Latar Belakang Masalah PENGEMBANGAN DAN IMPLEMENTASI KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PERILAKU KEBERAGAMAAN SISWA MTs NEGERI DAN SMP NEGERI.

BAB. I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan agama Islam adalah sebagai mata pelajaran yang wajib diajarkan dalam kurikulum sekolah mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi Hasbulah, 2008: 150. Legalitas tersebut, tercantum dalam Undang- Undang dan sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional UUSISDIKNAS Bab II, Pasal 30 Ayat 1, 2 dan 3 bunyinya adalah: Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah danatau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal Depag RI, 2006: 21-22. Penyelenggaraan pendidikan keagaamaan pada jalur pendidikan formal seperti MTs dan SMP dikonsepsikan sebagai pendidikan dasar wajib 9 tahun, berlangsung sekitar usia 12 sampai 15 tahun. Komisi Pendidikan Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui UNESCO United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization telah membentuk sebuah Komisi Internasional tentang Pendidikan untuk Abad XXI The International Commision on Education for the Twenty-First Century Delors, 1966. Lebih lanjut, Komisi menyatakan bahwa pendidikan dasar sebagai “paspor” yang diperlukan untuk hidup dan memilih apa yang mereka lakukan, mengambil bagian dalam pembangunan masyarakat masa depan secara kolektif, dan terus menerus belajar, Delors dalam Sa’ud dan Sumantri, 2007: 1115. Tujuan pendidikan pada sekolah menengah lebih mengedepankan aspek pembentukan “kepribadian” personality siswa. Hal ini disebabkan pada usia antara 12-15 tahun termasuk remaja awal, kondisi sosial, emosional, dan keberagamaanya belum stabil. Pendidikan kepribadian pada siswa Madrasah Tsanawiyah dan Sekolah Menengah Pertama tanpa dibedakan, yaitu keduanya adalah “pengembangan kesalehan individual, transfer ilmu pengetahuan dan pembentukan watak” Mocthar dalam Rahim, 2006: x; Azra 2006: 96. Kurikulum Sekolah Madrasah Tsanawiyah dan Sekolah Menengah Pertama meliputi pelajaran: 1 Al-Quran-Hadits, 2 Aqidah-Akhlak, 3 Fiqih, dan 4 Sejarah Kebudayaan Islam Depag, 2007: 5; Depdiknas, 2007:2. Penekanan kurikulum bersifat elementer atau dasar-dasarnya saja yang berorientasi pada pengamalan ibadah praktis. Misalnya hubungan antar manusia dengan Allah hablumminallah, dan hubungan antar sesama manusia hablum minannas. Kedua bentuk hubungan ini, disebut Amsyari 1995: 34-35 sebagai ibadah “makhdah” khaskhusus, dan hubungan dengan sesama manusia dan alam sekitar disebut ibadah “ghairi makhdah” ‘amumum. Lebih lanjut, Amsyari menjelaskan ibadah makhdah sebagai upaya komunikasi manusia dengan Allah atau sering disebut upaya ritual, suatu upaya manusia yang tidak dapat diterangkan dengan akal dan lebih banyak menekankan dimensi kejiwaan dari manusia. Pada bagian lain Amsyari mengemukakan bahwa dalam Islam ditentukan 4 empat ajaran utama untuk berkomunikasi langsung dengan Allah, yakni: shalat, puasa, haji dan doa. Keempat ajaran utama ini, tidak dikenal mereka-reka, atau “improvisasi”; sedangkan ibadah ghairi makhdah bersifat umum diserahkan kepada manusia. Muhaimin, et. al. 2005: 162-163 mengklasifikasikan bentuk ibadah ke dalam tiga bagian, yaitu: 1. ibadah person, 2. ibadah antarperson, 3. ibadah sosial. Ibadah person, pelaksanaannya tidak perlu melibatkan orang lain, melainkan semata-mata tergantung pada kesediaan yang bersangkutan sebagai makhluk bebas melaksanakan amaliah keagamaan yang bersifat ritus seperti shalat, puasa dan sebagainya. Ibadah antarperson, suatu amaliah yang pelaksanaannya tergantung pada prakarsa pihak yang bersangkutan selaku hamba Allah yang otonom. Misalnya pernikahan. Ibadah