Peranan Lembaga Fidusia Sebagai Penjamin Hutang dalam Pemberian Kredit Bank

(1)

PERANAN LEMBAGA FIDUSIA SEBAGAI PENJAMIN HUTANG

DALAM PEMBERIAN KREDIT BANK

SKRIPSI

Disusun untuk melengkapi tugas akhir dan diajukan sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

NIM. 080200399

ASIHOT MARULI TUA MANALU

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERANAN LEMBAGA FIDUSIA SEBAGAI PENJAMIN HUTANG

DALAM PEMBERIAN KREDIT BANK

SKRIPSI

Disusun untuk melengkapi tugas akhir dan diajukan sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

O

L

E

H

080200399

ASIHOT MARULI TUA MANALU

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

DISETUJUI OLEH :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

(Windha, SH., M. Hum

Nip. 197501122005012002

)

PEMBIMBING I

PEMBIMBING II

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH)

(Ramli Siregar, SH, M. Hum)

Nip. 131570455

Nip. 195303121983031002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat dan rahmat-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Adapun judul dari skripsi ini adalah “PERANAN LEMBAGA FIDUSIA SEBAGAI PENJAMIN HUTANG DALAM PEMBERIAN KREDIT BANK”. Sebagai salah satu

unsur penting dalam pemenuhan nilai-nilai tugas dalam mencapai gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Untuk penulisan skripsi ini penulis berusaha agar hasil penulisan skripsi ini mendekati kesempurnaan yang diharapkan, tetapi walaupun demikian penulisan ini belumlah dapat dicapai dengan maksimal, karena ilmu pengetahuan penulis masih terbatas. Oleh karena itu, segala saran dan kritik akan penulis terima dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan penulisan skripsi ini.

Pada kesempatan yang bahagia ini, tidak lupa penulis ingin mengucapkan terima kasih atas jasa-jasa dari nama-nama yang disebut di bawah ini. Beliau-beliau tersebut merupakan panutan dan juga motivator penulis dari awal masa perkuliahan hingga sekarang. Penulis menghanturkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Kedua Orang Tua ku yang sangat penulis cintai dan hormati, Ayahanda R.Manalu dan Ibunda tersayang R.Br Hotang yang telah mendidik, merawat dan membesarkan penulis serta yang telah memberikan dorongan baik moril maupun materil.

2. Buat kakak-kakak ku dan abang-abang ku : Rosida Dormauli Br Manalu, Amd,


(4)

keponakan – keponakan ku yang kusayangi : Sultan Mulia Pardomuan Manalu, Yohanes Manalu, Eliza Ayu Br Lumban Gaol, Stephani Elia Br.Raja Guk-Guk, Markus Lumban Gaol yang telah mwendukung dan memberikan semangat kepada penulis, sehingga skripsi ini bisa diselesaikan tepat waktu.

3. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr Budiman Ginting, S.H, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Syafruddin Hasibuan,S.H, M.H, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak M. Hoesni, S.H, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara .

7. Ibu Windha S.H, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas ilmu dan saran yang telah diberikan kepada Penulis

8. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H, M.H, selaku Pembimbing I yang memberikan bimbingan dan pengetahuan sejak masa perkuliahan hingga sampai selesainya skripsi ini.

9. Bapak Ramli Siregar, S.H, M.Hum, sebagai Pembimbing II sekaligus sebagai Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi yang turut memberikan petunjuk serta bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Semua Bapak dan Ibu Dosen, selaku staf pengajar dan seluruh administrasi Fakultas Hukum , Program Ilmu Hukum dan Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara Medan.


(5)

11.Teman- teman yang tergabung dalam komunitas “Law 4 Life” ; Irman Mendrofa, Juni Rusminarty, Amalia Khairiza, Aras Firdaus, Miftahul Rizki, Arief Fahriadi, Efni Sri Andriyani, Fauzan Irgi Hasibuan, Putri Ulfa, Christi Ananda. Yang telah sangat membantu dukungan moril bagi penulis. Semoga persahabatan kita ini tidak hanya empat tahun saja, tetapi selama-lamanya. Amin.

12. Semua teman-teman Ikatan Mahasiswa Ekonomi (IMAHMI), Juni Rusminarty, Putri Ulfa, Rumina Purnama M, Adhary Kurniawan, Fiqi M, Romina M.

13.Semua teman-teman stambuk 2008 Group G (Tahun 2008), F (Tahun 2009), E (Tahun 2010).

14.Semua pihak yang telah memberikan bantuannya kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini dan tidak bisa penulis sebut satu persatu.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, kepada almamaterku dan kepada masyarakat.

Medan, Juni 2012

Penulis,


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI………... iv

ABSTRAKSI………... vi

BAB I. PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang………... 1

B. Perumusah Masalah……… ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan……….. 8

D. Keaslian Penulisan………. 9

E. Tinjauan Kepuatakaan………... 10

F. Metode Pengumpulan Data……… 11

G. Sistematika Penulisan………. 11

BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN FIFDUSIA………. 13

A.Pengertian dan Sifat Jaminan Fidusia………... 13

B.Objek Jaminan Fidusia……….. 19

C.Pendaftaran Jaminan Fidusia………. 20

D.Eksekusi Jaminan Fidusia……….. 27


(7)

BAB III. PROSES TERJADINYA PEMBERIAN KREDIT BANK………. 33

A.Pengertian Perjanjian Kredit………. 33

B.Jenis-Jenis Jaminan Kredit Bank……….. 37

C.Hak dan Kewajiban Para Pihak………. 37

D.Wanprestasi Dalam Pemberian Kredit………. 42

E.Berakhirnya Jaminan Fidusia……… 42

BAB IV. PERANAN LEMBAGA JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI JAMINAN DALAM PEMBERIAN KREDIT BANK……… 51

A.Lembaga Jaminan Fidusia Dalam Praktek Perbankan……….. 51

B.Peranan lembaga Jaminan Fidusia Sebagai Jaminan Hutang………… 57

C.Upaya Hukum Yang Dilakukan Untuk Memperkecil Resiko Dalam Pelaksanaan Pemberian Kredit Dengan Jaminan Hutang Berupa jaminan Fidusia……….……. 63

BAB V. PENUTUP……… 67

A.Kesimpulan………. 67

B.Saran………... 68


(8)

PERANAN LEMBAGA FIDUSIA SEBAGAI PENJAMIN HUTANG DALAM PEMBERIAN KREDIT BANK

Asihot Maruli Tua Manalu *) Prof.Dr.Bismar Nasution,SH., MH **)

Ramli Siregar, SH., M.Hum ***)

ABSTRAKSI

Peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam rangka pembangunan sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945 setelah Amandemen Tahun 2000 dapat dilakukan salah satunya adalah dengan cara pemberian kredit kepada masyarakat luas. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana peranan lembaga fidusida sebagai jaminan hutang dalam pemberian kredit bank, dimana lembaga jaminan fidusia telah memperoleh suatu tempat khusus dalam hierarki perundang-undangan Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia. Disinilah jaminan fidusia memiliki peran dalam pemberian kredit sebagai jaminan hutang. Hanya bagi sebagian kalangan, jaminan fidusia merupakan sebagai jaminan pelengkap dari jaminan hak tanggungan. Walaupun seharunya tanpa hak tanggungan pun, pihak bank seharunya memberikan kredit dengan jaminan fidusia. Skripsi ini mengangkat pokok permasalahan seperti, apakah sesuai dengan yang dikehendaki dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia, apakah peranan lembaga fidusia sebagai jaminan utang dalam praktek pemberian kredit dan apa saja upaya hukum yang dilakukan oleh bank untuk memperkecil resiko pemberian kredit yang dijamin dengan lembaga jaminan fidusia.

Metode yang dipakai penulis adalah metode penelitian yang bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian yang dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai peranan dari lembaga jaminan fidusia sebagai jaminan hutang dalam pemberian kredit bank. Metode pendekatan yang digunakan adalah analisis yuridis normative, yaitu dengan berusaha mengkaji dan menguji data yang berkaitan dengan permasalahan dalam peranan lembaga jaminan fidusia sebagai jaminan hutang dalam pemberian kredit bank. Teknik pengumpulan data dari penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan,literature / dokumen untuk memperoleh data sekunder.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa ditemukan bahwa ternyata Undang-Undang Fidusia belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, baik dari segi waktu pendaftarannya, biaya pendaftarannya, biaya pembuatan dan pendaftaran jaminan fidusia di kantor pendaftaran fidusia, maupun untuk menjamin kepastian hukum dari para pihak. Kekurangan-kekurangan tersebut menyebabkan jaminan fidusia kurang dapat dimanfaatkan oleh dunia perbankan. Peranan lembaga jaminan fidusia dalam pemberian kredit bank yaitu dapat menjadi jaminan utama atau hanya menjadi jaminan tambahan.

*) Mahasiswa

**) Dosen Pembimbing I ***) Dosen Pembimbing II


(9)

PERANAN LEMBAGA FIDUSIA SEBAGAI PENJAMIN HUTANG DALAM PEMBERIAN KREDIT BANK

Asihot Maruli Tua Manalu *) Prof.Dr.Bismar Nasution,SH., MH **)

Ramli Siregar, SH., M.Hum ***)

ABSTRAKSI

Peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam rangka pembangunan sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945 setelah Amandemen Tahun 2000 dapat dilakukan salah satunya adalah dengan cara pemberian kredit kepada masyarakat luas. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana peranan lembaga fidusida sebagai jaminan hutang dalam pemberian kredit bank, dimana lembaga jaminan fidusia telah memperoleh suatu tempat khusus dalam hierarki perundang-undangan Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia. Disinilah jaminan fidusia memiliki peran dalam pemberian kredit sebagai jaminan hutang. Hanya bagi sebagian kalangan, jaminan fidusia merupakan sebagai jaminan pelengkap dari jaminan hak tanggungan. Walaupun seharunya tanpa hak tanggungan pun, pihak bank seharunya memberikan kredit dengan jaminan fidusia. Skripsi ini mengangkat pokok permasalahan seperti, apakah sesuai dengan yang dikehendaki dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia, apakah peranan lembaga fidusia sebagai jaminan utang dalam praktek pemberian kredit dan apa saja upaya hukum yang dilakukan oleh bank untuk memperkecil resiko pemberian kredit yang dijamin dengan lembaga jaminan fidusia.

