Keempat, manusia adalah makhluk yang dinamis. Manusia maju dengan dunianya menuju diri sejati dengan tetap mempererat tali hubungannya
dengan Tuhan. Dinamika manusia ada dalam dunia manusi itu, manusia bebas dan bertanggung jawab, yang sekaligus ada dorongan secara
metafisik untuk menuju diri yang sejati yang tidak diikuti dengan keperluan dorongan kodrati yang bersifat keperluan seperti ulat menjadi
kupu. Tetapi secara nyata tetap terikat secara etis. Kelima, manusia sebagai makhluk multidimensional. Sudah terjadi bahwa manusia adalah
makhluk kesatuan, tetapi dalam kesatuan itu ditemukan berbagai dimensi manusia dengan segala tingkatan ontologisnya yang tentunya berbeda-
beda. Dapat terjadi dalam diri manusia hidup seolah-olah bagaikan satu dimensi saja.
7
Akan tetapi jawaban diatas hanya dapat memberikan jawaban atas masalah-masalah temporer tidak mencakup masalah abadi,
yaitu masalah masa silam, akan datang maupun masa selanjutnya. Tidak ada jawaban yang dapat menjawab permasalahan diatas kecuali
kepercayaan agama yang diyakini kebenarannya secara mutlak oleh umat manusia.
2. Eksistensi Manusia
Kata eksistensi dalam kajian eksistensialisme adalah suatu istilah filosofis yang mengandung arti khusus. Kata eksistensi dikhususkan untuk
cara berada manusia yang khas. Hanya manusialah yang bereksistensi. Karena eksistensi tidak dapat disamakan dengan berada. Pohon, batu,
7
Selebihnya lihat Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks dan Seruan..., hlm. 13-16. Lihat juga Murtadho Mutahari, Perspektif Al-Quran tentang Manusia dan
Agama Bandung: Mizan, 1992, hlm. 125.
kucing dan segala yang lain pun ada, tetapi tidak bereksistensi. Hal ini akan lebih jelas, jika kekhasan manusia ini dihadapkan dengan
materialisme dan spiritualisme.
8
Arti khas kata eksistensi menjadi jelas bila dilihat dari susunan katanya. Kata ini berasal dari bahasa Latin
existere, dari ex yang artinya keluar dan sistentia yang artinya berdiri, artinya apa yang ada, apa yang memiliki aktualitas, apa saja yang dialami.
Konsep ini menekankan bahwa sesuatu itu ada. Selain itu, konsep ini tidak sama dengan apa yang dapat dilihat manusia dengan pancaindera.
Misalnya, perdebatan pada zaman prasokratik, yaitu kelompok materialisme yang diwakili oleh Empedokles, Anaxagoras, dan
Demokritos. Demokritos berpendapat bahwa satu-satunya yang ada adalah yang dapat disentuh tangan manusia. Sokrates dan Plato membantah hal
ini, Plato berpendapat bahawa apa yang disentuh dengan tangan itu semata-mata wakil dari ide-ide. Berkat Aristoteles perdebatan dua ajaran
ini dapat dipadukan. Konsep eksistensi juga tidak sama dengan pemikiran pluralisme
dan filsafat nilai modern. Satu-satunya faktor dalam konsep eksistensi yang membedakan setiap hal yang ada dari tiada adalah fakta. Setiap hal
yang ada itu mempunyai eksistensi atau ia adalah suatu eksisten, dengan demikian jika sesuatu itu sama sekali tidak berhubungan dengan eksistensi
maka juga sama sekali tidak tampil sebagai suatu eksisten. Dengan menyatakan bahwa manusia bereksistensi berarti manusia baru dapat
8
Selebihnya lihat Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks dan Seruan..., hlm. 23.
menemukan diri sebagai aku yang keluar dari dirinya. Salah satu cara untuk mendekati eksistensi sebagai pengalaman asasi ialah dengan
mengintensifkan kehadiranku pada diriku yang berbadan. Aku berada didunia melalui badanku. Badanku menjadi badan manusiawi karena
kesatuannya dengan aku. Jika badanku sakit, maka aku juga sakit. Jika kakiku berjalan, maka aku juga berjalan. Jika mataku terbuka, akulah yang
memandang. Jika badanku disentuh, akullah yang disentuh. Akan tetapi jika, bajuku robek, bukan aku yang robek. Badanku merupakan satu
kesatuan dengan aku. Badanku dan aku adalah identik, tetapi sekaligus tidak identik. Aku melalui badanku hadir di dunia. Aku yang terlepas dari
dunia tidak kutemukan. Tidak mungkin memikirkan suatu cara berada manusia yang tidak sekaligus suatu cara berada didunia. Aku menjadi aku
berkat bertemu dengan sesama dan dunia.
9
Dengan demikian manusia dikatakan bereksistensi, jika manusia tersebut sudah bergabung antara aku
dan badan yang berada didunia. Jika manusia masih berada dalam alam ruh atau belum tercipta, maka aku belum berada.
Ber-eksistensi menurut Heidegger disebut dasein, dari kata da yang berarti „disana‟ dan kata sein yang berarti „berada‟, sehingga kata ini
berarti berada disana, yaitu ditempat. Manusia senantiasa menempatkan diri ditengah-tengah dunia sekitarnya, sehingga ia terlibat dalam alam
sekitar dan bersatu dengannya. Sekalipun demikian manusia tidak sama dengan dunia sekitarnya, tidak sama dengan benda-benda, sebab manusia
9
Uraian secara luas dapat dilihat dalam Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks dan Seruan..., hlm. 25-28 dan Save M. Dagum, Filsafat Eksistensialisme, Jakarta:
Rineka Cipta, 1990, hlm. 18-24.
sadar akan keberadaannya itu. Ajaran eksistensialisme sebenarnya adalah suatu aliran filsafat yang bersifat teknis, yang menjelma dalam bermacam-
bermacam sistem yang berbeda dengan ciri-ciri yang sama. Ada empat pemikiran yang setidaknya secara jelas dapat disebut filsafat
eksistensialisme, yaitu pemikiran Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, Karl Jaspers dan Gabriel Marcel. Ciri persamaan tersebut adalah pertama,
eksistensi, yaitu cara manusia berada, hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia berada. Pusat perhatian
ini terletak pada manusia itu sendiri, sehingga bersifat humanities. Kedua, bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi
berarti menciptakan dirinya secara aktif untuk berbuat, menjadi dan merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari
keadaannya. Ketiga, manusia adalah realitas yang belum selesai, harus „membentuk‟. Pada hakekatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya,
terlebih kepada sesama manusia. Keempat, Filsafat eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang berbeda-beda. Heidegger
memberi tekanan kepada kematian, yang menyuramkan segala sesuatu, Marcel kepada pengalaman keagamaan dan Jaspers kepada pengalaman
hidup yang bermacam-macam seperti kematian, penderitaan, perjuangan dan kesalahan.
10
10
Harun Hadiwiyono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Cetakan Kesebelas Yogyakarta: Kanisius, 1995, hlm. 149 dan Burhanuddin Salam, Filsafat Manusia: Antropologi Metafisika,
Cetakan kedua, Jakarta: PT. Bina Aksara Jakarta, 1988, hlm. 27-29.
3. Esensi dan Hakikat Manusia