Universitas Sumatera Utara
Selama penelitian, peneliti mengalami beberapa kesulitan. Pada awalnya, beberapa orang tua menolak untuk di wawancara, dan tidak mengizinkan anak nya dijadikan sebagai
subjek penelitian. Setelah menemukan subjek penelitian yang sesuai dan orang tua anak tersebut juga sudah menyetujui, hambatan selanjutnya adalah kesulitan untuk melakukan
wawancara langsung dengan orang tua karena kesibukannya, sehingga wawancara harus dibatalkan beberapa kali, dan membuat janji ulang dengan orang tua dari anak tersebut.
Pendekatan dengan informan dilakukan selama proses wawancara antara peneliti dan informan sesuai pedoman wawancara yang telah ditentukan. Setelah wawancara selesai
dilakukan, selanjutnya peneliti melakukan analisis data, dimana peneliti menguraikan hasil wawancara terhadap informan penelitian dan selanjutkan melakukan reduksi data. Pada tahap
ini, peneliti merangkum, memilih hal-hal pokok dan memfokuskan pada hal-hal penting sesuai penelitian. Lalu peneliti melakukan penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Informan dalam penelitian ini melakukan komunikasi antarpribadi dengan anak penderta autisme dengan cara penyesuaian yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan anak
tersebut.Komunikasi antarpribadi merupakan salah satu bentuk komunikasi yang dilakukan informan untuk membantu anak penderita autisme agar kemampuan komunikasinya dapat
lebih berkembang . Berikut hasil wawancara peneliti dengan keempat keluarga yang menjadi informan:
4.3 Komunikasi Antarpribadi Pada Anak Penderita Autisme
4.3.1 ANAK PENDERITA AUTISME I : ZA
Nama :
ZA Tempat Tgl Lahir
: Medan, 20 Oktober 2008
Nama Ayah Ibu :
AF DW Kriteria Autisme
: Autisme Murni
Jika dilihat sekilas, tidak ada perbedaan ZA dengan anak berumur 6 tahun lainnya, secara fisik ZA lengkap dan juga sehat. Setelah diperhatikan secara seksama barulah bisa
dilihat bahwa ZA merupakan anak dengan gangguan autistik murni, yang berarti ZA sama sekali tidak bisa berkomunikasi dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Orang tua ZA yang berprofesi sebagai pengusaha dan guru pada awalnya tidak merasakan keanehan pada ZA saat masih bayi. Karena masih bayi, ZA yang terus menerus
menangis dianggap suatu hal yang biasa oleh orang tua-nya. Keanehan mulai dirasakan orang tua ZA pada saat ZA berusia 2 tahun, ZA terus menangis karena hal yang tidak jelas, ZA juga
menangis dan berteriak saat melihat dan berada di dekat orang baru, ZA tidak mau melakukan kontak mata, tidak mau bermain dengan kakaknya, bahkan ZA terkadang tidak
mau dipegang oleh orang tua-nya sendiri. Keadaan ZA yang seperti ini sempat dibiarkan beberapa lama oleh orang tua-nya karena orang tua ZA percaya bahwa keanehan ini
merupakan hal yang wajar, dan akan hilang pada sendirinya. Sampai akhirnya pada usia 3 tahun, ZA di bawa ke dokter anak oleh orang tua-nya, dan diberitahu bahwa ZA menderita
austime dan harus segera ditangani. Atas saran dokter dan beberapa kerabat, ZA akhirnya dibawa untuk bersekolah di YAKARI.
Selama bersekolah di YAKARI sudah banyak perkembangan dalam hal komunikasi yang terjadi pada ZA. Seperti saat peneliti melakukan pengamatan, meskipun tidak
melakukan komunikasi dan hanya melihat ke arah peneliti beberapa kali, ZA tidak lagi merasa terganggu dan menangis saat berada di dekat orang baru. Saat guru pendamping
mengucapkan salam selamat pagi, ZA sudah bisa menjawab kembali salam tersebut, namun tanpa melakukan kontak mata. Begitu pun saat ditanyai nama dan umurnya, guru pendamping
harus bertanya beberapa kali, karena fokus ZA terbagi antara menjawab pertanyaan dan pensil berwarna yang dipegangnya.
