Latar Belakang Dr. Hasyim Purba, S.H., M.Hum 4. Dr. M. Eka Putra, S.H., M.Hum

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suatu fenomena sosial yang dinamakan korupsi merupakan realitas perilaku manusia dalam interaksi sosial yang dianggap menyimpang serta membahayakan masyarakat dan negara. Perilaku tersebut dalam segala bentuk dicela oleh masyarakat, bahkan termasuk oleh para koruptor itu sendiri sesuai dengan ungkapan “koruptor teriak koruptor”. Pencelaan masyarakat terhadap korupsi menurut konsepsi yuridis dimanifestasikan dalam rumusan hukum sebagai suatu bentuk tindak pidana yang perlu didekati secara khusus dan diancam dengan pidana yang cukup berat. 1 Korupsi secara etimologisberasal dari bahasa latin yakni corruptio atau corruptus, dan dalam bahasa latin yang lebih tua dipakai istilah corrumpere. Dari bahasa latin itulah turun ke berbagai bahasa bangsa-bangsa di Eropa, seperti Inggris :coruption, corruptr; Perancis : Corruption; dan Belanda : corruptie atau korruptie, yang kemudian turun ke dalam bahasa Indonesia menjadi korupsi. Secara harafiahkorupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral,penyimpangan dari kesucian. 2 Secara sosiologi, korupsi merupakan tindakan disosialisasi, yaitu suatu tindakan yang tidak memperdulikan hubungan-hubungan dalam sistem sosial.Mengabaikan keperdulian sosial merupakan salah satu ciri korupsi. Pelaku 1 Elwi Danil, Korupsi Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 1. 2 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal.4. Universitas Sumatera Utara tidak peduli terhadap hak-hak orang lain, yang dipentingkan adalah hak individunya dapat terpenuhi, meskipun harus mengorbankan kepentingan orang lain. 3 Korupsi di Indonesia dapat dibagi dalam tiga model. Pertama, Corruption by need, artinya kondisi yang membuat orang harus korupsi. Apabila tidak korupsi atau melakukan penyimpangan, maka pelaku korupsi tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.Kedua corruption by greed, artinya korupsi yang memang karena keserakahanketamakan, sekalipun secara ekonomi pelaku krupsi tersebut cukup, tetapi tetap saja melakukan perbuatan korupsi.Ketiga, corruption by chance, artinya korupsi terjadi karena adanya kesempatan. 4 Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, defenisi korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek, tergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan dan demikian pula dalam perspektif hukum, korupsi merupakan konsep hukum yang secara defenitif diatur dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 5 Fenomena korupsi sudah sejak lama ada tetapi baru menarik perhatian dunia sejak berakhirnya perang dunia kedua, dapat dikatakan bahwa korupsi sudah menjadi masalah bangsa dari masa ke masa dalam rentang waktu yang cukup lama.Korupsi juga sudah ada sejak Indonesia belum merdeka, buktinya yang menunjukkan korupsi sudah ada pada jaman penjajahan kolonial dikenal adanya tradisi memberikan upeti 3 Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, Indonesia Lawyer Club, Surabaya, 2010,hal.1. 4 Ibid. 5 Suyatno, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005, hal. 16. Universitas Sumatera Utara oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat.Setelah perang dunia kedua, muncul era baru yakni gejolak korupsi di negara-negara yang sedang berkembang. 6 Korupsi menyebabkan kehancuran lapisan sosial dan hajat hidup orangbanyak serta merupakan pelanggaran hak asasi terhadap jutaan rakyat Indonesia.Korupsi semakin ditindak semakin meluas, bahkan perkembangannya terusmeningkat dari tahun ke tahun.Korpusi semakin terpola dan tersistematis sertaterorganisir, lingkupnya meluas ke seluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintasbatas negara, korupsi secara nasional disepakati tidak saja sebagai kejahatan luar biasa extraordinary crime, tetapi juga kejahatan transnasional. 7 Tindak pidana korupsi dapat dianggap dan dilihat sebagai suatu bentuk kejahatan administrasi yang dapat menghambat usaha-usaha pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat bahkan tindak pidana korupsi juga dapat dilihat sebagai tindakan penyelewengan terhadap kaidah-kaidah hukum dan norma-norma sosial lainnya. Tindak pidana korupsi dalam perspektif hukum pidana tergolong sebagai bentuk kejahatan yang sangat berbahaya baik terhadap masyarakat, maupun terhadap bangsa dan negara. Kerugian keuangan negara dan perekonomian negara adalah akibat nyata yang menjadi dasar pembenaran dilakukannya kriminalisasi terhadap berbagai bentuk perilaku koruptif dalam kebijakan perundang-undangan 6 Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, Solusi Publishing, Jakarta, 2010, hal.5. 