoptimal mungkin. Dengan demikian bimbingan dan konseling menjadi bidang layanan khusus dalam keseluruhan kegiatan pendidikan sekolah yang ditangani oleh tenaga-tenaga ahli dalam bidang tersebut.

Banyak persepsi tentang konselor di sekolah, baik negatif maupun positif. Banyak yang sudah memahami peranan konselor beserta tugas-tugasnya di sekolah, namun masih ada pula yang kurang tepat dalam berpersepsi. Fowler (dalam Suparno, 2005: 5) memandang kesalahpahaman atau yang sering disebut dengan miskonsepsi merupakan sebagai suatu pengertian yang tidak akurat terhadap konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda, dan hubungan konsep-konsep yang tidak benar. Bentuk miskonsepsi dapat berupa kesalahan konsep, hubungan yang tidak benar antar konsep, dan gagasan intuitif atau pandangan yang naif (Suparno, 2005). Kesalahpahaman-kesalahpahaman kinerja konselor ini dapat muncul dari berbagai pihak, baik dari siswa, orang tua murid, maupun dari guru bidang studi. Dalam hal ini yang akan disoroti adalah kesalahpahaman dari guru bidang studi selaku partner konselor sekolah.


(18)

3

Masing-masing guru bidang studi memiliki persepsi yang berbeda-beda, perpsepsi tersebut dapat berupa persepsi positif maupun negatif. Menurut Desmita (2009: 116), persepsi merupakan salah satu aspek kognitif manusia yang sangat penting, yang memungkinkannya untuk mengetahui dan memahami dunia sekelilingnya. Tanpa persepsi yang benar, manusia mustahil dapat menangkap dan memaknai berbagai fenomena, informasi atau data yang senantiasa mengitarinya. Demikian juga halnya dengan guru bidang studi disekolah, layanan bimbingan dan konseling tidak akan berjalan efektif, tanpa adanya persepsi yang benar. Dari hasil wawancara dengan beberapa guru BK di dua SMA Negeri yang berbeda di kabupaten Purbalingga didapati bahwa sebagian guru bidang studi masih berpersepsi kurang tepat terhadap konselor sekolah. Hal ini tentu berdampak kurang optimalnya pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah. Menurut konselor sekolah, beberapa guru terkesan melimpahkan permasalahan siswa kepada konselor sekolah saja, tanpa berperan aktif dalam penyelesaian masalah siswa. Padahal untuk mengetahui bagaimana keadaan siswa, konselor membutuhkan informasi dan data dari guru mata pelajaran. Ahmadi (1990: 98) menambahkan “guru mata pelajaran mempunyai tanggung jawab untuk melihat segala sesuatu yang terjadi dalam kelas untuk membantu proses perkembangan peserta didik, berarti guru bidang studi juga mempunyai peranan dalam melihat dan memperhatikan bagaimana perkembangan siswanya”. Selain itu, masih banyak lagi persepsi yang kurang tepat dari guru bidang studi terhadap konselor sekolah. Seperti konselor dianggap sebagai polisi sekolah, konselor dianggap sebagai pencatat poin


(19)

pelanggaran saja, konselor sekolah dianggap sebagai eksekutor dari suatu peraturan sekolah, konselor sekolah hanya mengatasi siswa yang bermasalah saja, serta konselor sekolah dianggap memakan gaji buta dan tidak memiliki kegiatan yang jelas. Menurut salah satu konselor yang diwawancarai, mayoritas guru bidang studi yang berpersepsi seperti itu adalah guru-guru senior. Dari fenomena tersebut, tentu sangat jauh dari yang semestinya. Peranan konselor yang semestinya seperti yang dikemukakan oleh Yusuf (2005: 25) yaitu: “konselor dalam arti khusus sebagai konsultan, sebagai anggota tim kerja, sebagai pengelola, serta sebagai sumber informasi dan layanan bagi masyarakat”. Konselor sekolah adalah staf spesialis sekolah yang memiliki kualifikasi untuk membantu siswa mengatasi masalah dan membantu siswa merencanakan dan menjalani program-program pendidikan yang tepat, dan siswa menemukan pemecahan yang lebih memuaskan dalam masalah-masalah pribadi-sosial. Fenomena ini juga didukung penelitian sebelumnya oleh Paramita mengenai “Persepsi Guru Mata Pelajaran terhadap Bimbingan dan Konseling” yang dilaksanakan di Maos, yang masih satu karesidenan dengan Purbalingga. Dari penelitian tersebut didapati bahwa persepsi guru mapel masih kurang sesuai dengan BK di sekolah. Salah satunya yakni anggapan bahwa guru BK adalah sebagai polisi sekolah.

Selain itu, penelitian-penelitian sebelumnya juga membuktikan bahwa masih terdapat kesalahpahaman dari guru bidang studi terhadap konselor. Menurut jurnal ilmiah mengenai “Kompetensi Profesional Dalam Perspektif Konselor Sekolah dan Peranannya Terhadap Pelayanan Bimbingan Dan


(20)

5

Konseling” mengatakan bahwa masih banyak anggapan miring guru mata pelajaran terhadap konselor sekolah dikarenakan kompetensi profesional konselor yang masih dirasa kurang. Hal ini dapat dinilai dengan melihat dari aspek kompetensi profesional konselor dalam penguasaan konsep dan praksis asesmen, teori dan praktik, pembuatan dan pengimplementasian program, penilaian proses dan hasil kegiatan program, kesadaran dan komitmen terhadap etika profesional, serta penguasaan konsep dan praksis dalam penelitian BK. Dari indikator-indikator penilaian tersebut, rata-rata berada pada kategori sedang. Dan hal tersebut memunculkan beberapa anggapan dalam menilai kinerja konselor yang kurang sesuai dengan karakteristik pribadi konselor yang efektif.

Sedangkan didalam jurnal ilmiah berjudul “Kerjasama Guru Bimbingan dan Konseling dengan Guru Mata Pelajaran dalam Mengembangkan Cara Belajar Siswa” diperoleh data bahwa sebagian besar guru mata pelajaran sudah mengetahui perannya sebagai pembimbing di sekolah. Ini berarti masih ada sebagian guru yang belum mengetahui perannya sebagai pembimbing disekolah. Hal ini dibuktikan dengan adanya persentase wawasan pengetahuan guru bidang studi terhadap peranserta dalam bimbingan dan konseling, hanyalah 72,89%. Ini berarti masih ada 27,11% yang belum mengetahui dan kurang terlibat dalam BK di sekolah. Data ini didapat dengan melihat aspek partisipasi guru mata pelajaran dalam kegiatan khusus penanganan masalah siswa disekolah yang masih berada pada kategori cukup. Padahal menurut Prayitno, guru mata pelajaran diharapkan memiliki


(21)

komitmen yang tinggi dalam kegiatan khusus penanganan masalah siswa demi teratasinya permasalahan dengan baik dan tuntas.

Selain itu, hasil penelitian berjudul “Interaksi Guru Bidang Studi dengan konselor dalam bimbingan belajar : studi deskriptif-analitik di SMA-SMA Negeri Kabupaten 50 Kota Sumatra Barat” menunjukkan bahwa (1) Antara guru bidang studi dengan konselor telah terjadi komunikasi berkaitan dengan pengajaran perbaikan, (2) Dalam melaksanakan tugas mengenai pengajaran perbaikan , mereka juga telah melakukan berbagai jenis kegiatan. (3) Masih kurang komunikasi dalam pelaksanaan tugas tersebut, antara lain dipengaruhi oleh faktor individu itu sendiri, seperti persepsi, sikap, motivasi, pengetahuan dan keterampilan, dan karena tidak adanya program yang digunakan, serta kurangnya dukungan dan partisipasi kepala sekolah. Penelitian tersebut memberikan gambaran awal tetang komunikasi guru bidang studi dengan konselor yang masih kurang. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satuya yaitu persepsi.

Penelitian yang dilakukan oleh Irawati (2009) yang berjudul “Kerjasama Guru Bimbingan dan Konseling dengan Guru Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) dalam meningkatkan prestasi belajar siswa kelas VIII D Pada Mata Pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) di MTs N Ngemplak Sleman Yogyakarta” menunjukkan bahwa faktor penghambat kerjasama antara guru BK dengan guru SKI adalah terjadi kesalahpahaman antara guru bimbingan dan konseling dengan guru SKI, dan komunikasi kurang lancar antara guru keduanya.


(22)

7

Dapat disimpulkan bahwa masih terdapat kesalahpahaman dari guru bidang studi, serta kurangnya pemahaman guru bidang studi mengenai peran dan tugas dari seorang konselor sekolah. Berdasarkan deskripsi di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti dengan judul “Berbagai Kesalahpahaman Kinerja Konselor Sekolah Menurut Persepsi Guru Bidang Studi di SMA Negeri se-Kabupaten Purbalingga Tahun Ajaran 20015/2016”.

1.2

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang penulis kemukakan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran berbagai kesalahpahaman kinerja konselor menurut persepsi guru bidang studi di SMA Negeri se-Kabupaten Purbalingga?”.

1.3

Tujuan Penelitian

Berdasarkan fenomena yang ada dalam rumusan masalah diatas tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran berbagai kesalahpahaman kinerja konselor menurut persepsi guru bidang studi di SMA Negeri se-Kabupaten Purbalingga.

1.4

Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi bidang pendidikan pada umumnya dan dalam bidang bimbingan dan


(23)

konseling pada khususnya tentang persepsi guru bidang studi terhadap keslahpahaman kinerja konselor.