Saat proses belajar mengajar berlangsung, ZA terlihat tidak bisa fokus pada satu hal dalam waktu yang lama. Seperti saat disuruh menyebutkan warna-warna yang ada di buku,
ZA hanya bisa menyebutkan sampai warna ke dua, setelah itu ZA melihat ke kiri dan ke kanan, lalu mengulang-ulang kata “hijau” beberapa kali. Disaat seperti ini, guru pendamping
harus kembali memanggil nama ZA beberapa kali, dan menyuruh ZA kembali melanjutkan warna selanjutnya.
Saat peneliti melakukan pengamatan, ZA sempat menangis karena tidak mau duduk di bangku, guru pendamping harus menjelaskan kepada ZA beberapa kali bahwa selama berada
di kelas ZA harus duduk di bangku, dan membujuk ZA dengan mengatakan bahwa anak yang baik dan pintar seharusnya duduk di bangku saat belajar. Setelah beberapa lama akhirnya ZA
menurut dan mau duduk di bangku, meskipun sesekali berdiri dan berjalan-jalan, dan saat ZA kembali duduk ZA diberi hadiah berupa pujian.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Perkembangan yang ditunjukkan ZA tidak hanya dalam bentuk komunikasi verbal, tetapi juga dalam komunikasi non-verbal. ZA dulunya tidak mau di sentuh, bahkan dalam
beberapa kejadian ZA juga tidak mau disentuh oleh orang tua-nya sendiri. Saat peneliti melakukan pengamatan, ZA terlihat beberapa kali memegang tangan guru pendampingnya,
bahkan dalam beberapa kesempatan, seperti saat dipuji ZA memeluk guru pendampingnya.
A. Komunikasi Antarpribadi pada ZA dan Guru Pedamping MR
MR merupakan salah satu guru pendamping bagi anak penderita autisme di sekolah khusus autisme YAKARI. MR sudah merasakan ketertarikan di bidang pengajaran untuk
anak berkebutuhan khusus semenjak berada di bangku kuliah. Setelah lulus dari fakultas psikologi di salah satu perguruan tinggi swasta di Medan tahun 2007, MR langsung melamar
pekerjaan di berbagai sekolah untuk anak berkebutuhan khusus di daerah Sumatera Utara, dan akhirnya mulai bergabung dengan YAKARI di tahun 2009.
Selama mengajar di YAKARI, MR mengakui bahwa ZA merupakan salah satu murid yang susah untuk di dampingi. Pada awalnya, ZA yang merupakan anak penderita autisme
murni sama sekali tidak mau berkomunikasi dengan MR dan hanya menangis terus. Sesuai dengan prosedur yang ada, MR harus melakukan observasi terlebih dahulu selama seminggu,
untuk melihat karakter ZA, lalu memutuskan bagaimana cara yang tepat untuk mendekati dan mengajari ZA. Setelah di lakukan observasi, MR memutuskan bahwa ZA adalah anak yang
harus di ajar dengan tegas, dan untuk mendekati-nya MR mencoba untuk masuk ke dunia ZA dan mencoba untuk mengerti bagaimana keadan-nya.