Metode yang dipakai penulis adalah metode penelitian yang bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian yang dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai peranan dari lembaga jaminan fidusia sebagai jaminan hutang dalam pemberian kredit bank. Metode pendekatan yang digunakan adalah analisis yuridis normative, yaitu dengan berusaha mengkaji dan menguji data yang berkaitan dengan permasalahan dalam peranan lembaga jaminan fidusia sebagai jaminan hutang dalam pemberian kredit bank. Teknik pengumpulan data dari penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan,literature / dokumen untuk memperoleh data sekunder.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa ditemukan bahwa ternyata Undang-Undang Fidusia belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, baik dari segi waktu pendaftarannya, biaya pendaftarannya, biaya pembuatan dan pendaftaran jaminan fidusia di kantor pendaftaran fidusia, maupun untuk menjamin kepastian hukum dari para pihak. Kekurangan-kekurangan tersebut menyebabkan jaminan fidusia kurang dapat dimanfaatkan oleh dunia perbankan. Peranan lembaga jaminan fidusia dalam pemberian kredit bank yaitu dapat menjadi jaminan utama atau hanya menjadi jaminan tambahan.

*) Mahasiswa

**) Dosen Pembimbing I ***) Dosen Pembimbing II


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebutuhan akan dana yang diberikan oleh pihak perbankan dalam dunia perbankan di Indonesia disebut dengan kredit, yang terkadang selalu dihubungkan dengan adanya jaminan sebagai pengamanan pemberian dana atau kredit tersebut.Jaminan merupakan hal yang penting dalam membuat dan melaksanakan perjanjian kredit atau perjanjian pinjam meminjam uang, serta guna melindungi kepentingan para pihak khususnya kreditur (yang meminjamkan).Djuhaendah Hasan mengatakan bahwasanya fungsi jaminan secara yuridis adalah kepastian hukum pelunas hutang di dalam perjanjian kredit atau dalam hutang piutang atau kepastian realisasi suatu prestasi dalam suatu perjanjian.Kepastian realisasi suatu prestasi dalam suatu perjanjian.Kepastian hukum ini adalah dengan mengikat perjanjian jaminan melalui lembaga-lembaga jaminan.1

Fungsi jaminan secara yuridis adalah untuk kepastian hukum pelunasan hutang di dalam perjanjian kredit atau hutang piutang atau kepastian realisasi sutau prestasi dalam suatu perjanjian.Kepastian hukum ini adalah dengan peningkatan jaminan melalui lembaga-lembaga jaminan yang dikenal dalam hukum Indonesia.

Sehubungan dengan adanya jaminan sebagai pengamanan pemberian dana atau kredit, maka secara garis besar ada dua macam bentuk jaminan, yaitu jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Jaminan yang paling diminati oleh pihak bank dan pihak lainnya sebagai kreditur adalah jaminan kebendaan.

1

Djuhaenda Hasan, Perjanijan Jaminan Dalam Perjanjian Kredit, (Jakarta: Proyek Elips dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998), hal 50.


(11)

Menurut Djuhaendah Hasan, jaminan kebendaan merupakan hak mutlak atas suatu benda tertentu yang dijadikan objek jaminan untuk suatu ketika dapat diuangkan bagi pelunasan atau pembayaran hutang apabila debitur melakukan cidera janji (wanprestasi). Di dalam jaminan kebendaan selalu tersedia benda tertentu yang menjadi objek jaminan sehingga dalam pratek jaminan kebendaan lebih disukai dari pada jaminan perorangan karena sifatnya yang lebih menguntungkan pihak kreditur.2

Jaminan fidusia merupakan salah satu bentuk dari jaminan kebendaan, yang merupakan perkembangan dari lembaga gadai.Pada ketentuan gadai mewajibkan kekuasaaan atas benda yang dijaminkan harus pindah/berada di tangan pemegang gandai. Hal tersebut mengakibatkan pemberi gadai tidak dapat mempergunakan dapat mempergunakan benda jaminan tersebut untuk keperluan usahanya, sehingga dalam praktek timbul suatu perkembangan baru di mana si peminjam menyerahkan hak miliknya atas benda jaminan itu secara constitutum possessorium, yaitu penyerahan hak milik secara kepercayaan atas suatu benda yang dijaminkan (milik debitur) kepada kreditur dengan penguasaan fisik atas barang-barang itu tetap pada debitur. Debitur menguasai fisik barang-barang tersebut bukan lagi sebagai pemilik melainkan sebagai peminjam-pakai.Pada awalnya objek fidusia terbatas pada benda bergerak yang berwujud peralatan, tetapi pada perkembangan selanjutnya objek fidusia juga meliputi benda yang tidak berwujud maupun benda tidak bergerak.

Ratnawati L. Prasodjo, staf ahli Menteri Kehakiman, dalam diskusi undang-undang tentang jaminan fidusia, menjelaskan apa yang melatarbelakangi diajukan undang-undang tentang jaminan fidusia, yaitu :

1. Memenuhi tuntutan pembangunan ekonomi

2


(12)

Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam rangka membangun secara berkesinambungan dibutuhkan dana yang besar. Pinjam meminjam merupakan salah satu bentuk untuk dapat terpenuhinya kebutuhan akan dana yang besar tersebut. Kegiatan pinjam meminjam memerlukan perlindungan melalui sebuah lembaga jaminan yang mampu memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi para pihak yang terlibat.Lembaga jamina fidusia merupakan salah satu bentuk jaminan yang belum ada pengaturanya secara utuh.

2. Kebutuhan Masyarakat.

Lembaga jaminan fidusia memungkinkan para pembeli fidusia untuk tetap menguasai benda yang dijaminkan, agar dapat tetap melangsungkan kegiatan usahanya.Awalnya jaminan fidusiahanya berlaku bagi benda-benda bergerak berwujud yang berbentuk peralatan usaha, dalam perkembanganya objek fidusia meliputi benda tetap.3

Dengan diundangkan undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia, lembaga jaminan fidusiatelah memperoleh suatu tempat khusus dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia. Dengan adanya undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusiadimaksudkan untuk menampung kebutuhan masyarakat dengan pengaturan jaminan fidusiasebagai sarana untuk membantu kegiatan usaha dan untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang berkepentingan.

Sebelum undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusiadibentuk, pada umumnya objek jaminan fidusiaadalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kendaraan bermotor. Oleh karena itu guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang, maka

3

Ratnawati L. Prasodjo, Undang-Undang Tentang Jaminan Fidusia,Diskusi Undang-Undang Jaminan Fidusia dan Pendaftaranya, Hotel Regent, 1999, hal 30


(13)

undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusiamemberikan pengertian yang luas tentang objek jaminan fidusia yaitu benda bergerak yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan sebagiman yang ditentukan dalam undang-undang nomor 4 tahun 1998 tentang hak tanggunganyang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.

Akan tetapi, ada hal yang harus didasari bahwa pada Pasal 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia juga memberikan suatu batasan terhadap ruang lingkup berlakunya setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani benda dengan jaminan fidusia. Hal ini kembali dipertegas melalui rumusan dalam Pasal 3 Undang-Undang Jaminan Fidusia yang menyatakan bahwasannya Undang-Undang Jaminan Fidusia tidak berlaku terhadap :4

1. Hak tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan,sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftarkan.

2. Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 (dua puluh) meter atau lebih.

3. Hipotik atas pesawat terbang 4. Gadai

Berdasarkan penjelasan secara umum dan singkat tentang Undang-Undang jaminan fidusiadi atas, maka dalam hal ini lembaga jaminan fidusiaini digunakan secara luas dalam berbagai transaksi pinjam meminjam atau kredit karena proses pembebanannya dianggap sederhana, mudah dan cepat, serta adanya kepastian hukum dengan cara mendaftarkan

4


(14)

jaminan fidusiatersebut. Pendaftaran jaminan fidusia tersebut memberikan hak yang didahulukan (preferen) kepada penerima fidusia terhadap kteditur lain. Karena jaminan fidusiamemberikan hak kepada pemberi fidusia untuk tetap menguasai benda yang menjadi objek jaminan fidusiaberdasarkan kepercayaan.

Hal ini berbeda dengan gadai walaupun objek gadai hampir sama dengan objek Fidusia yaitu juga sama-sama benda bergerak berwujud, namun karena objek gadai berada pada penerima gadai, maka objek gadai tersebut tidak dapat dipergunakan atau dimanfaatkan untuk kesehariannya oleh si pemberi gadai seperti sepeda motor, mobil dan sebagainya. Apabila tidak dilakukan maka akan mengalami kekurangan. Hal ini dinyatakan oleh Mariam Darus bahwasanya jika menalaah sistem hukum jaminan maka tampaklah bahwa hukum jaminan belum berada dalam sistem hukum yang bulat dan tuntas dimana pengaturannya masih bersifat sporadik dan belum tuntas.5

Sesuai dengan sifat hak kebendaan, jaminan fidusiatetap mengikuti benda menjadi objek jaminan fidusiadalam tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali benda persediaan.Pendaftaran fidusia mempunyai arti yang sangat penting terutama atas jaminan benda bergerak yang tidak terdaftar mengingat sangat sulit membukt ikan siapa pemiliknya. Dengan demikian telah disyaratkan suatu bentuk dan prosedur baku yang harus dilalui guna memperoleh kepastian hukum mengenai jaminan fidusia.

Pasal 37 ayat 2 dan 3 undang-undang No 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusiatelah memberikan suatu masa transisi yaitu 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya kantor pendaftaran fidusia, semua perjanjian jaminan fidusia harus sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang fidusia kecuali tentang kewajiban akta jaminan fidusia.6

5

Mariam Darus Badrulzaman, Kerangka Hukum Jaminan Indonesia Dalam Hukum Jaminan Indonesia Seri Dasar Hukum Ekonomi 4, (Bandung,: Citra Aditya Bakti, 1998), hal 23.