1.4.2 Manfaat Praktis

Selain dilihat dari kegunaan teoritis, penelitian ini juga diharapkan berguna bagi :

1.4.2.1Bagi Konselor

Konselor dapat mengetahui persepsi dari guru bidang studi sehingga dapat dijadikan perbaikan untuk memaksimalkan perannya. Serta melakukan upaya-upaya untuk meminimalisir kesalahpahaman persepsi.

1.4.2.2Bagi Guru Bidang Studi

Guru bidang studi dapat mengetahui persepsi guru bidang studi yang kurang tepat, sehingga dapat dijadikan bahan introspeksi bagi guru bidang studi itu sendiri.

1.4.2.3Bagi Kepala Sekolah

Kepala Sekolah dapat mengetahui kesalahpahaman persepsi guru bidang studi terhadap kinerja konselor sekolah, sehingga dapat dijadikan evaluasi dan bahan masukan bagi kepala sekolah dalam menciptakan iklim kerja yang positif antara karyawannya, dalam hal ini konselor sekolah dengan guru bidang studi.


(24)

9

1.5 Sistematika Skripsi

Untuk mempermudah dalam menelaah skripsi ini, maka dalam penyusunannya dibuat sistematika sebagai berikut:

Bab 1 Pendahuluan, pada bab ini mengemukakan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika skripsi.

Bab 2 Tinjauan Pustaka, berisi kajian mengenai landasan teori yang mendasari penelitian yaitu penelitian terdahulu, kajian teoritis mengenai konsep dasar persepsi yang meliputi pengertian, faktor yang mempengaruhi, proses terjadinya persepsi, dan indikator persepsi. Kemudian sub teori yang berikutnya yaitu tentang guru bidang studi, diantaranya dijelaskan tentang pengertian, macam-macam guru bidang studi, serta peran guru bidang studi dalam BK. Dan sub terakhir yaitu tentang kesalahpahaman, yang meliputi pengertian, dan persepsi guru bidang studi terhadap kinerja konselor yang salah. Pada bab ini juga disajikan kerangka pemikiran dari penelitian ini.

Bab 3 Metode Penelitian, pada bab ini berisi uraian metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi. Pada bab ini mengemukakan jenis penelitian, variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan sampel, metode pengumpulan data, validitas dan reliabelitas, serta teknik analisis data.

Bab 4 Hasil Penelitian dan Pembahasan, bab ini berisi tentang hasil penelitian yang meliputi hasil penelitian, pembahasan dan keterbatasan penelitian.


(25)

Bab 5 Penutup, bab ini berisi tentang penyajian simpulan hasil penelitian dan penyajian saran sebagai implikasi dari hasil penelitian yang diakhiri dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang mendukung.


(26)

11

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian ini membahas tentang persepsi guru bidang studi terhadap kesalahpahaman kinerja konselor. Oleh karena itu, dalam tinjauan pustaka ini akan membahas teori-teori yang relevan. Tinjauan pustaka dalam bab ini meliputi: penelitian terdahulu, kajian teoritis mengenai pengertian persepsi, indikator, proses, serta faktor yang mempengaruhi persepsi guru bidang studi. Selain itu juga berisi tentang hal-hal yang berhubungan dengan kesalahpahaman kinerja konselor, seperti pengertian, wujud kinerja, serta kesalahpahaman kinerja konselor.

2.1

Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu adalah penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya oleh peneliti lain. Tujuannya adalah sebagai bahan masukan bagi pemula dan untuk membandingkan antara penelitian yang satu dengan yang lain. Penelitian terdahulu yang digunakan oleh peneliti memiliki hubungan dengan judul penelitian ini. Penelitian-penelitian terdahulu yang peneliti gunakan memiliki keterkaitan dengan penelitian yang akan dilaksanakan oleh peneliti, sehingga penelitian tersebut dapat digunakan sebagai bahan rujukan bagi peneliti agar posisi penelitian ini jelas arahnya. Penelitian terdahulu yang digunakan peneliti adalah sebagai berikut:


(27)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Melisa dkk (2013) yang berjudul “Kerjasama Guru Bimbingan dan Konseling dengan Guru Mata Pelajaran dalam Mengembangkan Cara belajar Siswa” menunjukkan bahwa kerjasama guru mata pelajaran dan guru bimbingan dan konseling didalam mengembangkan cara belajar siswa masih terlihat kurang bersinergi. Hal ini didapat dari pertanyaan peneliti yang meliputi empat aspek diantaranya (1) Wawasan guru mata pelajaran mengenai peran sebagai pembimbing di sekolah. Dalam hal ini didapati bahwa masih ada beberapa guru mata pelajaran yang kurang memahami perannya sebagai pembimbing di sekolah. Hal ini terlihat pada aspek partisipasi guru mata pelajaran dalam kegiatan khusus penanganan masalah siswa di sekolah. (2) Mengembangkan Cara Belajar Siswa dalam hal Persiapan Belajar Siswa. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terungkap bahwa belum semua guru mata pelajaran yang terlibat dalam melakukan kerjasama dengan guru BK di sekolah dalam hal persiapan belajar siswa. (3) Mengembangkan Cara Belajar Siswa dalam hal mengikuti pelajaran didapati bahwa belum semua guru mata pelajaran yang terlibat melakukan kerjasama dengan guru BK dalam hal mengikuti pelajaran. (4) Mengembangkan cara belajar siswa dalam hal sebelum mengikuti ujian dan menindaklanjuti hasil ujian didapati bahwa belum semua guru mata pelajaran yang terlibat dalam mengembangkan cara belajar siswa dalam hal sebelum mengikuti ujian dan menindaklanjuti hasil ujian. Dari penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan guru bidang studi dan peranannya dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling masih dikategorikan kurang. Jika dikaitkan dengan penelitian yang akan diteliti, kurangnya kerjasama dan


(28)

13

komunikasi antara guru bidang studi dengan konselor sekolah, dapat dipengaruhi oleh persepsi yang salah dari guru bidang studi. Terdapat keterkaitan antara penelitian yang dilakukan oleh Melisa (2013) dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Penelitian yang berjudul “Kerjasama Guru Bimbingan dan Konseling dengan Guru Mata Pelajaran dalam Mengembangkan Cara Belajar Siswa” memberikan gambaran awal tentang hubungan dan kerjasama antara guru bidang studi dan konselor dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah. Dari kerjasama tersebut, kita dapat mengetahui apakah ada kesalahpahaman guru bidang studi terhadap kinerja konselor. Karena secara teoritik kerjasama dan komunikasi antara guru bidang studi dengan konselor dapat dipengaruhi oleh persepsi yang salah dari guru bidang studi. Seperti yang dijelaskan Sugiyo (2005: 48) bahwa komunikasi seseorang terhadap orang lain sangat tergantung pada bagaimana persepsi antar pribadi tersebut terhadap orang lain. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu pada penelitian terdahulu mengugkapkan kerjasama diantara guru bidang studi dengan konselor yang didapati hasil bahwa kerjasama diantara mereka masih kurang, karena terdapat kesalahpahaman dari guru bidang studi terhadap konselor. Sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan ini merrupakan penelitian lanjutan yang bertujuan untuk mengungkap seperti apa persepsi guru bidang studi terhadap kesalahpahaman itu sendiri.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lestari (1998) tentang “Studi Pengembangan Model Kerjasama Konselor dan Guru Mata Pelajaran dalam Mengetasi Kesulitan Belajar Siswa di Sekolah Menengah Umum Kotamadya


(29)

Pontianak” menunjukkan bahwa (1) Kinerja konselor dalam membina hubungan antar pribadi sudah menunjukkan keberartian, walaupun belum sepenuhnya dimanfaatkan konselor guna menjalin hubungan kerjasama dengan guru mata pelajaran khususnya dalam menangani kesulitan belajar siswa, (2) Konselor cenderung menangani rawan perilaku daripada rawan akademik. Masalah kesulitan belajar masih belum dilanjutkan dengan memberikan pengajaran perbaikan sebagaimana mestinya, (3) Jalinan kerjasama konselor dan guru mata pelajaran guna mengatasi kesulitan belajar cenderung belum dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga belum menunjukkan keberartian bagi siswa. Kesulitan belajar jarang diinformasikan kepada konselor. Guru mata pelajaran juga cenderung jarang melibatkan konselor guna memberikan bantuan kepada siswa yang mengalami kesulitan belajar. Disamping itu, guru cenderung memberikan data yang sudah jadi daripada membahas bersama konselor prestasi belajar siswa guna kepentingan menemukan siswa yang mengalami kesulitan belajar dan mendiagnosis kesulitan belajar siswa. Oleh sebab itu kesulitan belajar belum tertangani secara tuntas. Dari hasil penelitian tersebut sejalan dengan hal yang akan diteliti yaitu tentang persepsi guru bidang studi terhadap konselor sekolah. Terdapat keterkaitan antara penelitian yang dilakukan oleh Lestari (1998) dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Penelitian yang berjudul “Pengembangan Model Kerjasama Konselor dan Guru Mata Pelajaran dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa di Sekolah Menengah Umum Kotamadya Pontianak” memberikan gambaran awal tentang kerjasama antara konselor dan guru bidang studi, mengingat guru mata pelajaran adalah pihak yang mengetahui


(30)

