FILSAFAT MANUSIA Filsafat Manusia Menurut Muhammadiyah.

(1)

BAB II

FILSAFAT MANUSIA

A. Pengertian Filsafat Manusia

Studi tentang manusia sampai dua abad yang lalu disebut de anima. Studi ini bersifat empiris dan metafisik. Menurut Muji Sutrisno, Ch. Wolff (1679-1754) telah memisah istilah diatas menjadi dua buah studi baru yaitu psikologi empirik dan psikologi rasional.1 Tahun 1798 dalam bukunya Antropologie in Pragmatischer Hinsicht, Immanuel Kant mengganti istilah tersebut dengan kata antropologi yang juga membatasi kata tersebut sebagai suatu ajaran tentang pengertian manusia yang disusun secara sistematik. Dewasa ini ketika terdapat istilah antropologi secara luas telah menunjukkan tiga disiplin ilmu yang berbeda, yaitu pertama, antropologi ragawi yang membahas manusia dilihat dari aspek asal-usul fisiknya, kedua antropologi budaya yang membatasi diri pada aspek asal-usul historis kebudayaannya, ketiga, antropologi filsafat yaitu sebuah kajian yang mengkaji tentang asal-usul fundamentalnya.2 Sehingga antropologi filsafat dapat juga disebut sebagai filsafat manusia dalam kajian ini.

Filsafat manusia adalah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan sistem filsafat yang secara khusus menyoroti tentang hakikat atau esensi

1 Manusia dalam kesimpulan psikologi disebut „binatang yang berfikir‟, belakangan

kesimpulan ini mendapat berbagai pertimbangan untuk ditinjau kembali. Diantaranya Ernest Sosa and David Galloway, “Man The Rational Animal?”, dalam Synthese,(June, 2000), hlm. 165-166.

2

Selebihnya lihat FX. Mudji Sutrisno (Ed.). Manusia dalam Pijar-Pijar Kekayaan Dimensinya..., hlm. 18.


(2)

manusia yang paling dalam.3 Ada definisi yang lain yang dapat dirumuskan sebagai suatu refleksi atas pengetahuan dan pengalaman yang dilaksanakan dengan rasional, kritis-ilmiah dengan tujuan memahami diri manusia dari segi yang paling dasar.4 Berpijak dari uraian sebelumnya, filsafat manusia dapat diuraikan sebagai suatu kajian yang paling fundamental tentang pengetahuan dan pengalaman segala dimensi manusia yang dilaksanakan dengan rasional, metodologis-sistematis dengan filosofis-reflektif dengan tujuan memahami manusia sedalam-dalamnya.

B. Ontologi Filsafat Manusia 1. Pengertian Manusia

Manusia sebagai makhluk Allah yang paling sempurna (ahsanul taqwim) dan paling unik sebagai objek dan subjek dari berbagai ilmu dan dengan kajian ini banyak muncul berbagai ilmu. Manusia sebagai subjek berarti diri sendiri ini mengkaji dirinya sendiri, manusia sebagai objek apabila manusia tersebut ada dalam ada, sehingga ada sebagai objek untuk menjadi objek yang ada. Adapun pertanyaan „Siapakah manusia itu?‟ menjadi pertanyaan yang paling mendasar dan pertanyaan yang paling klasik sepanjang sejarah manusia. Sebelum Sokrates (469-399 SM) sudah muncul pertanyaan semacam ini. Pada zaman tersebut sudah banyak para pemikir yang berusaha menjawab pertanyaan tersebut.5

3

Kasdin Sihotang, Filsafat Manusia: Upaya Membangkitkan Humanisme..., hlm. 22.

4

Selebihnya lihatAdelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks danSeruan, cet. ke-6, (Yogyakarta: Kaninius, 2014), hlm. 18.

5

Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Baratdan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko, dkk, Cetakan III,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 583


(3)

Menurut Laming, ada beberapa cara atau kerangka teori yang dapat digunakan dalam memahami manusia. Pertama, apa yang disebut sebagai perilaku semi mekanis dari manusia. Manusia mempunyai aspek isntingtif yang bersifat mekanis dalam dirinya. Perilaku ini seringkali mempengaruhi perilaku manusia yang dapat dipelajari dengan pendidikan dan dengan kultur secara rutin. Akan tetapi perilaku manusia tidak sepenuhnya mekanis. Terkadang menyebut perilaku manusia sebagai mekanis, karena terbiasa dengan berpikiran secara mekanis. Namun, ketika dilihat (berfikir) secara jauh tidak ada perilaku yang tidak mekanik dan sama sekali terlepas dari kesadaran pelakunya.

Kedua, dengan mengambil celah dari sudut pandang pertama, Laming menyebut teori ini dengan sudut pandang personal atau sudut pandang kamera (personal and camera view). Sebagai contoh, ketika Sang Dalang dalam memainkan wayang semalam suntuk tidak pernah pergi kekamar kecil. Bagi para penonton itu adalah hal yang biasa dan mudah dilihat dan bersifat mekanis. Namun bagi Sang Dalang samasekali tidak bersifat mekanis, ia harus melatih setiap waktu dengan beberapa resiko. Inilah perilaku sadar yang hanya dipahami dengan mengunakan sudut pandang personal. Ketiga, dengan sudut pandang teori pengaruh sosial. Perilaku dan motivasi manusia sangatlah dipengaruhi oleh lingkungan sosial, tempat lahir dan berkembangnya. Tidaknya perilaku-perilaku itu saja yang mempengaruhi, tetapi juga konsep-konsep, atau dasar-dasar yang


(4)

tertanam pada ranah sosial.6 Dengan sudut pandang ini manusia setidaknya dapat melihat bagaimana keadaan manusia tersebut, sehingga ia mengerti dirinya sendiri.

Menurut Adelbert Snijders ada beberapa hal menyangkut tentang berbagai sisi manusia, yaitu pertama, manusia sebagai makhluk yang selalu bertanya. Manusia akan selalu bertanya, dan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dialaminya. Satu pertanyaan akan melahirkan atau melibatkan setidaknya satu macam ilmu yang akan berperan dalam memberikan jawaban dari pertanyaan tersebut. Tentunya, satu ilmu mempunyai disiplin dan metode sendiri dalam menjawabnya. Khazanah antropologi filsafat atau juga sering disebut sebagai filsafat manusia pertanyaan tersebut dijawab dengan refleksi filosofis. Kedua, manusia sebagai makhluk yang eksentris. Hal ini berkaitan dengan titik tolak dalam kajian filsafat manusia yang berbeda-beda dan terbuka berbagai macam kemungkinan untuk itu. Akhirnya, semua jalan filsafat akan berangkat dari intuisi yang dari implisis, kabur, remang-remang, menjadi nyata dan pada gilirannya akan menjadi eksplisit.

Ketiga, manusia sebagai makhluk paradoksal, ini artinya manusia dalam perumusan atas dirinya sendiri terjadi dalam dua kebenaran yang bertentangan, bukan kebenaran yang salah satu benar dan yang lain salah (baca: kontradiksi). Manusia termasuk dalam alam ini namun sekaligus bergantung kepadanya, manusia bebas dan terikat, jasmani dan rohani.

6

Reza AA Wattimena, G Dewi Nugrohadi dan A. Untung Subagya, Menjadi Manusia Otentik (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hlm. 9-10.


(5)

Keempat, manusia adalah makhluk yang dinamis. Manusia maju dengan dunianya menuju diri sejati dengan tetap mempererat tali hubungannya dengan Tuhan. Dinamika manusia ada dalam dunia manusi itu, manusia bebas dan bertanggung jawab, yang sekaligus ada dorongan secara metafisik untuk menuju diri yang sejati yang tidak diikuti dengan keperluan (dorongan kodrati yang bersifat keperluan seperti ulat menjadi kupu). Tetapi secara nyata tetap terikat secara etis. Kelima, manusia sebagai makhluk multidimensional. Sudah terjadi bahwa manusia adalah makhluk kesatuan, tetapi dalam kesatuan itu ditemukan berbagai dimensi manusia dengan segala tingkatan ontologisnya yang tentunya berbeda-beda. Dapat terjadi dalam diri manusia hidup seolah-olah bagaikan satu dimensi saja.7 Akan tetapi jawaban diatas hanya dapat memberikan jawaban atas masalah-masalah temporer tidak mencakup masalah abadi, yaitu masalah masa silam, akan datang maupun masa selanjutnya. Tidak ada jawaban yang dapat menjawab permasalahan diatas kecuali kepercayaan agama yang diyakini kebenarannya secara mutlak oleh umat manusia.

2. Eksistensi Manusia

Kata eksistensi dalam kajian eksistensialisme adalah suatu istilah filosofis yang mengandung arti khusus. Kata eksistensi dikhususkan untuk cara berada manusia yang khas. Hanya manusialah yang bereksistensi. Karena eksistensi tidak dapat disamakan dengan berada. Pohon, batu,

7

Selebihnya lihat Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks dan Seruan..., hlm. 13-16. Lihat juga Murtadho Mutahari, Perspektif Al-Quran tentang Manusia dan Agama (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 125.


(6)

kucing dan segala yang lain pun ada, tetapi tidak bereksistensi. Hal ini akan lebih jelas, jika kekhasan manusia ini dihadapkan dengan materialisme dan spiritualisme.8 Arti khas kata eksistensi menjadi jelas bila dilihat dari susunan katanya. Kata ini berasal dari bahasa Latin existere, dari ex yang artinya keluar dan sistentia yang artinya berdiri, artinya apa yang ada, apa yang memiliki aktualitas, apa saja yang dialami. Konsep ini menekankan bahwa sesuatu itu ada. Selain itu, konsep ini tidak sama dengan apa yang dapat dilihat manusia dengan pancaindera. Misalnya, perdebatan pada zaman prasokratik, yaitu kelompok materialisme yang diwakili oleh Empedokles, Anaxagoras, dan Demokritos. Demokritos berpendapat bahwa satu-satunya yang ada adalah yang dapat disentuh tangan manusia. Sokrates dan Plato membantah hal ini, Plato berpendapat bahawa apa yang disentuh dengan tangan itu semata-mata wakil dari ide-ide. Berkat Aristoteles perdebatan dua ajaran ini dapat dipadukan.

Konsep eksistensi juga tidak sama dengan pemikiran pluralisme dan filsafat nilai modern. Satu-satunya faktor dalam konsep eksistensi yang membedakan setiap hal yang ada dari tiada adalah fakta. Setiap hal yang ada itu mempunyai eksistensi atau ia adalah suatu eksisten, dengan demikian jika sesuatu itu sama sekali tidak berhubungan dengan eksistensi maka juga sama sekali tidak tampil sebagai suatu eksisten. Dengan menyatakan bahwa manusia bereksistensi berarti manusia baru dapat

8

Selebihnya lihat Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks dan Seruan..., hlm. 23.


(7)

menemukan diri sebagai aku yang keluar dari dirinya. Salah satu cara untuk mendekati eksistensi sebagai pengalaman asasi ialah dengan mengintensifkan kehadiranku pada diriku yang berbadan. Aku berada didunia melalui badanku. Badanku menjadi badan manusiawi karena kesatuannya dengan aku. Jika badanku sakit, maka aku juga sakit. Jika kakiku berjalan, maka aku juga berjalan. Jika mataku terbuka, akulah yang memandang. Jika badanku disentuh, akullah yang disentuh. Akan tetapi jika, bajuku robek, bukan aku yang robek. Badanku merupakan satu kesatuan dengan aku. Badanku dan aku adalah identik, tetapi sekaligus tidak identik. Aku melalui badanku hadir di dunia. Aku yang terlepas dari dunia tidak kutemukan. Tidak mungkin memikirkan suatu cara berada manusia yang tidak sekaligus suatu cara berada didunia. Aku menjadi aku berkat bertemu dengan sesama dan dunia.9 Dengan demikian manusia dikatakan bereksistensi, jika manusia tersebut sudah bergabung antara aku dan badan yang berada didunia. Jika manusia masih berada dalam alam ruh atau belum tercipta, maka aku belum berada.