7 Marwan Effendy, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Lokakarya, Anti-korupsi bagi Jurnalis, Surabaya, 2007, hal.1. Universitas Sumatera Utara pidana. Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah suatu negara justru merupakan akibat yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya daripada hanya sekedar kerugian dari sudut keuangan dan ekonomi semata. 8 Tindak pidana korupsi disamping dapat merusak mental dan moral bangsa, juga dapat merusak sendi-sendi pemerintahan suatu negara dan akibat paling buruk yang dapat ditimbulkan oleh perilaku koruptif adalah kehancuran eksistensi pemerintahan negara sebagaimana ditunjukkan oleh pengalaman Republik Tiongkok di bawah pemerintahan rezim Kuo Min Tang setelah perang dunia II. Jatuhnya pemerintahan Republik Tiongkok banyak disebabkan karena merajalelanya korupsi di kalangan pejabat pemerintahan, sehingga rezim itu disingkirkan. 9 Korupsi di Indonesia sudah tergolong extra ordinary crimes karena telah merusak, tidak saja keuangan Negara dan potensi ekonomi Negara, tetapi juga telah meluluh lantakkan pilar-pilar sosio budaya, moral, politik, dan tatanan hukum dan keamanan nasional.Korupsi dalam pola pemberantasannya tidak bisa hanya oleh instansi tertentu dan tidak bisa juga dengan pendekatan parsial.Pola pemberantasannya harus dilaksanakan secara konprehensif dan bersama-sama oleh lembaga penegak hukum, lembaga masyarakat dan individu anggota masyarakat. 10 8 Elwi Danil, Op.Cit., hal. 70. 9 Ibid., hal. 71. 10 Ermansjah Djaja, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019PPU-IV2006, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. hal. 12. Universitas Sumatera Utara Korupsi dapat terjadi karena disebabkan beberapa faktor, antara lain : 11 1. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat. 2. Korupsi dapat terjadi karena latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi. 3. Korupsi dapat terjadi karena buruknya manajemen, manajemen yang kurang baik akan menimbulkan kebocoran-kebocoran keuangan yang membawa akibat orang akan mudah melakukan penggelapan keuangan. 12 4. Penyebab korupsi ialah modernisasi, korupsi lebih banyak dijumpai pada masyarakatnegara yang sedang berkembang. Bukti ini menunjukkan bahwa luas perkembangan korupsi berkaitan dengan modernisasi sosial dan arus ekonomi yang cepat. 5. Korupsi dapat terjadi karena faktor ekonomi. Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dijumpai disetiap bidang kehidupan masyarakat baik dibidang ekonomi, hukum, sosial budaya maupun politik.Fakta adanya sejarah membuktikan bahwa hampir setiap negara dihadapkan pada masalah korupsi.Tindak pidana korupsi merupakan permasalahan yang saat ini dirasakan semakin pesat perkembangannya seiring dengan semakin maju 11 Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 12. 12 Ibid., hal. 18. Universitas Sumatera Utara pembangunan suatu bangsa, maka semakin meningkat pula kebutuhan dan mendorong untuk melakukan korupsi yang menimbulkan ketidaksejahteraan. 13 Ketidaksejahteraan tersebut didorong dan diciptakan oleh sistem pemerintahan yang tidak berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, karena masih membiarkan adanya praktek-praktek pemerintahan di mana kekuasaan dijalankan secara sewenang-wenang dan tidak berpihak pada rakyat. Perlu penjabaran lebih rinci secara hukum, agar kewajiban konstitusional tersebut benar-benar dijalankan secara baik, dengan menciptakan praktek-praktek pemerintahan yang terbuka, transparan dan senantiasa bertanggung jawab atas kepentingan masyarakat secara luas, yang titik akhirnya adalah kesejahteraan secara nyata bagi masyarakat luas dengan berpedoman pada prinsip-prinsip keadilan sosial berdasarkan Ketuhanan yang maha esa. 14 Praktik tindak pidana korupsi bisa berlangsung dimanapun, dilembaga negara, lembaga privat, hingga dikehidupan sehari-hari. Untuk itu pemberantasan tindak pidana korupsi memerlukan penanganan dan penanggulangan secara terpadu dengan memfungsikan sistem hukum yang ada misalnya perangkat perundang-undangan dan kelembagaan hukum di dalam sistem peradilan pidana criminal justice system. 