Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana

disebut mala in se artinya perbuatan tersebut merupakan perbuatan jahat karena sifat perbuatan tersebut memang jahat. Pelanggaran adalah perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat baru disadari sebagai perbuatan pidana, karena undang-undang merumuskannya sebagai delik. Perbuatan ini dianggap sebagai tindak pidana oleh masyarakat oleh karena undang-undang mengancamnya dengan sanksi pidana. Perbuatan pidana jenis ini disebut juga dengan istilah mala prohibita. 71 Jenis perbuatan pidana dibedakan atas delik komisi commission act dan delik omisi ommisison act. Delik komisi adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan yaitu berbuat sesuatu yang dilarang, misalnya melakukan pencurian. Delik omisi adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah yaitu tidak berbuat sesuatu yang diperintah, misalnya tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan. 72

B. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana

Perbuatan pidana juga dibedakan atas perbuatan pidana kesengajaan delik dolus dan kealpaan delik culpa. Delik dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan, sedangkan delik culpaadalah delik yang memuat unsur kealpaan. Perbuatan pidana dibedakan lagi menjadi delik aduan dan delik biasa. Delik aduan adalah perbuatan pidana yang penuntutannya hanya dilakukan jika ada pengaduan dari pihak yang terkena atau yang dirugikan, sedangkan delik biasa adalah delik yang tidak mempersyaratkan adanya pengaduan untuk penuntutannya seperti pembunuhan. 71 Mahrus Ali, Op.Cit., hal. 102. 72 Ibid. Universitas Sumatera Utara Berbicara mengenai perbuatan apa yang dilarang dan siapa pelaku yang bertanggung jawab merupakan persoalan yang terus menerus dibicarakan dikalangan para ahli hukum. Tindak pidana atau strafbaarfeit merupakan suatu perbuatan yang mengandung unsur perbuatan yang dapat dipidana dan pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana atau toerekenbaardheidcriminal responsibility merujuk kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak. Pertanggungjawaban itu sendiri adalah diteruskannya celaan yang obyektif yang ada pada tindak pidana dan untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya haruslah memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan undang-undang. Seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan tersebut apabila dalam tindakan itu terdapatnya melawan hukum serta tidak ada alasan pemaaf. 73 Pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan kelakuan yang dapat dipidana. Berdasarkan kejiwaan itu pelaku dapat dicela karena kelakuannya. Kesalahan ditempatkan sebagai faktor yang menentukan dalam pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak pidana. 74 73 Mahmud Mulyadi, dan Ferri A. Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, PT. Sofmedia, Jakarta, 2010, hal. 34. 74 Ibid., hal. 35. Konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seseorang pembuat tindak pidana. Universitas Sumatera Utara Penentuan pertanggungjawaban pidana bukan hanya dilakukan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi juga kepentingan pembuatnya itu sendiri. Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan. Pertanggungjawaban pidana bukan hanya berarti rightfully sentences melainkan rightfully accused. Pertanggungjawaban pidana pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan tindak pidana dan menghubungkan antara keadaan pembuat dengan perbuatan dan sanksi yang sepatutnya dijatuhkan. 75 Pengertian perbuatan pidana tidak termasuk dalam pengertian pertanggungjawaban pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman pidana. Seseorang yang melakukan perbuatan kemudian juga dijatuhi pidana, tergantung kepada apakah dalam melakukan perbuatan itu orang tersebut memiliki kesalahan. Hal ini disebabkan asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana yaitu tidak dipidana jika tidak ada kesalahan Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sist rea. Pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar dinamakan leer van het materiele feit. 76 75 Ibid., hal. 36. 