15

banyak kondisi siswa. Pada penelitian yang akan dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui seperti apa persepsi dari guru bidang studi terhadap kesalahpahaman kinerja konselor. Berbeda dengan penelitian yang akan dilaksnakan, jika pada penelitian terdahulu lebih memfokuskan pada pengembangan model kerjasamanya, sedangkan pada penelitian ini akan difokuskan pada seperti apa persepsi guru bidang studi terhadap kesalahpahaman kinerja konselor yang ada.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Gunawan (2007) tentang “Hubungan Persepsi Guru Mata Pelajaran Tentang Tugas-Tugas Guru Pembimbing dengan Tingkat Partisipasinya dalam Pelaksanaan Program BK di SMP dan MTs se-Kecamatan Kaliwungu Selatan Kabupaten Kendal Tahun 2007” diperoleh data bahwa partisipasi guru mata pelajaran dalam melaksanakan program BK secara umum masuk kategori tinggi. Namun masih terdapat persentase sebesar 22,50 % dan 5 % yang masing-masing masuk dalam kategori partisipasi rendah dan sangat rendah. Dari jumlah persentase keduanya berarti dapat disimpulkan bahwa hampir seperempat guru mata pelajaran di SMP dan MTs se-Kecamatan Kaliwungu Selatan tahun 2007 partisipasinya terhadap pelaksanaan program BK rendah hal ini tentu akan berpengaruh pada keefektifan pelaksanaan layanan BK. Terlebih lagi dalam penelitian ini pada komponen peran guru sebagai informator masuk dalam kategori rendah, yaitu sebesar 60,25 %. Dari data tersebut, tentu dapat kita simpulkan bahwa koordinasi antara guru bidang studi dengan konselor sekolah masih kurang. Hal ini tentu tidak serta merta terjadi, partisipasi merupakan suatu bentuk dari tingkah laku seseorang, sedangkan tingkah laku sendiri dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya yaitu persepsi. Ini tentu berkaitan


(31)

erat dengan masalah yang akan diteliti yaitu persepsi guru bidang studi. Terdapat keterkaitan antara penelitian yang dilakukan oleh Gunawan (2007) dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Penelitian yang berjudul “Hubungan Persepsi Guru Mata Pelajaran tentang Tugas-tugas Guru Pembimbing dengan tingkat partisipasinya dalam pelaksanaan Program BK di SMP dan MTs se-Kecamatan Kaliwungu Selatan Kabupaten Kendal Tahun 2007” memberikan gambaran awal tentang adanya kesalahpahaman guru bidang studi yang masih menganggap bahwa konselor harus aktif melaksaakan tugasnya sendiri, sedangkan guru mata pelajaran pasif. Padahal secara teoritik salah satu tugas guru mata pelajaran adalah sebagai informator bagi konselor sekolah. Kesalahpahaman tidak akan terjadi jika guru mata pelajaran mengetahui perannya sendiri didalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling. Perbedaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang akan dilaksanakan yaitu terletak pada masalah yang akan diteliti. Didalam penelitian terdahulu meneliti tentang persepsi dan tingkat partisipasi guru bidang studi, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan ini adalah pada persepsi terhadap kesalahpahaman kinerja konselor.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Daharnis (1995) yang berjudul “Interaksi Guru Bidang Studi dengan konselor dalam bimbingan belajar : studi deskriptif-analitik di SMA-SMA Negeri Kabupaten 50 Kota Sumatra Barat” menunjukkan bahwa (1) Antara guru bidang studi dengan konselor telah terjadi komunikasi berkaitan dengan pengajaran perbaikan, (2) Dalam melaksanakan tugas mengenai pengajaran perbaikan , mereka juga telah melakukan berbagai jenis kegiatan. (3) Masih kurang komunikasi dalam pelaksanaan tugas tersebut,


(32)

17

antara lain dipengaruhi oleh faktor individu itu sendiri, seperti persepsi, sikap, motivasi, pengetahuan dan keterampilan, dan karena tidak adanya program yang digunakan, serta kurangnya dukungan dan partisipasi kepala sekolah. Hasil penelitian ini tentu berkaitan dengan objek yang akan diteliti, yaitu persepsi guru bidang studi. Terdapat keterkaitan antara penelitian yang dilakukan oleh Daharnis (1998) dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Penelitian tersebut memberikan gambaran awal tetang komunikasi guru bidang studi dengan konselor yang masih kurang. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satuya yaitu persepsi. Dengan adanya penelitian yang akan dilakukan ini yaitu mengenai persepsi guru bidang studi terhadap kesalahpahaman kinerja konselor sekolah, maka kita akan mengetahui seberapa tingkat kesalahpahaman yang ada, dan aspek apa yang masih keliru untuk dipahami. Karena ketika tidak ada kesalahpahaman, maka komunikasi antara guru bidang studipun akan lebih baik.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Irawati (2009) yang berjudul “Kerjasama Guru Bimbingan dan Konseling dengan Guru Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) dalam meningkatkan prestasi belajar siswa kelas VIII D Pada Mata Pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) di MTs N Ngemplak Sleman Yogyakarta” menunjukkan bahwa bentuk –bentuk kerjasama guru bimbingan dan konseling dengan guru SKI dalam meningkatkan prestasi belajar siswa meliputi, bagaimana menemukan format belajar yang efektif, saling memberikan informasi, saran dan masukan ataupun saling bertukar pikiran tentang permasalahan siswa, memanggil orang tua siswa ke madrasah, dan mengunjungi rumah-rumah siswa. Adapun upaya kerjasama guru bimbingan dan konseling dengan guru SKI dalam


(33)

meningkatkan prestasi belajar siswa meliputi memberikan bimbingan kepada siswa, memberikan motivasi kepada siswa, alih tangan kasus, bekerjasama dengan orang tua siswa dalam meningkatkan prestasi belajar , membentuk kelompok belajar, memberikan bimbingan belajar yang efektif. Sedangkan faktor penghambatnya adalah terjadi kesalahpahaman antara guru bimbingan dan konseling dengan guru SKI, dan komunikasi kurang lancar antara guru keduanya. Hasil penelitian tersebut berkaitan erat dengan objek akan diteliti dalam penelitian kali ini yaitu mengenai persepsi guru bidang studi terhadap kesalahpahaman kinerja konselor. Terdapat keterkaitan antara penelitian yang dilakukan oleh Irawati (2009) dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Penelitian yang berjudul “Kerjasama guru bimbingan dan konseling dengan guru sejarah kebudayaan islam (SKI) dalam meningkatkan prestasi belajar siswa kelas VIII D pada mata pelajaran sejarah kebudayaan islam (SKI) di MTs N Ngemplak Sleman Yogyakarta” sedikit terhambat dikarenakan adanya kesalahpahaman antara guru bimbingan dan konseling dengan guru SKI dan komunikasi kurang lancar antara keduanya. Penelitian ini memberikan gambaran awal akan adanya kesalahpahaman guru bidang studi terhadap konselor sekolah. Hal ini menguatkan fenomena yang peneliti ambil dimana memang masih banyak terjadi kesalahpahaman guru bidang studi terhadap konselor sekolah yang mengakibatkan kurang bersinerginya kerjasama diantara kedua belah pihak. Perbedaan penelitian terdahulu ini dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu pada penelitian yang dilakukan oleh Irawati lebih memfokuskan pada seperti apa kerjasama antara konselor dan guru mata pelajaran SKI. Sedangkan pada


(34)

19

penelitian yang akan dilakukan lebih memfokuskan pada persepsi guru bidang studi terhadap kesalahpahaman kinerjanya. Dan persamaan diantara kedua penelitian tersebut yaitu keduanya membahas mengenai hubungan diantara konselor dan guru bidang studi.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Siti Faizah (2011) yang berjudul “Bentuk Kerjasama Guru Bimbingan dan Konseling dengan Guru Mata Pelajaran dalam Membantu Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa (Studi Kasus Pada Kelas VII SMP Negeri 22 Semarang)” menunjukkan bahwa kerjasama antara guru BK dengan guru mata pelajaran dalam mengatasi kesulitan belajar pada umumnya terjalin namun belum secara menyeluruh karena tidak semua guru mata pelajaran maupun guru BK aktif mengadakan komunikasi mengenai kondisi siswa. Sedangkan guru BK sendiri lebih aktif menjalin komunikasi dengan wali kelas terutama terkait data nilai siswa. Dari hal tersebut dapat disimplkan bahwa komunikasi antara guru bidang studi dengan konselor sekolah kurang maksimal. Ini tentu akan berpengaruh terhadap keefektifan pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling. Terdapat keterkaitan antara penelitian yang dilakukan oleh Siti Faizah (2011) dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Penelitian yang berjudul “Bentuk Kerjasama Guru Bimbingan dan Konseling dengan Guru Mata Pelajaran dalam Membantu Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa” memberikan gambaran awal tentang bentuk kerjasama antara guru bidang studi dengan konselor sekolah, dimana kerjasama yang telah dilakukan belum terjalin secara menyeluruh karena belum semua guru mata pelajaran dan konselor ikut aktif dalam mengadakan komunikasi mengenai kondisi siswa. Hal itu tidak akan


(35)

terjadi jika guru mata pelajaran mengetahui tugas dan perannya dalam BK di sekolah serta memiliki persepsi positif terhadap konselor sekolah. Perbedaan dari kedua penelitian tersebut yaitu pada penelitian yang dilakukan oleh Siti Faizah ini lebih memfokuskan pada bentuk-bentuk kerjasama guru bidang studi terhadap konselor, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan ini lebih memfokuskan seperti apa persepsi guru bidang studi terhadap kesalahpahaman kinerja konselor.