sosial, kegiatan interaktif antara seseorang individu dengan pihak lain yang dibarengi dengan kesadaran diri sebagai hamba Allah. Istilah yang senada dengan Rakhmat 1997: 47 mengungkapkan bahwa ibadah makhdah adalah urusan ritual, dan yang kedua ibadah ghairi makhdah adalah urusan sosial menuntut kita untuk kreatif dan inovatif. Kedudukan kedua ibadah itu Nasution 2000: 9 mengungkapkan bahwa ibadah makhdah bersifat “qath’iy” pasti tidak dapat dirubah, atau “absolut”; sedangkan ibadah ghairi makhdah bersifat “zhanniy” umum. Ibadah yang sifatnya zhanniy meurut Shihab 2007: 96 merupakan lahan garapan para ulama dan pemikir hingga akhir zaman dan dari sinilah lahir ide perbedaan dan pembaharuan. Kedua ibadah di atas tersirat dalam ruang lingkup pendidikan agama Islam sebagaimana tercantum dalam dokumen Kurikulum Tingkat Satuan PendidikanKTSP 2007: 2 yang menyatakan bahwa: Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam menekankan keseimbngan, keselarasan, dan keserasian antara hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan sesama manusia, hubngan manusia dengan diri sendiri, dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Ruang lingkup pendidikan agama Islam di atas sebagai esensi kurikulum Pendidikan Agama Islam yang harus diimplementasikan secara terpadu dalam setiap kegiatan pembelajaran untuk mengantarkan siswa memahami dan mengamalkaan ibadah makhdah dan ibadah ghairi makhdah secara integral ucapan, perbuatan dan tindakan. Pembelajaran yang seimbang dan selaras antara hubungan manusia dengan Allah hablumminallah memmberi pemahaman ketaatan dan ketundukan kepada siswa bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya Q.S. 51: 66. Pendidikan Qurani mengajarkan aktualisasi hubungan manusia dengan Allah yang direalisasikan dalam bentuk ibadah makhdah adalah untuk menekankan ajaran agama yang harus dilaksanakan oleh setiap pelajar Muslim. Misalnya shalat untuk mendidik siswa menjauhi perbuatan keji dan munkar yang dilarang oleh agama Q.S. 29: 45. Zakat mensucikan diri dari sikap anti sosial Q.S.9: 103. Puasa mendidik siswa supaya menjadi orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah Q.S.2: 183. Ibadah Haji mengajarkan kepada siswa persaudaraan umat Islam sedunia Q.S.49: 10. Selain itu, ibadah ini adalah sebagai “media” untuk membangkitkan “fitrah” bertuhan kepada Allah Q.S.7: 72, Q.S.30: 30. Fitrah sebagai potensi baik yang mengarah pada pemilikan semangat beragama atas dasar pengakuan terhadap ke-Esaan Allah yang dibawa oleh anak sejak lahir sebagai prinsip tauhid Rubbubiyah. Pembuktian ibadah makhdah adalah hubungan seorang dengan Tuhannya terlihat dari pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidup yang dipenuhi dengan kesadaran tauhid kepada Allah, Assegap, 2005: 115. Nilai-nilai pendidikan Qurani dan Nabawi menekankan pentingnya hubungan dengan sesama manusia tanpa dibatasi ras, warna kulit, perbedaan agama, dan letak geografis, sebab semua manusia adalah satu sebagai hamba Allah Q.S. 21: 92. Perbedaan ini adalah untuk saling kenal mengenal, saling menghormati dan memulyakan di antara mereka, karena misi Islam lahir sebagaimana Nata 2004: 97 menyatakan bahwa Islam sebagai pembawa rahmat kasih sayang bagi semesta alam. Islam tidak mengenal perbedaan ras sebagaimana Rasulallah SAW bersabda yang dikutif Rahmat 1997: 30, ia menjelaskan bahwa;”Tidak ada kelebihan orang kulit putih atas orang hitam, kecuali karena amal saleh.” Kandungan pendidikan Qurani mengajarkan pendidikan sikap hormat termasuk hubungan baik seorang anak kepada kedua orang tua yang telah bersusah payah mendidik, mengasuh dan melindunginya tanpa mengenal lelah, sehingga apabila orang tua menyuruh mengerjakan suatu