3. Esensi dan Hakikat Manusia
Esensi berasal dari bahasa Latin, essentia yang artinya „ada‟.
Secara filosofis adalah sesuatu yang membuat sesuatu itu sebagaimana adanya, bukan menjadi sesuatu yang lain, atau sesuatu yang dimiliki oleh
sesuatu dan yang membuatnya dapat dikenal sebagai sesuatu yang partikular, dan tanpanya sesuatu itu tidak akan dikenal sebagai adanya,
sebagai karakteristik penentu dari sesuatu. Esensi berbeda dengan eksistensi, jika esensi lebih menekankan
„apanya‟ sesuatu, sedangkan eksistensi menekankan
„apanya‟ sesuatu yang lebih sempurna. Esensi dan eksistensi dapat dikatakan identik dalam hal-hal tertentu seperti Tuhan,
alam semesta atau yang absolut. Esensi berkaitan dengan hakikat manusia, maka berkaitan dengan unsur penyusun manusia itu, ruh dan jasad. Esensi
dari manusia itu terletak dalam ruh sebagai peparing Tuhan atau jasad yang terbuat dari unsur tanah, malah kedua-duanya sebagai esensi atau
hakikat manusia yang sering dilabeli dualisme atau monodualis. Dengan kesempurnaan ini sesuatu itu menjadi suatu eksisten.
11
Rujukan yang paling kuno adalah Plato yang menyatakan bahwa jiwa manusia atau
pikiran adalah entitas nonmaterial yang dapat tinggal terpisah dari tubuh. Plato adalah salah satu sumber utama pandangan dualistik yang
menyatakan bahwa jiwa manusia pikiran adalah sebuah entitas nonmaterial yang dapat hidup terpisah dari tubuh. Menurut Plato, jiwa
sebagai sesuatu yang tidak dapat hancur dan akan hidup abadi setelah mati.
11
Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1995, hlm. 99-100 dan lihat Ali Mudhafir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat Yogyakarta: Liberty,
1988, hlm. 27.
Argumen-argumen Plato terdapat dalam Meno yang membuktikan praeksistensi jiwa, menjelaskan bahwa kegiatan belajar sesungguhnya
hanya sejenis jiwa yang “mengingat kembali” benda-benda sebelum lahir
dialog Adam As dengan malaikat Islam atau sejenis reinkarnasi. Plato menyatakan bahwa kemampuan menyadari validitas langkah-langkah dan
sebuah kesimpulan merupakan sifat bawaan sejak lahir. Bukti lain dalam Phaedo, Plato menyebutkan beberapa argumen lain mengenai jiwa
manusia yang tetap ada setelah kematian tubuh. Plato ingin membuktikan kesalahan teori materialisme yang diusung oleh atomisme Yunani awal,
seperti Demokritos yang menyatakan bahwa jiwa manusia tersusun atas partikel-partikel kecil yang berhamburan ke udara pada saat mati. Ia juga
menentang konsep bahwa jiwa adalah sejenis harmoni yang memfungsikan tubuh seperti musik yang berasal dari instrumen yang dimainkan dengan
nada-nada yang tepat. Plato menyajikan teori tiga elemen jiwa ini dalam imajinasi-
imajinasi yang halus. Plato membandingkan jiwa seperti kereta kuda, ditarik seekor kuda putih roh dan kuda hitam nafsu, di kendarai oleh
seorang penunggang kuda rasio yang terus berusaha mengontrol laju kereta. Plato menyatakan bahwa roh biasanya ada di samping rasio ketika
konflik batin muncul. Tetapi, roh suatu saat merupakan elemen yang berbeda dalam pikiran, pasti ada beberapa kasus pikiran yang bertentangan
dengan Rasio. Kasus ini dapat dilihat dari pengalaman masing-masing
manusia. Aspek sosial yang tidak dapat dihilangkan dari teori hakikat manusia menurut Plato sebagai sifat alami bagi kemanusiaan.
12
Al-Farabi dalam menyikapi hakikat manusia menggunakan teori emanasi yang dinamakan nadhariatul-faidl dengan uraiannya sendiri,
walaupun ia menyetujui teori al-Kindi. Pada mulanya al-Farabi menerima prinsip Aristotelianisme yang menyatakan bahwa Tuhan itu ialah Akal
yang berfikir, al-Farabi menamakannya akal murni. Akal murni itu Esa adanya, dalam arti bahwa akal itu berisi satu pikiran saja, yakni senantiasa
memikirkan dirinya sendiri. Jadi Tuhan itu adalah akal yang berfikir aqil dan dipikirkan
ma‟qul. Dengan ta‟aqul ini mulailah ciptaan Tuhan.