Dari penelitian-penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa interaksi konselor dengan guru bidang studi telah menunjukkan keberartian, namun belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh kedua belah pihak dalam menangani permasalahan siswa. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antar pribadi konselor dengan guru bidang studi belum terjalin secara optimal. Hal ini terbukti dari masih ada sebagian guru bidang studi yang belum mengetahui perannya serta kurang berpartisipasi aktif dalam kegiatan Bimbingan dan Konseling. Selain itu juga masih terdapat kesalahpahaman akan peran konselor di sekolah. Kesalahpahaman persepsi guru bidang studi terhadap konselor tersebut tentu tidak serta merta muncul, melainkan melalui proses penginterpretasian yang panjang. Yaitu setelah adanya peristiwa menerima (melalui panca indra) berupa peristiwa, pengalaman, informasi, dan akhirnya memberikan makna. Hasil penelitian-penelitian tersebut mendorong peneliti untuk melakukan penelitian untuk mengetahui persepsi guru bidang studi terhadap kesalahpahaman kinerja konselor sekolah. Hal ini dikarenakan pentingnya peran guru bidang studi dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling yang efektif di sekolah. Penelitian-penelitian terdahulu tersebut memiliki keterkaitan dengan penelitian yang akan dilaksanakan ini. Nantinya


(36)

21

penelitian ini akan mengambil sebagian aspek dari penelitian terdahulu untuk dikembangkan.

2.2 Konsep Dasar Persepsi 2.2.1 Pengertian Persepsi

Menurut Leavitt (dalam Sobur : 445), perception dalam pengertian sempit adalah “penglihatan”, yaitu bagaimana cara seseorang melihat sesuatu. Sedangkan dalam arti luas, perception adalah “pandangan”, yaitu bagaimana seseorang

memandang atau mengartikan sesuatu. Sebagai sebuah konstruksi psikologis yang kompleks, persepsi sulit dirumuskan secara utuh. Oleh karena itu, para ahli berbeda-beda dalam memberikan definisi tentang persepsi ini.

Menurut Desmita (2009: 116), persepsi merupakan salah satu aspek kognitif manusia yang sangat penting, yang memungkinkannya untuk mengetahui dan memahami dunia sekelilingnya. Tanpa persepsi yang benar, manusia mustahil dapat menangkap dan memaknai berbagai fenomena, informasi atau data yang senantiasa mengitarinya. Demikian juga halnya dengan guru bidang studi disekolah, layanan bimbingan dan konseling tidak akan berjalan efektif, tanpa adanya persepsi yang benar. Hal ini karena persepsi merupakan proses yang menyangkut masuknya informasi ke dalam otak manusia. Dalam proses ini, manusia tidak seperti sebuah mesin, yang dapat memberikan respons terhadap setiap stimulus secara otomatis. Sebaliknya, bagi manusia setiap informasi atau stimulus harus terlebih dahulu melewati serangkaian proses kognitif yang kompleks, yang melibatkan hampir seluruh dimensi kepribadiannya. Oleh sebab


(37)

itu, apa yang terjadi diluar dapat sangat berbeda dengan apa yang sampai ke otak manusia, karena adanya faktor-faktor kognitif lain yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Menurut Rahman (2005: 88) persepsi adalah proses yang menggabungkan dan mengorganisasikan data-data indra kita (penginderaan) untuk dikembangkan sedemikian rupa sehingga kita dapat menyadari di sekeliling kita, termasuk sadar akan diri kita sendiri.

Menurut Mar‟at (2006: 9) persepsi bergantung pada pengalaman dan apa saja yang sudah diajarkan serta dipengaruhi oleh pengalaman yang ada pada pelaku persepsi.

Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan suatu proses penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki untuk memperoleh dan menginterpretasi stimulus (rangsangan) yang diterima oleh sistem alat indra manusia. Pada dasarnya persepsi menyangkut hubungan manusia dengan lingkunganya, yaitu bagaimana individu tersebut mengerti dan menginterpretasikan stimulus yang ada di lingkungannya dengan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya. Setelah individu tersebut mengindrakan maka timbullah makna tentang objek itu. Teori mengenai persepsi ini, relevan dengan penelitian yang akan dilakukan terkait dengan persepsi guru bidang studi terhadap kesalahpahaman kinerja konselor sekolah.


(38)

23

2.2.2 Faktor yang mempengaruhi persepsi

Persepsi tidaklah muncul begitu saja, melainkan ada banyak faktor yang mempengaruhi terbentuknya suatu persepsi. Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor situasional dan faktor personal. Seperti yang dijelaskan oleh Sugiyo (2005: 38-41) bahwa secara garis besar terdapat dua faktor yang mempengaruhi kecermatan persepsi yaitu faktor situasional dan faktor personal. Faktor situasional antara lain yaitu deskripsi verbal, petunjuk proksemik, petunjuk kinestik, petunjuk wajah, petunjuk paralinguistik , dan petunjuk arifactual. Sedangkan faktor personal diantaranya pengalaman, motivasi, kepribadian, intelegensi, dan kemampuan untuk menarik kesimpulan. Selain itu mereka yang memperoleh angka rendah dalam tes otoritarianisme cenderung menilai orang lain lebih baik dan hal ini menyebabkan persepsinya akan tidak objektif. Dan mereka yang mempunyai tingkat objektivitas tinggi mengenai diri mereka sendiri, cenderung memiliki wawasan yang baik atas perilaku orang lain.

Persepsi individu terhadap objek tertentu akan mempengaruhi pikirannya. Artinya, persepsi seseorang akan memungkinkannya untuk memberi penilaian terhadap suatu kondisi stimulus. Penilaian (appraisal) seseorang terhadap suatu stimulus biasanya dilakukan melalui proses kognitif, yaitu proses mental yang memungkinkan seseorang mengevaluasi, memaknai, dan menggunakan informasi yang diperoleh melalui indranya. Ini berarti, meskipun persepsi bergantung pada indra manusia, proses kognitif yang ada pada diri manusia akan memungkinkan terjadinya proses penyaringan, perubahan atau modifikas dari stimulus yang ada.


(39)

Dalam psikologi kontemporer, persepsi secara umum diperlakukan sebagai variabel campur tangan (intervening variabel), yang dipengaruhi oleh faktor-faktor stimulus dan faktor-faktor-faktor-faktor yang ada pada subjek yang menghadapi stimulus tersebut. Oleh sebab itu, persepsi seseorang terhadap suatu benda atau realitas belum tentu sesuai dengan benda atau realitas yang sesungguhnya. Demikian juga, pribadi-pribadi yang berbeda akan mempersepsikan sesuatu secara berbeda pula. Dapat disimpulkan pengertian di atas bahwa persepsi adalah proses pengorganisasian terhadap bimbingan dan konseling, penginterprestasian terhadap stimulus yang diterima organisme berupa peristiwa dalam bimbingan dan konseling, pengalaman terhadap bimbingan dan konseling, informasi tentang bimbingan dan konseling, memperhatikan bagaimana bimbingan dan konseling di sekolah, dan menafsirkan kesan yang berakhir dengan kesimpulan tentang bimbingan dan konseling di sekolah dan memaknainya. Persepsi dapat pula diartikan sebagai proses penginterpretasian seseorang atau kelompok terhadap bimbingan dan konseling di sekolah, peristiwa atau stimulus dengan melibatkan pengalam-pengalaman yang berkaitan dengan bimbingan dan konseling tersebut atau hubungan yang diperoleh melalui proses kognisi dan afeksi untuk menyimpulkan informasi dan penafsiran pesan untuk membentuk konsep tentang bimbingan dan konseling di sekolah tersebut.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi persepsi guru bidang studi terhadap kesalahpahaman kinerja konselor ada dua yaitu faktor situasional dan faktor personal. Dimana faktor situasional terdiri dari deskripsi verbal, petunjuk proksemik, petunjuk kinestik,


(40)

25

petunjuk wajah, petunjuk paralinguistik, dan petunjuk arifactua. Sedangkan faktor personal meliputi faktor pengalaman, motivasi, kepribadian, intelegensi dan kemampuan yang dimiliki. Yang dimaksud dengan faktor pengalaman yaitu pengalaman yang dimiliki oleh guru bidang studi dalam melihat kinerja konselor sekolah. Semakin banyak pengalaman guru bidang studi, maka akan semakin cermat dalam mempersepsi konselor sekolah. Kedua yaitu motivasi, ketika guru bidang studi memiliki motivasi terhadap konselor sekolah, maka persepsinya akan cenderung bias dan tidak objektif. Dan faktor yang lain yaitu kepribadian,intelegensi, serta kemampuan guru bidang studi didalam menarik kesimpulan. Kelima hal tersebut nantinya akan dijadikan dasar acuan didalam penelitian untuk mengetahui bagaimana persepsi mereka terhadap kesalahpahaman kinerja konselor. Persepsi yang diberikan guru mata pelajaran sangat berpengaruh terhadap kelangsungan pelayanan bimbingan dan konseling. Oleh karena itu persepsi guru mata pelajaran terhadap kesalahpahaman kinerja konselor ini memiliki peran penting di sekolah, karena dengan mengetahui seperti apa persepsi guru bidang studi terhadap kesalahpahaman kinerja konselor, akan dapat menjadi evaluasi bagi konselor dalam menampilkan citra sebagai konselor yang menunjukkan kinerja yang baik. Teori-teori tersebut diatas berkaitan erat dengan penelitian yang akan dilakukan, karena teori tersebut relevan dengan obyek yang akan diteliti yaitu, persepsi guru bidang studi terhadap kesalahpahaman kinerja konselor sekolah.