pekerjaan kemudian anak itu menolak dengan mengatakan kata-kata “ah” uffin, dan bersikap kasar maka termasuk perbuatan yang dilarang agama Q.S.17: 23-24. Selain Islam mewajibkan seorang anak menghormati kedua orang tua, juga mengormati dan berbuat baik kepada kaum kerabat atau sudara Q.S.2: 83; Q.S.4: 36, dan anak dilarang melakukan permusuhan Q.S.16l: 90. Penekanan penghormatan selain kepada kedua orang tua dan saudara juga pendidikan Qurani menekankan kepada siswa untuk melakukan hubungan baik dengan orang lain dan diri sendiri. Berbuat baik kepada orang lain seperti kepada sesama teman, yaitu berbuat adil Q.S.4: 58, pemurah Q.S.3: 92, penyantun Q.S.3: 134, pema’af Q.S.3: 159, menepati janji Q.S.17: 34, saling berpesan kepada kebaikan Q.S.110: 3, dan sebagainya. Hubungan baik siswa dengan orang lain menebarkan salam, hormat kepada sesama, bila diberi hormat membalas dengan yang lebih baik Q.S.4: 84, tolong menolong dalam kebaikan Q.S.5: 2, toleransi beragama Q.S.109: 4-5 dan menumbuhkan rasa aman di antara sesama manusia. Sebagaimana Rasulallah menegaskan bahwa” tidak beriman seseorang yang tetangganya tidak merasa aman” HR. Bukhari, Muslim, dan Akhmad. Berbuat baik kepada diri sendiri yang perlu dilakukan siswa terliput misalnya saja, ikhlash beragama Q.S.4: 123, berlaku jujur Q.S.8: 58, memanfaatkan waktu dengan baik Q.S.103: 1-3, menjaga aurat Q.S.23:5-6, sabar Q.S.2: 153, tawadlu rendah hati, tidak sombong Q.S.31: 13 berlaku benar Q.S.9: 119, mempunyai rasa malu, karena malu sebagian dari iman HR. Bukhari, Muslim. Hubungan baik siswa dengan alam sekitar sebagai pendidikan lingkungan hidup yang digariskan Islam termasuk “ihsan”. Misalnya berbuat baik terhadap semua ciaptaan Allah yang tergelar di alam semesta ini. Manusia diberi amanat oleh Allah supaya tidak merusak lingkungan Q.S.30: 41, Q.S.28: 77, melainkan ia sebagai Khalifah di muka bumi yang bertugas untuk memakmurkannya Q.S.11: 61, dan menjaga kerbersihan diri Q.S.2: 22. Pembelajaran hubungan siswa dengan Allah, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitar yang terliput di dalam ibadah makhdah dan ibadah ghairi makhdah tujuannya adalah untuk meningkatkan perilaku keberagamaan siswa, mencakup pengamalan “ta’abbudi” atau ibadah makhdah, yaitu ibadah kepada Allah secara langsung dalam bentuk ibadah ritual, selain itu siswa terampil melaksanakan ibadah sosial yang direalisasikan dalam bentuk hubungan baik dengan sesama manusia dan alam sekitar agar tercipta kehidupan masyarakat yang tertib, damai, harmonis; tolong menolong dan jauh dari perbuatan tidak terpuji seperti tindakan kekerasan dan anti sosial kemanusiaan yang marak terjadi saat ini di kalangan pelajar. Berdasarkan pemahaman tersebut yang dimaksud perilaku keberagamaan meminjam istilah Turmuddhi http:dosen.amikom.ac.id.doc ,2009 adalah praktik hidup berdasarkan ajaran agama, tanggapan atau bentuk perlakuan terhadap agama yang diyakini dan dianutnya serta dijadikan sebagai pendangan hidup dalam kehidupan dengan tampilan insan religius yang humanis. Dengan kata lain, yang dimaksud perilaku keberagamaan siswa, yaitu siswa di satu sisi terampil menjalan ibadah kepada Allah secara ritual, di sisi lain ia hidup rukun dalam kehidupan sosial misalnya mampu melakukan sikap hormat kepada sesama manusia sebagai makhluk sosial annas. Kedudukan ini mejadi lebih urgen lagi untuk jenjang pendidikan tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama yang rata-rata berusia 12-15 tahun yang hampir disepakati oleh para ahli ilmu jiwa yang menyatakan bahwa kelompok umur ini ada pada masa remaja awal, dengan situasi dan kondisi sosial dan emosinya belum stabil yang membawa dampak terhadap tingkah laku dan sikap beragama