76 Moeljatno, Op.Cit., hal. 165. Universitas Sumatera Utara Konsep pertanggungjawaban merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan mens rea. Doktrin ini dilandaskan kepada suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Doktrin tersebut dalam bahasa Inggris dirumuskan dengan “an act does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy”. Berdasarkan asas tersebut, ada dua unsur syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang yaitu perbuatan lahiriah yang terlarang atau perbuatan pidana actus reus dan ada sikap batin jahat mens rea. 77 Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang obyektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya tersebut. Dasar adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Seseorang yang melakukan perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. 78 Orang yang dapat dituntut dimuka pengadilan dan dijatuhi pidana, haruslah melakukan tindak pidana dengan adanya kesalahan. Kesalahan dapat dibedakan menjadi 3 tiga yaitu 79 Bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada : a. Kemampuan bertanggungjawab; 80 77 Mahrus Ali, Op.Cit., hal. 155-156. 78 Ibid. 79 Tri Andrisman, Asas-Asas dan Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2009, hal. 91. : Universitas Sumatera Utara 1 Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum faktor akal; 2 Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi faktor perasaankehendak. Ada dua faktor untuk menentukan adanya kemampuan bertanggungjawab yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Faktor akal yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Faktor kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas sesuatu yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. 81 Sengaja atau dolus dapat dirumuskan sebagai melaksanakan suatu perbuatan yang didorong oleh suatu keinginan untuk berbuat atau bertindak. Kesengajaan dolus adalah merupakan bagian dari kesalahan schuld. Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu tindakan dibandingkan dengan culpa, karena ancaman pidana pada suatu delik jauh lebih berat apabila Seseorang yang tidak mampu bertanggung jawab dan karenanya dipandang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, maka proses pertanggungjawabannya berhenti. Orang tersebut hanya dapat dkenakan tindakan tetapi tidak dapat dikenakan pidana. b. Sengaja dolusopzet dan lalai culpaalpa; 80 Mahrus Ali, Op.Cit., hal. 171. 81 Ibid. Universitas Sumatera Utara dilakukan dengan sengaja dibandingkan dengan apabila dilakukan dengan kealpaan. 82 Sedangkan, culpa diartikan sebagai suatu macam kesalahan sebagai akibat kurang berhati-hati sehingga secara tidak disengaja sesuatu terjadi. 83 Kesengajaan dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu 84 1 Sengaja sebagai maksud opzet als oogmerk; : Bentuk sengaja sebagai maksud adalah bentuk yang paling sederhana, seperti yang dikemukakan oleh Vos, yang mengatakan sengaja sebagai maksud apabila pembuat menghendaki akibat perbuatannya. Pelaku tidak pernah melakukan perbuatannya apabila pelaku tidak mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak akan terjadi. Contohnya apabila seseorang menembak orang lain dengan senjata yang ditujukan kearah jantung atau kepala, maka dapat disimpulkan bahwa pelaku berbuat dengan sengaja sebagai maksud menghilangkan nyawa orang tersebut. 2 Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian opzet met bewustheid van zekerheid of noodzakelijkheid; Bentuk kesengajaan dengan kesadaran tentang kepastian diberikan contoh yang sangat terkenal, yaitu kasus Thomas van Bremerhaven. Thomas van Bremerhaven berlayar ke Sou-thamton dan meminta asuransi yang sangat tinggi di sana. Thomas memasang dinamit, supaya kapal itu tenggelam dilaut lepas. Motifnya ialah menerima uang asuransi. Kesengajaannya ialah menenggelamkan kapal itu. 82 S.R. Sianturi, Op. Cit., hal. 164. 83 C. S. T. Kansil, Op.Cit., hal. 53. 84 Andi Hamzah, Op.Cit., hal. 93-95. Universitas Sumatera Utara Sengaja dengan kepastian terjadi itu pembuat yakni bahwa akibat yang dimaksudkannya tidak akan tercapai tanpa terjadinya akibat yang tidak dimaksud. Penenggelaman kapal itu sebagai maksud tidak akan terjadi tanpa matinya para penumpang. Kematian penumpang merupakan kepastian terjadi jika kapal ditenggelamkan dengan dinamit di laut lepas. 