(41)

2.2.3 Proses terjadinya Persepsi

Menurut De Vito dalam Sugiyo (2005 : 34) mengemukakan bahwa peroses persepsi melalui tiga tahap yaitu “ Pertama, stimulasi sensoris terjadi, proses ini merupakan proses sensori; Kedua, stimulasi organisasi terorganisasi, tahap ini merupakan kelanjutan dari tahap pertama dan pada tahap ini akan memperoleh pemahaman tertentu dengan prinsip–prinsip kedekatan dan kesamaan / kemiripan; Ketiga, stimulasi sensori diinterpretasikan, maksudnya bahwa apa yang telah diterima melalui sensori akan diberi makna atau ditafsirkan”. Persepsi merupakan bagian dari keseluruhan proses yang menghasilkan tanggapan setelah ransangan ditetapkan kepada manusia. Dari segi psikologi dikatakan bahwa tingkah laku seseorang merupakan fungsi dari cara dia memandang. Oleh karena itu, untuk mengubah tingkah laku seseorang harus dimulai dengan mengubah persepsinya.

Proses pertama dalam persepsi adalah menerima rangsangan atau data dari berbagai sumber melalui panca indera. Setelah diterima, rangsangan atau data diseleksi untuk diproses lebih lanjut. Rangsangan yang diterima selanjutnya diorganisasikan dalam suatu bentuk. Setelah rangsangan atau data diterima dan diatur, penerima menafsirkan data itu dengan berbagai cara. Proses penafsiran inilah yang dinamakan persepsi. Persepsi pada intinya adalah memberikan arti pada berbagai data dan informasi yang diterima. Setelah melakukan penafsiran atau persepsi maka akan diwujudkan dalam reaksi atau tindakan terhadap objek persepsi.

Dalam Walgito (2005: 102) mengemukakan proses terjadinya persepsi menjadi tiga tahap, yaitu sebagai berikut :


(42)

27

1) Proses kealaman atau proses fisik, dimana objek menimbulkan stimulus, dan stimulus mengenai alat indra atau reseptor.

2) Proses fisiologis. Merupakan proses dimana stimulus yang diterima oleh alat indra dilanjutkan oleh syaraf sensoris ke otak.

3) Proses psikologis, proses yang terjadi di otak, sehingga individu dapat menyadari apa yang ia terima dengan reseptor itu, sebagai suatu akibat dari stimulus yang diterimanya. Proses yang terjadi dalam otak atau pusat kesadaran. Dengan demikian, taraf terakhir persepsi adalah individu menyadari apa yang diterima.

Dalam proses persepsi perlu adanya perhatian sebagai langkah persiapan dalam persepsi itu. Hal tersebut menunjukkan bahwa individu tidak hanya dikenai oleh satu stimulus saja, tetapi berbagai macam stimulus yang ditimbulkan oleh keadaan sekitarnya. Namun, tidak semua stimulus mendapatkan respon individu untuk dipersepsi. Stimulus mana yang akan dipersepsi atau mendapatkan respon tergantuang pada perhatian individu yang bersangkutan. Penafsiran terhadap stimulus bersifat subyektif sehingga pemaknaan stimulus yang sama belum tentu menghasilkan interpretasi yang sama pula. Hal ini dipengaruhi oleh pengalaman, kebutuhan, nilai dan harapan yang ada pada diri individu. Berdasarkan keterangan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa proses persepsi berlangsung dalam beberapa tahap. Proses tersebut dimulai dengan adanya stimulus yang mengeai alat indera. Stimulus ini berasal dari objek atau kejadian yang menjadi pengalaman individu. Stimulus yang diterima akan diteruskan oleh syaraf sensoris ke pusat susunan syaraf (otak). Setelah informasi sampai ke otak terjadi proses


(43)

kesadaran, yaitu individu mampu menyadari apa yang dilihat, dirasa, dan sebagainya. Setelah menyimpulkan dan menafsirkan informasi yang diterimanya, individu memunculkan respon sebagai reaksi terhadap stimulus yang diterimanya. Dalam penelitian ini, objek yang akan dipersepsi oleh guru mata pelajaran adalah kesalahpahaman kinerja konselor sekolah. Objek tersebut akan menjadi stimulus yang akan diteruskan oleh syaraf sensoris ke otak kemudian ditafsirkan. Proses penafsiran ini dapat berbeda antara guru satu dengan lainnya, hal ini tergantung pengalaman masing – masing guru khususnya yang berkaitan dengan persepsi guru mata pelajaran tentang bimbingan dan konseling di sekolah.

2.2.4 Indikator Persepsi

Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh pengindraan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indra. Namun proses ini tidak berhenti begitu saja, melainkan stimulus tersebut diteruskan ke proses selanjutnya yang merupakan proses persepsi. Stimulus yang diindra individu kemudian oleh individu diorganisasikan dan diinterpretasikan sehingga individu menyadari, mengerti tentang apa yang diindra itu. (Bimo Walgito, 2002 : 67)

Dari pengertian persepsi di atas terdapat beberapa indikator persepsi guru bidang studi terhadap kesalahpahaman kinerja konselor di sekolah yaitu sebagai berikut:


(44)

29

Rangsang atau objek tersebut diserap atau diterima oleh panca indera, baik penglihatan, pendengaran, peraba, pencium, dan pencecap secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Dari hasil penyerapan atau penerimaan oleh alat-alat indera tersebut akan mendapatkan gambaran, tanggapan, atau kesan di dalam otak. Gambaran tersebut dapat tunggal maupun jamak, tergantung objek persepsi yang diamati. Di dalam otak terkumpul gambaran-gambaran atau kesan-kesan, baik yang lama maupun yang baru saja terbentuk. Jelas tidaknya gambaran tersebut tergantung dari jelas tidaknya rangsang, normalitas alat indera dan waktu, baru saja atau sudah lama.

2. Pengertian atau pemahaman

Setelah terjadi gambaran-gambaran atau kesan-kesan di dalam otak, maka gambaran tersebut diorganisir, digolong –golongkan (diklasifikasi), dibandingkan, diinterpretasi, sehingga terbentuk pengertian atau pemahaman. Proses terjadinya pengertian atau pemahaman tersebut sangat unik dan cepat. Pengertian yang terbentuk tergantung juga pada gambaran -gambaran lama yang telah dimiliki individu sebelumnya (disebut apersepsi).

3. Penilaian atau evaluasi

Setelah terbentuk pengertian atau pemahaman , terjadilah penilaian dari individu. Individu membandingkan pengertian atau pemahaman yang baru diperoleh tersebut dengan kriteria atau norma yang dimiliki individu secara subjektif. Penilaian individu berbeda -beda meskipun objeknya sama. Oleh karena itu persepsi bersifat individual.


(45)

2.3 Guru Bidang Studi

2.3.1 Pengertian Guru Bidang Studi

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang dimaksud dengan guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi, pada jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Peran guru sebagai agen pembelajaran (learning agent) adalah peran peran guru sebagai fasilitator, motivator, pemacu, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik (E. Mulyasa, 2007: 53).

2.3.2 Macam-macam Guru Bidang Studi

Macam-macam guru bidang studi ditingkat SMA diantaranya Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Biologi, Kimia, Fisika, Ekonomi, Sejarah, Sosiologi, Geografi, Akuntansi, Bahasa Jawa, Bahasa Asing, Kesenian, Olahraga, TIK, PKN Agama.

2.3.3 Peran Guru Bidang Studi dalam BK

Penyelenggaraan bimbingan dan konseling di sekolah bukan hanya menjadi tanggung jawab guru bimbingan dan konseling (guru BK) melainkan menjadi tanggung jawab bersama semua guru, baik guru kelas maupun guru mata pelajaran di bawah koordinasi guru bimbingan dan konseling. Sekalipun tugas dan tanggung jawab utama guru kelas maupun guru mata pelajaran adalah menyelenggarakan kegiatan belajar dan pembelajaran, bukan berarti dia sama


(46)

31

sekali lepas dari kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling. Peran dan konstribusi guru kelas dan guru mata pelajaran tetap sangat diharapkan guna kepentingan efektivitas dan efisiensi pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah, bahkan dalam batas-batas tertentu guru kelas maupun guru mata pelajaran dapat bertindak sebagai pembimbing bagi siswanya. Salah satu peran yang harus dijalankan oleh guru yaitu sebagai pembimbing dan untuk menjadi pembimbing yang baik guru harus memiliki pemahaman tentang siswa yang dibimbingnya. Lebih jauh, Makmun (2003: 40) menyatakan bahwa guru sebagai pembimbing dituntut untuk mampu mengidentifikasi siswa yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya (remedial teaching). Berkenaan dengan upaya membantu mengatasi kesulitan atau masalah siswa, peran guru tentu berbeda dengan peran yang dijalankan oleh konselor profesional.

Berkenaan peran guru kelas dan guru mata pelajaran dalam bimbingan dan konseling, Willis (2005: 81) mengemukakan bahwa guru-guru mata pelajaran dalam melakukan pendekatan kepada siswa harus manusiawi-religius, bersahabat, ramah, mendorong, konkret, jujur dan asli, memahami dan menghargai tanpa syarat. Prayitno dkk (2004: 70) memerinci peran, tugas dan tanggung jawab guru kelas dan guru mata pelajaran dalam bimbingan dan konseling sebagai berikut:

1. Membantu memasyarakatkan pelayanan bimbingan dan konseling kepada siswa

2. Membantu guru pembimbing/konselor mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan layanan bimbingan dan konseling, serta pengumpulan data tentang siswa-siswa tersebut.