15 13 Evi Hartanti, Tindak pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 24. 14 Ridwan, Kebijakan Penegakan Hukum Pidana dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Jurnal Jure Humano, Volume1 No.1, 2009, hal. 74. 15 Barda Nawawi Arief, Pokok-pokok Pikiran Kebijakan Pembaharuan Undang-undang Pemberantasan Korupsi , Puerwakarto, 1999, hal. 29. bahwa dalam rangka pemberantasan dan penanggulangan korupsi kebijakan yang harus diambil bukanlah kebijakan yang pragmentaris, parsial dan represif saja, tetapi harus diarahkan pada upaya meniadakan atau menanggulangi dan memperbaiki keseluruhan kausa dan kondisi yang menjadi faktor kriminogen untuk terjadinya korupsi diperlukan pendekatanstrategi yang integral. Universitas Sumatera Utara Keseriusan pemerintah untuk memberantas dan menanggulangi tindak pidana korupsi dapat dilihat dilahirkannya UUPTPK yang membawa suatu perubahan yang memberikan kepastian hukum, menghilangkan berbagai penafsiraninterpretasi dan perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi. Undang-undang ini mengklasifikasi perbuatan yang dapat dikatakan tindak pidana korupsi. 16 Klasifikasi tindak pidana korupsi diartikan untuk menanggulangi tindak pidana korupsi pada semua sektor terkait keuangan negara maupun perekonomian negara termasuk didalamnyatindak pidana korupsi pada program konpensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak infrastruktur pedesaan, sehingga berpeluang besar untuk dijadikan lahan korupsi di Indonesia. 17 Kasus tindak pidana korupsi di bidang konpensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak infrastruktur pedesaan dapat dideskripsikan dalam penanganan kasus yang dilakukan oleh criminal justice system untuk menerapkan sistem pertanggungjawaban pidana yang didasarkan pada adanya unsur kesalahan fault liability, liability based on fault principle sampai dengan pemidanaan terhadap pelaku yakni tindak pidana korupsi pada pengurangan subsidi bahan bakar minyak infrastruktur pedesaan dengan modus operandi menyediakan bahan dan peralatan yang dibutuhkan Legiman dalam pembangunan perkerasan jalan Desa dan membuat bon-bon fakur pemakaian bahan material. Adapun deskripsi terjadinya tindak pidana korupsi dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut : 16 Muladi, Pembaharuan Hukum Pidana yang Berkualitas Indonesia, UNDIP, Semarang, 1988, hal. 22-23. 17 Dokumen Perkara Bonar Putusan No. 709 PID. B2009 PN. SIM Universitas Sumatera Utara Sesuai kesepakatan dalam dokumen kontrak perjanjian kerjasama operasioanal No.84PKPS BBM-IP2005 tanggal 14 September 2005 antara saksi Legiman sebagai ketua organisasi masyarakat setempat Nagori Sidotani selaku pihak ke-II yang melakukan kerjasama operasional dengan terdakwa Bonar Zeitsel Ambarita direktur CV Bona Lestari pengusaha pengadaan bahanperalatan selaku pihak ke-III. Bonar selaku direktur CV Bona Lestrari melakukan penyediaan bahan dan peralatan yang dibutuhkan oleh saksi Legiman di alokasi pekerjaan seperti : pipa air minum, mesin pompa, batu pecah, batu padas, batu bata, semen, pasir, besi beton, aspal, seng, kayu, mesin gilas, dumptruk, graider, excavator, traktor, buldozer, dan material beserta peralatan lain yang dibutuhkan. Bersamaan dengan menyerahkan segala dokumen pendukungbukti pengadaan atau penyediaan bahanperalatan dari pihak ke-II serta pembayaran harga bahanperalatan didasarkan kepada berita acara pemeriksaan atau bukti serah terima bahanperalatan dan pembayarannya bersumber dari Dana PKPS BBM IP DesaNagori Sidotani dengan jangka waktu pelaksanaan pengadaan bahanperalatan sejak tanggal 12 September 2005 sampai dengan 12 Desember 2005. Berdasarkan Surat Perjanjian Kerjasama Operasional KSO No. 84PKPS BBM-IP2005 tersebut terdakwa Bonar Zeitsel Ambarita meminta buku tabungan Dana PKPS BBM IP DesaNagori Sidotani kepada saksi Legiman sebagai jaminan. Selanjutnya dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut terdakwa Bonar Zeitsel Ambarita mendahulukan penyediaan bahan- bahan, material yang diperlukan serta membayarkan upah pekerja dalam pelaksanaan kegiatan Pembangunan. Universitas Sumatera Utara Pembangunan di Nagori Sidotani dengan dana yang bersumber dari Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Infrastruktur Pedesaan PKPS BBM-IP T.A 2005 dengan cara melibatkan warga masyakarat Nagori Sidotani dengan dikoordinir