Ber-eksistensi menurut Heidegger disebut dasein, dari kata da yang berarti „disana‟ dan kata sein yang berarti „berada‟, sehingga kata ini berarti berada disana, yaitu ditempat. Manusia senantiasa menempatkan diri ditengah-tengah dunia sekitarnya, sehingga ia terlibat dalam alam sekitar dan bersatu dengannya. Sekalipun demikian manusia tidak sama dengan dunia sekitarnya, tidak sama dengan benda-benda, sebab manusia

9

Uraian secara luas dapat dilihat dalam Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks dan Seruan..., hlm. 25-28 dan Save M. Dagum, Filsafat Eksistensialisme, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm. 18-24.


(8)

sadar akan keberadaannya itu. Ajaran eksistensialisme sebenarnya adalah suatu aliran filsafat yang bersifat teknis, yang menjelma dalam bermacam-bermacam sistem yang berbeda dengan ciri-ciri yang sama. Ada empat pemikiran yang setidaknya secara jelas dapat disebut filsafat eksistensialisme, yaitu pemikiran Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, Karl Jaspers dan Gabriel Marcel. Ciri persamaan tersebut adalah pertama, eksistensi, yaitu cara manusia berada, hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia berada. Pusat perhatian ini terletak pada manusia itu sendiri, sehingga bersifat humanities.

Kedua, bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif untuk berbuat, menjadi dan merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaannya. Ketiga, manusia adalah realitas yang belum selesai, harus „membentuk‟. Pada hakekatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih kepada sesama manusia. Keempat, Filsafat eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang berbeda-beda. Heidegger memberi tekanan kepada kematian, yang menyuramkan segala sesuatu, Marcel kepada pengalaman keagamaan dan Jaspers kepada pengalaman hidup yang bermacam-macam seperti kematian, penderitaan, perjuangan dan kesalahan.10

10

Harun Hadiwiyono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Cetakan Kesebelas (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 149 dan Burhanuddin Salam, Filsafat Manusia: Antropologi Metafisika, Cetakan kedua, (Jakarta: PT. Bina Aksara Jakarta, 1988), hlm. 27-29.


(9)

3. Esensi dan Hakikat Manusia

Esensi berasal dari bahasa Latin, essentia yang artinya „ada‟. Secara filosofis adalah sesuatu yang membuat sesuatu itu sebagaimana adanya, bukan menjadi sesuatu yang lain, atau sesuatu yang dimiliki oleh sesuatu dan yang membuatnya dapat dikenal sebagai sesuatu yang partikular, dan tanpanya sesuatu itu tidak akan dikenal sebagai adanya, sebagai karakteristik penentu dari sesuatu. Esensi berbeda dengan eksistensi, jika esensi lebih menekankan „apanya‟ sesuatu, sedangkan eksistensi menekankan „apanya‟ sesuatu yang lebih sempurna. Esensi dan eksistensi dapat dikatakan identik dalam hal-hal tertentu seperti Tuhan, alam semesta atau yang absolut. Esensi berkaitan dengan hakikat manusia, maka berkaitan dengan unsur penyusun manusia itu, ruh dan jasad. Esensi dari manusia itu terletak dalam ruh sebagai peparing Tuhan atau jasad yang terbuat dari unsur tanah, malah kedua-duanya sebagai esensi atau hakikat manusia yang sering dilabeli dualisme atau monodualis. Dengan kesempurnaan ini sesuatu itu menjadi suatu eksisten.11 Rujukan yang paling kuno adalah Plato yang menyatakan bahwa jiwa manusia (atau pikiran) adalah entitas nonmaterial yang dapat tinggal terpisah dari tubuh.

Plato adalah salah satu sumber utama pandangan dualistik yang menyatakan bahwa jiwa manusia (pikiran) adalah sebuah entitas nonmaterial yang dapat hidup terpisah dari tubuh. Menurut Plato, jiwa sebagai sesuatu yang tidak dapat hancur dan akan hidup abadi setelah mati.

11

Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1995), hlm. 99-100 dan lihat Ali Mudhafir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat (Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm. 27.


(10)

Argumen-argumen Plato terdapat dalam Meno yang membuktikan praeksistensi jiwa, menjelaskan bahwa kegiatan belajar sesungguhnya hanya sejenis jiwa yang “mengingat kembali” benda-benda sebelum lahir (dialog Adam As dengan malaikat (Islam) atau sejenis reinkarnasi). Plato menyatakan bahwa kemampuan menyadari validitas langkah-langkah dan sebuah kesimpulan merupakan sifat bawaan sejak lahir. Bukti lain dalam Phaedo, Plato menyebutkan beberapa argumen lain mengenai jiwa manusia yang tetap ada setelah kematian tubuh. Plato ingin membuktikan kesalahan teori materialisme yang diusung oleh atomisme Yunani awal, seperti Demokritos yang menyatakan bahwa jiwa manusia tersusun atas partikel-partikel kecil yang berhamburan ke udara pada saat mati. Ia juga menentang konsep bahwa jiwa adalah sejenis harmoni yang memfungsikan tubuh seperti musik yang berasal dari instrumen yang dimainkan dengan nada-nada yang tepat.

Plato menyajikan teori tiga elemen jiwa ini dalam imajinasi-imajinasi yang halus. Plato membandingkan jiwa seperti kereta kuda, ditarik seekor kuda putih (roh) dan kuda hitam (nafsu), di kendarai oleh seorang penunggang kuda (rasio) yang terus berusaha mengontrol laju kereta. Plato menyatakan bahwa roh biasanya ada di samping rasio ketika konflik batin muncul. Tetapi, roh suatu saat merupakan elemen yang berbeda dalam pikiran, pasti ada beberapa kasus pikiran yang bertentangan dengan Rasio. Kasus ini dapat dilihat dari pengalaman masing-masing


(11)

manusia. Aspek sosial yang tidak dapat dihilangkan dari teori hakikat manusia menurut Plato sebagai sifat alami bagi kemanusiaan.12

Al-Farabi dalam menyikapi hakikat manusia menggunakan teori emanasi yang dinamakan nadhariatul-faidl dengan uraiannya sendiri, walaupun ia menyetujui teori al-Kindi. Pada mulanya al-Farabi menerima prinsip Aristotelianisme yang menyatakan bahwa Tuhan itu ialah Akal yang berfikir, al-Farabi menamakannya akal murni. Akal murni itu Esa adanya, dalam arti bahwa akal itu berisi satu pikiran saja, yakni senantiasa memikirkan dirinya sendiri. Jadi Tuhan itu adalah akal yang berfikir (aqil) dan dipikirkan (ma‟qul). Dengan ta‟aqul ini mulailah ciptaan Tuhan.13

Ibnu Sina, seperti pendahulunya al-Farabi, juga menyatakan bahwa manusia terdiri dari unsur jiwa dan jasad. Jasad dengan segala kelengkapannya yang ada merupakan alat bagi jiwa untuk melakukan aktifitas atau kerja. Jasad selalu berubah, berganti, tumbuh, bertambah, dan semakin berkurang sesuai dengan berjalannya waktu (usia). Sehinggga ia mengalami kefanaan setelah berpisah dengan jiwa. Jadi menurut Ibnu Sina hakikat manusia adalah jiwa, bukan jasad, sehingga perhatian para filosof lebih jauh dalam mengkaji jiwa daripada jasadnya.14

Hal berbeda disampaikan oleh Ibnu Thufayl, bahwa kesadaran tentang diri akan membawa pada derajat tercapainya kesadaran tentang

12

Leslie Stevensen dan David L. Haberman, Sepuluh Teori Hakikat Manusia, terj. Yudi Santoso dan Saur Pasaribu, (Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2001), hlm. 144-154.

13

Poerwantana, A. Ahmadi dan MA. Rosali, Seluk Beluk Filsafat Islam, cetakan keempat, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1994), hlm. 133-134.

14


(12)

yang wajib-ada. Kesadaran tentang yang wajib ada sebagai hakikat esensi diri manusia dalam pandangan Ibnu Thufayl.15Ia menulis”

“Esensi yang telah mencerap pengetahuan tentang Wujud yang Wajib-Ada haruslah sesuatu yang bersifat immateri. Segala sesuatu diluar dirinya yang bersifat ragawi bukanlah hakikat dirinya. Hakikat esensi dirinya adalah sesuatu yang membawanya mengetahui Wujud Mutlak yang Wajib-Ada.”16

Muhammad Iqbal dari Pakistan berpendapat bahwa esensi manusia terletak pada pusat kesadaran yang bernama ego atau khudi. Kenyataan ini membuat manusia dipandang sebagai makhluk kerohanian. Sebagai makhluk rohani, khudi merupakan kesadaran dan perasaan bawaan yang membimbing manusia menuju martabat yang Agung. Iqbal bertolak dari al-Qur`an surat ar-Ra`du ayat 11, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan

mereka sendiri.” Esensi khudi mengacu pada pengertian yang

dikemukakan al-Qur`an tentang kedudukan manusia di alam semesta dan di tengah makhluk lain, yaitu sebagai khalifah Tuhan dan juga sebagai hamba-Nya.17

Ali Syari`ati mempunyai beberapa kategori konsep tentang bagaimana memaknai manusia, yaitu: khalifah, manusia dua dimensional, insan dan manusia tercerahkan. Keempatnya katagori di atas memiliki makna berbeda namun saling berhubungan antara makna satu dengan

15

Selebihnya lihat Muhammad „Usman Najati Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim terj. Gazi Saloom, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), hlm .266.

16

Abu Bakar Ibn Thufayl, Hay Bin Yaqzan dalam Abdul Kadir Riyadi, Antropologi Tasawuf:Wacana Manusia Spiritual dan Pengetahuan..., hlm. 264.

17

Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam: Dilengkapi dengan Puisi-Puisi Asrar-I-Khudi, terj. Ali Audah, Taufik Ismail dan Goenawan Muhammad, (Jakarta: Tinta Mas, reprint: Jalasutra, 2002), hlm.137-138.


(13)

makna yang lainnya. Hubungan makna inilah yang secara lahir tidak akan terjadi, akan tetapi adanya hubungan yang lebih erat lagi yang disebut hubungan esensi atau hubungan makna esensi manusia. Selanjutnya, Ali Syaria‟ati mengemukakan hubungan esensi dari kategori tersebut, yaitu bahwa manusia memiliki daya intelektual yang dilengkapi dengan atribut kesadaran diri, kebebasan, kreativitas serta memiliki moral yang agung untuk menuju tanggung jawab sebagai manusia sempurna. Kalimat sempurna dalam pemaknaan Ali Syari'ati dapat dilihat dalam tulisannya, “Saya mencari esensi saya dan tidak dapat menemukannya, saya adalah bayangan-Nya. Dimanakah Dia?”

4. Stuktur Manusia

Manusia adalah makhluk yang diciptakan Tuhan yang paling sempurna, sebagai „Pengganti‟ Tuhan dibumi ini. Manusia mempunyai dua unsur yaitu jiwa dan jasad. Jiwa berasal dari alam perintah (alamu‟l amar) dan akal kesepuluh dan unsur jasad berasal dari alam ciptaan. Sehingga jiwa merupakan unsur yang terpenting dan paling berpengaruh daripada jasad. Menurut al-Farabi kesatuan jiwa dan jasad merupakan kesatuan accident. Artinya, kedua unsur tersebut mempunyai substansi yang berbeda dan hancurnya jasad juga tidak dibarengi dengan hancurnya jiwa. Al-naf al-nathiqah yang berasal dari Alam Illahi, sedangkan jasad dari alam khalaq, bentuk, rupa, dan berkadar. Jiwa-jiwa manusia mempunyai daya-daya, yaitu: pertama, daya gerak yang terdiri dari daya makan (nutrion), memelihara (preservation), dan daya berkembang


(14)

(refroduction). Kedua, daya mengetahui yang terdiri dari daya merasa (sensation) dan imajinasi (imajination). Ketiga, daya berfikir yang mempunyai akal praktis (practical intellect) dan akal teoritis (theoretical intellect).