Apabila tidak

6


(15)

didaftarkan dalam jangka waktu tersebut, maka perjanjian jaminan fidusiadimaksud tidak merupakan hak agunan atas kebendaan yang dimaksud dalam undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusiasehingga tidak mempunyai hak yang didahulukan (preferent). Namun demikian, dalam praktek masih banyak jaminan fidusiayang diadakan sebelum berlakunya undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusiabelum disesuaikan dengan ketentuan undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia. Hal tersebut mungkin terjadi karena adanya kendala-kendala yang timbul seiring dengan diterapkannya undang-undang No 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia.

Seiring dengan alasan tersebut, maka timbullah suatu keinginan untuk diadakannya suatu penelitian untuk meneliti undang-undang No 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusiaserta membahas masalah-masalah yang timbul sehubungan dengan undang-undang No 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia khususnya dalam praktek perbankan

Bertitik tolak dari uraian diatas dan berdasarkan pandangan penulis, maka dengan ini memilih judul :“PERANAN LEMBAGA JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI PENJAMIN HUTANG DALAM PEMBERIAN KREDIT BANK.”

B. Perumusan Masalah

Adapun yang merupakan permasalahan yang timbul dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan lembaga jaminan fidusia dalam praktek perbankan?

2. Bagaimana peranan lembaga jamian fidusia sebagai jaminan hutang ?

3.

Upaya hukum yang dilakukan bank untuk memperkecil resiko dalam pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan hutang berupa jaminan fidusia.


(16)

C. Tujuan Penulisan

Mengacu pada permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk memperlajari dan memberikan gambaran mengenai peranan lembaga fidusia sebagai penjamin hutang.

2. Untuk mempelajari, memahami dan memberikan gambaran mengenai ketentuan hukum tentang perkreditan bank.

3. Untuk mengetahui sejauh mana peraturan-peraturan lembaga fidusia ini diterapkan sebagai penjamin hutang dalam pemberian kredit bank.

Manfaat Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini ada 2 (dua) manfaat yang dapat diperoleh, yaitu :

1. Dapat memberikan manfaat bagi perguruan tinggi dan dapat dipergunakan sebagai referensi bagi Kepustakaan pada Fakultas Hukum khususnya bagi para mahasiswa/i dan juga memberikan kepastian hukum bagi para dabitur yang mendapat pinjaman kredit bank dengan jaminan f idusia.

2. Dapat memberikan pemahaman bagi masyarakat untuk mengetahui pemberian kredit bank dengan jaminan fidusia dan masyarakat dapat mengetahui perundang-undangan yang mengatur pemberian kredit bank dengan jaminan fidusia.

D. Keaslian Penulisan

Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, disamping membaca buku yang berhubungan dengan judul skripsi ini.


(17)

Disini penulis mencoba memaparkan“Peranan Lembaga Jaminan Fidusia Sebagai Penjamin Hutang Dalam Pemberian Kredit Bank”

Sepanjang yang telah diketahui dan ditelusuri di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penulisan tentang Peranan Lembaga Jaminan Fidusia Sebagai Penjamin Hutang Dalam Pemberian Kredit Bank, dan data yang diperoleh dari perpustakaan belum pernah ditulis. Dengan demikian dilihat dari permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini, maka dapat dikatakan bahwa skripsi ini merupakan karya yang asli.

E. Tinjauan Pustaka

Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia, keberadaan lembaga jaminan fidusia telah memperoleh suatu kedudukan yang baik. Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia telah diatur tentang pembebanan, pendaftaran, pengalihan dan hapusnya serta eksekusi jaminan fidusia.

Bahwa dalam melakukan penulisan judul ini dibahas hanya kepada kredit yang diikat dengan jaminan fidusia dimana barang-barang bergerak dan tidak bergerak merupakan jaminan atas kredit tersebut.

Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda (angka 1).

Sementara angka 2 mengatakan bahwa : Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, tentang hak tanggungan yang tetap berada


(18)

dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan bagi pelunasan yang memberikan kedudukanyang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.

Dalam praktek memang sering terjadi untuk mengertahui apakah pemberi fidusia adalah benar-benar pemilik dari barang yang difidusiakan. Dan untuk memperoleh sekedar kepastian biasanya penerima fidusia meminta kepada pihak pemberi fidusia dalam perjanjian penyerahan hak milik secara kepercayaan untuk menyatakan secara sungguh-sungguh bahwa ia adalah adalah orang yang berhak bertindak bebas atas barang yang difidusiakan dan bahwa barang tersebut bebas dari segala beban.7

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.

Namun pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan kepada siapa saja yang memiliki kemampuan untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara pemberi utang (kreditur) di satu pihak dan penerima pinjaman (debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian itu disepakati.

Perjanjian adalah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.8

Pada umumnya, dalam perjanjian akan ditekankan kewajiban pihak peminjam uang untuk memenuhi kewajibannya melunasi, mengembalikan atau mengatur utang pokoknya beserta bunga, imbalan atau bagi hasil sesuai dengan waktu yang ditentukan.

7

Oey Hoey Tiong, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hal 22

8


(19)

Perjanjian tambahan adalah perjanjian yang dibuat guna menunjang tercapainya maksud dan tujuan perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit yang terwujud dalam bentuk pemenuhan pembayaran terhutang oleh debitur.

Dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Suatu perjanjian dapat terdiri dari tiga bagian, yaitu :9

1. Essentialia, merupakan bagian perjanjian yang mutlak harus ada, tanpa bagian ini tak mungkin ada perjanjian.

Misalnya : Dalam jual beli essentialia itu ialah barang dan harga ; dalam jaminan kebendaan untuk suatu peminjaman uang essentalia nya adalah jumlah pinjaman (uang) dan barang

2. Naturalia, merupakan bagian dari perjanjian yang oleh Undang-Undang diatur sebagai peraturan tambahan.

Misalnya : Dalam perjanjian jual-bei soal vrijwaring.

3. Aksidentalia, merupakan bagian dari perjanjian yang tidak diatur oleh undang-undang tetapi oleh para pihak pihak sendiri.

Misalnya : Perjanjian sewa menyewa yang perjanjiannya di buat sendiri oleh para pihak tanpa melihat ketentuan dari peraturan perundang-undangan.

Jaminan yang lahir karena undang-undang adalah adanya ditunjuk undang-undang ; tanpa adanya perjanjian para pihak.

9


(20)

Misalnya adanya ketentuan undang-undang bahwa semua harta benda debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang ada maupun yang aka nada, menjadi jaminan bagi seluruh piutangnya.

Jaminan kredit adalah perjanjian antara kreditur atau bank dengan seseorang yang mengikatkan diri sebagai penanggung untuk memenuhi seluruh prestasi debitur, baik sebagai jaminan pokok ataupun sebagai jaminan kebendaan yang lain sebesar seperti tercantum dalam perjanjian pokok, baik karena ditunjuk oleh kreditur tanpa sepengetahuan atau persetujuan debitur, maupun yang diajukan debitur atas perintah kreditur.10

Untuk mendapatkan lembaga ini, telah tersedia formulir khusus khusus di bank dengan istilah misalnya jaminan perseorangan, jaminan orang ataupun jaminan kredit.

Jaminan bank adalah suatu jaminan dari bank sebagai perwujudan dari salah satu fungsinya dalam pemberian pelayanan jasa, yang sekaligus melibatkan :

− Pihak penjamin, yang memberikan jaminan. − Pihak terjamin, nasabah yang dijamian.

− Pihak penerima jaminan, yang menerima jaminan.

Dengan demikiam sesuai dengan Pasal 1820 KUH Perdata bahwa jaminan bank berarti jenis penanggungan bahwa bank sebagai penanggung.11

F. Metode Penelitian

10

Thomas Soebroto, Tanja Jawab Hukum Jaminan, (Semarang: Dahara Prize, 1994), hal 193.

11


(21)

Dalam skripsi ini, untuk membahas masalahg sangat membutuhkan adanya data dan keterangan yang dapat dijadikan bahan analitis.Untuk mendapatkan dan mengumpulkan data dan keterangan tersebut penulis menggunakan metode sebagai berikut.

1. Spesifikasi Penelitian

Tipe penelitian hukum yang dilakukan adalah yuridisnormative dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian analisis terhadap peraturan perundang-undangan fidusia dalam kerangka hukum nasional Indonesia.Maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian juridis nomatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma mengenai peranan lembaga fidusia sebagai penjamin hutang dalam pemnberian kredit bank.Hal ini ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan.Oleh karena tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis mormative maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan yang berhubungan dengan lembaga jaminan fidusia dan peranannya dalam pemberian kredit bank.

2. Bahan Penelitian

Materi dalam skripsi ini diambil dari data seperti dimaksud di bawah ini :

a. Bahan Hukum Primer. yaitu :

Berbagai dokumen peraturan perundang-undangan yang tertulis yang ada dalam lembaga fidusia dan peraturan perbankan.Mengenai jaminan fidusia diatur dalam Undang No 42 Tahun 1999 dan mengenai perbankan di atur dalam Undang-Undang No 10 Tahun 1998.


(22)

Bahan-bahan yang berkaitan erat dengan bahan hukum primer dan dapat digunakan untuk menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang ada. Semua dokumen uang dapat menjadi sumber informasi mengenai lembaga fidusia dan perkerditan bank, seperti koran, majalah, dan juga sumber-sumber lainnya yakni internet yang memiliki kaitan erat dengan permasalahan yang dibahas.

c. Bahan Huku m Tertier, yaitu :

Mencakup kamus bahasa untuk pembenahan tata Bahasa Indonesia dan juga sebagai alat bantu pengalih bahasa seperti istilah asing

3. Data dan Teknik Pengumpulan Data

Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dikumpulkan dengan melakukan penelitian kepustakaan atau yang lebih dikenal dengan studi kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang terdapat dalam buku-buku literature, peraturan perundang-undangan, majalah, surat kabar, dan sumber-sumber lain yang terkait dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan, dianalisis dengan deskriptif kualitatif. Metode deskriptif yaitu menggambarkan secara menyeluruh tentang apa yang menjadi pokok permasalahan. Metode kualitatif yaitu metode analisi data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yabng diperoleh menurut kualitas dan kebenarannya kemudian dihubungkan dengan teori yang diperoleh dari penelitian kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang diajukan.


(23)

G. Sistematika Penulisan

Secara garis besar skripsi ini dibagi dalam V (lima) bab dan masing-masing bab dibagi lagi dalam beberapa sub bagian sesuai dengan kepentingan pembahasan.