yang ditandai kadang-kadang remaja rajin dan kadang-kadang malas melaksanakan ajaran agama, Darajat, 1975: 11-12; Jalaluddin, 2001: 78; Yusuf, 2001: 126. Pengamalan kedua ibadah itu ibadah makhdah dan ibadah ghairi makhdah dalam praktiknya yang lebih dominan dijalankan oleh umat Islam sebagaimana Rakhmat 1977: 57 menyatakan bahwa umat Islam selama ini cenderung keliru mengartikan ibadah dengan membatasinya pada ibadah ritual. Betapa banyak umat Islam yang disibukan dangan urusan ibadah makhdah, tetapi mengabaikan kemiskinan, penyakit, kelaparan, kesengsaraan, dan kebodohan yang diderita saudara-saudara mereka. Ungkapan ini menunjukkan bahwa kelemahan-kelemahan yang dihadapi umat Islam adalah pada ibadah gahairi makhdah atau ibadah sosial yang selama ini terabaikan, atau kurang perhatian yang membawa kemunduran di segala bidang salah satunya pengelolaan pendidikan di berbagai institusi pendidikan Islam mulai dari pendidikan dasar sampai perguruaan tinggi, saat ini jauh ketinggalan baik secara kualitas maupun kuantitas bila dibandingkan dengan lembaga pendidikan lain umum. Arifin 2007: vi menegaskan bahwa:” Perkembangan pendidikan Islam belum menunjukkan hasil yang optimal dibandingkan dengan perkembangan jenis pendidikan lainnya, pendidikan Islam jelas menunjukkan kualitas yang relatif rendah”. Menurutnya faktor yang mempengaruhinya pendirian madrasah sekolah Islam pada umumnya didasarkan pada semangat dakwah. Motif ini pada tataran ideal sebenarnya sangat bagus karena akan mendorong semangat bekerja yang lebih tinggi. Namum pada tataran emprik, semangat tersebut pada umumnya dijadikan modal kerja yang serba apa adanya dan serba apa bisanya dengan dalih ikhlas beramal dan lillahi taala, yang penting kewajiban agama, yaitu berdakwah, telah ditunaikan. Pada gilirannya prinsip manajemen modern – seperti perencanaan, perorganisasian, pengawasan, kurikulum dan evaluasi – yang semestinya diterapkan dalam pengelolan pendidikan sedikit dijumpai di kalangan pendidikan madrasah. Selanjutnya Arifin menjelaskan rendahnya sumber daya pendidikan baik yang berupa tenanga kependidikan, dana, sarana dan prasarananya. Rendahnya kualitas tenaga kependidikan hampir dijumpai dikalangan guru-guru agama Islam baik di madrasah maupun di sekolah umum. Berdasarkan ungkapan tersebut di atas salah satu yang paling dominan yang mempengaruhi kualitas hasil belajar agama siswa secara signifikan terletak pada kemampuan guru dalam mendidik dan mengajar siswa. Sebab perilaku guru dipandang sebagai sumber pengaruh sedangkan tingkah laku yang belajar sebagai “efek” dari berbagai proses, tingkah laku dan kegiatan interaktif Gagne 1964:139. Para pakar kurikulum menyatakan bahwa “betapapun bagusnya kurikulum official, hasilnya sangat tergantung pada apa yang dilakukan guru di dalam kelas “curriculum actual” Syaodih, 1997: 194. Sementara itu, Syah t.t. 157 menjelaskaan patut diduga tingkat kompetensi profesionalisme sebagai guru agama pada sekolah-sekolah lanjutan pertama selama ini hanya berkisar pada kemampuan berceramah di muka kelas belaka. Metode penyajian materi agama yang cenderung monoton seperti ini biasanya akan mendorong para pelajar untuk mengambil pilihan kebiasaan belajar cognitive preference yang bermotif ekstrinsik bukan instrinsik. Siswa belajar agama hanya untuk mencapai cita-cita asal lulus belaka. Lebih lanjut, ia menegaskan tingkat kompetensi guru agama seperti contoh di atas, jika dibiarkan terus berlanjut kemungkinan besar akan membawa akibat rendahnya tingkat hasil pendidikan agama. Pada bagin lain Syah mengemukakan bahwa pemahaman guru agama terhadap kurikulum Pendidikan Agama Islam bersifat konvensiaonal, artinya guru agama mengajar materi Pendidikan