“Dengan ZA pun gitu dek, setelah di lihat hasil observasi nya ternyata dia tipe anak yang kita harus tegas sama dia, jadi kakak pelan-pelan panggil nama dia, baru dia
diam aja kan, di situ kakak kasi tau lah kalau orang panggil nama kamu, kamu harus jawab “apa” ya, gitu. Jadi ya kakak dekati dia pelan-pelan, kakak coba masuk ke
dunia dia, kakak coba mengerti dia gimana”
MR juga mengungkapkan bahwa ZA merupakan anak yang sangat manja, bahkan mau menyakiti dirinya sendiri saat keinginannya tidak di penuhi dan seperti anak autis lainnya ZA
juga mengalami kesulitan untuk membedakan tingkatan umur seseorang, hal ini lah yang membuat MR harus bersikap tegas dalam mengajari ZA, agar mereka bisa saling menghargai
dalam proses belajar mengajar.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
“ ZA itu anak yang terlalu manja dek, jadi semua kemauan dia harus diikuti gitu, kalau ngga dia nangis, menjerit, jambak rambut sendiri bahkan mau mengantukkan
kepalanya ke dinding. Selama kk di sini, ZA termasuk anak yang susah lah dek buat di dekatin. Di sentuh pun dia ga suka kemarin itu. Jadi, kalau sama ZA kita harus tegas,
karena dia itu kalau kita ikut-ikut kan terus kemauannya dia bakalan ngelunjak dek dan ya jadinya ga berkembang lah. Anak autis kan ga tau dek apakah kita itu lebih
tua dari dia atau guru dia, jadi dia ngeliat kita semua ini sama aja. Jadi ZA pun gitu, kakak harus menegaskan, kakak ini lebih tua dari dia, jadi dia harus menghargai
kakak, karena kakak pun juga mau melakukan yang baik sama dia, kakak pun menghargai dia ”
MR sempat merasa gagal untuk mendekati ZA, karena setelah hampir dua bulan berada di bawah pendampingannya ZA tetap tidak mau memulai komunikasi dengan MR.
Meskipun sudah tidak menangis lagi, ZA tetap belum mau untuk menjawab sapaan dan pertanyaan MR. MR yang dari awal sudah berniat untuk membantu ZA memutuskan untuk
tetap berusaha sekeras apa pun agar ZA setidaknya bisa menerima dan beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. MR merasa jika dirinya sendiri merasa tidak bisa atau tidak sanggup,
bagaimana bisa membantu orang lain untuk menjadi lebih baik seperti yang MR harapkan. “ Kakak berpikir, kalo aku pun ga yakin sama diri ku kan, gimana aku mau bantu dia.
Jadi kakak yakinkan diri kakak dulu kalo kakak pasti bisa membantu dia, dia pasti bisa berkembang. Baru lah kakak berusaha lagi lebih, biar dia bisa seenggaknya
bisa nerima sekitarnya ”
Dan ternyata usaha MR tidak sia-sia, memasuki bulan ke empat, AZ mulai mau berada di kelas tanpa Ibu-nya, dan menjawab sapaan MR meskipun hanya berupa gumaman.
Sikap AZ yang mulai membuka diri membuat MR semakin bersemangat dan yakin bahwa AZ akan bisa berkomunikasi nanti nya.
“Waktu itu kakak senangnya bukan main lah. Kakak langsung semangat lagi buat membantu dia biar bisa lebih bagus lagi. Padahal dia cuma menjawab emmmm
sambil diliatnya kakak sekilas, kalo untuk kita mungkin belum bisa dibilang membuka diri ya dek, tapi untuk kasus mereka ini, apalagi kakak orang baru sama dia, itu udah
hebat kali udah mau dia mengakui kakak disitu gitu karena sebelumnya kayak ga ada kakak disitu dibuatnya ”
Keyakinan dan semangat MR agar ZA bisa berkomunikasi terus berlanjut, dan ZA perlahan-lahan menunjukkan beberapa perkembangan lainnya. Salah satu perkembangan
yang menurut MR sangat mebuat dirinya bangga dan terharu adalah ZA yang sudah mau untuk melakukan kontak fisik, seperti menyentuh, menggenggam bahkan memeluk. Hal ini
dirasakan MR sangat membanggakan karena ZA pada awalnya sama sekali tidak suka di
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
sentuh oleh orang lain, dan dalam beberapa kejadian ZA bahkan tidak mau di sentuh oleh orang tua-nya sendiri.