3 Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi opzet met waarschijnlijkheidsbewustzijn. Sengaja dengan kemungkinan sekali atau sengaja dengan kemungkinan terjadi atau sengaja bersyarat atau dolus eventualis terjadi, jika pembuat tetap melakukan yang dikehendakinya walaupun ada kemungkinan akibat lain yang sama sekali tidak diinginkannya terjadi. Sengaja dengan kemungkinan terjadi atau sengaja bersyarat sangat tipis bedanya dengan kesalahan yang disadari bewusteschuld. c. Tidak ada alasan pemaaf; Alasan penghapus kesalahan atau alasan pemaaf dalam hukum pidana antara lain daya paksa overmacht, 85 85 Undang-undang No. 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-undang hukum Pidana KUHP, Pasal 48 KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum”. pembelaan terpaksa yang melampaui batas noodweer Universitas Sumatera Utara ekses, 86 dan pelaksanaan perintah jabatan tanpa wewenang yang didasari oleh itikad baik. 87 Pertanggungjawaban pidana merupakan pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Bahwa yang dipertanggungjawabkan orang tersebut ialah tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pada hakikatnya, hal ini merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu. 88 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, menyebutkan bahwa pertanggungjawaban pidana pada perkara tindak pidana korupsi yaitu 89 86 Ibid., Pasal 49 yang berbunyi: 1 Barangsiapa melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, daripada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga tidak boleh dihukum. 2 Melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbuatan itu dengan sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan tergoncang dengan segera pada saat itu juga tidak boleh dihukum. 87 Ibid., Pasal 51 yang berbunyi: 1 Barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu, tidak boleh dihukum. 2 Perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa tidak berhak tidak membebaskan dari hukuman, kecuali jika pegawai yang dibawahnya atas kepercayaannya memandang bahwa perintah itu seakan-akan diberikan kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu menjadi kewajiban pegawai yang dibawah perintah itu. Mahrus Ali, Op.Cit., hal. 181. 88 Andi Hamzah, Loc.Cit. : 89 http:agusthutabarat.wordpress.com20091106tindak-pidana-korupsi-di-indonesia- tinjauan-uu-no-31-tahun-1999-jo-uu-no-20-tahun-2001-tentang-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi diakses pada tanggal 20 Oktober 2014. Universitas Sumatera Utara 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 2. Pegawai Negeri adalah meliputi : a. Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang kepegawaian; b. Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang- undang HukumPidana; c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. 3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi. Roeslan Saleh menyatakan bahwa dalam membicarakan tentang pertanggungjawaban pidana tidaklah dapat dilepaskan dari satu dua aspek yang harus dilihat dengan pandangan-pandangan falsafah. Satu diantaranya adalah keadilan, sehingga pembicaraan tentang pertanggungjawaban pidana akan memberikan kontur yang lebih jelas. Pertanggungjawaban pidana sebagai soal hukum pidana terjalin dengan keadilan sebagai soal filsafat. 90 90 Ruslan Saleh, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta, 1982, hal. 10. Universitas Sumatera Utara Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang. Tindakan yang terlarang diharuskan jika dilihat dari sudut terjadinya, maka seseorang akan bertanggung jawab atas tindakan-tindakan tersebut yang apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum dan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau rechtsvaardigingsgrond atau alasan pembenar untuk itu. Hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggung jawabkan tindak pidannya apabila dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab. 91 Syarat untuk penjatuhan pidana ialah orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan sehingga orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Kesalahan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memidana seseorang. Tanpa hal tersebut, pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada. Istilah tersebut dikenal dalam hukum pidana yaitu asas tiada pidana tanpa kesalahan geen straf zonder schuld. 92 Kesalahan dalam arti seluas-luasnya dapat disamakan dengan pengertian pertangungjawaban dalam hukum pidana. Makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Seseorang yang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, oleh karena itu, ia dapat dicela atas perbuatanya. 