Bab I : Dalam bab ini penulis menerangkan secara ringkas mengenai latar belakang masalahperumusan masalah, manfaat penulisan, tujuan penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II : Dalam bab ini penulis akan membahas tentang tinjauan umum jaminan fidusia. Bab ini akan menjelaskan pengertian dan sifat dari jaminan fidusia, objek fidusia,pendaftaran,eksekusi sampai dengan berakhirnya jaminan fidusia.

Bab III : Dalam bab ini, akan di bahas tentang prosedur dan proses pemberian kredit bank, hak dan kewajiban para pihak,wanprestasi dalam pemberian kredit.

Bab IV : Dalam bab ini akan di jelaskan peranan lembaga jaminan fidusia sebagai jaminan dalam pemberian kredit bank. Dimulai dari lembaga jaminan fidusia dalam praktek perbankan, peranan lebaga fidusia sebagai jaminan hutang sampai upaya hukum yang dilakukan untuk memperkecil resiko. Apakah semuanya ini sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur nya. Dalam bab ini akan dijelaskan pelaksanaan fidusia dalam praktek, apakah sesuai dengan teori perundang-undangan yang berlaku.

Bab V : Dalam bab ini dengan pengetahuan yang terbatas, penulis mencoba menarik kesimpulan dan memberi saran yang mungkin dapat dipergunakan untuk menyempurnakan penulisan skripsi ini.


(24)

(25)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN FIDUSIA

A.

Pengertian dan Sifat Jaminan Fidusia

1. Pengertian Jaminan Fidusia

Jaminan Fidusia telah digunakan di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda sebagai bentuk jaminan yang lahir dari yurisprudensi, yang semula berasal dari zaman Romawi. Di negeri asalnya tersebut, selain bentuk jaminan, juga sabagai lembaga titipan.

Dalam hukum Romawi, lembaga fidusia dikenal dengan namafiducia cum creditore contracta(artinya janji kepercayaan yang dibuat kreditor). Isi janji yang akan dibuat oleh debitur dengan krediturnya adalah debitur akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda sebagai jaminan utangnya dengan kesepakatan bahwa debitur tetap menguasai secara fisik benda tersebut dan kreditor akan mengalihkan kembali kepemilikan tersebut kepada debitur bilamana utangnya sudah dibayar lunas. Dan hal ini berbeda dengan gadai, yang mengharuskan penyerahan secara fisik benda yang digadaikan, dalam hal ini fiducia cum creditore pemberi fudusia tetap menguasai benda tersebut, pemberi fidusia dapat menggunakan benda dimaksudkan dalam menjalankan usahanya.12

Pada umumnya fidusia berasal dari kata fudiciair atau fides,yang artinya kepercayaan yakni penyerahan hak milik atas benda secara kepercayaan sebagai jaminan (agunan) bagi pelunasan piutang kreditor. Penyerahan hak milik atas benda ini dimaksudkan hanya sebagai agunan bagi pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia (kreditor) terhadap kreditor lainnya.

12

Fred B.G Tumbuan, Mencermati Pokok-Pokok Undang-Undang Fidusia, (Jakarta: Kongres Ikatan Notaris Indonesia, 1999), hal 14.


(26)

Ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyatakan : “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.”13

Dari perumusan diatas dapat diketahui bahwa unsur-unsur fidusia adalah:

1) Pengalihan hak kepemilikan suatu benda;

2) Dilakukan atas dasar kepercayaan;

3) Kebendaannya tetap dalam pengausaan pemilik benda.

Dengan demikian, artinya bahwa dalam fidusia telah terjadi penyerahan dan pemindahan dalam kepemilikan atas suatu benda yang dilakukan atas dasar fiduciary dengan syarat bahwa benda yang hak kepemilikannya itu diserahkan dan dipindahkan kepada penerima fidusia tetap dalam penguasaan pemilik benda (pemberi fidusia).Dalam hal ini yang diserahkan dan dipindahkan itu dari pemiliknya kepada kreditor (penerima fidusia) adalah hak kepemilikan atas suatu benda yang dijadikan sebagai jaminan, sehingga hak kepemilikan sacara yuridis atas benda yang dijaminkan beralih kepada kreditor (penerima gadai).Sementara itu hak kepemilikan secara ekonomis atas benda yang dijaminkan itu tetap berada di tangan atau dalam penguasaan pemiliknya.

Selain itu dalam Pasal 1 angka 2Undang-Undang Jaminan Fidusia merumuskan pengertian jaminan fidusia “Jaminan fudisia adalah hak jaminan atas benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Hak Tanggungan,yang tetap berada dalam dalam penguasaaan pemberi

13


(27)

fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.”

Jika ditinjau dari sudut perkreditan di Indonesia, pemberian kredit dengan jaminan fidusia ini dirasa sangat pas untuk menunjang usaha pemerintahan dalam program pemerataan, karena penerima kredit juga tetap menguasai barang jaminan, sehingga kesempatan untuk meningkatkan usahanya menjadi lebih besar.

Antara pemberi pinjaman (kredit) dan jaminan dengan demikian mempunyai hubungan yang erat sekali. Bank sebagai kreditur tidak akan mau memberikan kredit tanpa adanya jaminan yang memadai, sedangkan jaminan itu tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus didahului dengan pemberian kredit. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa perjnajian kredit dan perjanjian pemberian jaminan mempunyai kedudukan yang sama.14

2. Sifat Jaminan Fidusia

A. Perjanjian fidusia merupakan perjanjian obligatoir

Berdasarkan pengertian Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia, jaminan fidusia merupakan lembaga hak jaminan (agunan) yang bersifat kebendaan (zakelijk zekerheid, security right in rem) yang memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.

Perjanjian fidusia bersifat obligatoir, berarti hak yang menerima fidusia merupakan hak milik yang sepenuhnya meskipun hak tersebut dibatasi oleh hal-hal yang ditetapkan bersama dalam perjanjian.Akan tetapi, pembatasan demikian hanya bersifat pribadi. Karena hak yang diperoleh penerima fidusia itu merupakan hak milik yang sepenuhnya, ia bebas

14


(28)

untuk menentukan carapemenuhan piutangnya terhadap benda yang dijaminkan melalui fidusia. Hak yang timbul dari perjanjian fidusia adalah yang bersifat pribadi, yang lahir karena adanya hubungan perutangan antara kreditor dan debitur.Ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa dari gadai tidak dapat diterapkan terhadapnya.Juga para pihak bebas untuk menetukan manakala terjadi kepailitan pada debitur atau kreditur.15

B. Perjanjian jaminan fidusia bersifat accessoir

Jaminan fidusia bersifat accessoirartinya jaminan fidusia bukan hak yang berdiri sendiri tetapi lahirnya keberadaan atau hapusnya tergantung perjnajian perjanjian pokoknya.Yang dimaksud perjanjian pokok adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak atau untuk memenuhi prestasi, contoh nya yang menimbulkan kewajiban para pihak untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu yang dapat dinilai dengan uang.

Sifat accessoir dari jaminan fidusia menegaskan : “Jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.”16

Pasal 25 juga menegaskan bahwa jaminan fidusia hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia.

Jaminan fidusia ysng bersufat accessoir ini menimbulkan konsekuensi, dalam hal piutang yang dijamin dengan jaminan fidusia beralih kepada kreditur lain, maka jaminan fidusia yang menjaminnya demi hukum ikutan beralih kepada kreditur baru.Pencatatan peralihan hak jaminan fidusia didasarkan pada akta dibawah tangan atau akta

15

Sri Soedewi, Himpunan Karya Tentang Hukum Jaminan, (Jogyakarta : Liberty, 1982), hal 52.

16


(29)

otentik.Terjadinya peralihan piutang perlu didaftarkan oleh kreditur baru kepada kantor pendaftaran fidusia dan juga diberitahukan kepada debitur.

Menurut Gunawan Widaja sebagai suatu perjanjian accessoir, perjanjian jaminan fidusia memiliki sifat sebagai berikut :

1) Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok;

2) Keabsahannya semata-mata ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian pokok;

3) Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilasanakan jika ketentuan yang diisyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidak dipenuhi.17

C. Sifat Droit de Suite dari Fidusia : Fidusia sebagai hak kebendaan

Jaminan fidusia yang memiliki sifat droit de suiteartinya penerima jaminan fidusia atau kreditur mempunyai hak mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda itu berada.

Hak kebendaan mempunyai zaaksgevolg/droit de suit, yaitu hak kebendaan tersebut selalu mengikuti terus dimana pun benda itu berada.

Hak perorangan tidak mempunyai droit de suite karena hak tersebut hanya dapat dilakukan terhadap seorang tertentu saja. Dengan adanya pemindahan barang tersebut maka hak perorangan akan lenyap karena hak penagihan lenyap.18

Ciri-ciri/sifat-sifat hak kebendaan :

17

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal 130.

18

Ade, “Hukum Perdata


(30)

1. Hak kebendaan merupakan hak yang bersifat mutlak yaitu dapat dipertahankan terhadap siapapun juga

2. Hak kebendaan mempunyai zaaksgevolg/droit de suit yaitu hak it uterus mengikuti bendanya di manapun berada atau di tangan siapapun berada.

3. Hak kebendaan yang lebih dulu terjadi mempunyai tingkatan yang lebih tinggi daripada hak terjadi kemudian.

4. Hak kebendaan mempunyai sifat droit de preference yaitu hak yang lebih didahulukan 5. Gugatan hak kebendaan disebut gugat kebendaan.

Namun sifat ini dikecualikan untuk objek jaminan fidusia yang berbentuk benda persediaan (inventory).Objek jaminan fidusia yang berbentuk benda persediaan dalam dunia perdagangan dapat dijual setiap saat karena benda persediaan dalam dunia perdagangan dapat dijual setiap saat karena benda persediaan tersebut merupakan barang-barang dari hasil produksi industri yang memang untuk diperdagangkan.

Pengecualian ini didasarkan pada sifat kebendaan berupa barang-barang dagangan, yang memang untuk didagangkan atau diperjualbelikan, sehingga sifat droit de suitedengan sendirinya tidak dapat diterapkan kepada kebendaan yang dimaksud.