“ Pertama kali dia mau sentuh tangan kakak, itu rasanya, campur aduk hati kakak. Bangga iya, senang juga iya, terharu juga iya. Karena kayak yang kakak bilang tadi
lah, dulu dia jangankan mau sentuh kakak, nganggap kakak ada di situ sama dia aja nggak kan. Ini dia mau sentuh, sekarang mau meluk lagi kan, waduh senangnya ga
terkira”
Selama proses belajar mengajar MR banyak menggunakan hadiah sebagai alat untuk membantu ZA agar lebih bersemangat untuk belajar. Hadiah yang diberikan bukan hanya
berupa barang, akan tetapi pujian terhadap hal-hal baik yang sudah dilakukan oleh ZA. Seperti anak-anak normal, pujian merupakan pemacu bagi anak penderita autisme untuk
belajar dan melakukan hal baik yang sudah di ajarkan. “ Pujian itu harus,itu jadi kayak penyemangat, jadi dia tau kalo yang dia lakukan itu
baik,benar gitu. Misalnya kakak suruh dia sebutkan angka satu sampai sepuluh, di angka lima dia berhenti karena konsentrasinya pecah, kakak langsung bilang, ayok
yang bisa sebutkan sampai sepuluh anak pintar Terus dilanjutkannya sampai sepuluh, terus kakak puji lagi, pintarnya adek kakak. Senang kali dia itu, senyum-
senyum dia”
Kedekatan yang terjalin selama proses belajar mengajar membuat MR merasa bahwa kesembuhan atau perkembangan yang dialami oleh ZA membuat MR bangga dan senang
bukan hanya karena tugasnya sebagai pengajar dan pendamping tetapi juga karena MR sudah mengganggap ZA seperti adiknya sendiri. Sikap yang tegas memang diperlukan dalam
mengajar dan mendampingi ZA, akan tetapi sikap tegas yang berlebihan dan cenderung seperti memaksa malah akan membuat ZA takut dan tidak mau untuk kembali ke sekolah.
MR juga meyakini bahwa kedekatan secara emosional akan membantu perkembangan ZA dalam hal komunikasi dan sosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.
“ Kakak itu udah menganggap anak-anak yang kakak dampingi kayak adek sendiri. Kalo sama adek sendiri pasti kita mau yang terbaik kan, biar dia sembuh, biar dia
berkembang. Kakak yakin kalo kita udah sayang sama anak itu, kita juga pasti membantunya tulus, semua yang dikerjakan dengan tulus, hasilnya pasti baik. Kakak
pun yakin kalo AZ ini tau kakak niat baik sama dia, sayang sama dia, biar kata orang anak ini ga tau kalo kau sayang sama dia, kakak yakin dia tau, dia bisa merasa ”
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Proses komunikasi yang sudah berlangsung selama hampir 3 tahun antara ZA dan MR sudah membawa beberapa perkembangan ke arah yang lebih dalam diri ZA, baik dalam hal
komunikasi mau pun sosialisasi dengan sekitarnya. MR merasa bahwa selama proses komunikasi ini MR jadi bisa lebih lebih mengenal ZA dengan lebih baik.
B. Komunikasi Antarpribadi pada ZA dan Orang Tua DW
Mempunyai anak yang terlahir sehat adalah keinginan setiap orang tua, begitupun dengan DW. DW adalah seorang wanita berusia 35 tahun yang berprofesi sebagai seorang
guru di salah satu SD negri di kota Medan. Selama hamil anak ke dua sampai kelahirannya tidak ada hal aneh yang dirasakan oleh DW. Anak DW yaitu ZA terlahir sehat dan tidak ada
hal yang lain dari segi fisik. ZA yang sering menangis dianggap hal yang biasa oleh DW.