93 91 Kanter E.Y dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002. hal. 249 92 Mahrus Ali, Op.Cit., hal. 157. 93 Tri Andrisman, Asas-Asas dan Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2009. hal. 95 Universitas Sumatera Utara Menurut Simon, sebagai dasar dari pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dan hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana, dan berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela. Adanya kesalahan pada pelaku ditentukan oleh beberapa hal, yaitu kemampuan bertanggungjawab, hubungan kejiwaan antara pelaku, kelakuan dan akibat yang ditimbulkan dan dolus atau culpa. 94 Pompe membahas mengenai unsur kesalahan yang mengatakan bahwa dilihat dari kehendak, kesalahan itu merupakan bagian dari kehendak pelaku, sedangkan sifat melawan hukum merupakan bagian luar dari padanya.Kesalahan merupakan kelakuan yang bertentangan dengan hukum.Pompe membagi menjadi tiga 3 ciri-ciri yaitu 95 Sifat melawan hukum adalah mengenai perbuatan yang abnormal secara objektif.Melawan hukum sebagai yang kita maksud dengan melawan hukum materil.Melawan hukum formil diartikan bertentangan dengan undang-undang. kelakuan atau perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesengajaan dolus atau culpa dan kemampuan bertanggungjawab. 96 Menurut Ruslan Saleh, tidaklah ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidak bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut dapat pula dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang 94 S. R. Sianturi, Op. Cit., hal.159. 95 Ibid., hal. 161. 96 Andi Hamzah, Op.Cit., hal. 131. Universitas Sumatera Utara dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidanannya terdakwa maka terdakwa haruslah 97 a. Melakukan perbuatan pidana; : b. Mampu bertanggung jawab; c. Dengan kesengajaan atau kealpaan, dan d. Tidak adanya alasan pemaaf. Keempat unsur tersebut terpenuhi maka orang yang bersangkutan atau pelaku tindak pidana dimaksud dapat dinyatakan mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga ia dapat dipidana. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Crimineel Wetboek Tahun 1809 dicantumkan bahwa sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang. Memorie van Toelichting MvT Menteri Kehakiman sewaktu PengajuanCriminiel Wetboek 1881 yang menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia Tahun 1915, menjelaskan “Sengaja” diartikan “dengan sadar dan kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu”. 98 C. Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 97 Ruslan Saleh, Op.Cit., hal. 75. 98 P.A.F. Lamintang, Op. Cit., hal. 275. Universitas Sumatera Utara 1. Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-undangNomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Perumusan tindak pidana korupsi dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 ada 2 dua sumber yaitu pertama, bersumber dari perumusan pembuat Undang-undang itu sendiri dan kedua, yang ditarik dari Pasal-pasal KUHP yaitu sebanyak 13 tiga belas Pasal, sehingga dengan demikian sebagian besar perumusan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-undang tersebut adalah bersumber dari KUHP. Pasal tindak pidana korupsi yang bersumber dari KUHP tersebut yaitu : Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425 dan Pasal 435 KUHP. 99 Tindak pidana korupsi pada mulanya hanya dipahami orang sebagai suatu bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang berhubungan dengan pemerintahan.Korupsi jika dilihat dari sudut itu maka hanya dianggap sebagai penyimpangan dari norma- norma yang berlaku bagi orang yang menjabat suatu jabatan di lingkungan pemerintahan. Esensinya terletak di satu pihak pada penggunaan kekuasaan atau wewenang yang terkandung dalam suatu jabatan, dan di lain pihak terdapat unsur keuntungan, baik berupa uang ataupun bukun. 100 J.S. Nye dalam artikelnya “Corruption and Political Development: A Cost Benefit Analysis”, mendeskripsikan perilaku korupsi sebagai perilaku menyimpang 99 Repository.unand.ac.id17451SATRIA_abdi_03211042,diakses tanggal : 08-07- 2014. 