Jiwa menurut al-Farabi adalah kesempurnaan pertama bagi jisim alami yang organis yang memiliki kehidupan dalam bentuk potensial. Jiwa ada forma dari jasad, yang diartikan sebagai jauhar (substansi) yang berdiri sendiri yang juga berasal dari akal kesepuluh. Hal ini membentuk hubungan antara jiwa dan jasad tidak berhubungan esensial melainkan hubungan aksidental (tidak ada saling ketergantungan). Apabila jasad mati, jiwa tidak akan mati sebab jasadnya hancur. Maka, jiwa adalah abadi, inilah paham al-Farabi. Jiwa yang dinyatakan abadi oleh al-Farabi, masih dibedakan menjadi jiwa khalidah dan jiwa fana‟. Jiwa khalidah adalah fadilah, yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan berbaik, serta dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani atau materi. Jiwa ini tidak akan hancur dengan hancurnya badan. Termasuk juga jiwa yang ada dalam tingkat akal mustafad. Sedangkan jiwa fana adalah jiwa jahilah, tidak akan mencapai kesempurnaan karena belum dapat melepaskan diri dari ikatan materi dunia. Jiwa ini akan hancur bersama hancurnya badan.18

Ibnu Sina, seperti pendahulunya al-Farabi, juga menyatakan bahwa manusia terdiri dari unsur jiwa dan jasad. Jasad dengan segala kelengkapannya yang ada merupakan alat bagi jiwa untuk melakukan

18

Hasyim Nasution, Filsafat Islam dalam Udang Ahmad Kamaluddin, Filsafat Manusia: Sebuah Perbandingan Antara Islam dan Barat, (Bandung : Pustaka Setia, 2013), hlm. 128-129.


(15)

aktifitas atau kerja. Jasad selalu berubah, berganti, tumbuh, bertambah, dan semakin berkurang sesuai dengan berjalannya waktu (usia). Sehinggga ia mengalami kefanaan setelah berpisah dengan jiwa.19 Jiwa berasal dari akal kesepuluh dibawah bulan dalam teori emanasi Ibnu Sina.20 Objek pemikiran dalam teori emanasinya adalah Tuhan, dirinya sebagai wajibul wujudnya dan dirinya sebagai mumkinul wujud, dari objek pemikiran tentang Tuhan muncul Akal-Akal, dari objek pemikiran tentang dirinya yang wajibul wujud timbul jiwa-jiwa dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mumkinul wujud timbul langit-langit. Jiwa dalam kajian Aristoteles terbagi menjadi tiga jiwa yang juga diamini oleh Ibnu Sina,21 yaitu: pertama jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya kekuatan makan (nutrition), tumbuh (growth) dan berkembang biak (reproduction). Kedua jiwa binatang yang terdiri dari jiwa gerak (locomotion) dan jiwa menangkap (perception). Daya menangkap ini mempunyai dua bagian yaitu daya tanggap dari luar dengan alat pancaindera dan daya tangkap dari dalam dengan indera-indera dalam. Daya tangkap dari dalam ini juga mempunyai beberapa komponen yang mempunyai beberapa fungsi sesuai dengan daya komponen tersebut.

19

Hasbullah Bakry, Disekitar Filsafat Skolastik Islam, (Jakarta: Tintamas, 1984), hlm. 50.

20

Ada beberapa bukti untuk meyakinkan adanya jiwa ini, yaitu argumen alam kejiwaan, argumen „aku‟ dan kesatuan gejala-gejala kejiwaan, argumen kesinambungan dan argumen manusia terbang, secara jelas diuraikan dalam Poerwantana, A. Ahmadi dan MA. Rosali, Seluk Beluk FilsafatIslam..., hlm. 157-161.

21

Pengertian jiwa menurut Ibnu Sina diuraikan oleh Usman Najati secara luas, demikian juga macam macam stuktur daya jiwa, selebihnya lihat Muhammad „Usman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim..., hlm.171.


(16)

Komponen indera bersama (common sense), yang berfungsi untuk menangkap semua rangsang yang ada dalam sensorik segala pancaindera. Komponen representasi (representation) yang bertugas untuk menyimpan segala apa yang ditangkap dan telah disampaikan oleh rangsang indera bersama. Selanjutnya, komponen imajinasi (imagination) berusaha menyusun apa-apa yang ada dan melanjutkan segala yang ada dalam komponen refresentasi. Dilanjutkan ke komponen estimasi (estimation), komponen ini dapat menangkap dari sensorik komponen imajinasi yang bersifat abstrak dan diluar benda imajinasi. Terakhir komponen sensorik rekoleksi, komponen sensorik tersebut berguna untuk menyimpan apa-apa yang bersifat abstrak yang ada dalam estimasi. Ketiga, adalah jiwa manusia, yang terdiri dari jiwa praktis (practical) yang berhubungan dengan badan-wadag. Jiwa teoritis (theoretical) sebagai isi dari jiwa manusia yang berhubungan dengan jiwa-jiwa abstrak.

Jiwa yang abstrak ini terdapat maqam-maqam, yaitu: maqam akal materi (material intellect) sebagai maqam awal yang berfungsi untuk berfikir yang belum terlatih samasekali. Maqam akal abstrak (intelektus inhabitu) sebagai maqam kedua yang sudah terlatih untuk berfikir hal-hal yang bersifat abstrak. Maqam aktuil adalah maqam ketiga yang berfungsi sebagai akal yang dapat berfikir hal-hal yang bersifat abstrak. Maqam terakhir, adalah akal mustafad, yaitu akal yang sudah terbiasa untuk berfikir hal-hal yang abstrak, tentunya juga sudah terlatih sedemikian rupa. Sehingga hal-hal yang bersifat abstrak sudah ada dalam akal tersebut, akal


(17)

inilah yang sanggup berhubungan dan berinteraksi dengan akal-aktif.22 Menurut Ibnu Rusy, akal-aktif dan akal-materi sebagai substansi yang kekal yang independen ada di luar dari jiwa manusia. Artinya, antara akal-aktif dan akal-materi berpisah satu sama lain, tidak saling berhubungan atau tidak saling mempengaruhi.23

Menurut al-Farabi, akal-aktif bukan merupakan maqam dari manusia intelek, melainkan merupakan substansi imaterial yang ada dari jiwa manusia. Tugas dari akal-aktif adalah membawa manusia ke tingkat tertinggi dari kesempurnaan, yang didedikasikan hanya untuk manusia. Akal-aktif berfungsi mengaktualisasikan potensi rasional dalam manusia dan membuat benda-benda lain dapat dimengerti dalam pikiran manusia, hal ini dilihat dari tercapainya kecerdasan yang sebenarnya dan kemakmuran akhirnya. Al-Farabi mengibaratkan peran akal-aktif dalam kesempurnaan jiwa rasional, dengan matahari yang menyinari benda, sehingga benda tersebut terlihat manusia. Benda terlihat mata karena tersinari matahari. Mata dapat melihat karena ia menerima cahaya dari matahari. Akal manusia dapat mengaktualisaikan potensi jiwa rasionalnya, apabila mampu menerima aktualisasi dari akal-aktif.24

22

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, cetakan kedua, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 35-37.

23

Selebihnya lihat Davoud Zandi, “Rational Explanation of the Relationship between the Material Intellect and the Active Intellect from the Perspective of Averroes”, dalam International Journal of Islamic Thought, Vol. 8: (Dec. 2015), hlm. 14.

24

Davoud Zandi, “A Comparative Study of the Relationship between the Material Intellect and the Active Intellect from the Perspective of Averroes and Al-Farabi”, dalam Journal of IslamicStudies and Culture, Vol. 3, No. 2, (December 2015), hlm.40-41.


(18)

Menurut Ibnu Sina, jiwa manusia sebagai entitas tersendiri yang mempunyai wujud tersendiri terlepas dari badan (benda) atau wadah. Jiwa manusia tercipta ada karena ada wadah atau badan yang sesuai dengan frekuansi jiwa yang dapat menerimanya untuk lahir didunia. Hubungan wujud yang sempurna antara jiwa (shurah) dan benda (maddah) dalam kajian Ibnu Sina terletak dalam diri al-khair yang tidak terdapat dalam jirmul-falakil-aqsha. Benda (maddah) akan selau rindu kepada jiwa (shurah) yang diandaikan dengan topeng yang sangat indah. Rasa kerinduan ini akan berdampak pada rasa keinginan untuk mencapai pada maqam zat yang tertinggi (al-jawahirul „alawiyah).25 Pada awalnya jiwa sebagai entitas tersendiri dari badan, tetapi pada awalnya penciptaan jiwa (didunia) wujud badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir. Pancaindera dan daya-daya batin dari jiwa binatang seperti indera bersama, estimasi dan rekoleksi yang menolong jiwa manusia untuk memperoleh konsep-konsep dasar yang diperlukan jiwa untuk mencapai tahap kesempurnaannya (al-jawahirul „alawiyah). Tetapi pada suatu waktu jiwa binatang tersebut malah menjadi penghalang jiwa manusia untuk mencapai derajat kesempuraan. Karena jiwa manusia merupakan satu entitas tersendiri yang terlepas dari badan.

Jiwa binatang dan jiwa tumbuh-tumbuhan yang ada pada diri manusia, hanya berfungsi fisik dan jasmani akan mati bersamaan dengan matinya badan wadah yang tidak akan hidup kembali pada hari

25

Selebihnya lihat Poerwantana, A. Ahmadi dan MA. Rosali, SelukBeluk Filsafat Islam..., hlm. 149.


(19)

pembangkitan. Jiwa manusia karena bersifat dan berfikir abstrak yang berbeda dengan jiwa binatang dan tumbuh-tumbuhan, maka pembalasannya tidak didunia ini, tetapi akan disampaikan diakhirat kelak. Jiwa jenis ini bersifat kekal selamanya. Jika jiwa manusia ini sudah sempurna sebelum berpisahnya dengan badan (meninggal), maka jiwa ini akan terus sempurna selamanya dan mendapatkan kesenangan yang kekal. Selanjutnya, jika jiwa ini berpisah dengan badan tidak dalam keadaan sempurna, karena telah dipengaruhi jiwa-jiwa binatang dan tumbuh-tumbuhan maka ia akan menyesal dan akan terkutuk untuk selamanya dialam akhirat kelak.26

Manusia menurut Ali Syari‟ati adalah gabungan dari lumpur dan roh Allah, manusia adalah zat yang berdimensi, makhluk yang bersifat ganda, berbeda dengan makhluk Allah yang unidimensional. Dimensi yang satu cenderung kepada susunan lumpur yang bersifat rendah, stagnan dan immobilitas. Dimensi yang lain, berasal dari roh Allah, sebagaimana al-Qur‟an menyebutkan asal-muasal tersebut, dimensi ini cenderung untuk meningkat dan berjalan kepuncak yang setinggi-tingginya yang dapat diraih yaitu menuju kepada-Nya bukan bersatu dengan Tuhan. 27

Hal yang sama juga disampaikan oleh Muhammad Baqir ash-Shadr yang membagi manusia menjadi dua sisi, yaitu sisi spritual dan sisi material. Sisi materialnya tersusun dari komposisi organik, sedangkan sisi

26

Ibid, hlm. 38.

27 Ali Syari‟ati,

Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifullah Mahyudin, (Yogyakarta: Ananda, 1982), hlm. 90 dan lihat Ali Syari‟ati, Tugas Cendikiawan Muslim, terj. M. Amien Rais, (Yogjakarta:Shalahuddin Press;reprint: Jakarta: PT RajaGrafndo Persada, 1995), hlm. 6-7.