D. Sifat Droit de Preferance : Fidusia memberikan kedudukan diutamakan

Penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan atau diutamakan terhadap kreditor lainnya, yaitu hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi (penjualan) dari benda yang menjadi objek jaminan fidsusia.Hak untuk mengambil pelunasan piutang ini mendahului dari kreditor lainnya yang tidak dijamin dengan fidusia, walaupun penerima fidusia termaksud orang yang pailit atau dilikuidasi.Hak utama dari penerima fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan/atau likuidasi dari pemberi fidusia,


(31)

benda yang menjadi objek jaminan fidusia itu termaksud dalam boedel kepailitan pemberi fidusia.

Ketentuan ini berhubungan dengan ketentuan bahwa jaminan fidusia merupakan hak agunan atas kebendaan bagi pelunasan utang.Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan.

B.

Objek Jaminan Fidusia

Pada prinsipnya semua benda baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang dapat diserahkan hak milik nya kepada orang lain dapat pula diserahkan hak miliknya secara kepercayaan bagi jaminan hutang melalui lembaga fidusia yang dimaksud dengan objek jaminan fidusia adalah benda-benda apa yang dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani jaminan fidusia.

Benda jaminan fidusia menurut Tan Kamello adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang dapat dibebani hak tanggungan atau hipotik.19

Dalam praktek, barang-barang yang diserahkan sebagai jaminan dalam jaminan fidusia adalah benda-benda atau barang-barang yang secara sosial ekonomi dapat menunjang jalannya suatu usaha/perusahaan.

Menurut Sutarno, benda-benda yang dapat dibebani jaminan fidusia antara lain:20

19

Tan Kamello,Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Bandung: PT Alumni, 2004), hal 34.

20


(32)

1) Benda bergerak berwujud, contohnya : kendaraan bermotor,alat investaris kantor, perhiasan,kapal laut berukuran di bawah 20 M3.

2) Barang bergerak tidak berwujud, contohnya : wesel, saham, obligasi,konosemen, sertifikat deposito.

3) Hasil dari benda yang menjadi objek jaminan baik benda bergerak berwujud atau benda bergerak tidak berwujud atau hasil dari benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan.

4) Klaim asuransi dalam hal benda yang menjadi objek jaminan fidusia diasuransikan.

5) Benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yaitu hak milik satuan rumah susun diatas tanah hak pakai atas tanah Negara (Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985) dan bangunan rumah yang dibangun diatas tanah orang lain sesuai Pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman.

6) Benda-benda termaksud piutang yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun piutang yang diperoleh kemudian hari.

C.

Pendaftaran Jaminan Fidusia

Bentuk jaminan fidusia digunakan secara luas dalam transaksi pinjam-meminjam, karena proses pembebanannya dianggap sederhana, mudah dan cepat, baik oleh pemberi fidusia maupun oleh penerima fidusia, tetapi tidak menjamin adanya kepastian hukum. Karena pada saat itu, jaminan fidusia tidak (perlu) didaftarkan pada suatu lembaga pendaftaran jaminan fidusia.Di satu pihak jaminan fidusia memberikan kemudahan bagi para pihak yang menggunakannya, terutama pihak yang menerima fidusia. Pemberi fidusia mungkin saja menjaminkan lagi benda yang telah dibebani dengan fidusia kepada pihak


(33)

laintanpa sepengetahuan penerima fidusia (yang pertama). Hal ini dimungkinkan karena belum ada pengaturan mengenai jaminan fidusia.21

Ketidakadaan kewajiban pendaftaran tersebut sangat dirasakan dalam praktik sebagai kekurangan dan kelemahan bagi pranata hukum jaminan fidusia. Sebab disamping menimbulkan ketidakpastian hukum, absennya kewajiban pendaftaran jaminan fidusia tersebut menyebabkan jaminan fidusia tidak memenuhi unsur prublisitas, sehingga susah dikontrol. Hal ini dapat menimbulan hal-hal yang tidak sehat dalam praktiknya.22

Atas perimbangan itulah, didalam undang-undang fidusia diatur tentang (kewajiban) pendaftaran jaminan fidusia agar memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan dan perlu diingat, pendaftaran jaminan fidusia ini memberikan hak yang didahulukan (preferen) kepada penerima fidusia terhadap kreditor lain. Karena jaminan fidusia memberikan hak kepada pihak pemberi fidusia untuk tetap menguasai benda yang menjadi objek jaminan fidusia berdasarkan kepercayaan, diharapkan sistem pendaftaran yang diatur dalam undang-undang fidusia tersebut dapat memberikan jaminan terhadap kepada pihak penerima fidusia dan pihak yang mempunyai kepentingan terhadap benda tersebut.23

Berkaitan dengan kewajiban pendaftaran jaminan fidusia, dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Fidusia dinyatakan:

Benda yang dibebani dengan jaminan fiduisia wajib didaftarkan.

Adapun dalam penjelasan atas Pasal 11 Undang-Undang Fidusia dinyatakan sebagai berikut :24

21

Rachmadi Usman , Hukum Jaminan Keperdataan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal 200.

22

Fuadi Munir, Jaminan Fidusia, (Bandung: Citra Aditya BAkti, 2000), hal 65.

23

Rachmadi Usman, Op.cit , hal 205.

24


(34)

Pendaftaran benda yang dibebani dengan jaminan fidusiaa dilaksanakan di tempat kedudukan pemberi fidusia, dan pendaftarannya mencakup benda, baik yang berada didalam maupun di luar wilayah negara Republik Indonesia untuk memenuhi asas publisitas, sekaligus merupakan jaminan kepastian terhadap kreditor lainnya mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia.

Dari ketentuan dalam Pasal 11 Undang-Undang Fidusia, dapat diketahui yang wajib didaftarkan oleh penerima fidusia itu “Benda” yang dibebani dengan jaminan fidusia, yang pendaftaran bendanya mencakup benda, baik benda yang berada di dalam wilayah Negara Republik Indonesia maupun benda yang berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia. Dengan kata lain berdasarkan ketentuan dalam Pasal 11 Undang-Undang Fidusia ini, yang wajib untuk didaftarkan itu adalah “benda” objek jaminan fidusia.

Sementara itu ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Fidusia menyatakan:25

Pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia

Selanjutnya dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Fidusiadinyatakan :

Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia dilakukan oleh Penerima Fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkjan pernyataan pendaftaran Jaminan Fidusia.

Adapun tata cara pendaftaran fidusia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan ialah :

a. Tempat Pendaftaran Jaminan Fidusia

25


(35)

Permohonan pendaftaran jaminan fidusia dilaksanakan di kantor pendaftaran fidusia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan dari pemberi fidusia yang bersangkutan.

Kata “tempat kedudukan” biasanya tertuju kepada suatu perseroan/perkumpulan, sedangkan untuk organ perseorangan digunakan istilah “tempat tinggal/kediaman”atau “domisili”.Padahal pemberi fidusia bisa perseorangan maupun korporasi.Namun demikian kiranya boleh menyimpulkan, bahwa pendaftaran fidusia dilakukan di kantor pendaftaran fidusia yang wilayah kerjanya meliputi domisili/tempat kedudukan dari pemberi fidusia.Ketentuan ini baru penting bila nanti ternyata diadakan kantor-kantor pendaftaran di luar disebutkan dalam Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Fidusia.26

Namun demikian, domisili di atas jangan dikacaukan dengan domisili pilihan yang diperjanjikan para pihak dalam perjanjian pemberian jaminan, yang diadakan untuk mengantisipasi kemungkinan permasalahan yang timbul di kemudian hari, sehubung dengan perjnajian pemberian jaminan fidusia.Dalam hal ini yang disebut diatas hanya mengenai tempat dimana pendaftaran jaminan fidusia dilakukan.Karena dalam undang-undang fidusia tidak ada ketentuan yang bersifat memaksa.27

b. Permohonan dan Pernyataan Pendaftaran Jaminan Fidusia

Sesusai dengan ketentuan dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Fidusia,pendaftaran jaminan fidusia dilakukan dengan mengajukan surat permohonan kepada kantor pendaftaran fidusia, dengan melampirkan surat pernyataan pendaftaran jaminan fidusia. Ppermohonan pendaftaran jaminan fidusia tersebut diajukan oleh penerima fidusia sendiri, kuasa atau wakilnya.

26

Satrio J, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal 83.

27


(36)

Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Fidusia menentukan pula, bahwa permohonan pendaftaran jaminan fidusia tidak harus dilakukan oleh penerima fidusia, melainkan dapat dilakukan kuasa atau wakilnya dari penerima fidusia. Kuasa disini adalah mereka yang menerima pelimpahan wewenang berdasarkan surat kuasa dari penerima fidusia untuk melakukan pendaftaran jaminan fidusia.28

Menurut Keputusan Mentri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Nomor M.01.UM.01.06 Tahun 2000 tentang Bentuk Formulir dan Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia ialah :

1. Secara tertulis dalam bahasa Indonesia;

2. Melalui Kantor Pendafaran Fidusia;

3. Oleh Penerima Fidusia, kuasa atau wakilnya;

4. Dengan melampirkan pernyataan pendaftaran jaminan fidusia sesuai formulir yang bentuk dan isinya sudah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Nomor M.01.UM.01.06 Tahun 2000 ;

5. Dan dilengkapi dengan :

• Salinan akta notaries • Surat kuasa

• Bukti pembayaran biaya pendaftaran Jaminan Fidusia c. Buku Daftar Fidusia

28


(37)

Kewajiban menyediakan buku Ddaftar fidusia bagi kantor pendaftaran fidusia ini dinyatakan secara tegas dalam Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang Fidusia, yang bunyinya :

Kantor pendaftaran fidusia mencatat jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran.

