makna yang lainnya. Hubungan makna inilah yang secara lahir tidak akan terjadi, akan tetapi adanya hubungan yang lebih erat lagi yang disebut
hubungan esensi atau hubungan makna esensi manusia. Selanjutnya, Ali Syaria‟ati mengemukakan hubungan esensi dari kategori tersebut, yaitu
bahwa manusia memiliki daya intelektual yang dilengkapi dengan atribut kesadaran diri, kebebasan, kreativitas serta memiliki moral yang agung
untuk menuju tanggung jawab sebagai manusia sempurna. Kalimat sempurna dalam pemaknaan Ali Syariati dapat dilihat dalam tulisannya,
“Saya mencari esensi saya dan tidak dapat menemukannya, saya adalah bayangan-
Nya. Dimanakah Dia?”
4. Stuktur Manusia
Manusia adalah makhluk yang diciptakan Tuhan yang paling sempur
na, sebagai „Pengganti‟ Tuhan dibumi ini. Manusia mempunyai dua unsur yaitu jiwa dan jasad. Jiwa berasal dari alam perintah
alamu‟l amar dan akal kesepuluh dan unsur jasad berasal dari alam ciptaan. Sehingga
jiwa merupakan unsur yang terpenting dan paling berpengaruh daripada jasad. Menurut al-Farabi kesatuan jiwa dan jasad merupakan kesatuan
accident. Artinya, kedua unsur tersebut mempunyai substansi yang berbeda dan hancurnya jasad juga tidak dibarengi dengan hancurnya jiwa.
Al-naf al-nathiqah yang berasal dari Alam Illahi, sedangkan jasad dari alam khalaq, bentuk, rupa, dan berkadar. Jiwa-jiwa manusia mempunyai
daya-daya, yaitu: pertama, daya gerak yang terdiri dari daya makan nutrion,
memelihara preservation,
dan daya
berkembang
refroduction. Kedua, daya mengetahui yang terdiri dari daya merasa sensation dan imajinasi imajination. Ketiga, daya berfikir yang
mempunyai akal praktis practical intellect dan akal teoritis theoretical intellect.
Jiwa menurut al-Farabi adalah kesempurnaan pertama bagi jisim alami yang organis yang memiliki kehidupan dalam bentuk potensial. Jiwa
ada forma dari jasad, yang diartikan sebagai jauhar substansi yang berdiri sendiri yang juga berasal dari akal kesepuluh. Hal ini membentuk
hubungan antara jiwa dan jasad tidak berhubungan esensial melainkan hubungan aksidental tidak ada saling ketergantungan. Apabila jasad mati,
jiwa tidak akan mati sebab jasadnya hancur. Maka, jiwa adalah abadi, inilah paham al-Farabi. Jiwa yang dinyatakan abadi oleh al-Farabi, masih
dibedakan menjadi jiwa khalidah dan jiwa fana‟. Jiwa khalidah adalah
fadilah, yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan berbaik, serta dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani atau materi. Jiwa ini tidak akan hancur
dengan hancurnya badan. Termasuk juga jiwa yang ada dalam tingkat akal mustafad. Sedangkan jiwa fana adalah jiwa jahilah, tidak akan mencapai
kesempurnaan karena belum dapat melepaskan diri dari ikatan materi dunia. Jiwa ini akan hancur bersama hancurnya badan.
18
Ibnu Sina, seperti pendahulunya al-Farabi, juga menyatakan bahwa manusia terdiri dari unsur jiwa dan jasad. Jasad dengan segala
kelengkapannya yang ada merupakan alat bagi jiwa untuk melakukan
18
Hasyim Nasution, Filsafat Islam dalam Udang Ahmad Kamaluddin, Filsafat Manusia: Sebuah Perbandingan Antara Islam dan Barat, Bandung : Pustaka Setia, 2013, hlm. 128-129.
aktifitas atau kerja. Jasad selalu berubah, berganti, tumbuh, bertambah, dan semakin berkurang sesuai dengan berjalannya waktu usia. Sehinggga ia
mengalami kefanaan setelah berpisah dengan jiwa.
19
Jiwa berasal dari akal kesepuluh dibawah bulan dalam teori emanasi Ibnu Sina.