(20)

spiritualnya atau nonmaterial yang merupakan pentas aktivitas pemikiran dan mental. Manusia tidak hanya berwujud kumpulan dari materi yang sangat kompleks, tetapi personalitasnya terdiri dari materi dan nonmaterial yang jamak disebut dualitas. Sadr mengatakan cukup sulit untuk mengetahui hubungan antara dua komponen manusia tersebut. Ada pendapat yang menjelaskan hubungan antara keduanya sangat erat, dan saling mempengaruhi diantara keduanya. Apabila seseorang melihat pocong dalam kegelapan, maka gemetarlah seseorang tersebut, apabila seseorang berfikir, maka terjadilah suatu aktifitas tertentu. Ini akibat pengaruh jiwa (nonmateri). Apabila usia ketuaan secara perlahan sudah merayapi tubuh, lemahlah segala aktifitas mental, atau jika seseorang pemabuk sedang tenggelam dalam minumannya, ia akan melihat benda sebagai dua benda yang sama. Akibat dari pengaruh jiwa terhadap tubuh.

Sadr sependapat dengan filosof muslim Sadr al-Muta‟allihin asy -Syirazi tentang hubungan antara nonmaterial dan material. Filosof ini telah menemukan gerak substansial dalam jantung alam. Gerak ini sebagai sumber primer dari setiap gerak yang dapat ditangkap oleh segala indera yang terjadi di alam raya, termasuk manusia. Materi dalam gerakan substansialnya berusaha untuk menyempurnakan wujudnya dan terus-menerus berusaha melepaskan wujud materialitasnya dengan syarat-syarat tertentu menjadi wujud yang nonmaterial, yaitu wujud spiritual. Jadi, antara keduanya tidak ada dinding pemisah, tetapi keduanya sebagai dua wujud keberadaan yang berbeda. Meskipun ia nonmaterial, ia tetap


(21)

memiliki hubungan material, karena yang nonmaterial tersebut adalah maqam tertinggi dari riyadhah materi dalam gerak penyempurnaanya yang substansial. Jembatan yang baik ini sebagai temuan yang apik dalam hubungan antara materi dan nonmateri dari filosof diatas. Sadr menambahkan bahwa jiwa itu sendiri tidak lain adalah imaji material yang menjadi tinggi karena gerak substansial. Perbedaan antara sisi spritualitas dan materialitas hanya terletak pada perbedaan derajat saja, seperti panas yang tinggi dengan panas yang rendah. Tidak boleh juga beranggapan bahwa jiwa adalah produk materi dan menjadi salah satu efeknya. Namun, sebenarnya adalah produk gerak substansial yang bukan produk dari materi itu sendiri. Sebab, setiap gerak berasal dari munculnya sesuatu dari potensialitas ke aktualitas secara berangsur-angsur. Potensialitas tidak dapat menciptakan aktualitas dan kemungkinan tidak dapat menciptakan keberadaan. Jadi, gerak substansial memiliki sebab diluar materi yang bergerak. Ruh yang merupakan sisi nonmaterial manusia adalah produk gerak tersebut. Adapun gerak ini sendiri adalah jembatan antara materialitas dan spritualitas.28

C. Epistemologi Filsafat Manusia 1.Penciptaan Manusia

Kreasionisme berarti bahwa dunia fisik dan segala yang ada di dalamnya ada secara obyektif dan secara nyata; dunia fisik bukan rupa dan

28

Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna: Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr Terhadap Pelbagai Aliran Filsafat Dunia, terj. M. Nur Mufid bin Ali, Cetakan V (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 270-272. Keterangan berkaitan dengan teori gerak potensialitas dan aktualitas dapat dilihat pada buku yang sama pada halaman 155-163.


(22)

ilusi. Gagasan penciptaan dunia dan (peng)ada-(peng)ada hanya mempunyai arti jika dunia ada secara nyata, dengan suatu eksistensi yang khas baginya. Penciptaan berarti alam semesta secara fisik bukan “ada” mutlak, dan tidak mencukupi untuk dirinya sendiri. Dengan demikian, alam semesta secara fisik didedivisasi dan di deklarasi. Alam semesta itu ada, tetapi ia bukan “ada” yang mutlak. Ia bersifat kontingen dan tergantung pada Dia, satu-satunya yang dapat memberikan keadaan. Ia tergantung pada Ada yang mutlak, yaitu Allah.

Tuhan dalam memberikan keadaan kepada alam semesta tidak berpangkal dari suatu khaos materi dan alam semesta bukan bagian Dzat Ilahi. Semua pengada yang ada dalam alam semesta selalu mempunyai awal. Sebab jika pengada-pengada itu merupakan bagian Dzat Ilahi, pengada-pengada itu tentu tidak diciptakan, karena mereka adalah keahlian itu sendiri dalam keadaan tercerai-berai, terpotong-potong, atau terasing. Penciptaan dunia dan pengada-pengada yang mendiami dunia tidak membawa perubahan dalam diri Tuhan, tidak mengubah Tuhan. Pengada-pengada sebagai isi dunia diadakan berdasarkan anugerah kebaikan hati Tuhan. Alam semesta bukanlah hasil dari suatu keharusan dalam diri Tuhan, bukan pula akibat dari tragedi yang terjadi secara berturut-turut dalam diri Tuhan. Teisme kreasionisme sama sekali tidak mengenal mitos-mitos teogini, sistem-sistem gnostik dan spekulasi-spekulasi teofis. Karya Tuhan adalah karya kemurahan hati-Nya dan karya kasih-Nya.


(23)

Paham kreasionis mewariskan kepada pemikiran manusia ialah keunggulan radikal eksistensi fisik, kosmik, inderawi, badani, atau suatu optimism mendasar. Ajaran teis-kreasionis mengajarkan bahwa alam semesta bukan bagian Dzat Ilahi dan bahwa alam semesta tidak kekal, ajaran teis kreasionis telah mendesakralisasi dan mend-dedivinisasi alam semesta samasekali. Ajaran ini merupakan suatu hal yang baru, sebab bangsa-bangsa Timur purba dan orang-orang Yunani justru mengakui keilahian alam semesta.

Teisme kreasionis yang muncul dari tradisi Yudeo-Kristiani sebagai pendahulu rasionalitas modern, ilmu-ilmu yang berasarkan percobaan, dan teknik. Teisme kreasionis terluput juga dari mitos pengulangan abadi dalam suatu alam semesta abadi dan siklis. Teisme kreasionis justru mengakui bahwa alam semesta mempunyai awal, dan menegakkan suatu pandangan sejarah kosmik yang bersifat tanpa ulangan dan terarah kepada suatu titik akhir yang akan merupakan pemenuhan akhirnya. Mistik yang muncul dari tradisi Yudeo-Kristiani merupakan sesuatu yang baru, jika dibandingkan dengan keadaan pemikiran manusia saat itu di Timur zaman purba. Mistik yang khas bagi teisme kreasionis adalah berpangkal dan bertujuan dalam persatuan antara pengada-pengada tercipta dengan Dia yang merupakan penciptanya; persatuan itu tidak mengakibatkan lenyapnya pribadi-pribadi melainkan justru mengukuhkan mereka untuk selama-lamanya dengan tetap memiliki perbedaan dan keaslian mereka masing-masing.


(24)

Kasih antara pengada hanyalah mungkin jika pengada-pengada itu benar-benar berbeda dengan yang lain dan masing-masing pengada itu unik kepribadiannya. Metafisika kasih hanyalah mungkin jika didasarkan pada metafisika pencipta, yang mengakui kenyataan eksistensi pengada-pengada yang beranekaragam itu dan yang memandang kejamakan itu bukannya sebagai suatu kekurangan atau suatu hal yang negatif melainkan justru sebagai suatu sifat yang positif dan dikehendaki oleh Tuhan. Teisme kreasionis mempunyai titik pandang eksistensi badani, unik, individual merupakan suatu penciptaan yang positif, bukanlah suatu kemalangan, ilusi ataupun kemerosotan dalam tradisi falsafi India. Etika teismekreasionisme didasarkan pada suatu ontologi kepribadian, suatu teori umum tentang “ada”, tentang yang satu dan yang beranekaragam.29

Teori kreasionisme diatas bertolakbelakang dengan pandangan teori evolusi yang digagas oleh Lamarck dan C. Darwin. Lamarck telah menunjukkan ketidakberubahan relatif, spesies, yang tetap hanya secara temporer. Jika kondisi kehidupan itu berubah, maka spesies-spesies itu berubah, ukuran, bentuk, proporsi pada berbagai bagian, warna, kekuatan, kegesitan dan ketekunannya. Perubahan-perubahan yang terjadi didalam lingkungan telah memodifikasi kebutuhan-kebutuhan atau menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru. Kebiasaan-kebiasaan baru itu akan membuat mereka lebih mengutamakan organ-organ tertentu dan mengabaikan organ-organ yang lain. Jika sebuah organ dibiarkan tidak berguna, maka

29

Louis Leahy SJ, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, (Yogyakarta: Kanisius dan BPK Gunung Mulia), hlm. 203-207.


(25)

organ tersebut akan mengerut, yang mungkin pada akhirnya akan menghilang.

Menurut pengamatannya, gigi hewan-hewan yang tidak mengunyah makanan, cenderung berhenti tumbuh atau tidak muncul samasekali. Contohnya adalah tikus mondok, yang matanya kecil sehingga tikus tersebut sering tidak dapat melihat semasekali. Suatu organ jika digunakannya secara terus-menerus akan membuat organ tersebut terus berkembang. Telaah atas variasi-variasi ini mendorong Lamarck untuk menyimpulkan bahwa ketika perubahan terjadi, suatu perubahan itu adalah perubahan untuk menjadi organ yang lebih kompleks secara intensif dan variasi-varasi ini diturunkan kepada anaknya. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh C. Darwin. Darwin menamai teorinya dengan seleksi alam. Seperti dalam kutipan “...Terlestarinya variasi-variasi yang menguntungkan dan tertolaknya variasi-variasi yang tak menguntungkan, saya namakan Seleksi Alam.” Darwin bermaksud mengemukaan sebuah teori mengenai asal-usul spesies melalui sarana seleksi alam atau bertahannya ras-ras yang beruntung dalam perjuangan untuk mempertahankan kehidupan.

Darwin mencatat bahwa terdapat banyak ragam ciri khas yang ada pada individu-individu yang termasuk dalam suatu spesies tertentu, alasan ini sangat mirip dengan alasan yang dikemukakan oleh Lamarck. Darwin menyatakan bahwa sel-sel reproduktif juga termodifikasi yang memiliki sifat-sifat baru itu turun-temurun kepada anaknya. Darwin selangkah lebih


(26)

maju dari Lamarck, keuntungan-keuntungan yang didapat dari modifkasi-modifikasi tententu yang dikekalkan oleh alam, melalui seleksi, dengan cara mengalahkan yang lemah diantara mereka yang mampu bertahan hidup. Seleksi alam tersebut juga terjadi seleksi seksual, jenis perempuan memilih jenis laki-laki yang paling kuat.

Darwin berusaha menemukan mekanisme yang melalui mekanisme tersebut satu spesies dapat berubah menjadi spesies lainnya, dia tidak melihat asal-usul jenis-jenis dasar organisasi. Dia tidak hanya menolak masalah-masalah umum yang menyangkut kesatuan rencana organisasional, tetapi dia juga benar-benar tidak mempercayai hal-hal itu. Dia mengucapkan kata-kata, “Sanggatlah mudah menyembunyikan kebodohan kita di balik ungkapan-ungkapan seperti rencana penciptaan‟, kesatuan penciptaan dan sebagainya.” Ungkapan rencana penciptaan‟ benar-benar mendorong suatu penafsiran tendensius yang tidak dapat diterima. Pemikiran Darwin mengenai seleki alam menjelaskan segalanya, oleh karena itu dia memandang bahwa seekor hewan itu adalah suatu spesies.