Jadi dari ketentuan Pasal ayat (3) Undang-Undang Fidusia (harus) dicatat di kantor pendaftaran fidusia dalam suatu register khusus yang diadakan untuk itu, yang dinamakan dengan “Buku Daftar Fidusia”. Pencatatanya dilakaukan pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran jaminan fidusia tersebut.

d. Saat Lahirnya Jaminan Fidusia

Jaminan fidusia sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Fidusia, lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatanya jaminan fidusia dalam buku daftar fdidusia. Tanggal pencatatan jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia dianggap sebagai saat lahirnya jaminan fidusia, bukan pada saat terjadi pembebanan fidusia dengan dibuatnya akta jaminan fidusia di hadapan notaris.

e. Biaya Pendaftaran Jaminan Fidusia

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1999 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Kehakiman, telah diatur tiga jenis penerimaan negara bukan pajak yang bertalian dengan pelayanan jasa hukum dalam pendaftaran jaminan fidusia, yaitu mengenai hal-hal yang tercantum dalam sertifikat jaminan fidusia dan biaya permohonan penggantian sertifikat jaminan fidusia yang rusak atau hilang


(38)

Besarmya tarif penerimaan negara bukan pajak yang bertalian dengan biaya permohonan pendaftaran jaminan fidusia dan perubahan serta penggantian sertifikat jaminan fidusia dapat dilihat dari tabel berikut ini.29

No Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Satuan Tarif (Rp)

1 Biaya Pendaftaran Jaminan Fidusia :

a. Untuk nilai penjaminan sampai dengan Rp.50 juta b. Untuk nilai penjamin di atas Rp.50 juta

Per akta Per akta

25.000 50.000 2 Biaya permohonan perubahan hal-hal yang tercantum

dalam sertifikat Jaminan Fidusia

Per

Permohonan

10.000

3 Biaya permohonan penggantian Sertifikat Jaminan Fidusia yang rusak atau hilang :

Untuk nilai penjaminan sampai dengan Rp.50 juta a. Untuk nilai penjaminan di atas Rp.50 juta

Per akta Per akta

25.000 50.000

Sumber :http//www.kepustakaan-presiden.pnri.go.id 8 Juli 2009, terakhir kali diakses pada tanggal 13 Juni 2012.

D.

Eksekusi Jaminan Fidusia

Ketentuan Pasal 29 ayat (9) Undang-Undang Fidusia telah mengatur pelaksanaan eksekusi atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia, yang menyatakan sebagai berikut :

Apabila debitur atau pemberi fidusia cedera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara:

a. Pelaksanaan title eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh penerima fidusia;

29


(39)

b. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelengan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;

c. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

Dengan demikian Undang-Undang Fidusia telah mengatur cara atau menciptakan beberapa model eksekusi atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Berdasarkan ketentuan dalam 29 ayat (1) Undang-Undang Fidusia, dapat diketahui bahwa apabila debitur atau pemberi fidusia cedera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara berikut ini :

a. Eksekusi berdasarkan grosse sertifikat jaminan fidusia atau title eksekutorial yang terdapar dalam sertifikat jaminan fidusia, yang dilakukan oleh penerima fidusia.

b. Eksekusi berdasarkan pelaksanaan parate eksekusi melalui pelelangan umum oleh penerima fidusia.

c. Eksekusi secara penjualan di bawah tangan oleh kreditor pemberi fidusia sendiri

Ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Fidusia tidak disebutkan cara eksekusi fidusia lewat gugatan biasa. Sungguhpun tidak disebutkan, tetapi tentunya pihak kreditor dapat menempuh proses eksekusi biasa lewat gugatan biasa ke pengadilan. Sebab keberadaan undang-undang fidusia dengan model eksekusi khusus tidak untuk meniadakan hukum secara umum.

Perlu diperhatikan, bahwa ketentuan dalam pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Fidusia merupakan suatu ketentuan bersyarat, yaitu syarat, bahwa “debitur atau pemberi jaminan


(40)

fidusia sudah cidera janji”. Kententuan dalam pasal tersebut membedakan antara debitur dan pemberi fidusia, yang memang merupakan dua orang yang berlainan.Kata “atau” mengajarkan kepada kita, bahwa yang cedera janji dari debitur (pemberi fidusia) dan pihak ketiga pemberi fidusia.Dalam hal debitur sendiri yang bertindak sebagai pemberi fidusia, sehubung dengan penjaminan itu ada dua perjanjian yang ditutup oleh kreditor, yaitu perjanjian pokoknya untuk mana diberikan jaminan fidusia dan perjanjian penjaminan fidusia sendiri.Karena dalam Pasal 29 ayat (1) diatas disebutkan secara umum, cedera janji debitur meliputi baik pada perjanjian pokoknya maupun pada perjanjian penjaminannya.Sebab dalam perjanjian pokok maupun dalam perjanjian penjaminannya, para pihak biasa memperjanjikan, bahwa apabila debitur tidak mematuhi janji-janji yang tertuang dalam perjanjian-perjanjian yang mereka tutup, utang debitur seketika menjadi matang untuk ditagih.30

Sesuai dengan Pasal 34 Undang-Undang Fidusia, dalam hal hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan, penerima fidusia wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada pemberi fidusia.Namun demikian apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitur tetap bertanggung jawab atas utang yang belum dibayar.31

Ketentuan ini juga kita jumpai dalam Pasal 1154 Kitab Undang-Undang Perdata untuk gadai yang berbunyi :

(1) Apabila si berpiutang atau si pemberi gadai tidak memenuhi kewajiban kewajibannya, maka tak diperkenankanlah si berpiutang memiliki barang yang digadaikan.

(2) Segala janji yang bertantangan dengan ini adalah batal

30

J.satrio, Op.cit, hal 318.

31


(41)

E.

Hapusnya Jaminan Fidusia

Jaminan fidusia dapat dihapus secara hukum disebabkan oleh hal-hal tertentu. Bertalian dengan itu, ketentuan dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Fidusia berbunyi :

Jaminan Fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut :

a. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia;

b. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fiduisa; atau

c. Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

Sesuai dengan sifat accesoir dari jaminan fidusia, adanya jaminan fidusia tergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunsannya.Apabila piutang tersebut hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia, dengan sendirinya atau otomatisnya Jaminan Fidusia yang bersangkutan juga menjadi hapus. Menurut penjelasan atas Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Fidusia, hapusnya utang di sini yang menyebabkan hapusnya jaminan fidusia antara lain karena pelunasan dan bukti hapusnya utang berupa keterangan yang dibuat oleh kreditor.

Pengertian utang dalam Pasal 25 ayat (1) sub a Undang-Undang Fidusia ini hendaknya ditafsirkan secara luas, meliputi segala perikatan, karena pada asasnya lembaga jaminan bisa dipakai untuk menjamin kewajiban prestasi yang timbul dari perikatan apapun.32

Jadi sesuai dengan sifat ikuta dari jaminan fidusia, maka adanya jaminan fidusia tergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya.Apabila piutang tersebut hapus karena hapusnya utang atau karena pelepasan, maka dengan sendirinya jaminan fidusia yang

32


(42)

bersangkutan menjadi hapus. “Hapusnya utang” ini antara lain dibuktikan dengan bukti pelunasan atau bukti hapusnya utang berupa keteranganyang dibuat oleh kreditor.

Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia tidak menghapuskan klaim asuransi, tidak diperjanjikan lain. Jika benda yang menjadi objek jaminan fidusia musnah dan benda tersebut diasuransikan maka klaim asuransi akan menjadi pengganti objek jaminan fidusia tersebut.

Atau hapusnya jaminan fidusia, maka penerima fidusia harus memberitahukan kepada kantor pendaftaran fidusia mengenai hapusnya jaminan fidusia tersebut.Pada saat pemberitahuan tersebut harus dilampirkan pula pernyataan mengenai hapusnya utang, pelepasan hak, atau musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut. Adanya kententuan seperti ini akan berguna untuk member kepastian kepada kantor pendaftaran fidusia untuk mencoret pencatatan jaminan fidusia dari buku daftar fidusia dan menerbitkan surat keterangan yang menyatakan sertifikat jaminan fidusia yang bersangkutan tidak berlaku lagi.33

Tentang berakhir atau hapusnya perjanjian juga diterangkan oleh Pasal 1381 KUHPerdata bahwa hapusnya atau berkahirnya perjanjian disebabkan oleh peristiwa-peristiwa sebagai berikut34

1) Karena ada pembayaran; :

2) Penawaran yang diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;

3) Novasi atau pembaruan utang;

4) Kompensasi atau perjumpaa hutang;

33

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.cit, hal 157.

34


(43)

5) Percampuran hutang;

6) Pembebasan hutang;

7) Musnahnya barang yang terhutang;

8) Pembatalan perjanjian;

9) Berlakunya suatu syarat batal;


(44)

BAB III

PROSES TERJADINYA PEMBERIAN KREDIT BANK

A.

Pengertian Perjanjian Kredit

Perjanjian kredit bank menurut Hukum Perdata Indonesia merupakan salah satu dari bentuk perjanjian pinjam-meminjam yang diatur dalam pasal 1754-1769 KUHPerdata. Dalam bentuk apapun juga,pemberian kredit itu diadakan pada hakekatnya merupakan suatu perjanjian pinjam-meminjam.

Sedangkan menurut Encyclopaedia of Professional Management, pengertian kredit yang lebih universal adalah :To give or extend economic value to someone or to business firm else now on faith or trust that the economic equivalent will be returned to the extender in the future.35

Dalam prakek perbankan modern, hubungan hukum dalam kredit tidak lagi semata-mata hanya berbentuk perjanjian pinjam-meminjam tetapi sudah ada bentuk perjanjian yang lain seperti bentuk perjanjian pemberian kuasa. Pelaksanaan perjanjian pinjam-meminjam yang ada dalam KUHPerdata tidak sepenuhnya di identik dengan bentuk dan pelaksanaan suatu perjanjian kredit perbankan, diantara ke dua ada perbedaan-perbedaan.

Dalam praktek bentuk dan materi perjanjian kredit antara suatu bank dengan bank yang lainnya tidak sama, hal ini terjadi dalam rangka menyesuaikan diri dengan kebutuhannya masing-masing dengan demikian perjanjian kredit tersebut tidak mempunyai bentuk yang berlaku umum.

35

Lester Robert Bittel dan Muriel Alberts Bittel, Encyclopaedia of Professional Management,Volume I dan Volume II, hal 250.


(45)

Asas utama dalam perjanjian kredit adalah asas kebebasan berkontrak.Asas kebebasan berkontrak menemukan dasar hukumnya pada rumusan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut.

Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat :

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang tidak terlarang.