100 Elwi Danil, Op.Cit., hal. 101. Universitas Sumatera Utara dari tugas yang normal dalam pemerintahan karena pertimbangan pribadi keluarga, sahabat pribadi dekat, kebutuhan uang atau pencapaian status atau melanggar peraturan dengan melakukan tindakan yang memanfaatkan pengaruh pribadi dan tindakan itu termasuk perilaku penyuapan penggunaan hadiah untuk menyimpangkan keputusan seseorang dalam posisi mengemban amanah, nepotisme menggunakan perlindungan oleh seseorang yang mempunyai hubungan darah atau keturunan daripada berdasar kinerja, dan penyalahgunaan penggunaan secara tidak sah sumber daya milik umum untuk manfaat pribadi. 101 Robert Klitgaard menyatakan korupsi muncul dalam banyak bentuk, dan membentang dari soal sepele sampai pada soal yang amat besar yang dapat menyangkut penyalahgunaan instrumen-instrumen kebijakan seperti soal tarif, pajak, kredit, sistem irigasi, kebijakan perumahan, penegakan hukum, peraturan menyangkut keamanan umum, pelaksanaan kontrak, pengambilan pinjaman, dan sebagainya. Robert Klitgaard juga menegaskan bahwa korupsi itu dapat terjadi tidak Korupsi hanya digambarkan sekedar sebagai suatu gejala politik. Pemahaman seperti itu dapat menimbulkan implikasi hukum, khususnya terhadap cara orang memandang korupsi dalam perspektif hukum pidana, akibatnya tindak pidana korupsi akan dipersepsikan orang sebagai suatu kejahatan yang hanya mungkin dilakukan oleh pemegang kekuasaan pejabat pemerintah dengan kualifikasi pegawai negeri. 101 Ibid., hal. 102. Universitas Sumatera Utara saja di sektor pemerintahan tetapi juga dapat terjadi sektor swasta, bahkan sering terjadi sekaligus di kedua sektor tersebut. 102 Berdasarkan Transparency International, korupsi adalah prilaku pejabat publik, atau para pemain politik atau para pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri, atau memperkaya orang lain yang ada hubungan kedekatan dengan dirinya, dengan cara menyalagunakan kekuasaan publik atau wewenang yang dipercayakan kepada mereka. Definisi ini tegas dan lugas bahwasannya korupsi biasanya dilakukan oleh oknum yang mendapat kesempatan untuk korup, tentu saja mereka yang memiliki kekuasaan, atau kepercayaan publik seperti pejabat birokrat, para dewan wakil rakyat, pimpinan polri, kejaksaan, hakim dan sebangsanya, juga tidak terkecuali para pelayan masyarakat seperti pegawai negeri sipil dan sejenisnya pula. 103 Perilaku serta tindakan tidak wajar atau ilegal secara kasat mata dapat diukur dengan mudah melalui pengamatan fisik berdasarkan pola kehidupan keseharian. Pertama dengan menentukan jenjang kepegawaiannya termasuk golongan berapakah dia, lantas berapa gaji dan tunjangan bulanannya, lalu sesuaikah bentuk rumah megah dan mobil mewah yang dimilikinya. Berdasarkan pengamatan tersebut, jika tidak sebanding, maka indikasi awal perlu dicurigai apakah ia termasuk tikus atau ada sisi sinyalement lain yang perlu dibongkar. Hukum tindak pidana korupsi mengisyaratkan pula penjeratan pada prilaku memperkaya orang lain dengan mempergunakan 102 Robert Klitgaard, “Membasmi Korupsi”, Terjemahan Hermoyo, Yayasan Obor,Jakarta, 1998, hal. 19. 103 Ibnu Santoso, “Memburu Tikus-tikus Otonom”, Gava Media, Yogyakarta, 2011, hal. 7. Universitas Sumatera Utara wewenang atau kekuasaan, sehingga kita jangan salah bahwa ukuran materi bukan satu-satunya indikasi yang mesti di amati, namun modus operandi akan lebih substansi pada akar permasalahan yang hendak kita terjuni. 104 Tindakan korupsi dalam bentuk apapun yang jelas biasanya memiliki ciri-ciri khas, diantaranya sebagai berikut : 105 a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang; b. Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan, kecuali ia telah begitu merajalela, dan begitu mendalam berurat berakar, sehingga individu-individu yang berkuasa atau mereka yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatan mereka; c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik; d. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik pembenaran hukum; e. Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan- keputusan yang tegas, dan meraka yang mampu untuk mempengaruhi keoutusan- keputusan itu; f. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan; g. Korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan; h. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan tindakan itu; i. Korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus.Tindak pidana korupsi apabila dijabarkan mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti penyimpangan hukum acara dan materi yang diatur dimaksudkan untuk menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran terhadap keuangan dan perekonomian negara.Adanya hal-hal tertentu didalam tindak pidana korupsi yang memerlukan penanganan secara khusus, dan 104 Ibid., hal. 8. 