Karya Darwin memuat dua aspek yang berbeda, yaitu pertama aspek ilmiah, data yang digunakannya secara kuantitas sangat mengesankan, namun ketika semuanya dilaksanakan dan diterapkan, aspek ilmiahnya sangatlah lemah, tetapi nilai pengamatan-pengamatannya sangat


(27)

menarik jika dilihat dari sudut pandang berbagai jenis spesies. Kedua, bersifat filosofis, persoalan ini diungkap dan dijelaskan secara jelas.30

Al-Farabi dan Ibnu Sina melontarkan teori pancaran atau emanasi dalam proses penciptaan alam. Proses penciptaan atau pemberian eksistensi dan inteleksi adalah sama. Inteleksi dan kontemplasi inilah realitas dan tatanan yang lebih tinggi memunculkan yang lebih rendah. Wujud Niscaya ini bertafakkur (berfikir) tentang Tuhan tentang Dzat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam alam memunculkan akal pertama, atau Ibnu Sina menyebut first intellect dan disamakan dengan Malaikat Tertinggi. Akal ini kemudian berfikir tentang Wujud Niscaya sebagai yang niscaya, esensinya (akal pertama) sendiri sebagai niscaya yang tergantung kepada Wujud Niscaya serta berfikir tentang esensinya sendiri sebagai mumkinul wujud. Jadi ia memiliki tiga dimensi pengetahuan tersebut yang berkontemplasi secara sistematis melahirkan Akal Kedua yaitu jiwa dan tubuh langit pertama.31

Akal Kedua yang dihasilkan dengan proses inteleksi dan kontemplasi yang serupa akan menghasilkan Akal Ketiga,yaitu Wujud ke-IV dan bintang-bintang. Dari proses inteleksi dan kontemplasi yang sama Akal Ketiga akan dapat menghasilkan Akal Keempat, yaitu planet Saturnus (Zuhal), dan jiwanya (Wujudnya). Dengan proses inteleksi dan kontemplasi yang sama, Akal Keempat menurunkan Akal Kelima yang

30

Maurice Bucaille, Asal-Usul Manusia: Menurut Bibel, al-Qur`an dan Sains, terj. Rahmani Astuti, cetakan IX, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 42-43 dan 45-54 lihat juga John Gribbin, Bengkel Ilmu Fisika Modern, terj. Dimas H, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 183.

31

Seyyed Hossein Nars, Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam, terj. Ach. Maimun Syamsuddin (Yogyakarta: IRCiSod, 2006), hlm. 60.


(28)

mempunyai anggota planet Yupiter (al-Masytara) dan jiwanya (Wujudnya). Proses inteleksi dan kontemplasi yang sama dari Akal Kelima keluarlah Akal Keenam yang berisi planet Mars, beserta jiwanya (Wujudnya). Proses inteleksi dan kontemplasi yang sama dari Akal Keenam turunlah Akal Ketujuh yang berisi Matahari (as-Syams), beserta jiwanya (Wujudnya). Proses inteleksi dan kontemplasi yang sama dari Akal Ketujuh turunlah Akal Kedelapan yang berisi planet Venus (az-Zuharah), beserta jiwanya (Wujudnya). Proses inteleksi dan kontemplasi yang sama dari akal kedelapan jatuhlah akal kesembilan yang didiami planet Mercurius (U‟tarid), beserta jiwanya. Proses inteleksi dan kontemplasi yang sama dari Akal Kesembilan, keluarlah Akal Kesepuluh yang terdiri dari bulan (Qomar) dan jiwanya (Wujudnya), sering disebut akal kesepuluh ini dengan sebutan al-aqlul fa‟al (akal yang aktif bekerja atau active intelec) Jibril atau Al-Wahib Ash-Shuwar.32 Dari sini semesta „substansi‟ tidak lagi memiliki kemurnian untuk melakukan turunan atau melahirkan langit yang lain.

Akal kesepuluh dalam dunia alamiah (sebagai dunia yang mengitari kehidupan manusia) memiliki berbagai fungsi dasar. Ia tidak hanya memberikan eksistensi kepada dunia ini tetapi juga akan terus memberikan bentuk yang dalam dengan materi yang melahirkan makhluk yang ada di wilayah ini. Ketika semua makhluk lahir, Akal Kesepuluh berperan memberikan bentuk untuk memungkinkan adanya eksistensi dan ketika

32


(29)

makhluk tersebut binasa, Akal Kesepuluh akan menarik kembali sebuah bentuk tersebut dari diri yang lain. Akal Kesepuluh juga berfungsi sebagai pemberi cahaya kepada pikiran manusia. Manusia mengabtraksikan bentuk-bentuk yang manusia dapatkan dari berbagai indera yang kemudian bentuk-bentuk tersebut bercampur dengan materi yang sudah ada di pikiran manusia dan bentuk yang sudah bercampur tersebut akan diangkat ke tataran universal melalui pancaran cahaya dari cahaya iluminasi yang di terima dari Akal Kesepuluh. Sehingga, semua bentuk dan alam raya berada dalam „pikiran kemalaikatan‟, kemudian turun kembali kedunia materi untuk menjadi bentuk material dan dipartikularisasikan hanya untuk dimunculkan kembali dalam pikiran manusia melalui illuminasi malaikat menuju tingkat bentuk yang universal kembali. Pikiran yang berupa bentuk alam raya yang ada dipikiran manusia mengalami dua proses, sehingga Akal Kesepuluh tidak hanya alat mencipta tetapi juga alat illuminasi dan penyampai wahyu kepada para nabi dan kepada para wali dan kaum gnostik dalam artian yang lebih khusus.33

Ali Syari‟ati dalam memahami konsep informasi penciptaan manusia yang ada dalam al-Qur`an dan dalam shuhuf Ibrahim dipahaminya dengan simbolik, suatu makna yang dapat diungkapkan dan dimaknai dengan simbol-simbol dan imajinasi. Informasi penciptaan Nabi Adam As sebagai manusia pertama dalam pemahaman Ali Syari‟ati juga

33


(30)

memiliki makna simbolik,34 sampai sekarang kisahnya tetap memiliki nilai (value) yang tinggi, jika kisah Adam ini dalam al-Qur`an dirinci secara rigid, tidak menutup kemungkinan kisah ini akan termakan oleh sejarah. Kisah penciptaan Adam secara lengkap dimulai dari pemberitahuan Tuhan kepada malaikat bahwa Dia ingin menciptakan wakil-Nya di atas bumi. Tuhan Yang Maha Kuasa, menyatakan kepada malaikat akan menunjuk manusia sebagai khilafah-Nya, wakil-Nya di bumi.

Tuhan menganugerahkan status spiritual tertinggi bagi manusia dan mempercayakan misi suci dialam raya ini. Misi suci ini membuat malaikat bertanya: Apakah Tuhan akan menciptakan makhluk yang akan menumpahkan darah, berbuat kejahatan, menyebar kebencian dan balas dendam? Tuhan menjawab, bahwa Ia lebih mengetahui apa-apa yang mereka tidak ketahui. Kemudian, Tuhan memulai menciptakan manusia, wakil-Nya dari tanah, dari bentuk paling rendah dari tanah-tanah liat hitam atau lempung yang berbau. Substansi atau bahan pertama disebutkan seperti tanah tembikar. Berkaitan dengan bahan ini, al-Qur‟an menunjuk pada “air yang hina” atau “tanah yang membusuk” dan “tanah yang sederhana”. Allah memulai menciptakan seorang khalifah atau wakil-Nya dari tanah liat kering. Dan kemudian Ia tiupkan sebagian dari roh-Nya

34

Akhmad Azmir Zahara, Manusia dalam Pemikiran Ali Syari‟ati, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011), hlm. 43-44. Muhammad Iqbal menjelaskan bahwa Adam merupakan sebuah konsep daripada sebuah nama seorang manusia pertama. Ayat-ayat didalam al-Qur‟an yang berkaitan dengan proses penciptaan manusia menggunakan kata “Bashar‟ atau „Insan‟ bukan „Adam‟ yang menunjukkan kedudukan manusia sebagai wakil Tuhan dibumi. Selebihnya lihat, Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam: Dilengkapi dengan Puisi-Puisi Asrar-I-Khudi..., hlm.146-147.


(31)

sendiri pada acuan tanah liat itu dan kemudian lahirlah manusia. Manusia tersebut lahir dari dua hakikat yang berbeda, yaitu tanah bumi dan roh suci. Tanah dalam bahasa manusia adalah simbol kerendahan, kenistaan, dan kekotoran. Tuhan dalam bahasa manusia adalah Maha Suci, Maha Sempurna. Manusia yang telah diciptakan menjadi dua dimensional dengan dua arah dan dua kecenderungan, yang satu membawanya ke bawah kepada stagnasi sedimenter, kearah hakikat yang paling rendah, seluruh dorongan dan gerak khidupannya akan membeku, terbenam kearah rawa-rawa yang berhahikat hina. Akan tetapi dimensi manusia yang lain, dimensi spritualnya, cenderung naik kepuncak yang lebih tinggi, yaitu Dzat Yang Maha Suci. Pada hahikatnya kedua kutub ini memungkinkan memiliki kebebasan memilih diantara kedua pilihan dengan kekuatan potensial yang mengubah dan kekuatan yang menarik. Perjuangan dan peperangan kedua kutub ini memaksa manusia untuk memilih satu kutub tersebut untuk menentukan nasibnya. Kemudian, Tuhan mengajarkan pada manusia berbagai nama-nama tumbuhan atau hewan. Berbagai tafsir telah muncul, tetapi semua sepakat bahwa hal ini menunjukkan ada pengajaran atau pendidikan dalam alam penciptaan diatas. Manusia sebagai pemberi nama-nama pada dunianya, menyebutkan segala sesuatu dengan tepat. Tuhan menjadi guru yang pertama dan pendidikan manusia yang pertama. Jadi, pendidikan yang pertama kepada manusia adalah dengan cara menyebutkan nama benda-benda.


(32)

Penciptaan wanita dari tulang rusuk pria sebagaimana terjemahan dari bahasa Arab dan bahasa Persi. Kata “rusuk” merupakan terjemahan yang tidak tepat dalam kedua bahasa tersebut. Kedua bahasa ini menerjemahkan kata “rusuk” tidak diterjemahan literer, akan tetapi bermakna hakikat atau esensi. Oleh karena itu, wanita di ciptakan dari esensi yang sama dengan pria.

Hal lain yang menarik adalah hanya manusia sajalah diantara seluruh makhluk-Nya yang mampu menjadi pemegang dan pengembang amanah Tuhan. Hanya manusia yang memiliki keyakinan dan kemampuan untuk menjadi pengemban amanah Tuhan, penjaga karuni-Nya yang paling berharga. Dengan demikian manusia tidak hanya sebagai khalifah tetapi juga sebagai pemegang amanah-Nya. Hal lain yang menandai superioritas manusia adalah kekuatan, kemauannya atau kekuatan iradahnya, yaitu satu-satunya makhluk yang dapat bertindak melawan dorongan instingnya. Manusia yang hanya melawan dirinya sebndiri, menentang hakikatnya dan memberontak terhadap kebutuhan fisik dan spritualnya.