Asas kebebasan berkontrak mendapatkan dasar eksitensinya dalam rumusan angka 4 Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Asas kebebasan berkontrak memungkinkan para pihak untuk membuat dan mengadakan perjanjian serta untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang.36

Ketentuan Pasal 1137 Kitab Undang-Undang Perdata nmenyatakan bahwa suatu sebab yang halal adalah terlarang, apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.

Pasal 1338 menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Dengan rumusan ini berarti setiap pihak sabagai kreditor yang tidak memperoleh pelaksaan kewajiban oleh debitor dapat atau berhak memaksakan pelaksanaannya dengan meminta

36

Gunawan Widjaja, Memahami Prinsip Keterbukaan dalam Hukum Perdata, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal 275.


(46)

bantuan pada pejabat Negara yang berwewenang yang akan memutuskan dan menentukan sampai seberapa jauh suatu prestasi yang telah gagal, tidak sepenuhnya atau tidak sama sekali dilaksanakan, atau dilaksanakan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan masih dapat dilaksanakan, semuanya dengan jaminan harta kekayaan debitor sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Perdata.37

Berdasarkan prinsip ini, para pihak berhak menentukan apa saja yang ingin mereka sepakati, sekaligus untuk menentukan apa yang tidak ingin dicantumkan di dalam naskah perjanjian, tetapi bukan berarti tanpa batas. Dalam KUHPerdata, asas kebebasan berkontrak ini diatur dalam pasal 1338.

Dalam perkembangannya asas ini mendapat pengaruh dari peraturan ekonomi yang memuat kententuan yang bersifat memaksa yang ditujukan untuk menyeimbangkan kemampuan pihak-pihak pelaku ekonomi secara lebih adil dalam rangka pelaksanaan pembangunan nsional yang berdasarkan asas pemerataan.

Istilah kredit itu berasal dari bahasa Latin “credere”, yang semuanya artinya kepercayaan. Oleh karena itu, dapat dikatakan dalam hubungan ini bahwa kreditor (yang memberi kredit, yang lazim dikatakan bank) dalam hubungannya perkreditan dengan debitor (nasabah, penerima kredit) mempunyai kepercayaan, bahwa debitor dalam waktu dan dengan syarat-syarat yang telah disetujui bersama dapat mengembalikan (membayar kembali) kredit yang bersangkutan. Dalam masyarkat umum, istilah kredit sudah tidak asing lagi dan bahkan dapat dikatakan popular dan merakyat, sehinggga dalam bahasa sehari-hari sudah dicampuri dengan istilah utang.38

37

Ibid, hal 281.

38

Rachamdi Usman, Aspek-aspek hukum perbankan Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal 236.


(47)

Dalam pasal 1 butir 11 Undang-Undang No 10 Tahun 1998 dirumuskan bahwa kredit itu adalah :39

“kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak meminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”

Berdasarkan pengertian diatas menunjukan bahwa prestasi yang wajib dilakukan oleh debitur atas kredit yang diberikan kepadanya adalah tidak semata-mata melunasi utangnya tetapi juga disertai dengan bunga sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya.40

Perjanjian kredit menurut hukum perdata Indonesia adalah suatu perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam KUHPerdata pada Pasal 1754-1769. Dengan demikian perbuatan suatu perjanjian kredit dapat berdasarkan ketentuan-ketentuan KUHPerdata tetapi dapat pula berdasarkan kesepakatan diantara para pihak, artinya dalam hal ketentuan yang memaksa maka harus sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam KUHPerdata, sedangkan dalam hal ketentuan yang tidak memaksa diserahkan kepada para pihak.

Pasal 1754 KUHPerdata menyatakan bahwa :

“Pinjam-meminjam ialah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabiskan karena pemakaian,

39

Pasal 1 buitr 11 Undang-Undang No 10 Tahun 1998.

40

Hermansyah,Hukum perbankan nasional Indonesia, (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2005), hal 55.


(48)

dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.”

Dalam hal ini, maka dalam bentuk apapun juga pemberian kredit diadakan pada hakekat yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam KUHPerdata Pasal 1754-1769.Sebagai salah suatu perjanjian maka perjanjian kredit itu tidak dapat terlepas dari KUHPerdata dan Undang-Undang Perbankan.

Mariam Darius Badrulzaman mengatakan bahwa perjanjian kredit bank adalah “perjanjian pendahuluan” (voorovereenkomst) dari peyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara pembeli dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan hukum antara keduanya.Perjanjian ini bersifat konsensual (pacta de contrahendo) obligatoir, yang dikuasai oleh Undang-Undang Pokok Agraria dan Bagian Umum KUHPerdata.41

“penyerahan uangnya” sendiri adalah bersifat rill. Pada saat penyerahan uang dilakukan, barulah berlaku kententuan yang dituangkan dalam model perjanjian kredit pada kedua pihak.42

Di dalam praktek, istilah kredit juga dipergunakan untuk penyerahan uang, sehingga kita mempergunakan kata-kata kredit, istilah itu meliputi baik perjanjian kreditnya yang bersifat konsensual maupun penyerahan uangnya yang bersifat rill.43

41

Mariam Darius Badrulzaman ,Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991), hal 32.

42

Ibid, hal 33

43


(49)

Kalimat diatas dikatakan bahwa perjanjian kredit mengandung dua fase, yaitu konsensuil dan rill. Fase rill tidak semata-mata berupa “perbuatan” akan tetapi membutuhkan pula adanya persesuaian kehendak untuk adanya penyerahan itu.

Oleh karena itu, perjanjian kredit perlu mendapatkan perhatian khusus, baik oleh bank sebagai kreditur maupun oleh nasabah sebagai debitur, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam permberian kredit bank.

B.

Jenis-Jenis Jaminan Kredit Bank

Pada umumnya dalam ilmu hukum, benda dibagi dalam dua macam, yaitu:

1. Benda tidak bergerak (onroerand goed)

Benda tidak bergerak adalah semua benda yang karena sifatnya, kedua karena tujuan pemakaiannya dan ketiga karena ditentukan oleh Undang-Undang (Pasal 506-518 KUHPerdata).

Adapun jenis benda jaminan benda tidak bergerak antaralain :

a. Tanah ;

b. Bangunan yang berdiri di atas rumah ;

c. Bangunan pabrik beserta mesin-mesin yang ditanam pada pondasi bangunan pabrik ;

d. Kapal Indonesia (Pasal 304 KUHDagang).

2. Benda bergerak (roerend goed)

Benda bergerak adalah semua benda yang karena sifatnya dan karena oleh Undang-Undang ditetapkan demikian (Pasal 509-518 KUHPerdata). Sedangkan jaminan benda bergerak dapat berupa :


(50)

a. Emas, logam,mulia lainnya ;

b. Mobil, motor, truk dan sebagainya ;

c. Surat-surat berharga (Promes, saham obligasi dan sebagainya)

C.

Prosedur dan Proses Pemberian Kredit

Menurut ketentuan yang berlaku terhadap proses permohonan kredit bahwa pada pokoknya untuk tahap prosedur dan proses kredit tidak menggariskan adanya perbedaan antara prosedur dan proses kredit dengan jaminan yang diikat oleh lembaga jaminan fidusia dengan gadai ataupun hipotek. Atau dengan kata lain tidak dikenal perbedaan prosedur dan proses kredit terhadap berbagai bentuk lembaga jaminan.

Adapun prosedur dan proses kredit melalui beberapa tahapan, yaitu :44

1. Target Market

Penentuan target market merupakan titik awal dari kegiatan perkreditan suatu lembaga keuangan/perbankan.

Target market merupakan bidang-bidang usaha tertentu yang ditetapkan oleh bank untuk dibiayai dan dikembangkan beserta kriteria nasabah untuk bidang usaha tersebut. Penetapan target market ini dimaksudkan untuk memberikan arah bagi usaha marketingbank, sehingga penanganannya menjadi lebih efisien, dan penguasaaan market lebih meningkat.

Penentuan target market ini didasarkan pada analisa kondisi/kemampuan bank dan kondisi perekonomian secara makro.

44

Try Widiyono, Agunan Kredit Dalam Financial Engineering, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), hal 20.


(51)

Faktor-faktor yang dipertimbangkan diantaranya adalah : Peraturan Pemerintah, Business environment dan opportunities, change of technology dan sistem perkembangan penduduk, perkembangan perkreditan bank dan perkreditan Indonesia, business policy bank, struktur dana, keahlian account manager, kesiapan bagian lain dan sebagainya.

2. Insiliasi

Tahapan ini merupakan proses yang dilakukan untuk mendapatkan informasi potensial costumer sesuai dengan target market yang telah ditetapkan. Informasi ini dapat diperoleh dari sumber intern maupun ekstern.

Informasi intern adalah informasi yang diperoleh dari dalam bank itu sendiri, misalnya : visa card holder, merchant, giran besar, depositor, good payer customer, exiting customer, interlink customer atau secara ekstern melalui relationship base customer, supplier dari business exiting customer, walk in customer dan informasi lainnya.

3. Solitasi

Pada tahap ini, dilakukan usaha-usaha untuk menarik potential customer yang ada sehingga dapat dirubah menjadi efektif customer. Tujuan utama dari tahap solitasi ini adalah untuk mengetahui apa kebutuhan/masalah yang dihadapan customer dan produk apa yang ditawarkan sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan customer tersebut.

Secara umum informasi yang diharapkan dapat diperoleh dalam tahap solitasi adalah : − Informasi umum perusahaan

− Informasi kebutuhan − Informasi jaminan kredit


(52)

Berdasarkan informasi ini akan dapat ditentukan tindak lanjut proses dan fasilitas bank yang dapat diberikan.

Akan tetapi kampanye hitam (black campaign) yang dibalut rapi dan sistematis dengan acara-acara sosialisasi Gus Irawan kepada masyarakat sembari menyalurkan kredit Bank Sumut dan dana CSR (corporate social responsibility) adalah jebakan bagi masyarakat.45

4. Analisa dan Evaluasi

Analisa dan evaluasi merupakan suatu sarana yang diperlukan untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi perusahaan serta resiko yang mungkin akan terjadi sehubung dengan fasilitas kredit yang akan diberikan. Analisa kredit akan meliputi analisa manajemen dan ekonomis baik secara kuantitatif maupun kualitatif yang dilaksanakan account Manager, serta analisa yuridis dan analisa jaminan yang masing-masing dilakukan oleh Legal Officer dan Credit Investigator.