105 Syed Hussein Alatas, “Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer”, LP3ES, Jakarta, 1983, hal. 12. Universitas Sumatera Utara menyimpang dari beberapa aturan umum yang terdapat dalam kodifikasi.Undang- undang pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan Peraturan perundang- undangan pidana yang telah memenuhi karakteristik sebagai suatu undang-undang pidana khusus. 106 Konvensi perserikatan bangsa-bangsa PBB Anti Korupsi 2003 United Nations Convention Againts Corruption adalah merupakan landasan hukum yang bersifat universal untuk memerangi praktek korupsi berdasarkan karakteristik tindak pidana korupsi yang menjadi ancaman secara nasional maupun internasional. 107 Karateristik tindak pidana korupsi dapat dilihat dari tipologi tindak pidana korupsi antara lain: murni merugikan keuangan negara, suap, pemerasan, penyerobotan, gratifikasi, percobaan, pembantuan dan permufakatan. Komisi pemberantasan korupsi telah menerbitkan buku saku yang telah mengklasifikasi bentuk dan jenis tindak pidana korupsi ke dalam 30 tiga puluh karakteristik berdasarkan UUPTPK yang dikelompokkan sebagai berikut : pertama, kerugian keuangan negara. Kedua, suap menyuap.Ketiga, penggelapan dalam jabatan.Keempat, pemerasan.Kelima, perbuatan curang.Keenam, benturan kepentingan dalam pengadaan.Ketujuh, gratifikasi. 108 106 Elwi Danil, Op.Cit., hal. 87. 107 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Corruption, 2003 Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Anti Korupsi 2003 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 32 Taun 2006, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4620, mendeskripsikan masalah tindak pidana korupsi sudah merupakan ancaman serius terhadap stabilitas, keamanan masyarakat nasional dan internasional, telah melemahkan institusi, nilai- nilai demokrasi dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan maupun penegakan hukum. 108 Ermansjah Djaja, Op.Cit., hal. 54-55. Universitas Sumatera Utara Karakteristik tindak pidana korupsi mengarah pada perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku yang menentukan suatu perbuatan pidana dapat dipidana strafbarehandeling 109 cenderung diarahkan pada pejabatpegawai negeri deambtenaar dengan maksud met het oogmerk om menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum zich of een ander wederrechtelijk te bevoordelen dengan menyalahgunakan kekuasaannya door misbruik van gezag beshikken. 110 Tindakan tersebut menunjukkan bahwa karakteristik tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crime. Menurut Romli Atmasasmita bahwa : 111 Keseriusan pemerintah untuk memberantas dan menanggulangi tindak pidana korupsi dapat dilihat dari dilahirkannya undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi membawa suatu perubahan yang memberikan kepastian hukum, menghilangkan berbagai penafsiraninterpretasi dan perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi. Undang-undang ini mengklasifikasikan Dengan memperhatikan perkembangan tindak pidana korupsi baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara mandalam, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan merupakan kejahatan biasa ordinary crime melainkan sudah merupakan kejahatan yang laur biasa extra ordinary crimes. Selanjutnya jika dikaji dari sisi akibat atau dampak negatif yang sangat merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia sejak pemerintahan orde baru sampai saat ini jelas bahwa perbuatan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia. 109 O.C Kaligis dan Associates, “Kumpulan Kasus Menarik Jilid 4”, O.C Kaligis dan Associates, jakarta, 2009, hal. 15. Bahwa strafbarehandeling harus dibedakan antara bestanddel delict dengan element delict. 110 P. A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, “Kejahatan Jabatan dan Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi”, Sinar Grafika , Jakarta, 2009, hal. 149. 