Agama Islam dengan bermodalkan keterampilan ceramah di depan kelas, alat yang biasa digunakan kapur dan papan tulis, minim menggunakan media, strategi dan metode belajar kurang bervariasi, sehingga pembelajaran tersebut kurang merangsang aktif dan kreatif siswa belajar. Sejalan dengan Mangunwijaya http:www.tajid.laid.or.id ,2010 menyatakan bahwa, metodologi pembelajaran Agama Islam di sekolah disampaikan guru secara statis-indokrinatif-dokriner dengan fokus utama kognitif sibuk mengajarkan pengetahuan dan peraturan agama, akan tetapi bagaimana menjadi manusia yang baik: penuh kasih sayang, menghormati sesama, peduli pada lingkungan dan sebagainya justru luput dari perhatian. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa pola pendidikan kita saat ini masih mementingkan huruf dari pada ruh, lebih mendahulukan tafsiran harfiah di atas cinta kasih. Pola pembelajaran ini kurang menyentuh terhadap perkembangan intelektual dan pembinaan keberagamaan siswa. Siswa SLTP dilihat dari tingkat intektualnya telah mampu berpikir logis tentang berbagai gagasan yang absrak, karena menurut Sigelman dan Shafer dalam Yusuf 2001: 193 pertumbuhan otak mencapai kesempurnaan dari muali 12-20 tahun. Dengan demikian strategi pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SLTP disajikan untuk memfasilitasi perkembangan berpikirnya melalui penggunaan metode mengajar yang mendorong siswa untuk aktif bertanya, mengemukakan pendapat, atau menguji coba suatu materi, melakukan dialog, dan diskusi. Sehingga pembelajaran Pendidikan Agama Islam mengandung makna serta fungsi dalam kehidupan mereka. Pembelajaran yang bermakna dan fungsional dalam kehidupan dapat meningkatkan minat belajar dan kesadaran untuk mengaplikasikan hasil belajarnya dalam kehidupan sehari-hari masih dipertanyakan, terutama hubungan baik dengan sesama manusia yang selama ini menampilkan perilaku tidak harmonis atau hidup aman tentram dan bahagia. Menurut beberapa pemerhati pendidikan Islam misalnya Azra 2006: 181 menyatakan kekeliruan ini akibatnya keberagamaan siswa terutama hubungan dengan sesama manusia kurang terbina. Keberhasilan siswa belajar agama di sekolah hanya diukur sebatas ketaatan melaksanakan ritual keagamaan atau kesalehan beragama, sementara nilai-nilai etis keagamaan yang tersirat di dalamnya seperti hidup rukun, damai, saling menghormati, saling menyayangi; sikap ramah dan sopan santun sebagai nilai-nilai ibadah ghairi makhdah kurang dipraktikan dalam kehidupan nyata, sehingga siswa tidak mampu mengontrol diri dan akibatnya mudah marah, melawan norma atau aturan, sulit diatur, dan agresif jika tersingung ketika berteman. Indikasi di atas menunjukkan kemunduran pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah, lebih dari itu menurut pandangan Tafsir http:www.scrib.com ,2009 berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pada aspek kowing dan doing guru agama tidak gagal; mereka banyak gagal pada pembinaan aspek keberagamaan being” internalisasi ajaran Agama Islam dalam kehidupan. Sependapat dengan Thoyyer http:www.tajid.laid.or.id ,2009 menyatakan bahwa pendidikan agama selama ini lebih menekankan pada aspek knowing dan doing belum banyak mengarah ke aspek being. Akibatnya anak didik masih jauh menjalani hidup sesuai dengan nilai-nilai agama, Hasil penelitiaan yang relevan menggambarkan hal di atas adalah sebagai berikut. Studi pendahuluan yang dilakukan Sauri 2002: 7 menjelaskan bahwa perilaku santun terlihat dari sikap siswa saat bertemu guru, karyawan, dan dengan siswa sesndiri, seperti jabatan tangan dan menciun tangan. Ucapan yang menggambarkan kesantunan seperti: permisi, terima kasih, insya Allah, alhamdulillah, astaghfirullah. Sikap tidak santun