manusia yang paling dalam.
3
Ada definisi yang lain yang dapat dirumuskan sebagai suatu refleksi atas pengetahuan dan pengalaman yang dilaksanakan
dengan rasional, kritis-ilmiah dengan tujuan memahami diri manusia dari segi yang paling dasar.
4
Berpijak dari uraian sebelumnya, filsafat manusia dapat diuraikan sebagai suatu kajian yang paling fundamental tentang pengetahuan
dan pengalaman segala dimensi manusia yang dilaksanakan dengan rasional, metodologis-sistematis dengan filosofis-reflektif dengan tujuan memahami
manusia sedalam-dalamnya.
B. Ontologi Filsafat Manusia
1. Pengertian Manusia
Manusia sebagai makhluk Allah yang paling sempurna ahsanul taqwim dan paling unik sebagai objek dan subjek dari berbagai ilmu dan
dengan kajian ini banyak muncul berbagai ilmu. Manusia sebagai subjek berarti diri sendiri ini mengkaji dirinya sendiri, manusia sebagai objek
apabila manusia tersebut ada dalam ada, sehingga ada sebagai objek untuk menjadi objek yang ada. Adapun pertanyaan „Siapakah manusia itu?‟
menjadi pertanyaan yang paling mendasar dan pertanyaan yang paling klasik sepanjang sejarah manusia. Sebelum Sokrates 469-399 SM sudah
muncul pertanyaan semacam ini. Pada zaman tersebut sudah banyak para pemikir yang berusaha menjawab pertanyaan tersebut.
5
3
Kasdin Sihotang, Filsafat Manusia: Upaya Membangkitkan Humanisme..., hlm. 22.
4
Selebihnya lihat Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks dan Seruan, cet. ke-6, Yogyakarta: Kaninius, 2014, hlm. 18.
5
Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko, dkk, Cetakan III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007, hlm. 583
Menurut Laming, ada beberapa cara atau kerangka teori yang dapat digunakan dalam memahami manusia. Pertama, apa yang disebut sebagai
perilaku semi mekanis dari manusia. Manusia mempunyai aspek isntingtif yang bersifat mekanis dalam dirinya. Perilaku ini seringkali
mempengaruhi perilaku manusia yang dapat dipelajari dengan pendidikan dan dengan kultur secara rutin. Akan tetapi perilaku manusia tidak
sepenuhnya mekanis. Terkadang menyebut perilaku manusia sebagai mekanis, karena terbiasa dengan berpikiran secara mekanis. Namun, ketika
dilihat berfikir secara jauh tidak ada perilaku yang tidak mekanik dan sama sekali terlepas dari kesadaran pelakunya.
Kedua, dengan mengambil celah dari sudut pandang pertama, Laming menyebut teori ini dengan sudut pandang personal atau sudut
pandang kamera personal and camera view. Sebagai contoh, ketika Sang Dalang dalam memainkan wayang semalam suntuk tidak pernah pergi
kekamar kecil. Bagi para penonton itu adalah hal yang biasa dan mudah dilihat dan bersifat mekanis. Namun bagi Sang Dalang samasekali tidak
bersifat mekanis, ia harus melatih setiap waktu dengan beberapa resiko. Inilah perilaku sadar yang hanya dipahami dengan mengunakan sudut
pandang personal. Ketiga, dengan sudut pandang teori pengaruh sosial. Perilaku dan motivasi manusia sangatlah dipengaruhi oleh lingkungan
sosial, tempat lahir dan berkembangnya. Tidaknya perilaku-perilaku itu saja yang mempengaruhi, tetapi juga konsep-konsep, atau dasar-dasar yang
tertanam pada ranah sosial.
6
Dengan sudut pandang ini manusia setidaknya dapat melihat bagaimana keadaan manusia tersebut, sehingga ia mengerti
dirinya sendiri. Menurut Adelbert Snijders ada beberapa hal menyangkut tentang
berbagai sisi manusia, yaitu pertama, manusia sebagai makhluk yang selalu bertanya. Manusia akan selalu bertanya, dan mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang dialaminya. Satu pertanyaan akan melahirkan atau melibatkan setidaknya satu macam ilmu yang akan berperan dalam
memberikan jawaban dari pertanyaan tersebut. Tentunya, satu ilmu mempunyai disiplin dan metode sendiri dalam menjawabnya. Khazanah
antropologi filsafat atau juga sering disebut sebagai filsafat manusia pertanyaan tersebut dijawab dengan refleksi filosofis. Kedua, manusia
sebagai makhluk yang eksentris. Hal ini berkaitan dengan titik tolak dalam kajian filsafat manusia yang berbeda-beda dan terbuka berbagai macam
kemungkinan untuk itu. Akhirnya, semua jalan filsafat akan berangkat dari intuisi yang dari implisis, kabur, remang-remang, menjadi nyata dan pada
gilirannya akan menjadi eksplisit. Ketiga, manusia sebagai makhluk paradoksal, ini artinya manusia
dalam perumusan atas dirinya sendiri terjadi dalam dua kebenaran yang bertentangan, bukan kebenaran yang salah satu benar dan yang lain salah
baca: kontradiksi. Manusia termasuk dalam alam ini namun sekaligus bergantung kepadanya, manusia bebas dan terikat, jasmani dan rohani.
6
Reza AA Wattimena, G Dewi Nugrohadi dan A. Untung Subagya, Menjadi Manusia Otentik Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013, hlm. 9-10.
Keempat, manusia adalah makhluk yang dinamis. Manusia maju dengan dunianya menuju diri sejati dengan tetap mempererat tali hubungannya
dengan Tuhan. Dinamika manusia ada dalam dunia manusi itu, manusia bebas dan bertanggung jawab, yang sekaligus ada dorongan secara
metafisik untuk menuju diri yang sejati yang tidak diikuti dengan keperluan dorongan kodrati yang bersifat keperluan seperti ulat menjadi
kupu. Tetapi secara nyata tetap terikat secara etis. Kelima, manusia sebagai makhluk multidimensional. Sudah terjadi bahwa manusia adalah
makhluk kesatuan, tetapi dalam kesatuan itu ditemukan berbagai dimensi manusia dengan segala tingkatan ontologisnya yang tentunya berbeda-
beda. Dapat terjadi dalam diri manusia hidup seolah-olah bagaikan satu dimensi saja.
7
Akan tetapi jawaban diatas hanya dapat memberikan jawaban atas masalah-masalah temporer tidak mencakup masalah abadi,
yaitu masalah masa silam, akan datang maupun masa selanjutnya. Tidak ada jawaban yang dapat menjawab permasalahan diatas kecuali
kepercayaan agama yang diyakini kebenarannya secara mutlak oleh umat manusia.
2. Eksistensi Manusia