20
Objek pemikiran dalam teori emanasinya adalah Tuhan, dirinya sebagai wajibul
wujudnya dan dirinya sebagai mumkinul wujud, dari objek pemikiran tentang Tuhan muncul Akal-Akal, dari objek pemikiran tentang dirinya
yang wajibul wujud timbul jiwa-jiwa dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mumkinul wujud timbul langit-langit. Jiwa dalam kajian
Aristoteles terbagi menjadi tiga jiwa yang juga diamini oleh Ibnu Sina,
21
yaitu: pertama jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya kekuatan makan nutrition, tumbuh growth dan berkembang biak reproduction.
Kedua jiwa binatang yang terdiri dari jiwa gerak locomotion dan jiwa menangkap perception. Daya menangkap ini mempunyai dua bagian
yaitu daya tanggap dari luar dengan alat pancaindera dan daya tangkap dari dalam dengan indera-indera dalam. Daya tangkap dari dalam ini juga
mempunyai beberapa komponen yang mempunyai beberapa fungsi sesuai dengan daya komponen tersebut.
19
Hasbullah Bakry, Disekitar Filsafat Skolastik Islam, Jakarta: Tintamas, 1984, hlm. 50.
20
Ada beberapa bukti untuk meyakinkan adanya jiwa ini, yaitu argumen alam kejiwaan, argumen
„aku‟ dan kesatuan gejala-gejala kejiwaan, argumen kesinambungan dan argumen manusia terbang, secara jelas diuraikan dalam Poerwantana, A. Ahmadi dan MA. Rosali, Seluk
Beluk Filsafat Islam..., hlm. 157-161.
21
Pengertian jiwa menurut Ibnu Sina diuraikan oleh Usman Najati secara luas, demikian juga macam macam stuktur daya jiwa, selebihnya lihat
Muhammad „Usman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim..., hlm.171.
Komponen indera bersama common sense, yang berfungsi untuk menangkap semua rangsang yang ada dalam sensorik segala pancaindera.
Komponen representasi representation yang bertugas untuk menyimpan segala apa yang ditangkap dan telah disampaikan oleh rangsang indera
bersama. Selanjutnya, komponen imajinasi imagination berusaha menyusun apa-apa yang ada dan melanjutkan segala yang ada dalam
komponen refresentasi. Dilanjutkan ke komponen estimasi estimation, komponen ini dapat menangkap dari sensorik komponen imajinasi yang
bersifat abstrak dan diluar benda imajinasi. Terakhir komponen sensorik rekoleksi, komponen sensorik tersebut berguna untuk menyimpan apa-apa
yang bersifat abstrak yang ada dalam estimasi. Ketiga, adalah jiwa manusia, yang terdiri dari jiwa praktis practical yang berhubungan
dengan badan-wadag. Jiwa teoritis theoretical sebagai isi dari jiwa manusia yang berhubungan dengan jiwa-jiwa abstrak.
Jiwa yang abstrak ini terdapat maqam-maqam, yaitu: maqam akal materi material intellect sebagai maqam awal yang berfungsi untuk
berfikir yang belum terlatih samasekali. Maqam akal abstrak intelektus inhabitu sebagai maqam kedua yang sudah terlatih untuk berfikir hal-hal
yang bersifat abstrak. Maqam aktuil adalah maqam ketiga yang berfungsi sebagai akal yang dapat berfikir hal-hal yang bersifat abstrak. Maqam
terakhir, adalah akal mustafad, yaitu akal yang sudah terbiasa untuk berfikir hal-hal yang abstrak, tentunya juga sudah terlatih sedemikian rupa.
Sehingga hal-hal yang bersifat abstrak sudah ada dalam akal tersebut, akal
inilah yang sanggup berhubungan dan berinteraksi dengan akal-aktif.
22
Menurut Ibnu Rusy, akal-aktif dan akal-materi sebagai substansi yang kekal yang independen ada di luar dari jiwa manusia. Artinya, antara akal-
aktif dan akal-materi berpisah satu sama lain, tidak saling berhubungan atau tidak saling mempengaruhi.
23
Menurut al-Farabi, akal-aktif bukan merupakan maqam dari manusia intelek, melainkan merupakan substansi imaterial yang ada dari
jiwa manusia. Tugas dari akal-aktif adalah membawa manusia ke tingkat tertinggi dari kesempurnaan, yang didedikasikan hanya untuk manusia.