13
Ibnu Sina, seperti pendahulunya al-Farabi, juga menyatakan bahwa manusia terdiri dari unsur jiwa dan jasad. Jasad dengan segala
kelengkapannya yang ada merupakan alat bagi jiwa untuk melakukan aktifitas atau kerja. Jasad selalu berubah, berganti, tumbuh, bertambah, dan
semakin berkurang sesuai dengan berjalannya waktu usia. Sehinggga ia mengalami kefanaan setelah berpisah dengan jiwa. Jadi menurut Ibnu Sina
hakikat manusia adalah jiwa, bukan jasad, sehingga perhatian para filosof lebih jauh dalam mengkaji jiwa daripada jasadnya.
14
Hal berbeda disampaikan oleh Ibnu Thufayl, bahwa kesadaran tentang diri akan membawa pada derajat tercapainya kesadaran tentang
12
Leslie Stevensen dan David L. Haberman, Sepuluh Teori Hakikat Manusia, terj. Yudi Santoso dan Saur Pasaribu, Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2001, hlm. 144-154.
13
Poerwantana, A. Ahmadi dan MA. Rosali, Seluk Beluk Filsafat Islam, cetakan keempat, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1994, hlm. 133-134.
14
Hasbullah Bakry, Disekitar Filsafat Skolastik Islam, Jakarta: Tintamas, 1984, hlm. 50.
yang wajib-ada. Kesadaran tentang yang wajib ada sebagai hakikat esensi diri manusia dalam pandangan Ibnu Thufayl.
15
Ia menulis” “Esensi yang telah mencerap pengetahuan tentang Wujud yang
Wajib-Ada haruslah sesuatu yang bersifat immateri. Segala sesuatu diluar dirinya yang bersifat ragawi bukanlah hakikat dirinya.
Hakikat esensi dirinya adalah sesuatu yang membawanya mengetahui Wujud Mutlak yang Wajib-
Ada.”
16
Muhammad Iqbal dari Pakistan berpendapat bahwa esensi manusia terletak pada pusat kesadaran yang bernama ego atau khudi. Kenyataan ini
membuat manusia dipandang sebagai makhluk kerohanian. Sebagai makhluk rohani, khudi merupakan kesadaran dan perasaan bawaan yang
membimbing manusia menuju martabat yang Agung. Iqbal bertolak dari al-Qur`an surat ar-Ra`du
ayat 11, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan
mereka sendiri.” Esensi khudi mengacu pada pengertian yang dikemukakan al-Qur`an tentang kedudukan manusia di alam semesta dan
di tengah makhluk lain, yaitu sebagai khalifah Tuhan dan juga sebagai hamba-Nya.
17
Ali Syari`ati mempunyai beberapa kategori konsep tentang bagaimana memaknai manusia, yaitu: khalifah, manusia dua dimensional,
insan dan manusia tercerahkan. Keempatnya katagori di atas memiliki makna berbeda namun saling berhubungan antara makna satu dengan
15
Selebihnya lihat Muhammad „Usman Najati Jiwa dalam Pandangan Para Filosof
Muslim terj. Gazi Saloom, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002, hlm .266.
16
Abu Bakar Ibn Thufayl, Hay Bin Yaqzan dalam Abdul Kadir Riyadi, Antropologi Tasawuf: Wacana Manusia Spiritual dan Pengetahuan..., hlm. 264.
17
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam: Dilengkapi dengan Puisi-Puisi Asrar-I-Khudi, terj. Ali Audah, Taufik Ismail dan Goenawan Muhammad, Jakarta:
Tinta Mas, reprint: Jalasutra, 2002, hlm.137-138.
makna yang lainnya. Hubungan makna inilah yang secara lahir tidak akan terjadi, akan tetapi adanya hubungan yang lebih erat lagi yang disebut
hubungan esensi atau hubungan makna esensi manusia. Selanjutnya, Ali Syaria‟ati mengemukakan hubungan esensi dari kategori tersebut, yaitu
bahwa manusia memiliki daya intelektual yang dilengkapi dengan atribut kesadaran diri, kebebasan, kreativitas serta memiliki moral yang agung
untuk menuju tanggung jawab sebagai manusia sempurna. Kalimat sempurna dalam pemaknaan Ali Syariati dapat dilihat dalam tulisannya,
“Saya mencari esensi saya dan tidak dapat menemukannya, saya adalah bayangan-
Nya. Dimanakah Dia?”
4. Stuktur Manusia