111 Ermansjah Djaja, Op. Cit., hal. 30. Universitas Sumatera Utara perbuatan yang dapat dilakukan sebagai tindak pidana korupsi, disamping dibentuknya lembaga khusus yang menangani tindak pidana korupsi yakni KPK 112 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang memiliki karakteristik yang secara mendasar membedakannya dengan undang-undang nomor 3 tahun 1971 yang digunakan dalam rangka efektifitas penegakan hukum tindak pidana, sebagai berikut: dengan tidak mengabaikan tugas aparat penegak hukum lainnya dalam bingkai criminal justice system yakni kejaksaan dan kepolisian. 113 a. Tindak pidana korupsi dirumuskan secara formal delik formal bukan delik materil dimana pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus penuntutan pidana terhadap terdakwa; b. Pengaturan tentang korporasi sebagai subjek hukum, disamping perseorangan; c. Pengaturan tentang wilayah berlakunya atau yurisdiksi kriminil yang dapat diperlakukan keluar batas teritorial Indonesia; d. Pengaturan tentang sistem pembuktian terbalik terbatas atau berimbang atau “balanced burden of proof”; e. Pengaturan tentang ancaman pidana dengan minimum khusus, disamping ancaman maksimum; 112 Surachmin dan Suhandi Cahaya, Strategi dan Teknik Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hal.137. 113 Romli Atmasasmita, “Reformasi Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum”, Editor Aman Sembiring Meliala, Agus Takariawan, Mandar Maju, Bandung, 2001, hal. 96. Universitas Sumatera Utara f. Ancaman pidana mati sebagai pemberatan; g. Pengaturan tentang penyidikan gabungan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya di bawah koordinasi Jaksa Agung; h. Pengaturan tentang penyidikan ke dalam rahasia Bank yang lebih luas dengan diawali dengan pembekuan rekening tersangkaterdakwa atau freezing yang dapat dilanjutkan dengan penyitaan; i. Pengaturan tentang peran serta masyarakat sebagai sarana kontrol sosial diperluas sehingga perlindungan hukum terhadap saksi pelapor lebih optimal dan efektif; j. Memuat amanat pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK, yang bersifat independen. Korupsi pada hakikatnya termasuk ke dalam kejahatan ekonomi, hal ini bisa dibandingkan dengan anatomi kejahatan ekonomi sebagai berikut : 114 a. Penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan disguise of purpose or intent; b. Keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si korban reliance upon the ingenuity or carelesneof the victim; c. Penyembunyian pelanggaran concealement of the violation Beberapa pidana yang ditunjuk atau yang terkait di dalam UUPTPK menyangkut pemenuhan rumusan delik yang tidak hanya terfokus pada pemenuhan 114 Barda Nawawi Arief dan Muladi, “Bunga Rampai Hukum Pidana”, Alumni, Bandung, 1992, hal. 56. Universitas Sumatera Utara perumusan delik “yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” namun delik yang ada kaitannya dengan delik jabatan actieve omkoping misalnya dalam hal delik korupsi yang berbentuk penggelapan oleh pegawai negeri atau pejabat yang secara expressis verbis tercantum unsur sengaja bestanddeel. 115 Pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi lebih luas dari huku m pidana umum, hal ini nyata dalam hal 116 a. Kemungkinan penjatuhan pidana secara in absentia Pasal 23 ayat 1 sampai ayat 4 UUPTPK; : b. Kemungkinan perampasan barang-barang yang telah disita bagi terdakwa yang telah meninggal dunia sebelum ada putusan yang tidak dapat diubah lagi Pasal 23 ayat 5, bahkan kesempatan banding tidak ada; c. Perumusan delik dalam UUPTPK yang sangat luas ruang lingkupnya terutama unsur ketiga pada Pasal 1 ayat 1 sub a dan b UUPTPK; d. Penafsiran kata penggelapan pada delik penggelapan Pasal 415 KUHP oleh yurisprudensi baik di Belanda maupun di Indonesia sangat luas. Tindak pidana korupsi menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 terbagi atas beberapa tipe, diantaranya : 117 115 Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 96. 116 Ibid., hal. 64. 117 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoretis, Praktik dan Masalahnya, PT. Alumni, Bandung, 2007, hal. 78. Universitas Sumatera Utara a. Tindak Pidana Korupsi Tipe Pertama Terdapat dalam ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun1999 menyebutkan bahwa : 1 “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 Empat tahun dan paling lama 20 Dua Puluh tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 Dua Ratus Juta Rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 Satu Milyar Rupiah”. 