Akal-aktif berfungsi mengaktualisasikan potensi rasional dalam manusia dan membuat benda-benda lain dapat dimengerti dalam pikiran manusia,
hal ini dilihat dari tercapainya kecerdasan yang sebenarnya dan kemakmuran akhirnya. Al-Farabi mengibaratkan peran akal-aktif dalam
kesempurnaan jiwa rasional, dengan matahari yang menyinari benda, sehingga benda tersebut terlihat manusia. Benda terlihat mata karena
tersinari matahari. Mata dapat melihat karena ia menerima cahaya dari matahari. Akal manusia dapat mengaktualisaikan potensi jiwa rasionalnya,
apabila mampu menerima aktualisasi dari akal-aktif.
24
22
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, cetakan kedua, Jakarta: Bulan Bintang, 1978, hlm. 35-37.
23
Selebihnya lihat Davoud Zandi, “Rational Explanation of the Relationship between the
Material Intellect and the Active Intellect from the Perspective of Averroes ”, dalam International
Journal of Islamic Thought, Vol. 8: Dec. 2015, hlm. 14.
24
Davoud Zandi, “A Comparative Study of the Relationship between the Material Intellect
and the Active Intellect from the Perspective of Averroes and Al-Farabi ”, dalam Journal of
Islamic Studies and Culture, Vol. 3, No. 2, December 2015, hlm.40-41.
Menurut Ibnu Sina, jiwa manusia sebagai entitas tersendiri yang mempunyai wujud tersendiri terlepas dari badan benda atau wadah. Jiwa
manusia tercipta ada karena ada wadah atau badan yang sesuai dengan frekuansi jiwa yang dapat menerimanya untuk lahir didunia. Hubungan
wujud yang sempurna antara jiwa shurah dan benda maddah dalam kajian Ibnu Sina terletak dalam diri al-khair yang tidak terdapat dalam
jirmul-falakil-aqsha. Benda maddah akan selau rindu kepada jiwa shurah yang diandaikan dengan topeng yang sangat indah. Rasa
kerinduan ini akan berdampak pada rasa keinginan untuk mencapai pada maqam zat yang tertinggi al-
jawahirul „alawiyah.
25
Pada awalnya jiwa sebagai entitas tersendiri dari badan, tetapi pada awalnya penciptaan jiwa
didunia wujud badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir. Pancaindera dan daya-daya batin dari jiwa binatang seperti indera
bersama, estimasi dan rekoleksi yang menolong jiwa manusia untuk memperoleh konsep-konsep dasar yang diperlukan jiwa untuk mencapai
tahap kesempurnaannya al- jawahirul „alawiyah. Tetapi pada suatu waktu
jiwa binatang tersebut malah menjadi penghalang jiwa manusia untuk mencapai derajat kesempuraan. Karena jiwa manusia merupakan satu
entitas tersendiri yang terlepas dari badan. Jiwa binatang dan jiwa tumbuh-tumbuhan yang ada pada diri
manusia, hanya berfungsi fisik dan jasmani akan mati bersamaan dengan matinya badan wadah yang tidak akan hidup kembali pada hari
25
Selebihnya lihat Poerwantana, A. Ahmadi dan MA. Rosali, Seluk Beluk Filsafat Islam..., hlm. 149.
pembangkitan. Jiwa manusia karena bersifat dan berfikir abstrak yang berbeda
dengan jiwa
binatang dan
tumbuh-tumbuhan, maka
pembalasannya tidak didunia ini, tetapi akan disampaikan diakhirat kelak. Jiwa jenis ini bersifat kekal selamanya. Jika jiwa manusia ini sudah
sempurna sebelum berpisahnya dengan badan meninggal, maka jiwa ini akan terus sempurna selamanya dan mendapatkan kesenangan yang kekal.
Selanjutnya, jika jiwa ini berpisah dengan badan tidak dalam keadaan sempurna, karena telah dipengaruhi jiwa-jiwa binatang dan tumbuh-
tumbuhan maka ia akan menyesal dan akan terkutuk untuk selamanya dialam akhirat kelak.
