Nilai-nilai Humanis-Religius Aksiologi Filsafat Manusia

fenomena-fenomena terdalam yang sering disebut humanisme filsafat humanism. Penyempurnaan diri yang lain adalah berkaitan dengan kehidupan rohaniah dan „pengolahan hati‟ riyadhah yang sering identik dengan tasawuf.

D. Aksiologi Filsafat Manusia

1. Nilai-nilai Humanis-Religius

a. Persatuan Pemahaman Max Scheler 1874-1928 dapat membantu untuk melihat betapa pentingnya nilai ini dalam kehidupan bersama. Scheler menempatkan solidaritas sebagai satu sikap yang sebenarnya dalam masyarakat. Solidaritas merupakan cara melihat realitas dan menerima orang lain, bahkan terlibat dalam dunia. Prinsip solidaritas adalah suatu prinsip hidup yang paling dekat dengan pengalaman hidup bersama. Dalam komunitas solidaritas dapat dilihat sebagai prinsip yang mempersatukan setiap orang menurut tingkat partisipasinya. Setiap orang menghargai keunikan dari anggota-anggota komunitas lain dan etos-etosnya. Relasi sosial menurut Scheler dapat terjadi dalam tiga bentuk, yakni solidaritas organis, solidaritas mekanistik serta solidaritas personalistis. Solidaritas organis terjadi dalam unit sosial seperti keluarga, suku dan banyak bentuk kehidupan komunitas yang didasarkan pada kekerabatan. Anggota-anggota dalam kebersamaan ini diikat oleh tradisi, kebiasaan, adat kebiasaan yang sudah diturunkan dari generasi ke generasi. Solidaritas mekanistik terjadi dalam ranah di mana hubungan didasarkan pada kepentingan individu atau kelompok semata. Setiap individu mencapai tujuannya dengan berbagai macam cara. Perhatian dalam hal ini adalah caranya masing-masing. Semua kontrak bisnis, misalnya, kerap kali mendukung tujuan individualistik bukanlah kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan. Solidaritas personalistis adalah solidaritas yang mengatasi kepentingan keseluruhan dan kepentingan individu. Solidaritas ini berdasarkan penghargaan terhadap pribadi manusia sebagai nilai tertinggi. Individualitas dari pribadi dalam solidaritas ini tidak tergantikan. Solidaritas ini hanya menjadi nyata dalam komunitas yang mengakui eksistensi persona. 41 b. Amanah atau Kepercayaan Nilai ini menjadi sebuah tuntutan mendasar dalam relasi sosial, bahkan menentukan mutu hubungan bermasyarakat. Francis Fukuyama menempatkan kepercayaan sebagai social capital, artinya modal sosial yang harganya tidak ternilai. Apa arti dan maksud dari kepercayaan? Kepercayaan dalam hal ini tidak dimaksudkan dalam arti religius, suatu keyakinan yang bersifat vertikal, melainkan dalam arti humanis yang bersifat horizontal. Dengan demikian, kepercayaan yang dibicarakan adalah menyangkut hubungan manusia dengan manusia. Terkait dengan topik di atas dua hal penting, yakni mempercayai dan dipercayai. Mempercayai orang lain memuat tiga hal. Pertama, 41 Ibid, hlm. 116-117. percaya pada perkataan orang lain. Mendengar dan menyimak perkataan orang lain serta menerimanya sebagai benar merupakan inti dalam hal ini. Itu berarti di depan orang yang berbicara harus berani kita menghilangkan sikap-sikap curiga apalagi berpikir negatif. Akan tetapi percaya pada perkataan orang lain bukan berarti menerima begitu saja perkataan secara mentah-mentah. Percaya dalam hal ini tetap menyertakan ketelitian dan kehati-hatian. Langkah pertama berhadapan dengan orang lain perlu diawali dengan kepercayaan, bukan ketidakpercayaan atau kecurigaan. Kedua, kepercayaan terkait dengan kesediaan mengakui orang lain. Sikap ini tentunya hanya bisa terwujud kalau di dalam diri ada pengakuan terhadap orang lain. Pengakuan ini bersangkuan dengan potensi yang dimiliki oleh orang lain sekaligus kesediaan melihat dan mengakui kemampuan orang lain. Ketiga,kepercayaan terkait dengan sikap keterbukaan. Dasar kepercayaan terhadap orang lain adalah sikap terbuka. Artinya supaya orang percaya pada orang lain ia harus pertama-tama membuka diri terhadap yang lain. 42 c. Keterbukaan Manusia hanya benar-benar menjadi dirinya sendiri sepanjang dia membuka dan menyatukan diri dengan sesamanya. Tanpa pembukaan diri ini, ia terkekang dan kehilangan bentuk wujud yang sewajarnya. Dengan kata lain, manusia tanpa bersama-sama dengan 42 Ibid, hlm. 116-118. manusia yang lain tidak bisa berkembang, bahkan tanpa syarat ini ia sebenarnya tidak bisa menjadi manusia. Manusia yang tunggal dan tersendiri tidak merasa diri lengkap tanpa hubungan keterbukaan dengan manusia-manusia lain. Martin Buber mengatakan keterbukaan merupakan syarat mendasar untuk menciptakan hubungan interpersonal dan dialog yang baik. Tanpa nilai ini hidup bersama tidak akan memiliki arti. Yang ada adalah kehampaan yang membuahkan kecurigaan, prasangka satu sama lain. Keterbukaan memiliki dua sisi yang dapat dibedakan satu dengan yang lainnya. Kedua sisi itu adalah terbuka kepada yang lain dan terbuka bagi yang lain. Terbuka kepada yang lain bersifat aktif, dalam arti individu lebih banyak bertindak memperkenalkan diri dan keberadaannya pada orang lain. Ini berarti kesediaan dituntut dari setiap individu untuk mengungkapkan reaksi-reaksi dan pengalaman hidupnya kepada orang lain dalam relasi sosial. Sedangkan terbuka bagi yang lain sifatnya lebih pasif, karena di sini individu menyediakan diri untuk orang lain. Pada sisi ini individu memperlihatkan kesediaan untuk mendengarkan orang lain dan membiarkan orang lain untuk mengungkapkan diri. Sikap menerima dan mengakui serta mendengarkan merupakan inti dari sisi ini. 43 43 Ibid, hlm. 112-113. d. Propetik-Humanis Sikap propetis berarti sikap yang bercirikan kenabian. Kata ini, seperti yang disampaikan dimuka, mempunyai misi illahiyah yang termanifestasi dalam misi kemanusiaan yang luhur. Ciri khas yang konseptual adalah terjadinya kesinambungan antara ortodoksi dengan ortopraksi, antara teks dan praksis berkesinambungan. Secara lebih luas ciri-ciri ini menyangkut pembebasan, sekularisasi, dan demistifikasi. e. Tanggung jawab Aktivitas hidup manusia sebagai makhluk sosial tentunya tidak hanya menerima, namun juga memberi. Artinya, orang tidak bisa hidup hanya dengan menerima, melainkan juga dengan memberi. Justru dengan memberi manusia berkembang secara baik. Sebaliknya, manusia tidak akan bisa hidup hanya memberi saja, melainkan juga menerima, sebab ia juga tergantung pada orang lain. Keduanya harus saling mengisi dan seimbang. Namun demikian dari dua aktivitas itu aktivitas memberi memiliki nilai lebih dibandingkan dengan kegiatan menerima. Karena melalui aktivitas itu manusia mewujudkan dimensi sosialnya secara nyata. 44

2. Nilai Religiuitas Manusia