oleh para GamotKepala Dusun masing-masing Huta di Nagori Sidotani swakelola.Setelah penandatanganan surat Perjanjian Kerjasama Operasional KSO tersebut terdakwa Bonarlangsung mengantarkan bahan material dimasing-masing huta sesuai dengan peta lokasi kegiatan pembangunan perkerasan jalan DesaNagori Sidotani dengan membuat tanda terima penyerahan bahan material dari CV Bona Lestari dengan para Gamot masing-masing huta. Bonar selaku direktur CV Bona Lestari mengeluarkan beberapa faktur-faktur dan tanda terima barang tanpa diketahui oleh saksi Legiman dan tercatat dalam buku catatan harian tentang jumlah bahan material yang telah diterima dilokasi kegiatan dalam pembangunan perkerasan jalan DesaNagori Sidotani tersebut. Bonar membuat bon-bon faktur pemakaian bahan material berupa batu padas, pasir dan semen seolah-olah bon-bon faktur tersebut telah dipergunakan sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan hal ini bertentangan dengan surat perjanjian rincian-rincian bon- bon faktur tersebut. Berdasarkan perbuatan terdakwa Bonar Zeitsel Ambarita memperkaya diri sendiri dengan cara mengeluarkan bon-bon faktur yang tidak sesuai dengan keadaan yang terpasang dilapangan mengakibatkan terjadi kerugian Negara sebesar Rp. 106.458.556,46 seratus enam juta empat ratus lima puluh delapan ribu lima ratus lima puluh enam rupiah koma empat puluh enam sen. Kerugian tersebut sesuai Universitas Sumatera Utara dengan hasil perhitungan kerugian keuangan negara oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan BPKP Perwakilan Propinsi Sumatera Utara yang dituangkan dalam surat No. R-3280PW0252007, tanggal 30 Oktober 2007 tentang laporan hasil perhitungan kerugian Keuangan Negara atas dugaan tindak pidana korupsi kegiatan PKPS BBM-IP di Kabupaten Simalungun Tahun Anggaran 2005. Kerugian tersebut terjadi karena di dalam kegiatan pembangunan di Nagori Sidotani tersebut ditemukan adanya kekurangan fisik lapangan yang tidak dikerjakan sebesar Rp. 7.148.566,46 tujuh juta seratus empat puluh delapan ribu lima ratus enam puluh enam rupiah koma empat puluh enam sen dan adanya kelebihan pemakaian bahan sebesar Rp. 99.310.000,00 sembilan puluh sembilan juta tiga ratus sepuluh ribu rupiah. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 709 PID.B2009 PN.SIM terdakwa Bonar terbukti bersalah melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan subsidair yakni korupsi secara bersama sebagaimana diancam dalam Pasal 3 Jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan terhadap putusan Pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Simalungun tersebut dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 50PID2011PT- MDNdan Putusan MA No. 2093 KPid.Sus2011. Berdasarkan fakta-fakta persidangan menyangkut dakwaan primair dinyatakan oleh Majelis Hakim tidak terbukti sebagaimana diancam dengan Pasal 2 ayat 1 Jo. Pasal 18 UUPTPK Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Alasan Universitas Sumatera Utara pertimbangan Majelis Hakim yaitu unsur memperkaya diri sendiri atau oranga lain atau suatu korporasi tidak terpenuhi, walaupun menurut jaksa penuntut umum unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain telah terpenuhi sehingga seharusnya dakwaan primair yang terbukti bukan dakwaan subsidair. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, akan dikaji mengenai Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi Pada Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan Studi Putusan MA No. 2093 K Pid. Sus 2011.

B. Perumusan Masalah

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

1 140 155

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum Di Dalam Kuhp (Studi Putusan Ma No. 1914/K/Pid/2012)

2 116 124

Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan Oleh CV Pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Kota Binjai (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tipikor Nomor 05/Pid.Sus K/2011/PN Medan)

7 61 152

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan MA No. 1384 K/PID/2005)

1 65 124

Pertanggungjawaban Pidana Dokter (Studi Putusan Makamah Agaung Nomor 365 K/Pid/2012)

4 78 145

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

3 98 139

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

0 0 52

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

0 1 26

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

0 0 13