(47)

3. Mengalih tangankan siswa yang memerlukan pelayanan bimbingan dan konseling kepada guru pembimbing/konselor

4. Menerima siswa alih tangan dari guru pembimbing/konselor, yaitu siswa yang menuntut guru pembimbing/konselor memerlukan pelayanan pengajar /latihan khusus (seperti pengajaran/ latihan perbaikan, program pengayaan).

5. Membantu mengembangkan suasana kelas, hubungan guru-siswa dan hubungan siswa-siswa yang menunjang pelaksanaan pelayanan pembimbingan dan konseling.

6. Memberikan kesempatan dan kemudahan kepada siswa yang memerlukan layanan/kegiatan bimbingan dan konseling untuk mengikuti /menjalani layanan/kegiatan yang dimaksudkan.

7. Berpartisipasi dalam kegiatan khusus penanganan masalah siswa, seperti konferensi kasus.

8. Membantu pengumpulan informasi yang diperlukan dalam rangka penilaian pelayanan bimbingan dan konseling serta upaya tindak lanjutnya.

Peran guru kelas maupun guru mata pelajaran dalam pelaksanaan kegiatan bimbingan dan konseling sangatlah penting. Keberhasilan penyelenggaraan bimbingan dan konseling di sekolah akan sulit dicapai tanpa peran serta guru kelas ataupun guru mata pelajaran di sekolah yang bersangkutan. Sehubungan dengan hal tersebut Yusuf (2008: 35) menjelaskan deskripsi kerja (kinerja) dari guru bidang studi termasuk didalamnya peran serta dalam pelaksanaan Bimbingan dan Konseling adalah sebagai berikut:

a. Memahami konsep dasar bimbingan dan karakteristik siswa (tugas-tugas perkembangan siswa), sebagai landasan untuk memberikan layanan bimbingan.

b. Memahami keragaman karakteristik siswa dalam aspek-aspek fisik (kesehatan dan keberfungsiannya), kecerdasan, motif belajar, sikap dan kebiasaan belajar, temperamen (periang, pendiam, pemurung, atau mudah tersinggung), dan karakternya (seperti kejujuran, kedisiplinan, dan tanggung jawab).

c. Menandai siswa yang diduga mempunyai masalah atau siswa yang gagal dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya

d. Menciptakan iklim kelas yang secara sosiopsikologis kondusif bagi kelancaran belajar siswa, seperti: bersikap ramah, bersikap respek terhadap siswa, bersikap adil (tidak menganaktirikan/ menganakemaskan anak), menghargai pendapat atau hasil karya siswa, memberikan kesempatan


(48)

33

kepada siswa untuk bertanya atau mengemukakan pendapat, bergairah dalam mengajar, dan berdisiplin.

e. Membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar

f. Mereferal (mengalihtangankan) siswa yang memerlukan layanan bimbingan dan konseling kepada guru pembimbing

g. Bekerjasama dengan guru pembimbing dalam rangka membantu siswa h. Memberikan informasi tentang kaitan mata pelajaran dengan bidang kerja

yang diminati siswa

i. Memahami perkembangan dunia industri atau perusahaan, sehingga dapat memberikan informasi yang luas kepada siswa tentang dunia kerja (tuntutan keahlian kerja, suasana kerja, persyaratan kerja, dan prospek kerja)

j. Menampilkan pribadi yang matang, baik dalam aspek emosional, sosial, maupun moral-spiritual. Hal ini penting, karena guru merupakan “figur central” bagi siswa

k. Memberikan informasi tentang cara-cara mempelajari mata pelajaran yang diberikannya secara efektif

Peran-peran guru sebagaimana telah dikemukakan terkait erat dengan penyelenggaraan kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah. Kesulitan-kesulitan atau permasalahan yang timbul dalam implementasi deskripsi kerja tersebut pada dasarnya juga merupakan permasalahan yang berada dalam wilayah penyelenggaraan kegiatan bimbingan dan konseling. Dalam hal ini, guru kelas maupun guru mata pelajaran membutuhkan kehadiran guru bimbingan dan konseling, sebaliknya guru bimbingan dan konseling juga membutuhkan informasi, bantuan, dan kerja sama dengan guru kelas dan guru mata pelajaran untuk melaksanakan tugas-tugas kepembibingannya.

2.4 Kinerja Konselor 2.4.1 Pengertian Kinerja

Secara etimologi, kata kinerja berarti suatu yang hendak dicapai, prestasi yang diperlihatkan, kemampuan kerja. Kinerja menurut Mangkunegara (2000: 67)


(49)

merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Menurut Hasibuan (2001: 34) kinerja prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan serta waktu. Menurut Tika (2006: 121) kinerja merupakan hasil fungsi pekerjaan atau kegiatan seseorang atau kelompok dalam suatu organisasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor untuk mencapai tujuan organisasi dalam periode waktu tertentu

Menurut Gibson, dkk (2003: 355), job performance adalah hasil dari pekerjaan yang terkait dengan tujuan organisasi, efisiensi dan kinerja keefektifan kinerja lainnya. Sementara menurut Ilyas (1999: 99), kinerja adalah penampilan hasil kerja personil maupun dalam suatu organisasi. Penampilan hasil karya tidak terbatas kepada personil yang memangku jabatan fungsional maupun struktural tetapi juga kepada keseluruhan jajaran personil di dalam organisasi.

Pengertian kinerja lainnya dikemukakan oleh Simanjuntak (2005: 1) yang mengemukakan kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu. Sedangkan menurut Irawan (2002: 11), bahwa kinerja (performance) adalah hasil kerja yang bersifat konkret, dapat diamati, dan dapat diukur. Jika kita mengenal tiga macam tujuan, yaitu tujuan organisasi, tujuan unit, dan tujuan pegawai, maka kita juga mengenal tiga macam kinerja, yaitu kinerja organisasi, kinerja unit, dan kinerja pegawai. Dessler (2000: 87) berpendapat : Kinerja (prestasi kerja) karyawan adalah prestasi aktual karyawan dibandingkan dengan


(50)

35

prestasi yang diharapkan dari karyawan. Prestasi kerja yang diharapkan adalah prestasi standar yang disusun sebagai acuan sehingga dapat melihat kinerja karyawan sesuai dengan posisinya dibandingkan dengan standar yang dibuat. Selain itu dapat juga dilihat kinerja dari karyawan tersebut terhadap karyawan lainnya.

Selain itu menurut John Whitmore (1997: 104) kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seseorang, kinerja adalah suatu perbuatan , suatu prestasi, suatu pameran umum keterampilan. Sedangkan menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson terjemahan Jimmy Sadeli dan Bayu Prawira (2001: 78) menyatakan bahwa kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan.

Berdasarkan beberapa pendapat tentang kinerja dapat disimpulkan bahwa pengertian kinerja adalah suatu perbuatan yang dilakukan/ pameran/ penampilan hasil kerja personil maupun suatu organisasi didalam melaksanakan tugasnya dalam upaya pencapaian suatu tujuan.

2.4.2 Unsur Kinerja

Berdasarkan pengertian di atas kinerja mengandung 3 (tiga) unsur, yaitu : 1) Unsur waktu, dalam hasil-hasil yang dicapai oleh usaha-usaha tertentu,

dinilai dalam satu putaran waktu atau sering disebut periode. Ukuran periode dapat menggunakan satuan jam, hari, bulan, maupun tahun. 2) Unsur hasil, dalam arti hasil-hasil tersebut merupakan hasil rata-rata pada

akhir periode tersebut. Hal ini tidak berarti mutlak setengah periode harus memberikan hasil setengah dari keseluruhan.


(51)

3) Unsur metode, dalam arti seorang pegawai harus meguasai betul dan bersedia mengikuti pedoman yang telah ditentukan, yaitu metode kerja yang efektif dan efisien, ditambah pula dalam bekerjanya pegawai tersebut harus bekerja dengan penuh gairah dan tekun serta bukan berarti harus bekerja berlebihan.

2.4.3 Wujud atau Bentuk Kinerja Konselor

Wujud atau bentuk kinerja guru BK tentu berbeda dengan profesi yang lain. Pada dasarnya dapat ditegaskan bahwa perbedaan pekerjaan dapat menyebabkan wujud kinerja berbeda. Namun demikian perbedaan wujud kinerja berdasarkan perbedaan pekerjaan tetap mengacu pada satu konsep yang disebut ukuran kinerja. Artinya setiap profesi atau pekerjaan tertentu memiliki indikator atau ukuran kinerja masing-masing. Ukuran kinerja disebut sebagai kriteria. Yang dimaksudkan sebagai alat untuk menggambarkan keberhasilan, ukuran prediktif untuk menilai efektifitas individu dan organisasi. Wujud kinerja dalam konteks karakteristik individu mencakup tugas-tugas konselor yang harus dilaksanakan.

Pelayanan bimbingan dan konseling merupakan penerapan konsep,asas, kaidah, hukum dan prosedur ilmiah bimbingan dan konseling. Apa yang dilakukan oleh guru pembimbing dalam menjalankan tugasnya disekolah tidak asal-asalan akan tetapi ada landasan ilmunya. Prayitno (2005: 3) menyebutkan bahwa tugas pokok konselor adalah mewujudkan proses konseling disertai dengan kegiatan yang menunjang tugas pokoknya.