Ali Syari‟ati berpendapat bahwa konsep penciptaan keturunan Adam atau penciptaan manusia secara umum diciptakan dari air yang hina, air mani, dari bahan yang hina itu diciptakannya makhluk yang terbaik, manusia. Ali Syari‟ati menyitir ayat al-Qur‟an yaitu “Dialah yang menyempurnakan segala sesuatu yang diciptakan-Nya dan Ia telah memulai pembuatan manusia dari tanah; kemudian Ia jadikan turunannya


(33)

(manusia) itu dari air mani; kemudian ia sempurnakan kejadiannya dan Ia tiupkan padanya sebagian dari spiritnya...(al-Qur‟an surat as-Sajadah(32) ayat 7).35

2. Cara Manusia Memahami Dirinya Sendiri

Kebebasan dalam memahami diri ini menyangkut potensialitas dan aktualitas manusia sebagai jenis maupun sebagai pribadi.36 Karena semakin manusia mendekati asal-usulnya, maka semakin „memiliki‟ kemungkinan-kemungkinan yang tidak terbatas jumlahnya. Masih dapat berubah-ubah, masih dapat menjadi apa-apa, masih tabula rasa. Kemungkinan-kemungkinan ini masih dapat dilihat secara keseluruhan walaupun tidak ada hubungan dengan yang lainnya. Kemungkinan-kemungkinan ini masih manusiawi murni, sehingga tidak ada kemungkinan-kemungkinan yang lain, kecuali potensialitas itu. Kemungkinan-kemungkinan yang potensial itu berkaitan dengan substansi manusia yang lebih dalam, maka tidak aneh disebut dengan potensialitas-substansial. Sedangkan, aktualitas manusia secara penuh merupakan proses pengempalan padat yang mensintesiskan semua yang berharga dalam diri manusia, sampai tidak ada satupun aspek potensialitas yang masih potensial untuk dikembangkan. Sudah menjadi konkrit-riil yang bulat penuh. Dengan demikian substansi manusia menyangkut kesatuan

35 Ali Syari‟ati,

Tugas Cendikiawan Muslim, terj. M. Amien Rais..., hlm. 5-10.

36

Manusia dalam arti sebagai pribadi dapat diartikan sebagai pribadi yang lahir, unik, pusat ber‟ada‟ yang baru, bebas, dan bertanggung jawab. Sedangkan manusia sebagai jenis berkaitan dengan peralihan dari benda ke makhluk hidup dan dari makhluk hidup ke manusia bukan sebagai yang serba baru melainkan sebagai proses peralihan dari „tingkat ada‟ yang lebih rendah menuju tingkat ada yang lebih tinggi atau berkaitan dengan „evolusi‟. Selengkapnya lihat Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks dan Seruan..., hlm. 165-171.


(34)

yang utuh-murni antara potensialitas-substansi dengan aktualitas yang murni. Ada potensialitas yang perlu di perhatikan yaitu potensialitas tentang cara memahami diri sendiri (penyempurnaan) diri. Berbagai aliran dan paham telah muncul dengan menggunakan tema, „visi‟ dan konsentrasi pada hal-hal tertentu dari kehidupan manusia yang disampaikan oleh para filosof dan para sufi dalam pendakian menuju kesempurnaan diri manusia.37

Zaman pertengahan ada beberapa petunjuk kearah penyempurnaan manusia. Salah satunya jalan kelima Thomas Aquinas sebagai bukti bahwa ada pikiran metafisis menuju Tuhan yang bertolak kepada fenomena-fenomena yang nyata. Karena Thomas sendiri adalah termasuk kedalam filosof abad pertengahan yang tentunya menggunakan jalan sebagaimana seorang filosof, „dari bawah ke atas‟ (taraqi), bukan tanazul. Jalan tersebut adalah pertama, movement (jalan gerakan). Sebuah gerakan harus ada penggerak. Namun jika penggerak sendiri membutuhkan pengerak, maka tidak cukup sebagai dasar. Akhirnya, harus diterima bahwa penggerak ada yang menggerakan diluar penggerak itu atau diluar dirinya. Kedua, causality (jalan kausalitas). Artinya, suatu rangkaian penyebab membutuhkan penyebab diluar penyebab dirinya. Jadi harus ada penyebab pertama yang penyebabkan (cauca prima). Ketiga, contingence (jalan kemungkinan). Suatu rangkaian yang ada bersifat kontingen, dapat ber-ada

37


(35)

dan dapat tidak ber-ada. Ada dasar yang cukup ialah Ada yang mustahil ada yaitu Ada mutlak.

Keempat, exsemplarity (jalan tingkatan). Argumen ini berangkat dari kenyataan bahwa ada dan sifat transenden (seperti: baik, benar, indah dan sebagainya) ditemukan dalam tingkatan yang lebih dan kurang (magis et minus). Lebih dan kurang tersebut menunjuk ke „Summum Bonum‟ dan Maha Ada. Maha Baik dan Maha-ada sebagai dasar yang cukup dan akan hadir dalam segala ada dan mengikuti segala ada dalam partisipasi menurut lebih dan kurang. Kelima, finaly (jalan teleologi). Alasan yang kelima bertolak dari kenyataan bahwa dunia ini menunjukkan suatu keteraturan dan ketertiban untuk menuju kesatu tujuan. Tujuan itu tidak berasal dari makhluk yang tidak berbudi, tetapi makluk yang berbudi yang dapat berhubungan dengan makhluk yang ada dari segala ada. Oleh karena itu, ada budi yang menciptakan segala yang ada dengan terarah menuju kesatu tujuan dalam keharmonisan dengan segala makhluk yang ada.38

Khazanah pemikiran Islam mempunyai kontribusi yang cukup kaya dalam hal ini, khususnya riyadhah hati (manajeman hati). Ibnu „Arabi (1165-1240 M) dengan memunculkan wahdatul wujud yang cukup kontroversial itu secara sistematis telah menyusun pendakian menuju insan kamil atau hakikat al-Muhammadiyyah. Ibnu „Arabi membedakan dua jenis insan kamil, yaitu insan kamil universal dan insan kamil particular-individual, berkaitan dengan yang kedua dalam hal ini Ibn „Arabi sering

38

Tentang uraian ini lihat Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia...,hlm. 154-155 dan Ahmad Tafsir, Fisafat Ilmu, Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan,


(36)

membedakan manusia sempurna (al-insan al-kamil) dan manusia hewan (al-insan al-hayawan). Ibn „Arabi telah memberikan pengertian tentang insan kamil dengan dimensi kehadiran Nama-nama Tuhan yang muncul padanya disertai dengan sisi ciptaan luarnya (khalq). Ibn „Arabi melanjutkan gambarannya tentang dua dimensi kognitif manusia. Dimensi batinnya adalah Tuhan dan dimensi lahirnya adalah makhluk. Jika manusia hanya memiliki sifat lahirnya saja, dan tanda perpaduan Nama-nama Tuhan, maka dia bukan manusia dalam arti yang sesungguhnya. Lebih tepatnya ia disebut manusia binatang yang lebih rendah dari binatang-binatang lainnya. Perbedaan ini tidak se-ekstrim yang dibayangkan, karena dalam realitasnya manusia diciptakan untuk mencapai kesempurnaan itu. Jadi, setiap manusia memiliki potensi untuk mencapai derajat kesempurnaan.39

Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (1059-1111 M) yang terkenal dengan Ihya‟ „Ulum al-Din-nya menguraikan maqam-maqam yang harus dilalui seorang salik untuk mencapai mahabbah (cinta), yaitu maqam taubat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakal, mahabbah, ma‟rifat dan ridha.40 Ada dua model penyempurnaan diri dari dua tokoh tersebut diatas, yaitu penyempurnaan diri yang ada kaitannya dengan nilai-nilai kemanusiaan yang bersumber dari olahan pemikiran berdasarkan data-data atau

39

Uraian yang sama lihat dalam Masataka Takeshita, Insan Kamil: Pandangan Ibnu Arabi, terj. Harir Muzakki, (Surabaya: Risalah Gusti, 2005), hlm. 130-134.

40

Uraian secara panjang lebar tentang masing-masing maqam secara terinci lihat dalam Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi An-Anisaburi, Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, peny. Umar faruq (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 115-127, 251-257, 153-159, 225-242, 473-490, 463-473, 272-278 dan Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam..., hlm. 62.


(37)

fenomena-fenomena terdalam yang sering disebut humanisme (filsafat humanism). Penyempurnaan diri yang lain adalah berkaitan dengan kehidupan rohaniah dan „pengolahan hati‟ (riyadhah) yang sering identik dengan tasawuf.

D. Aksiologi Filsafat Manusia 1. Nilai-nilai Humanis-Religius

a. Persatuan

Pemahaman Max Scheler (1874-1928) dapat membantu untuk melihat betapa pentingnya nilai ini dalam kehidupan bersama. Scheler menempatkan solidaritas sebagai satu sikap yang sebenarnya dalam masyarakat. Solidaritas merupakan cara melihat realitas dan menerima orang lain, bahkan terlibat dalam dunia. Prinsip solidaritas adalah suatu prinsip hidup yang paling dekat dengan pengalaman hidup bersama. Dalam komunitas solidaritas dapat dilihat sebagai prinsip yang mempersatukan setiap orang menurut tingkat partisipasinya. Setiap orang menghargai keunikan dari anggota-anggota komunitas lain dan etos-etosnya.

Relasi sosial menurut Scheler dapat terjadi dalam tiga bentuk, yakni solidaritas organis, solidaritas mekanistik serta solidaritas personalistis. Solidaritas organis terjadi dalam unit sosial seperti keluarga, suku dan banyak bentuk kehidupan komunitas yang didasarkan pada kekerabatan. Anggota-anggota dalam kebersamaan ini diikat oleh tradisi, kebiasaan, adat kebiasaan yang sudah diturunkan


(38)

dari generasi ke generasi. Solidaritas mekanistik terjadi dalam ranah di mana hubungan didasarkan pada kepentingan individu atau kelompok semata. Setiap individu mencapai tujuannya dengan berbagai macam cara. Perhatian dalam hal ini adalah caranya masing-masing. Semua kontrak bisnis, misalnya, kerap kali mendukung tujuan individualistik bukanlah kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan. Solidaritas personalistis adalah solidaritas yang mengatasi kepentingan keseluruhan dan kepentingan individu. Solidaritas ini berdasarkan penghargaan terhadap pribadi manusia sebagai nilai tertinggi. Individualitas dari pribadi dalam solidaritas ini tidak tergantikan. Solidaritas ini hanya menjadi nyata dalam komunitas yang mengakui eksistensi persona.41 b. Amanah atau Kepercayaan

Nilai ini menjadi sebuah tuntutan mendasar dalam relasi sosial, bahkan menentukan mutu hubungan bermasyarakat. Francis Fukuyama menempatkan kepercayaan sebagai social capital, artinya modal sosial yang harganya tidak ternilai. Apa arti dan maksud dari kepercayaan? Kepercayaan dalam hal ini tidak dimaksudkan dalam arti religius, suatu keyakinan yang bersifat vertikal, melainkan dalam arti humanis yang bersifat horizontal. Dengan demikian, kepercayaan yang dibicarakan adalah menyangkut hubungan manusia dengan manusia.

Terkait dengan topik di atas dua hal penting, yakni mempercayai dan dipercayai. Mempercayai orang lain memuat tiga hal. Pertama,

41


(39)

percaya pada perkataan orang lain. Mendengar dan menyimak perkataan orang lain serta menerimanya sebagai benar merupakan inti dalam hal ini. Itu berarti di depan orang yang berbicara harus berani (kita) menghilangkan sikap-sikap curiga apalagi berpikir negatif. Akan tetapi percaya pada perkataan orang lain bukan berarti menerima begitu saja perkataan secara mentah-mentah. Percaya dalam hal ini tetap menyertakan ketelitian dan kehati-hatian. Langkah pertama berhadapan dengan orang lain perlu diawali dengan kepercayaan, bukan ketidakpercayaan atau kecurigaan.