siswa seperti ajing, goblok, maneh, dan aing masih sering dilakukan siswa Temuan Ririn tindakan kekerasan yang dilakukan siswa di sekolah tertentu menjelaskan: Setiap minggu, atau satu dari enam siswa mengalami tindakan kekerasan di sekolah bulying, contoh bulying, melontarkan kata-kata yang menyakitkan dan tidak enak, menggunakan panggilan yang jelek dan menyakitkan, memisahkan teman dari kelompok karena berbeda, menggunjingkan orang untuk tidak menyukai satu orang, sampai tindakan menendang, memukul, menarik rambut, merupakan bentuk bulying di sekolah Pikiran Rakyat, Pebruari 2009: 1. Penelitian yang dilakukan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama menjelaskan pendidikan keberagamaan yang seharusnya terbentuk melalui pendidikan agama terbaikan atau gagal diwujudkan. Selanjutnya, Berdasarkan hasil penelitian dari Tim Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Agama dan Keagamaan pada siswa SLTP kelas dua di lima kota besar Indonesia, yaitu Daerah Khsus Ibukota DKI Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makasar, dalam hal ini Ahmaddudin menjelaskan: Pendidikan Agama dianggap kurang memiliki implikasi terhadap hubungan sosial keagamaan. Fenomena kemorosotan akhlak siswa yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia tersebut kemungkinan karena agama kurang dipahami secara fungsional” http:www.hupelitabaca.php?id ,2009 . Penelitian empirik menujukkan kebergamaan siswa yang berkembang saat ini sebagai hasil penelitian Rahim 2000: 37 dalam disertasinya tentang “Keberagamaan Siswa”, ia menjelaskan kenyataan anak didik setelah belajar 12 tahun SD, SMP, dan SMUK, umumnya tidak mampu membaca al-Qur’an dengan baik, tidak melakukan shalat dengan tertib, tidak melakukan puasa di bulan Ramadhan, dan tidak berakhlak baik. Dalam batas-batas tertentu berdasarkan kajian teori dan penelitian empiris yang dilakukan oleh para pemerhati Pendidikan Islam seperti yang dikemukaan di atas bahwa Pembelajaran Pendidikan Agama Islam menunjukkan kelemahan atau kekurangan, misalnya: 1. Pelaksana Pendidikan Agama Islam di sekolah pemahaman terhadap kurikulum secara sempit, kurikulum dipandang hanya sebagai materi pelajaran yang harus dikuasai siswa untuk mendapat nilai agar siswa naik kelas, dan atau lulus ujian akhir, 2. Penggunaan media, metode, dan berbagai pendekatan belum dilakukan secara optimal dalam pembelajaran PAI pada akhirnya menimbulkan verbalisme terhadap siswa dalam menggali ajaran agama Islam, 3. Implementasian kurikulum aktual di kelas Kegiatan Belajar Mengajar berpusat pada guru teacher centered, sementara aktivitas belajar siswa hanya mengikuti apa yang diajarkan guru, 4. Penilaian terhadap perilaku keberagamaan siswa parsial hanya menilai kemampuan menghapal materi pelajaran, 5. Siswa belum mampu menampilkan perilaku keberagamaan sesuai nilai-nilai ajaran Islam yang terliput dalam ucapan, perbuatan, dan tindakan secara Islami. Atas dasar itu, penelitian ini penting dilakukan karena kondisi pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam di MTsN dan SMPN dan implikasinya terhadap perilaku keberagamaan siswa belum sesuai dengan tujuan ideal Pendidikan Agama Islam; secara empirik di lapangan akhir-akhir ini banyak siswa tertentu belum menampilkan perilaku mulia dan terpuji sesuai akhlak Islam. Apabila fenomena ini dibiarkan oleh sekolah khususnya, akan lahir kecenderungan perilaku siswa yang kasar, keras, dan kering dari nilai-nilai etika agama, serta hilangnya rasa kemanusiaan, Sauri 2002: 8. Dengan diadakannya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan solusi alternatif terhadap pemecahan masalah perilaku keberagamaan siswa yang belum konsisten menjalankan ajaran agama Islam.