(52)

37

Dalam buku dasar standarisasi profesi konseling yang dikeluarkan Depdikbud (2004: 16), disebutkan bahwa tugas dan kegiatan tenaga profesi konseling meliputi yaitu tugas pokok, tugas kegiatan pengelolaan, tugas kolaborasi profesional, dan tugas keorganisasian.

a. Tugas pokok profesional, yaitu tugas dalam melaksanakan pelayanan bimbingan dan konseling yang mendukung terlaksnanya fungsi-fungsi bimbingan dan konseling.

b. Tugas yang berkaitan dengan manajerial/ pengelolaan, yaitu tugas-tugas konselor dalam mengelola bimbingan dan konseling di sekolah. Tugas ini dimulai dari penyusunan/ perencanaan program, pelaksanaan program-program yang direncanakan, evaluasi hasil dan proses layanan, kegiatan tindak lanjut serta pelaporan

c. Tugas yang berkaitan dengan administrasi, yang idimaksudkan disini adalah tugas konselor untuk menyusun administrasi bimbingan dan konseling.

d. Tugas yang berkaitan dengan organisasi profesi, yaitu tugas konselor untuk ikut serta mengembangkan bimbingan dan konseling di sekolah dan dimasyarakat melalui partisipasi aktif dalam organisasi profesinya.

2.4.4 Pentingnya Persepsi Guru Bidang Studi Terhadap Kinerja Konselor

Persepsi guru bidang studi terhadap pelayanan bimbingan dan konseling sangatlah penting bagi seorang konselor, karena seorang guru bidang studi dapat memberikan pemahaman dan penilaian tentang pelayanan bimbingan dan


(53)

konseling yang dilaksanankan di sekolah. Sehingga dapat terjalin kerja sama antara guru bidang studi dengan konselor sekolah atau guru pembimbing dalam menghadapi permasalahan–permasalahan yang terjadi atau yang dialami oleh siswa. Dengan demikian persepsi guru bidang studi dalam menunjang pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah sangatlah diperlukan. Berdasarkan pernyataan di atas dapat diketahui bahwa persepsi setiap guru bidang studi terhadap pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah berbeda – beda, ada persepsi positif maupun negatif. Persepsi positif guru bidang studi terhadap pelayanan bimbingan dan konseling merupakan suatu penilaian yang di berikan oleh seorang guru bidang studi terhadap pelayanan bimbingan dan konseling dengan menilai sisi baik dari konselor sekolah tersebut, yaitu misalnya seorang guru bidang studi menilai bahwa konselor di sekolah sangat membantu guru bidang studi dalam mengetahui tugas perkembangan peserta didiknya, kemudian selain itu pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah juga membantu guru bidang studi mengentaskan permasalahan siswa yang sedang atau sering dihadapi siswa, misalnya siswa bermasalah dengan belajar. Selain persepsi positif dari guru bidang studi terhadap pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah, juga sebaliknya sering muncul persepsi yang negatif dari guru terhadap konselor di sekolah, sebab dari persepsi negatif yang muncul biasanya seorang guru bidang studi kurang memahami apa tugas dan peran dari seorang guru pembimbing atau konselor sekolah itu sendiri yang terkadang menyalah gunakan tugas dan peranan konselor sekolah, sehingga menimbulkan kesalahpahaman antara guru bidang studi dengan guru pembimbing.


(54)

39

2.5 Kesalahpahaman

2.5.1 Pengertian Kesalahpahaman

Menurut KBBI Kesalahpahaman artinya salah atau keliru dalam memahami sikap orang lain yang biasanya menimbulkan reaksi bagi yang bersangkutan. Pemahaman menurut Sadiman (1996: 109) adalah suatu kemampuan seseorang dalam mengartikan, menafsirkan, menerjemahkan, atau menyatakan sesuatu dengan caranya sendiri tentang pengetahuan yang pernah diterimanya. Menurut Winkel dan Mukhtar (dalam Sudaryono, 2012: 44), pemahaman adalah kemampuan seseorang untuk menangkap makna dan arti dari bahan yang dipelajari, yang dinyatakan dengan menguraikan isi pokok dari suatu bacaan atau mengubah data yang disajikan dalam bentuk tertentu ke bentuk yang lain. Sementara Benjamin S. Bloom (dalam Anas Sudijono, 2009: 50) mengatakan bahwa pemahaman (Comprehension) adalah kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat. Dengan kata lain, memahami adalah mengerti tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai segi. Jadi, dapat disimpulkn bahwa kesalahpahaman adalah salah mengerti tentang sesuatu dan tidak dapat melihatnya dari berbagai segi. Seorang guru bidang studi dikatakan memahami konselor apabila ia dapat memberikan penjelasan atau memberi uraian yang lebih rinci tentang konselor itu sendiri yang meliputi tugas-tugas dan fungsinya di sekolah. Kesalahpahaman sering disebut juga dengan miskonsepsi. Fowler (dalam Suparno, 2005: 5) memandang miskonsepsi sebagai suatu pengertian yang tidak akurat terhadap


(55)

konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda, dan hubungan konsep-konsep yang tidak benar. Bentuk miskonsepsi dapat berupa kesalahan konsep, hubungan yang tidak benar antar konsep, dan gagasan intuitif atau pandangan yang naif (Suparno, 2005).

2.5.2 Persepsi Guru Bidang Studi terhadap kinerja yang Salah

Menurut Prayitno (2004: 120) Kesalahpahaman guru terhadap pelayanan bimbingan dan konseling itu sendiri antara lain sebagai berikut : 1. Bimbingan dan Konseling Disamakan Saja dengan atau Dipisahkan

Sama Sekali dari Pendidikan

Bimbingan dan konseling di sekolah secara umum termasuk ke dalam ruang lingkup upaya pendidikan di sekolah, namun tidak berarti bahwa dengan penyelenggaraan pengajaran (yang baik) saja seluruh misi sekolah akan dapat tercapai dengan penuh. Kenyataan menunjukkan bahwa masih banyak hal yang menyangkut kepentingan siswa yang harus ditanggulangi oleh sekolah yang tidak dapat teratasi dengan pengajaran semata-mata.

2. Konselor di Sekolah Dianggap sebagai Polisi Sekolah

Masih banyak anggapan bahwa peranan konselor di sekolah adalah sebagai polisi sekolah yang harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin, dan keamanan sekolah. Petugas bimbingan dan konseling bukanlah pengawas ataupun polisi yang selalu mencurigai dan


(56)

41

akan menangkap siapa saja yang bersalah. Petugas bimbingan dan konseling adalah kawan pengiring penunjuk jalan, pembangun kekuatan, dan pembina tingkah laku positif yang dikehendaki. Petugas bimbingan dan konseling hendaknya bisa menjadi sitawar-sidingin bagi siapa pun yang datang kepadanya. Dengan pandangan, sikap, keterampilan, dan penampilan konselor siswa atau siapa pun yang berhubungan dengan konselor akan memperoleh suasana sejuk dan memberi harapan.

3. Bimbingan dan Konseling Dianggap Semata-Mata sebagai Proses Pemberian Nasihat

Bimbingan dan konseling bukan hanya bantuan yang berupa pemberian nasihat. Pemberian nasihat hanya merupakan sebagian kecil dari upaya-upaya bimbingan dan konseling. Pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut seluruh kepentingan klien dalam rangka pengembangan pribadi klien secara optimal. Konselor juga harus melakukan upaya-upaya tindak lanjut serta mensinkronisasikan upaya yang satu dengan upaya yang lainnya sehingga keseluiruhan upaya itu menjadi satu rangkaian yang terpadu dan bersinambungan.

4. Pelayanan Bimbingan dan Konseling Dibatasi pada Hanya Menangani Masalah yang Bersifat Insidental

Pelayanan bimbingan dan konseling bertitik tolak dari masalah yang dirasakan klien sekarang, yang sifatnya diadakan. Namun pada hakikatnya pelayanan itu sendiri menjangkau dimensi waktu yang lebih luas, yaitu yang lalu, sekarang, dan yang akan datang. Disamping itu


(57)

konselor tidaklahhanya menunggu saja klien yang datang dan mengemukakan masalahnya.

5. Bimbingan dan Konseling Dibatasi Hanya untuk Klien-Klien Tertentu Saja

Pelayanan bimbingan dan konseling bukan tersedia dan tertuju hanya untuk klien-klien tertentu saja, tetapi terbuka untuk segenap individu ataupun kelompok yang memerlukannya. Di sekolah misalnya, pelayanan bimbingan dan konseling tersedia dan tertuju untuk semua siswa. Semua siswa mendapat hak dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pelayanan bimbingan dan konseling. Petugas bimbingan dan konseling membuka pintu yang selebar-lebarnya bagi siapa saja siswa yang ingin mendapatkan atau memerlukan pelayanan bambingan dan konseling.

6. Bimbingan dan Konseling Melayani “Orang Sakit” dan/atau “Kurang Normal”

Sebagaimana telah dikemukakan, bimbingan dan konseling tidak melayani “orang sakit” dan “kurang normal”. Bimbingan dan konseling hanya melayani orang-orang normal yang mengalami masalah tertentu. Konselor yang memiliki kemampuan yang tinggi akan mampu mendeteksi dan mempertimbangkan lebih jauh tentang mantap atau kurang mantapnya fungsi-fungsi yang ada pada klien sehingga kliennya itu perlu dikirim kepada dokter atau psikiater.


(58)

43

Pelayanan bimbingan dan konseling bukanlah proses yang terisolasi,melainkan proses yang bekerja sendiri sarat dengan unsur-unsur budaya, sosial dan lingkungan. Oleh karenanya pelayanan bimbingan dan konseling tidak mungkin menyendiri. Konselor harus pandai menjalin hubungan kerja sama yang saling mengerti dan saling menunjang demi terbantunya klien yang mengalami masalah itu serta harus bisa memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada dan dapat diadakan untuk kepentingan pemecahan masalah.