Sampai akhirnya pada usia dua tahun DW mulai merasa ada yang lain dari ZA. DW merasa ZA sering menangis karena hal-hal yang tidak jelas, tidak mau bermain dengan anak
seumurannya bahkan dengan kakaknya sendiri, dan yang paling membuat DW merasa aneh adalah dalam beberapa kejadian, ZA tidak mau di pegang oleh DW dan suami-nya. ZA
terkadang berontak dan menjerit saat akan di gendong atau dimandikan. Seperti pada satu kejadian, dimana ZA yang saat itu sedang menonton TV menjerit dan berontak saat DW akan
menggendongnya untuk di beri makan, setelah di turunkan kembali ZA masih menangis selama beberapa saat sampai akhirnya berhenti menangis dengan sendirinya. Hal ini
dirasakan aneh oleh DW karena ZA biasanya tidak pernah menangis saat di gendong atau di sentuh oleh DW dan suaminya, akan teteapi dalam beberapa kesempatan ZA malah seperti
takut dan berontak saat akan di gendong dan di sentuh. Hal ini lah yang membuat akhirnya pada usia tiga tahun DW dan suami memutuskan untuk membawa ZA ke dokter untuk di
periksa. Pertama kali diberitahu bahwa ZA mengalami gangguan spektrum Austisme, DW
masih merasa sangat sedih dan sempat merasa tidak percaya. Dokter yang memeriksa ZA meyakinkan DW dan suami bahwa ZA bisa sembuh jika ditangani dengan segera dan oleh
orang yang tepat. Sejak saat itu, DW mulai mengumpulkan informasi mengenai sekolah- sekolah untuk anak berkebutuhan khusus di Medan. Sampai pada akhirnya, atas saran dari
dokter dan kerabat, DW memutuskan untuk membawa ZA ke sekolah khusus untuk anak penderita Autisme, YAKARI.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
DW merasakan banyak sekali perubahan yang terjadi pada ZA setelah beberapa lama bersekolah di YAKARI. Meskipun sempat merasa putus asa dan hampir menyerah, DW
akhirnya bisa melihat dan merasakan perubahan pada ZA. Rasa putus asa sempat dirasakan DW karena melihat ZA yang pada beberapa bulan pertama selalu menangis setiap akan pergi
ke sekolah, saat di kelas ZA juga tidak mau lepas dari DW dan bahkan tidak mau melihat guru pendampingnya. Akan tetapi keraguan DW akhirnya mulai berkurang ketika ZA mulai
terbiasa dengan lingkungan barunya di sekolah dan berhenti menangis. Perlahan-lahan ZA juga mulai mau sekedar melihat guru pendampingnya, meskipun tidak melakukan kontak
mata, dan ZA juga sudah mulai mau untuk di tinggal di kelas dengan guru pendampingnya. DW mengatakan, perubahan ZA sudah bisa terlihat setelah ZA bisa menyesuaikan diri
dengan lingkungan sekolah baru-nya. Perubahan pada ZA mulai bisa dirasakan DW saat berada di rumah, ZA tidak lagi
mudah menangis karena hal yang tidak jelas, dan mulai mau bermain dengan kakaknya, meskipun belum mau berbicara dengan jelas dan hanya menggumam. Perkembangan yang
dialami oleh ZA memang pada awalnya tidak banyak, tetapi menurut DW ini merupakan langkah besar bagi ZA untuk perkembangan selanjutnya.
“ Saya lihat dia di kelas udah mulai mau diam, udah mulai bisa di tinggal biarpun hanya setengah jam awalnya, saya jadi makin yakin gitu sama dia. Gak apa-apa
lambat, semuanya perlu proses kan, tapi saya selalu berpikir positif dan yakin, ZA bisa sembuh”
DW yang juga bekerja memang tidak bisa selalu menjemput ZA sepulang sekolah, ZA lebih sering di jemput oleh neneknya. Tetapi kesibukan DW tidak menghalangi niat dan
perhatiannya untuk ZA, DW terkadang menyempatkan diri untuk menjemput ZA dan bertemu dengan guru pendamping-nya. Saat menjemput ZA, DW banyak mendapat informasi
mengenai apa saja yang sudah dipelajari DW di sekolah dan berdiskusi mengenai apa saja yang harus di lakukan DW dirumah untuk membantu perkembangan ZA.