Pada dasarnya evaluasi ini ditujukan untuk melihat tingkat pertumbuhan usaha pemohon kredit, besarnya kebutuhan kredit dan penggunaanya, kapasitas atau kemampuannya dalam mengupayakan sumber pengembalian , serta resiko-resiko yang mungkin timbul.

Untuk memberikan gambaran yang menyeluruh tentang hal-hal yang dapat menimbulkan kemungkinan adanya suatu resiko terhadap bank atas fasilitas kredit yang akan diberikan, maka analisa kredit hendaknya meliputi aspek-aspek berikut :

1. Aspek Umum Perusahaan

45


(53)

2. Aspek Yuridis

3. Aspek Manajemen

4. Aspek Pemasaran’

5. Aspek Teknisi Produksi

6. Aspek Keuangan

7. Aspek Jaminan

8. Dropping Fasilitas

Setelah proses pengikatan dilakukan, baik pengikatan kredit maupun pengikatan jaminan, maka dilakukan realisasi pemnerian fasilitas kredit.

Dropping kredit baru dilakukan setelah semua pembayaran yang ditetapkan oleh Credit Committe telah dipenuhi

9. Monitoring Kredit

Monitoring merupakan proses kegiatan yang dilakukan oleh setiap Account Manager dan atau Service assistance untuk memantau dan mengembalikan kegiatan debitur/nasabah dalam arti yang seluas-lusnya.

Tujuanmonitoringkredit :

1. Untuk mengetahui apakah hal-hal yang sudah dan akan dilaksanakan sudah sesuai dengan peraturan yang ada (ekstern intern)

2. Untuk melakukan deteksi terhadap penurunan dari fasilitas yang telah diberikan, yang mungkin akan berakibat pada tingkat kesehatan Bank/pendapatan Bank


(54)

3. Sebagai tindakan prevent untuk mencegah “loan losses”

4. Meingkatkan pengetahuan business dari Account Manager.

5. Mempercepat Pertumbuhan Cross Selling.

Beberapa langkah pengamanan yang harus dilakukan dalam rangka mencegah resiko kwalitas portofolio kredit adalah :46

a. Melakukan monitoring terhadap aktivitas nasabah termaksud perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur manajemen, pemegang saham usaha, assets dan sebagainya.

b. Mengamankan keputusan tentang syarat-syarat kredit agar tetap dipatuhi oleh nasabah.

c. Melakukan review terhadap kredit, jaminan, dokumentasi, laporan, keuangan melakukan monitoring APR.

D.

Hak dan Kewajiban Para Pihak

Membicarakan masalah hak dan kewajiban para pihak, berarti melihat bagaimana sebenarnya kedudukan para pihak dalam perjanjian yang diadakan.

Jika dilihat dari ketentuan perjanjin kredit yang telah disepakati para pihak, maka terlihatlah bahwa kedudukan para pihak dalam perjanjian kredit tersebut tidak seimbang. Dengan kata lain, pihak kreditur (bank) kedudukannya lebih kuat dibandingkan dengan pihak debitur (nasabah). Hal ini dapat diketahui dari banyaknya pasal-pasal di dalam perjanjian kredit tersebut (persetujuan membuka kredit) yang menentukan hak-hak dari kreditur, sedangkan mengenai hak-hak dari debitur tidaklah begitu banyak.Oleh karena itu, penulis berpendapat karena terlalu banyaknya pasal-pasal yang mengatur hak kreditur ketimbang hak

46


(55)

debitur, maka kedudukan para pihak tidaklah seimbang, yaitu kreditur (bank) mempunyai kedudukan yang lebih kuat daripada kedudukan debitur.

1) Kewajiban Bank

Pasal-pasal 1759, 1760,1761 dan 1762 KUHPerdata mengatur kewajiban-kewajiban orang yang meminjamkan, yaitu :47

• Pasal 1759 : menyatakan “ orang yang meminjamkan tidak dapat meminta kembali apa yang telah dipinjamkanya sebelum lewat waktu yang ditentukan dalam persetujuan” • Pasal 1760 : menyatakan “ jika telah ditetapkan sesuatu waktu, Hakim berkuasa, apabila

orang yang meminjamkan menuntut pengembalian pinjamannya, menurut keadaan, memberikan sekedar kelonggaran kepada si peminjam.”

• Pasal 1761 : meyatakan “ jika telah diadakan perjanjian, bahwa pihak yang telah meminjam sesuatu barang atau sejumlah uang akan mengembalikannya bilamana ia mampu untuk itu, maka Hakim, mengingat keadaan, akan menentukan waktu pengembaliannya.”

• Pasal 1762 : menyatakan “ketentuan pasal 1753 adalah berlaku terhadap pinjam mengganti”

Akan tetapi Undang-Undang Perbankan Tahun 1967 tidak mengatur kewajiban bank sebagai pemberi kredit.

2) Hak Bank

Peraturan mengenai kewajiban bank itu pada umumnya ditemukan dalam model perjanjian kredit masing-masing bank penyelenggara seperti :

47


(1)

Adanya upaya-upaya hukum oleh bank untuk memperkecil resiko dalam pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan utang berupa berupa jaminan fidusia, menunjukkan bahwa pengaturan dalam undang-undang fidusia dirasakan belum memberikan kepastian hukum kepada bank.Selain itu kurangnya kerjasama yang baik dan bantuan dari lembaga-lembaga hukum seperti pengadilan dan kepolisian menambah berat beban bank dalam melindungi kepentingannya. Walaupun di sisi lain adanya lembaga pengadilan diharapkan dapat menyemimbangkan kedudukan debitur dengan bank dari kesewenangan-wewangan bank terhadap debiturnya.


(2)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu, maka pada bab V ini penulis mencoba mengambil kesimpulan mengenai peranan lembaga fidusia sebagai penjamin hutang dalam pemberian kredit bank, yaitu :

1. Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Dengan demikian, artinya bahwa dalam fidusia telah terjadi penyerahan dan pemindahan dalam kepemilikan atas suatu benda yang dilakukan atas dasar fiduciary dengan syarat bahwa benda yang hak kepemilikannya itu diserahkan dan dipindahkan kepada penerima fidusia tetap dalam penguasaan pemilik benda (pemberi fidusia).Dalam hal ini yang diserahkan dan dipindahkan itu dari pemiliknya kepada kreditor (penerima fidusia) adalah hak kepemilikan atas suatu benda yang dijadikan sebagai jaminan, sehingga hak kepemilikan sacara yuridis atas benda yang dijaminkan beralih kepada kreditor (penerima gadai).Sementara itu hak kepemilikan secara ekonomis atas benda yang dijaminkan itu tetap berada di tangan atau dalam penguasaan pemiliknya.

2. Bahwa pelaksanaan perjanjian dari seseorang berutang yang tidak memenuhi kewajibannya, maka dapat diselesaikan dengan membawa perkara tersebut ke pengadilan berdasarkan dengan bukti-bukti yang ada. Akan tetapi sebelum bank mengajukan perkaranya kewajiban pengadilan dalam hal debitur telah melakukan wanprestasi terhadap perjanjian dengan tidak mengembalikan kredit yang dipinjamkanya, maka bank harus melakukan usaha-usaha/tindakan untuk mengatasi secara intern terlebih dahulu.


(3)

3. Dalam memperkecil resiko-resiko dalam pemberian kredit dengan jaminan utang berupa jaminan fidusia, maka bank biasanya meminta jaminan tambahan. Sedangkan untuk mempermudah pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia bank juga membuat surat kuasa jual, surat kuasa tarik dan kwitansi kosong yang telah ditandatangani debitur.

B. Saran

1. Mengingat nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia tidak terlalu besar dan cenderung menurun nilainya, maka perlu dipikirkan kembali untuk membebani tata cara eksekusi objek jaminan fidusia yang cepat, mudah dan sederhana. Dengan adanya eksekusi yang mudah duiharapkan dapat mendorong bank untuk memberikan peranan yang lebih besar kepada lembaga jaminan fidusia terutama untuk membantu pemberian kredit kepada kelompok usaha kecil dan menengah.

2. Agar diadakan kerjasama antara Kantor Pendaftaran Fidusia dengan pihak Kepolisian Republik Indonesia dalam pendaftaran kendaraan bermotor sebagai objek jaminan fidusia, dengan memberi keterangan pada BPKP kendaraaan bermotor, bahwa kendaraan yang bersangkutan sedang dibebani suatu jaminan fidusia, sehingga pihak ketiga yang berkepentingan dapat dengan mudah mengetahui status dari kendaraan bermotor yang sedang dibebani jaminan fidusia.

3. Kantor Pendaftaran Fidusia hendaknya meningkatkan kualitas pelayanannya dengan meningkatkan kualitas SDM agar proses pendaftaran dan penerbitan Sertifikat Jaminn Fidusia dapat dilaksanakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Fidusia

4. Kantor Pendaftaran Fidusia seharusnya sudah melakukan sistem komputerisasi dalam proses pendaftaran jaminan fidusia, untuk mencegah danya fidusia ulang.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku Bacaan

Hasan, Djuhaenda,Perjanijan Jaminan Dalam Perjanjian Kredit, Medan: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 1978.

Badrulzaman, Mariam Darus, Kerangka Hukum Jaminan Indonesia Dalam Hukum Jaminan Indonesia Seri Dasar Hukum Ekonomi 4, Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 1998.

_______________________, Perjanjian Kredit Bank, Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 1991.

Tumbuan Fred B.G, Mencermati Pokok-Pokok Undang-Undang Fidusia, Kongres Ikatan Notaris Indonesia, Jakarta, 1999, hal 14.

Tiong, Oey Hoey, Fidusia Sebagai Jaminan U nsur-Unsur perikatan, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 1984.

Sofwan, Sri Soedewi, Himpunan Karya Tentang Hukum Jaminan, Jogyakarta: Penerbit Liberty, 1982.

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo Persada, 2003.

________________, Memahami Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum Perdata, Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo Persada, 2005.

Soebroto, Thomas, Tanya Jawab Hukum Jaminan, Semarang: Dahara Prize, 1994. Kamello, Tan, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Bandung: Penerbit PT Alumni, 2004.

Sutarno, