Kualitas Manusia Aksiologi Filsafat Manusia

kemudian tidak boleh tidak menimbulkan masalah tentang Tuhan, setidak- tidaknya dalam bentuk pertanyaan. 45 Gabriel Marsel menyatakan masalah ketuhanan berhubungan dengan ada, dari segala kenyataan yang ada. Tuhan dikemukakan bagaikan “the Ground of all being”. Orang yang menghayati kehadiran Allah sebagai Pencipta dalam kenyataan, pada saat itu orang tersebut benar-benar melihat kenyataan yang sesungguhnya. Kenyataan ini dihayati multi-dimensional oleh orang yang melihat dengan hati yang suci-murni. Penghayatan religius seseorang bahwa melihat Allah sebagai kehadiran Sang Pencipta adalah dalam segala kenyataan. Tuhan terlebih dahulu dihayati seseorang, baru kemudian diungkapkan dengan argumen-argumen dengan berbagai disiplin ilmu ilmiah yang sistematis metodologis. 46

3. Kualitas Manusia

Kualitas manusia dalam hal ini akan menuju kesempurnaan. Kesempurnaan manusia sama dengan „menjadi aku‟ yang sebenar- benarnya dari proses menjadi manusia dalam kerangka cita-cita induk manusia. Cita-cita ini adalah memanusiakan manusia secara sadar dan terbangun. Kesempurnaan ini tidak melayang-layang dilangit sebagai kenyataan lengkap, tidak merupakan „blue-print‟ yang telah disusun dengan selesai yang langsung dikerjakan. Kesempurnaan seperti ini belum ada. „Manusia sempurna‟ yang harus muncul belum ada, dunia yang ideal belum ada, moral yang harus dikerjakan belum tersedia, yang ada adalah 45 Louis Leahy SJ, Filsafat Ketuhanan Kontemporer..., hlm. 38-42. 46 Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks dan Seruan..., hlm. 143. aku yang aktual ini. Semua yang saya sadari dan saya cita-citakan dapat hadir disini, termasuk janji, ramalan konkrit, dan harapan atau proyek. Hal ini masih harus diamalkan, tetapi hanya sebuah janji yang masih kabur. Sehingga kesempurnaan diketahui atau tidak diketahui. Kesempurnaan manusia ialah aku dalam korelasinya dengan yang lain. Sambil berkorelasi, cita-cita indukku juga berkembang, bukan sebagai fatamorgana, melainkan menjadi semakin lengkap dan kaya. Setiap saat cita-citaku ditinjau kembali dan diberi re-evaluasi, semakin dipahami mana kepenuhan adanya manusia yang telah dibentuk. Cita-cita induk itu diintegrasikan oleh seribu satu cita-cita sekunder. Mereka merupakan aspek-aspek khusus dari cita-cita induk, misalnya cita-cita menjadi orang kaya, lulus ujian, pemimpin dan sebagainya. Ada yang sentral dan mendalam, ada yang dangkal dan perifir, ada yang berjangka panjang dan yang pendek. Cita-cita khusus itu merupakan satu kesatuan, harus terus-menerus ditinjau kembali baik isi maupun harmoni dengan yang lain. Manusia akan selalu setia berhubungan dengan cita-citanya, setia kepada diri sendiri, kepada pengakuannya, kepada hubungannya dengan yang lain. Manusia akan mencari diri bersama dengan yang lain, bahkan dalam perkara yang berdosa dan penyelewengan. Inilah yang secara stuktural disebut kesetiaan stuktural yang juga bertahan secara terus menerus dalam cita-cita sekunder. Mereka menggintegrasikan dan mengkonkretkan cita-cita induk, makin central cita-cita sekunder itu, makin pula ada tedensi untuk melanjutkan arah itu, dan tetap setia secara dinamis. Makin dangkal cita-cita sekunder itu, maka makin mudah diubah dan ditinggalkan secara perlahan-lahan. 47 Cita-cita induk ini misalnya adalah mencari pengetahuan kebenaran. Secara operasional telah ditunjukkan oleh kisah seorang Hayy yang berada disebuah hutan belantara. 48 Fase pertama dimulai dari pengasuhan dan penjagaan serta perlindungan induk Rusa dari kecil sampai berusia tujuh tahun. Fase kedua, dimulai dengan kematian sang Rusa. Ia mencari penyebab kematian rusa itu. Akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa penyebab kematian sang induk Rusa adalah sesuatu yang ada dalam jantungnya. Fase ketiga terjadi ketika sang Hayy menemukan api, ia belajar cara mengunakan dan memperolehnya. Dari penemuan ini ia mulai mengetahui keberadaan ruh hewani ruh hayawanii. Fase keempat, Hayy mulai meneliti benda-benda yang ada didalam kawn penciptaan dan alam jasad benda. Ia mengenal benda yang bersifat tunggal dan majemuk, benda dan jiwa. Ia melihat kesesuaian antara materi al- Ka‟inat benda yang ada di alam semesta dan ketidaksesuaian surah: bentuk materi. Ia juga mengenal dua macam benda, yaitu berat dan ringan, bergerak kebawah dan keatas, menemukan penyebab yang ada tertinggi dari segala penyebab sampai Hayy berumur duapuluh tahun. 47 Anton Bakker, Antropologi Metafisik, Cetakan ke-7 Yogyakarta: Kanisius Bekerjasama dengan Yayasan Adikarya Ikapi Dan The Ford Foundation, 2000, hlm. 89-90. 48 Kisah Hay Bin Yaqdhan secara lengkap yang terletak dalam Risalah Hayy Bin Yaqdhan fi Asrar Al-Hikmah Al-Masyraqiah dapat dilihat dalam Abu Bakr Ibn Thufayl Al-Andalusi, Hayy Bin Yaqdhan Dar Al Kitab Al-Lubani, 1987 terj. Indonesia Dahyal Afkar Surabaya: Menara, tth. Fase kelima, Hayy mulai bergerak keatas dari sekedar mengamati benda-benda yang ada dibumi kebenda-benda yang ada di langit. Kemampuan ini mengambarkan bahwa Hayy menyadari akan keberadaan wujud-wujud diluar manusia, apakah alam itu qadim atau hadist? Pertanyaan ini membawa kepada siapa wujud yang hakiki itu? Fase keenam, Hayy sudah berusia tigapuluh lima tahun dan telah mencapai kematangan berfikir. Hayy sekarang memahami bahwa ruh terpisah dan berbeda dengan badan. Tidak ada kaitannya antara ruh dan yang disemayami. Hayy telah sampai kepada kematangan berfikir, sehingga menuntun jiwanya kedalam kemapanan jiwanya. Hayy berpendapat bahwa kebahagiaan yang abadi dan kekal dapat diraih oleh jiwa-jiwa yang mampu menyakinkan dan menyaksikan Tuhan Allah. Inilah jiwa yang abadi. Fase terakhir adalah Ibnu Thufayl secara tegas menyatakan bahwa mushahadah adalah metode yang harus ditempuh oleh manusia untuk mencapai kebahagian dan keselamatan. 49 Cita-cita mencapai kesempurnaan merupakan cita-cita luhur dan cita-cita induk bagi setiap insan. Literatur dalam kajian kesempurnaan ini secara umum ada dua, yaitu tanazulat dan taraqi. Tanazulat adalah turun- Nya Tuhan dengan melewati beberapa martabat ketuhanan. Hal ini sama seperti konsep tajjali Tuhan yang melewati tujuh martabat. Dengan kata lain, Tuhan melewati tujuh martabat menuju alam manusia untuk „bersatu‟ dengan manusia pilihannya. Hal ini merupakan sesuatu yang jarang terjadi 49 Abdul Kadir Riyadi, Antropologi Tasawuf: Wacana Manusia Spiritual dan Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 2014, hlm. 259-262. dalam dunia sufistik, kecuali beberapa hamba seperti Nabi Musa yang dapat berdialog dengan Tuhan Allah Swt. Selain itu, dalam kajian pemikiran Muhammadiyah hal ini merupakan hal yang mustahil, karena di dalam diri Muhammadiyah tidak ada praktek-praktek sufi seperti diatas. Kedua, taraqi. Konsep ini merupakan cara menuju Tuhan yang berlawanan dengan tanazul. Konsep taraqi ini merupakan cara atau perjalanan mi`roj atau naiknya suatu insan untuk menatap Tuhan. 50

4. Model Manusia