8. Konselor Harus Aktif, Sedangkan Pihak Lain Pasif

Sesuai dengan asas kegiatan, di samping konselor yang bertindak sebagai pusat penggerak bimbingan dan konseling, pihak lain pun, terutama klien, harus secara langsung aktif terlibat dalam proses tersebut. Pada dasarnya pelayanan bimbingan dan konseling adalah usaha bersama yang beban kegiatannya tidak semata-mata ditimpakan hanya kepada konselor saja. Jika dilakukan oleh satu pihak saja, dalam hal ini konselor, maka hasilnya akan kurang mantap, tersendat-sendat, atau bahkan tidak berjalan sama sekali.

9. Menganggap Pekerjaan Bimbingan dan Konseling Dapat Dilakukan oleh Siapa Saja

Benarkah pekerjaan bimbingan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja? Jawabannya bisa “benar” atau “tidak”.“Benar”, jika bimbingan dan konseling dianggap sebagai pekerjaan yang mudah dan dapat dilakuakn secara amatiran belaka. “Tidak”, jika bimbingan dan konseling


(59)

dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan, dengan kata lain dilaksanakan secara professional oleh orang-orang yang ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keahliannya itu diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang cukup lama di perguruan tinggi.

10.Pelayanan Bimbingan dan Konseling Berpusat pada Keluhan Pertama Saja

Usaha pemberian bantuan memang diawali dengan melihat gejala-gejala dan keluhan awal yang disampaikan oleh klien. Namun jika pembahasan masalah itu dilanjutkan, didalami, dan dikembangkan, sering kali ternyata masalah yang sebenarnya lebih pelik dibandingkan dengan yang tampak atau disampaikan. Konselor tidak boleh terpukau oleh keluhan atau masalah yang pertama disampaikan oleh klien, tetapi harus mampu menyelami sedalam-dalamnya masalah klien yang sebenarnya.

11.Menyamakan pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter atau psikiater.

Memang dalam hal-hal tertentu terdapat kesamaan antara pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater, yaitu sama-sama menginginkan klien atau pasien terbebas dari penderitaan yang dialaminya, melalui berbagai teknik yang teruji sesuai dengan masing-masing bidang pelayanan, baik dalam mengungkap masalah klien atau pasien, mendiagnosis, melakukan prognosis atau pun penyembuhannya. Dengan demikian pekerjaan bimbingan dan konseling


(60)

45

tidak lah persis sama dengan pekerjaan dokter atau psikiater. Dokter atau psikiater berkerja dengan orang sakit, sedangkan konselor berkerja dengan orang yang normal (sehat namun sedang mengalami masalah). Cara penyembuhan yang dilakukan dokter atau psikiater bersifat reseptual dan pemberian obat, serta teknis medis lainnya, sementara bimbingan dan konseling memberikan cara-cara pemecahan masalah secara konseptual melalui pengubahan orientasi pribadi, penguatan mental / psikis, modifikasi perilaku, teknik-teknik khas bimbingan dan konseling.

12.Menganggap hasil pekerjaan bimbingan dan konseling harus segera dilihat.

Disadari bahwa semua orang menghendaki agar masalah yang dihadapi klien dapat diatasi sesegera mungkin dan hasilnya pun dapat segera dilihat. Namun harapan itu sering kali tidak terkabul, lebih-lebih kalau yang dimaksud dengan cepat itu adalah dalam hitungan detik atau jam. Hasil bimbingan dan konseling tidaklah seperti makan sambal, begitu masuk kemulut akan terasa pedasnya. Hasil bimbingan dan konseling mungkin saja baru dirasakan beberapa hari kemudian, atau bahkan beberapa tahun kemudian. Misalnya siswa yang mengkonsultasi tentang cita-citanya untuk menjadi seorang dokter, mungkin manfaatdari hasil konsultasi akan dirasakannya justru pada saat setelah dia menjadi seorang dokter.


(61)

Cara apa pun yang akan dipakai untuk mengatasi masalah haruslah disesuaikan dengan pribadi klien dan berbagai hal yang terkait dengannya. Tidak ada suatu cara pun yang ampuh untuk semua klien dan semua masalah. Bahkan sering kali terjadi, untuk masalah yang sama pun cara yang dipakai pun berbeda. Masalah yang tampaknya sama setelah dikaji secara mendalam mungkin ternyata hakikatnya berbeda, sehingga diperlukan cara yang berbeda untuk mengatasi. Pada dasarnya, pemakaiaan sesuatu cara tergantung pada pribadi klien, jenis dan sifat masalah, tujuan yang ingin dicapai, kemampuan petugas bimbingan dan konseling dan sarana yang tersedia.

14. Memusatkan usaha bimbingan dan konseling hanya pada penggunaan instrumentasi bimbingan dan konseling (misalnya tes, inventori, angket, dan alat pengungkap lainnya).

Perlu diketahui bahwa perlengkapan dan sarana utama yang pasti ada dan dapat dikembangkan pada diri konselor ialah keterampilan pribadi. Dengan kata lain, ada dan digunakan instrument (tes, inventori, angket, dan sebagainya itu) hanyalah sekadar pembantu. Ketiadaan alat-alat itu tidak boleh mengganggu, menghambat, ataupun melumpuhkan sama sekali usaha pelayanan bimbingan dan konseling. Oleh sebab itu, konselor tidak menjadikan ketiadaan instrument seperti itu sebagai alasan atau dalih untuk mengurangi, apalagi tidak melaksanakan layanan bimbingan dan konseling sama sekali. Petugas bimbingan dan konseling yang baik akan selalu menggunakan apa yang dimiliki secara optimal


(62)

47

sambil terus berusaha mengembangkan sarana-sarana penunjang yang diperlukan.

15. Bimbingan dan konseling dibatasi pada hanya menangani masalah-masalah yang ringan saja.

Ukuran berat-ringanya suatu masalah memang menjadi relative, seringkali masalah seseorang dianggap sepele, namun setelah diselami lebih dalam ternyata masalah itu sangat kompleks dan berat. Begitu pula sebaliknya, suatu masalah dianggap berat namun setelah dipelajari lebih jauh ternyata hanya masalah ringan saja. Terlepas berat ringan yang paling penting bagi konselor adalah berusaha untuk mengatasinya secara cermat dan tuntas. Jika segenap kemampuan konselor sudah dikerahkan namun belum juga menunjukan perbaikan maka konselor seyogyanya mengalihtangankan masalah kepada pihak yang lebih kompeten

Kesalahpahaman-kesalahpahaman tersebut merupakan hal yang bertolak belakang dengan kinerja konselor yang semestinya. Dari kesalahpahaman tersebut, jika dikaitkan dengan penelitian ini persepsi guru bidang studi terhadap kesalahpahaman kinerja konselor di sekolah sangatlah penting dan diperlukan, karena dapat mengetahui sejauh mana pengetahuan guru bidang studi mengenai kinerja konselor yang semestinya, dan dapat pula diketahui seperti apa pandangan guru bidang studi terhadap kesalahpahaman kinerja konselor yang sering terjadi. Ini diharapkan dapat membantu konselor dalam melaksanakan tugas dan peranannya di sekolah. Selain itu, konselor sekolah juga dapat


(63)

mengetahui kekurangan yang dimilikinya, sehingga dalam melaksanakan tugas dan peranannya dapat di tingkatkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selain itu konselor sekolah diharapkan dapat memiliki kinerja yang baik, yaitu dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai seorang tenaga profesional yang memiliki kemampuan, usaha, dan kesempatan dalam melaksanakan pelayanan Bimbingan dan Konseling kepada peserta didik, sehingga dapat dinilai hasil kerjanya yaitu membantu peserta didik secara optimal menjadi pribadi mandiri.

2.6 Kerangka Pemikiran

Pada bagian ini akan dikaji mengenai kerangka peneliti dalam memecahkan masalah yang muncul didalam penelitian ini. Kerangka penelitian ini menjadi dasar bagi peneliti untuk dapat mencapai tujuan yakni mengetahui bagaimana persepsi guru bidang studi terhadap konselor yang difokuskan pada kesalahpahaman kinerja di SMA Negeri se-Kabupaten Purbalingga. Untuk mengetahui seperti apa persepsi terhadap kesalahpahaman kinerja konselor, peneliti menggunakan delapan poin kesalahpahaman menurut Prayitno. Delapan poin tersebut antara lain, Tugas konselor didalam Bimbingan dan konseling disamakan saja dengan atau dipisahkan sama sekali dari pendidikan, Konselor sekolah dianggap sebagai polisi sekolah, bimbingan dan konseling yang dilakukan konselor dianggap semata-mata sebagai proses pemberian nasihat, bimbingan dan konseling dibatasi hanya untuk klien-klien tertentu saja, konselor sekolah


(64)

49

didalam melaksanakan pelayanan bimbingan dan konseling hanya bekerja sendiri, pekerjaan konselor sekolah dapat dilakukan oleh siapa saja, menganggap hasil pekerjaan konselor harus segera dilihat, menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien. Dari kedelapan poin tersebut dapat diketahui tingkat kesalahpahaman kinerja konselor yang dipersepsikan oleh guru bidang studi. Persepsi guru bidang studi ini dapat digali melalui penyerapan terhadap objek, pemahaman terhadap konselor, dan kemudian penilaian atau evaluasi dari guru bidang studi. Kerangka pemikiran tersebut disajikan dalam gambar 2.1 berikut :


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)