Pada awalnya, DW mengakui merasa kesusahan dalam mengerti keadaan ZA. Meskipun sudah bisa menerima bahwa ZA menderita Austime, tetapi DW terkadang masih
merasa sulit untuk mengerti ZA. ZA yang tidak mau memberi tahu jika lapar atau ingin ke kamar mandi atau pun kebutuhan-kebutuhan lainnya membuat DW sering merasa bingung
harus melakukan apa. Diskusi yang dilakukan DW dengan guru pendamping ZA lah yang
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
akhirnya bisa membantu DW secara perlahan mencoba untuk mengerti mengenai keadaan ZA dan tau apa yang harus DW lakukan untuk menghadapinya.
“Awalnya susah kan untuk mengerti dia, tapi guru-guru disini juga membantu, ngasi tau ibu harus begini harus begitu. Jadi lama-lama saya bisa ngerti, jadi saya juga tau
harus gimana kalo menghadapi ZA. Intinya banyak sabar, terus ibu juga selalu mikir, kalo ini kan juga bukan mau-nya ZA begini, jadi ya ibu selalu coba ngerti lah mau
nya dia gimana, keadannya juga ”
Setelah hampir setahun bersekolah di YAKARI, ZA akhirnya juga sudah bisa dan mau berbicara, meskipun hanya beberapa kata. Menurut DW hal ini sangat membantu DW
untuk bisa mengenal ZA lebih dalam lagi, karena ZA kini sudah mau menyuarakan kebutuhan atau keinginannya, meskipun dalam beberapa hal keinginan tersebut tidak bisa
dipenuhi. DW juga belajar bagaimana cara menolak keinginan atau tuntutan dari ZA. Belajar cara menolak keinginan ZA juga bukan merupakan hal yang mudah bagi DW, hal ini
dipelajarinya dari diskusi-diskusi yang DW lakukan dengan guru pendamping ZA. Cara yang harus dilakukan DW adalah bersikap tegas terhadap ZA, hal ini dilakukan agar ZA bisa
mengerti apakah yang dia lakukan atau pun minta itu baik atau buruk. Bersikap tegas dirasakan DW tidak mudah karena DW sering merasa bersalah jika harus melarang dan tidak
memenuhi tuntutan dari ZA. DW mengatakan bahwa DW sering merasa takut jika menolak keinginan ZA, ZA malah akan menjadi takut dan tidak mau lagi didekati oleh DW.
Kekhawatiran DW ini akhirnya juga bisa diatasi setelah berdiskusi dengan guru pendamping. “ Habis cerita-cerita sama guru disini, ibu dikasitau kalo ngga tegas malah ZA ga
akan ada kemajuan, karena ZA nanti jadi tau kelemahan kita dan akan terus dipake sama dia biar semua mau-nya dituruti. Jadi ya ibu tegas tapi ga dibentak-bentak,
pelan bilanginnya tapi tegas, biar dia ga takut, ga ngerasa dipaksa”
Perkembangan ZA sampai pada saat ini sebenarnya sudah sangat membuat DW senang, karena selain ZA kini mau berbicara, meskipun hanya beberapa kata, ZA juga sudah
tidak pernah lagi menangis atau berontak saat akan di sentuh oleh DW dan suami-nya. DW yakin dengan doa, dukungan dan bantuan dari orang-orang sekitar ZA, termasuk dirinya, ZA
akan bisa lebih berkembang lagi bahkan sembuh. “Banyak yang membantu dan doa buat ZA yang buat ibu bisa yakin lah. Kalo
menghadapi sendiri ibu juga ga akan bisa, gitu pun ZA. Ya ibu selalu usaha kasi yang paling baik untuk dia, sama doa lah yang paling penting, biar dia bisa lebih bagus
lagi, bisa sembuh”
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
4.3.2 ANAK PENDERITA AUTISME II : ND