B. Rumusan Masalah

Dokumen yang terkait

STUDI PERSEPSI GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM TERHADAP IMPLEMENTASI KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI DI SMP NEGERI 3 BATU

0 8 1

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN PENYIMPANGAN PERILAKU SISWA DI SMP NEGERI 6 MALANG

0 4 1

IMPLEMENTASI PENILAIAN AUTENTIK KURIKULUM 2013 PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN BUDI PEKERTI DI SMP NEGERI 2 JOMBANG

0 8 27

Respon Siswa terhadap mata pelajaran pendidikan Agama Islam dan Implikasinya dengan sikap keberagamaan siswa: Studi Kasus SMP YPI Bintaro Jakarta

0 4 97

Peranan Guru Pendidikan Agama Islam Dalam Pembinaan Sikap Keberagamaan Siswa Di Smp Negeri 6 Tangerang Selatan

3 26 108

Hubungan hasil belajar pendidikan agama islam dengan perilaku keberagamaan anak: studi Kasus di SD Negeri Jagakarsa 02 Pagi, Jakarta Selatan

0 10 89

PELAKSANAAN KURIKULUM 2013 TERHADAP PELAKSANAAN MAPEL PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI MTs NEGERI LOANO PURWOREJO

1 43 169

PENGEMBANGAN DAN PENERAPAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN PADA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ( Studi Kasus MI Negeri Pengembangan Dan Penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Pada Pendidikan Agama Islam ( Studi Kasus Mi Negeri Dan Mi Swasta Kecamatan

0 0 12

PENGEMBANGAN MODEL KURIKULUM UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PENGAMALAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA SISWA MTs DI KALIMANTAN SELATAN :Suatu Penelitian dan Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di MTs.

1 7 70

Problematika implementasi kurikulum KTSP dan kurikulum 2013 pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam : studi multi Kasus di SMP Negeri 1 Kedungwaru dan SMP Negeri 2 Tulungagung.

0 0 166