Kedua, kepercayaan terkait dengan kesediaan mengakui orang lain. Sikap ini tentunya hanya bisa terwujud kalau di dalam diri ada pengakuan terhadap orang lain. Pengakuan ini bersangkuan dengan potensi yang dimiliki oleh orang lain sekaligus kesediaan melihat dan mengakui kemampuan orang lain. Ketiga,kepercayaan terkait dengan sikap keterbukaan. Dasar kepercayaan terhadap orang lain adalah sikap terbuka. Artinya supaya orang percaya pada orang lain ia harus pertama-tama membuka diri terhadap yang lain.42

c. Keterbukaan

Manusia hanya benar-benar menjadi dirinya sendiri sepanjang dia membuka dan menyatukan diri dengan sesamanya. Tanpa pembukaan diri ini, ia terkekang dan kehilangan bentuk wujud yang sewajarnya. Dengan kata lain, manusia tanpa bersama-sama dengan

42


(40)

manusia yang lain tidak bisa berkembang, bahkan tanpa syarat ini ia sebenarnya tidak bisa menjadi manusia. Manusia yang tunggal dan tersendiri tidak merasa diri lengkap tanpa hubungan keterbukaan dengan manusia-manusia lain. Martin Buber mengatakan keterbukaan merupakan syarat mendasar untuk menciptakan hubungan interpersonal dan dialog yang baik. Tanpa nilai ini hidup bersama tidak akan memiliki arti. Yang ada adalah kehampaan yang membuahkan kecurigaan, prasangka satu sama lain.

Keterbukaan memiliki dua sisi yang dapat dibedakan satu dengan yang lainnya. Kedua sisi itu adalah terbuka kepada yang lain dan terbuka bagi yang lain. Terbuka kepada yang lain bersifat aktif, dalam arti individu lebih banyak bertindak memperkenalkan diri dan keberadaannya pada orang lain. Ini berarti kesediaan dituntut dari setiap individu untuk mengungkapkan reaksi-reaksi dan pengalaman hidupnya kepada orang lain dalam relasi sosial. Sedangkan terbuka bagi yang lain sifatnya lebih pasif, karena di sini individu menyediakan diri untuk orang lain. Pada sisi ini individu memperlihatkan kesediaan untuk mendengarkan orang lain dan membiarkan orang lain untuk mengungkapkan diri. Sikap menerima dan mengakui serta mendengarkan merupakan inti dari sisi ini.43

43


(41)

d. Propetik-Humanis

Sikap propetis berarti sikap yang bercirikan kenabian. Kata ini, seperti yang disampaikan dimuka, mempunyai misi illahiyah yang termanifestasi dalam misi kemanusiaan yang luhur. Ciri khas yang konseptual adalah terjadinya kesinambungan antara ortodoksi dengan ortopraksi, antara teks dan praksis berkesinambungan. Secara lebih luas ciri-ciri ini menyangkut pembebasan, sekularisasi, dan demistifikasi. e. Tanggung jawab

Aktivitas hidup manusia sebagai makhluk sosial tentunya tidak hanya menerima, namun juga memberi. Artinya, orang tidak bisa hidup hanya dengan menerima, melainkan juga dengan memberi. Justru dengan memberi manusia berkembang secara baik. Sebaliknya, manusia tidak akan bisa hidup hanya memberi saja, melainkan juga menerima, sebab ia juga tergantung pada orang lain. Keduanya harus saling mengisi dan seimbang. Namun demikian dari dua aktivitas itu aktivitas memberi memiliki nilai lebih dibandingkan dengan kegiatan menerima. Karena melalui aktivitas itu manusia mewujudkan dimensi sosialnya secara nyata.44

2. Nilai Religiuitas Manusia

Manusia dalam sejarah mengenalkan diri sebagai makhluk religi atau “homo religius”. Dimensi religius dapat ditemukan dalam diri manusia itu sendiri (kita). Penghayatan religius termasuk salah satu

44


(42)

penghayatan manusiawi yang menjadi refleksi manusia. Refleksi ini tidak mempunyai tujuan yang lain, kecuali memperdalam diri manusia itu sendiri. Temuan dari refleksi ini adalah manusia menemukan dirinya yang terarah kepada Tuhan. Setidaknya ada tiga faktor yang mempengaruhi manusia untuk memikirkan atau menimbulkan rasa dan potensi ketuhanan sebagai ciri makhluk berketuhanan. Faktor-faktor tersebut adalah faktisitas manusia. Maksud dari faktor ini secara singkat ialah cara yang digunakan manusia untuk berhubungan dengan suatu kesadaran yang menangkap eksistensi atau berada dalam keadaan yang tidak sempurna untuk mengungkapkan dan mengutarakan eksistensi yang khas bagi sesuatu hakikat yang maha sempurna. Kedua, pertanyaan transendensi manusia, suatu faktor yang nampak secara langsung dalam diri manusia.

Manusia telah melebihi dari suatu barang atau benda yang terletak di samping yang lain, selalu mengatasi diri manusia sendiri (kita), melampui segala tujuan yang telah ditetapkan dan yang ditawarkan. Tidak ada rencana atau kesadaran yang bersifat final, kehadiran aktual tertentu akan menimbulkan sesuatu yang lain yang melebihinya. Eksistensi (kehadiran) manusia dalam hal ini bersifat terbuka, sifat terbuka ini untuk menanyakan masalah ketuhanan sebagai batas terakhir manusia dan pada akhirnya masalah tentang arti transendensi. Ketiga, sifat mengerti manusia, kesadaran manusia akan stukturnya yang mendalam (hakikat-berfikir-terbatas) memunculkan masalah arah realitas yang sejati diarahkan,


(43)

kemudian tidak boleh tidak menimbulkan masalah tentang Tuhan, setidak-tidaknya dalam bentuk pertanyaan.45

Gabriel Marsel menyatakan masalah ketuhanan berhubungan dengan ada, dari segala kenyataan yang ada. Tuhan dikemukakan bagaikan “the Ground of all being”. Orang yang menghayati kehadiran Allah sebagai Pencipta dalam kenyataan, pada saat itu orang tersebut benar-benar melihat kenyataan yang sesungguhnya. Kenyataan ini dihayati multi-dimensional oleh orang yang melihat dengan hati yang suci-murni. Penghayatan religius seseorang bahwa melihat Allah sebagai kehadiran Sang Pencipta adalah dalam segala kenyataan. Tuhan terlebih dahulu dihayati seseorang, baru kemudian diungkapkan dengan argumen-argumen dengan berbagai disiplin ilmu ilmiah yang sistematis metodologis.46 3. Kualitas Manusia

Kualitas manusia dalam hal ini akan menuju kesempurnaan. Kesempurnaan manusia sama dengan „menjadi aku‟ yang sebenar -benarnya dari proses menjadi manusia dalam kerangka cita-cita induk manusia. Cita-cita ini adalah memanusiakan manusia secara sadar dan terbangun. Kesempurnaan ini tidak melayang-layang dilangit sebagai kenyataan lengkap, tidak merupakan „blue-print‟ yang telah disusun dengan selesai yang langsung dikerjakan. Kesempurnaan seperti ini belum ada. „Manusia sempurna‟ yang harus muncul belum ada, dunia yang ideal belum ada, moral yang harus dikerjakan belum tersedia, yang ada adalah

45

Louis Leahy SJ, Filsafat Ketuhanan Kontemporer..., hlm. 38-42.

46


(44)

aku yang aktual ini. Semua yang saya sadari dan saya cita-citakan dapat hadir disini, termasuk janji, ramalan konkrit, dan harapan atau proyek. Hal ini masih harus diamalkan, tetapi hanya sebuah janji yang masih kabur. Sehingga kesempurnaan diketahui atau tidak diketahui.

Kesempurnaan manusia ialah aku dalam korelasinya dengan yang lain. Sambil berkorelasi, cita-cita indukku juga berkembang, bukan sebagai fatamorgana, melainkan menjadi semakin lengkap dan kaya. Setiap saat cita-citaku ditinjau kembali dan diberi re-evaluasi, semakin dipahami mana kepenuhan adanya manusia yang telah dibentuk. Cita-cita induk itu diintegrasikan oleh seribu satu cita-cita sekunder. Mereka merupakan aspek-aspek khusus dari cita-cita induk, misalnya cita-cita menjadi orang kaya, lulus ujian, pemimpin dan sebagainya. Ada yang sentral dan mendalam, ada yang dangkal dan perifir, ada yang berjangka panjang dan yang pendek. Cita-cita khusus itu merupakan satu kesatuan, harus terus-menerus ditinjau kembali baik isi maupun harmoni dengan yang lain. Manusia akan selalu setia berhubungan dengan cita-citanya, setia kepada diri sendiri, kepada pengakuannya, kepada hubungannya dengan yang lain. Manusia akan mencari diri bersama dengan yang lain, bahkan dalam perkara yang berdosa dan penyelewengan. Inilah yang secara stuktural disebut kesetiaan stuktural yang juga bertahan secara terus menerus dalam cita-cita sekunder. Mereka menggintegrasikan dan mengkonkretkan cita-cita induk, makin central cita-cita sekunder itu, makin pula ada tedensi untuk melanjutkan arah itu, dan tetap setia secara


(45)

dinamis. Makin dangkal cita-cita sekunder itu, maka makin mudah diubah dan ditinggalkan secara perlahan-lahan.47

Cita-cita induk ini misalnya adalah mencari pengetahuan kebenaran. Secara operasional telah ditunjukkan oleh kisah seorang Hayy yang berada disebuah hutan belantara.48 Fase pertama dimulai dari pengasuhan dan penjagaan serta perlindungan induk Rusa dari kecil sampai berusia tujuh tahun. Fase kedua, dimulai dengan kematian sang Rusa. Ia mencari penyebab kematian rusa itu. Akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa penyebab kematian sang induk Rusa adalah sesuatu yang ada dalam jantungnya. Fase ketiga terjadi ketika sang Hayy menemukan api, ia belajar cara mengunakan dan memperolehnya. Dari penemuan ini ia mulai mengetahui keberadaan ruh hewani (ruh hayawanii). Fase keempat, Hayy mulai meneliti benda-benda yang ada didalam kawn (penciptaan) dan alam jasad (benda). Ia mengenal benda yang bersifat tunggal dan majemuk, benda dan jiwa. Ia melihat kesesuaian antara materi al-Ka‟inat (benda yang ada di alam semesta) dan ketidaksesuaian (surah: bentuk) materi. Ia juga mengenal dua macam benda, yaitu berat dan ringan, bergerak kebawah dan keatas, menemukan penyebab yang ada tertinggi dari segala penyebab sampai Hayy berumur duapuluh tahun.

47

Anton Bakker, Antropologi Metafisik, Cetakan ke-7 (Yogyakarta: Kanisius Bekerjasama dengan Yayasan Adikarya Ikapi Dan The Ford Foundation, 2000), hlm. 89-90.

48

Kisah Hay Bin Yaqdhan secara lengkap yang terletak dalam Risalah Hayy Bin Yaqdhan fi Asrar Al-Hikmah Al-Masyraqiah dapat dilihat dalam Abu Bakr Ibn Thufayl Al-Andalusi, Hayy BinYaqdhan (Dar Al Kitab Al-Lubani, 1987) terj. Indonesia Dahyal Afkar (Surabaya: Menara, tth).