2 Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat dalam pasal 2 ayat 1 merupakan delik formil, maka adanya kerugian negara atau kerugian perekonomian negara tidak harus sudah terjadi.Karena yang dimaksud dengan delik formil adalah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. 118 Dengan demikian, agar seseorang dapat dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi seperti yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat 1, tidak perlu adanya alat-alat bukti untuk membuktikan bahwa memang telah terjadi kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. 119 b. Tindak Pidana Korupsi Tipe Kedua Diatur dalam ketetuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, yaitu : 118 R. Wiyono,Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 27. 119 Ibid. Universitas Sumatera Utara “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 satu milyar rupiah. Unsur-unsur dari pasal tersebut ialah dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, perbuatan tersebut menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, serta perbuatan tersebut dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Hakikatnya korupsi tipe kedua ditetapkan kepada pegawai negeri. Unsur perbuatan tersebut menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, bahwa jika ditinjau dari aspek pembuktian dapat lebih mudah dibuktikan jaksa penuntut umum karena unsur menguntungkan tidak memerlukan dimensi apakah tersangka terdakwa menjadi kaya atau bertambah kaya karenanya lain dengan aspek memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi sebagaimana pasal 2 Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 relatif lebih sulit membuktikannya. Bahwa istilah menguntungkan membuat tersangka terdakwa memperoleh aspek materiil sehingga dapat dilakukan dengan cara korupsi, kolusi, nepotisme. Kata “dapat” dalam unsur perbuatan tersebut dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara menentukan jaksa penuntut umum tidak harus membuktikan adanya unsur kerugian keuangan negara perekonomian negara karena tindak pidana korupsi merupakan delik formil. Universitas Sumatera Utara c. Tindak Pidana Korupsi Tipe Ketiga Terdapat dalam ketentuan Pasal 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang merupakan pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang ditarik menjadi Tindak Pidana Korupsi. Apabila dikelompokkan, korupsi tipe ketiga ini dapat dibagi menjadi 4 pengelompokkan yaitu : 1 Penarikan perbuatan yang bersifat penyuapan, yakni Pasal 209, 210, 418, 419, dan 420 KUHP; 1 Penarikan perbuatan yang bersifat penggelapan, yakni Pasal 415, 416 dan 417 KUHP; 2 Penarikan perbuatan yang bersifat kerakusan knevelarij, Extortion, yakni Pasal 423, 425 KUHP; 3 Penarikan perbuatan yang berkorelasi dengan pemborongan, leverensir, dan rekanan, yakni Pasal 387, 388, dan 435 KUHP. d. Tindak Pidana Korupsi Tipe Keempat Pengertian tindak pidana korupsi tipe keempat adalah tipe korupsi percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat serta pemberian kesempatan, sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan orang di luar wilayah Indonesia Pasal 15 dan 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. e. Tindak Pidana Korupsi Tipe Kelima Pengertian tindak pidana korupsi tipe kelima ini bukanlah bersifat murni tindak pidana korupsi, tetapi tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana Universitas Sumatera Utara korupsi sebagaimana diatur dalam Bab III Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999.

2. Pertanggungjawaban Pidana Korupsi Berdasarkan Unsur Memperkaya Diri Sendiri

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

1 140 155

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum Di Dalam Kuhp (Studi Putusan Ma No. 1914/K/Pid/2012)

2 116 124

Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan Oleh CV Pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Kota Binjai (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tipikor Nomor 05/Pid.Sus K/2011/PN Medan)

7 61 152

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan MA No. 1384 K/PID/2005)

1 65 124

Pertanggungjawaban Pidana Dokter (Studi Putusan Makamah Agaung Nomor 365 K/Pid/2012)

4 78 145

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

3 98 139

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

0 0 52

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

0 1 26

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

0 0 13