26
Manusia menurut Ali Syari‟ati adalah gabungan dari lumpur dan
roh Allah, manusia adalah zat yang berdimensi, makhluk yang bersifat ganda, berbeda dengan makhluk Allah yang unidimensional. Dimensi yang
satu cenderung kepada susunan lumpur yang bersifat rendah, stagnan dan immobilitas. Dimensi yang lain, berasal dari roh Allah, sebagaimana al-
Qur‟an menyebutkan asal-muasal tersebut, dimensi ini cenderung untuk meningkat dan berjalan kepuncak yang setinggi-tingginya yang dapat
diraih yaitu menuju kepada-Nya bukan bersatu dengan Tuhan.
27
Hal yang sama juga disampaikan oleh Muhammad Baqir ash-Shadr yang membagi manusia menjadi dua sisi, yaitu sisi spritual dan sisi
material. Sisi materialnya tersusun dari komposisi organik, sedangkan sisi
26
Ibid, hlm. 38.
27
Ali Syari ‟ati, Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifullah Mahyudin, Yogyakarta: Ananda,
1982, hlm. 90 dan lihat Ali Syari‟ati, Tugas Cendikiawan Muslim, terj. M. Amien Rais,
Yogjakarta:Shalahuddin Press;reprint: Jakarta: PT RajaGrafndo Persada, 1995, hlm. 6-7.
spiritualnya atau nonmaterial yang merupakan pentas aktivitas pemikiran dan mental. Manusia tidak hanya berwujud kumpulan dari materi yang
sangat kompleks, tetapi personalitasnya terdiri dari materi dan nonmaterial yang jamak disebut dualitas. Sadr mengatakan cukup sulit untuk
mengetahui hubungan antara dua komponen manusia tersebut. Ada pendapat yang menjelaskan hubungan antara keduanya sangat erat, dan
saling mempengaruhi diantara keduanya. Apabila seseorang melihat pocong dalam kegelapan, maka gemetarlah seseorang tersebut, apabila
seseorang berfikir, maka terjadilah suatu aktifitas tertentu. Ini akibat pengaruh jiwa nonmateri. Apabila usia ketuaan secara perlahan sudah
merayapi tubuh, lemahlah segala aktifitas mental, atau jika seseorang pemabuk sedang tenggelam dalam minumannya, ia akan melihat benda
sebagai dua benda yang sama. Akibat dari pengaruh jiwa terhadap tubuh. Sadr sependapat dengan filosof muslim Sadr al-
Muta‟allihin asy- Syirazi tentang hubungan antara nonmaterial dan material. Filosof ini telah
menemukan gerak substansial dalam jantung alam. Gerak ini sebagai sumber primer dari setiap gerak yang dapat ditangkap oleh segala indera
yang terjadi di alam raya, termasuk manusia. Materi dalam gerakan substansialnya berusaha untuk menyempurnakan wujudnya dan terus-
menerus berusaha melepaskan wujud materialitasnya dengan syarat-syarat tertentu menjadi wujud yang nonmaterial, yaitu wujud spiritual. Jadi,
antara keduanya tidak ada dinding pemisah, tetapi keduanya sebagai dua wujud keberadaan yang berbeda. Meskipun ia nonmaterial, ia tetap
memiliki hubungan material, karena yang nonmaterial tersebut adalah maqam tertinggi dari riyadhah materi dalam gerak penyempurnaanya yang
substansial. Jembatan yang baik ini sebagai temuan yang apik dalam hubungan antara materi dan nonmateri dari filosof diatas. Sadr
menambahkan bahwa jiwa itu sendiri tidak lain adalah imaji material yang menjadi tinggi karena gerak substansial. Perbedaan antara sisi spritualitas
dan materialitas hanya terletak pada perbedaan derajat saja, seperti panas yang tinggi dengan panas yang rendah. Tidak boleh juga beranggapan
bahwa jiwa adalah produk materi dan menjadi salah satu efeknya. Namun, sebenarnya adalah produk gerak substansial yang bukan produk dari
materi itu sendiri. Sebab, setiap gerak berasal dari munculnya sesuatu dari potensialitas ke aktualitas secara berangsur-angsur. Potensialitas tidak
dapat menciptakan aktualitas dan kemungkinan tidak dapat menciptakan keberadaan. Jadi, gerak substansial memiliki sebab diluar materi yang
bergerak. Ruh yang merupakan sisi nonmaterial manusia adalah produk gerak tersebut. Adapun gerak ini sendiri adalah jembatan antara
materialitas dan spritualitas.
28
C. Epistemologi Filsafat Manusia