(46)

Fase kelima, Hayy mulai bergerak keatas dari sekedar mengamati benda-benda yang ada dibumi kebenda-benda yang ada di langit. Kemampuan ini mengambarkan bahwa Hayy menyadari akan keberadaan wujud-wujud diluar manusia, apakah alam itu qadim atau hadist? Pertanyaan ini membawa kepada siapa wujud yang hakiki itu? Fase keenam, Hayy sudah berusia tigapuluh lima tahun dan telah mencapai kematangan berfikir. Hayy sekarang memahami bahwa ruh terpisah dan berbeda dengan badan. Tidak ada kaitannya antara ruh dan yang disemayami. Hayy telah sampai kepada kematangan berfikir, sehingga menuntun jiwanya kedalam kemapanan jiwanya. Hayy berpendapat bahwa kebahagiaan yang abadi dan kekal dapat diraih oleh jiwa-jiwa yang mampu menyakinkan dan menyaksikan Tuhan Allah. Inilah jiwa yang abadi. Fase terakhir adalah Ibnu Thufayl secara tegas menyatakan bahwa mushahadah adalah metode yang harus ditempuh oleh manusia untuk mencapai kebahagian dan keselamatan.49

Cita-cita mencapai kesempurnaan merupakan cita-cita luhur dan cita-cita induk bagi setiap insan. Literatur dalam kajian kesempurnaan ini secara umum ada dua, yaitu tanazulat dan taraqi. Tanazulat adalah turun-Nya Tuhan dengan melewati beberapa martabat ketuhanan. Hal ini sama seperti konsep tajjali Tuhan yang melewati tujuh martabat. Dengan kata lain, Tuhan melewati tujuh martabat menuju alam manusia untuk „bersatu‟ dengan manusia pilihannya. Hal ini merupakan sesuatu yang jarang terjadi

49

Abdul Kadir Riyadi, Antropologi Tasawuf: Wacana Manusia Spiritual dan Pengetahuan, (Jakarta: LP3ES, 2014), hlm. 259-262.


(47)

dalam dunia sufistik, kecuali beberapa hamba seperti Nabi Musa yang dapat berdialog dengan Tuhan Allah Swt. Selain itu, dalam kajian pemikiran Muhammadiyah hal ini merupakan hal yang mustahil, karena di dalam diri Muhammadiyah tidak ada praktek-praktek sufi seperti diatas. Kedua, taraqi. Konsep ini merupakan cara menuju Tuhan yang berlawanan dengan tanazul. Konsep taraqi ini merupakan cara atau perjalanan mi`roj atau naiknya suatu insan untuk menatap Tuhan.50

4. Model Manusia

a. Rausyan-Fikr model Ali Syari`ati

Ali Syari‟ati membedakan antara manusia sebagai basyar dan sebagai insan. Basyar adalah makhluk yang sekedar berada (being). Insan adalah manusia yang memiliki karakteristik khusus yang berlainan dengan yang lain sesuai dengan tingkatan realitas dan esensinya. Manusia jenis ini bergerak kearah taraf-taraf yang lebih tinggi dalam proses menjadi insan. Jelasnya, insan adalah manusia yang berproses bergerak maju (becoming) kearah kesempurnaan. Hanya manusia saja yang “menjadi” (maju), bukan fenomena lainnya dialam ini. Misanya, semut dan serangga tidak pernah dapat melampui keadaannya atau eksistensinya; ia menggali lubang dengan cara yang sama sebagaimana ia melakukannya 15 juta tahun yang lalu diafrika.

50

Shayk Ibrahim Gazur Illahi, Mengungkap Misteri Sufi Besar Al-Hallaj: Ana Al-Haqq, terj. Hr. Bandaharo dan Joebaar Ibrahim Ajoeb, (Jakarta: Cv. Rajawali, 1986), hlm. 37-38.


(1)

religius timur atau negara ketiga. Agama Kristen, Katolik serta Yahudi dianggap sebagai agama tertinggi, mulia, hebat, sedangkan Islam, Budha dan budaya-budaya timur lainnya adalah kecil, teroris, jahat, bengis, kaku dan lainnya. Penganjur postmodernisme ini telah berani menentang daya dominasi nilai-nilai tersebut diatas. Ia melahirkan proyek dekonstruksi nilai dan pandangan untuk mencoba menunjukkan kelemahan dan kerapuhan the one. Selain itu, ia melahirkan pandangan bahwa penting dan berharganya the plural, sehingga tidak bisa the one meremehkan the plural atau sebaliknya. Kejama`ahan dan pluralitas terhadap budaya-budaya lokal atau sistem budaya yang tidak dianggap penting oleh the one, harus diangkat kepermukaan untuk disejajarkan dengan budaya the one, karena the plural memiliki nilai-nilai yang penting yang tidak dapat diukur oleh nilai-nilai yang terkandung didalam budaya the one tersebut.71

2. Dualisme

Dualisme adalah aliran yang menganjurkan dua dimensi antara jiwa dan badan sebagai dua substansi yang tidak terpisah dan masih perlu berkaitan antara satu dengan yang lainnya atau perpaduan antara materi dan roh. Artinya, keberadaan sejati pada dasarnya adalah badan dan jiwa. Semua hal dan fenomena yang ada di alam ini pada hakikatnya tidak dapat dibantah bahwa asal dari segalanya adalah hanya satu substansi atau esensi saja. Tidak benar apabila berbagai kejadian didunia ini hakikatnya hanya bersifat

71


(2)

fisik material saja, karena banyak kejadian didunia ini yang tidak dapat dijelaskan atau diamati oleh pancaindera maupun ilmu-ilmu alam. Dan tidak benar juga bahwa keberadaan yang dinyatakan secara esensi hanya roh atau jiwa, karena semua manusia telah mafhum bahwa ada kekuatan dan keberadaan yang nyata dari materi.

Manusia merupakan makhluk yang terdiri dari dua esensi, yaitu materi dan ruh atau tubuh dan jiwa. Tokoh dalam hal ini adalah Rene Descartes (1596-1650), keberadaan tubuh (res extensa) adalah substansi yang karakteristiknya adalah keleluasaan yang berarti menempati ruang dan menempati waktu. Keberadaan jiwa, meski tidak dapat diindera tetapi dapat dibuktikan melalui rasio (pikiran). Dengan keberadaan jiwa yang karakteristiknya berpikir (res cogitans) justru lebih jelas dan tegas dalam membuktikannya jika dibandingkan dengan tubuh. Cara yang diajukan Descartes dalam membuktikan keberadaan jiwa tersebut adalah dengan berfikir skeptis.72 Dualisme secara umum memiliki beberapa sekte, yaitu: a. Interaksionisme

Paham ini bertitik tolak dari interaksi timbal balik antara badan dan jiwa. Aliran ini telah mengakui bahwa fenomena-fenomena mental terkadang juga menyebabkan peritiwa badani, dan sebaliknya kegiatan badani juga berpengaruh pada fenomena mental, keduanya saling berpengaruh dan saling berhubungan. Dalam rasa kesenangan disebabkan

72

Pembuktian secara skeptis dimulai dengan cara meragukan keberadaan apa saja yang bersifat fisik, tanpa kecuali apakah itu keberadaan rumah, masjid, nottebook, kejadian kemarin atau kejadian beberapa tahun yang lalu dan lainnya, selebihnya lihat Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat..., hlm. 30-31.


(3)

dari rasa keceriaan, sehingga keceriaan wajah bersumber dari kesenangan. Demikian juga jika seseorang mengalami sakit influenza, tentunya akan menurunkan semangat bekerja dari seseorang yang bersangkutan. Peristiwa badan dan peristiwa mental saling berkaitan dan saling mempengaruhi, namun kaum interaksionis berpandangan bahwa badan dan jiwa tetap merupakan dua entitas yang berbeda.73

b. Okkasionisme

Okkasionisme berasal dari bahasa Inggris yaitu occasion yang artinya kesempatan. Sekte ini mempertahankan secara tegas bahwa antara jiwa dan badan ataupun sebaliknya tidak dapat saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Tetapi, jika terjadi kesempatan adanya perubahan yang terjadi didalam tubuh, Allah berperan untuk menyebabkan perubahan yang sesuai dengan kondisi tersebut dalam jiwa sebaliknya, jika jiwa terjadi gejolak yang berarti, maka Allah akan berperan dalam menyebabkan perubahan tersebut. Misalnya, tangan seseorang terkena panasnya lelehan besi, maka Allah mengakibatkan rasa sakit dalam jiwa tersebut. Sebaliknya, apabila seseorang mengulurkan tangannya maka Allah akan menyebabkan tangan benar-benar diukurkan. Ini berarti bahwa hanya Allahlah sebagai penyebab dalam arti yang sebenar-benarnya (causa prima).74 Penganut teori ini adalah Arnold Geulincix (1624-1669) dan Nicolas de Mallebranche (1638-1715).

73

Kasdin Sihotang, Filsafat Manusia: Upaya Membangkitkan Humanisme..., hlm.53.

74

Uraian secara terstruktur dapat dilihat dalam K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, cetakan ke-15, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 47.


(4)

Keduanya berkeyakinan bahwa interaksi antara jiwa dengan badan bisa terjadi karena campur tangan Allah. Tanpa intervensi ini hubungan antara jiwa dan badan tidak akan terjadi. Hanya Allahlah sebagai penghubung antara hal-hal yang bersifat fisik dan hal-hal yang bersifat spritual. Selalu ada kesempatan bagi Allah untuk dapat menyesuaikan dua entitas yang berbeda ini. Misalnya, ada perasaan takut, maka Allah mempunyai kesempatan untuk mendirikan bulu kuduk seseorang.75

c. Paralelisme

Aliran ini berpegangan pada kesejajaran antara fenomena ragawi dan rohani. Ia menyatakan bahwa sistem fenomena ragawi terdapat di alam, sedangkan sistem kejadian kejiwaan terdapat dalam jiwa manusia. Diantara kedua entitas tersebut tidak terdapat hubungan sebab akibat yang pasti. Badan mempunyai peristiwa dan fenomena sendiri dan jiwa juga mempunyai peristiwa rohani sendiri. Namun keduanya berjalan seiring bersamaan. Sehingga didalam diri manusia terjadi dua peristiwa yang bersamaan, yakni peristiwa fisik dan peristiwa mental, namun keduanya bersumber dari dirinya sendiri tidak salah satu bersumber dari yang lainnya. Masing-masing sistem berjalan sendiri-sendiri. Sistem fisik berjalan menimbulkan kejadian fisik, sedangkan kejadian mental menimbulkan kejadian mental. Kejadian fisik tidak pernah mungkin menimbulkan kejadian mental dan sebaliknya.

75


(5)

Penganjur teori ini adalah Gottfried Wilhelm Leibnitz (1646-1716) yang menegaskan bahwa peristiwa mental dan peristiwa fisik sudah di setel secara otomatis oleh Tuhan sedemikian rupa bagaikan dua jam yang berjalan beriringan secara sempurna dalam satu waktu. Hubungan keduanya terjadi secara serentak dengan mekanisme yang sempurna sehingga peristiwa badan dan jiwa juga berjalan serentak secara bersama-sama, meskipun keduanya tidak mempunyai hubungan kausalitas yang berarti.76

d. Epifenomenalisme

Epifenomenalisme secara bahasa, terdiri dari kata epi yang berarti penampakan, fenomena yang artinya gejala-gejala, serta isme adalah aliran atau suatu pandangan. Sehingga secara harfiah adalah aliran atau paham yang menekankan bahwa gejala yang terlihat sebenarnya hanyalah gejala, bukan menunjukkan suatu hal yang sesungguhnya. Secara filsafat artinya adalah paham yang menegaskan bahwa bayangan yang ditimbulkan oleh tubuh tidak mempunyai pengaruh kausalitas atas tubuh atau atas bayang-bayang yang lain, demikian juga otak juga menimbulkan kesadaran tetapi kesadaran itu juga tidak mempengaruhi otak. Hal ini diibaratkan seperti lokomotif yang menghasilkan uap atau asap yang tidak berpengaruh terhadap lokomotif, demikian tubuh yang

76

Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno hingga Sekarang...,hlm. 583.


(6)

menghasilkan kesadaran yang tidak mempunyai hubungan kausalitas dengan sumbernya didalam proses otak.77

Aliran ini secara tegas melihat interaksi antara badan dan jiwa dari fungsi syaraf. Ia menyatakan bahwa satu-satunya unsur yang dapat disepakati untuk penyelidikan kejiwaan ialah syaraf manusia. Proses kejiwaan seperti kesadaran dilihat sebagai gejala nyata yang berasal dari proses-proses syaraf. Aliran ini menyangkal pengaruh kesadaran terhadap proses kejiwaan.78

77

Loren Bagus, Kamus Filsafat..., hlm. 211.

78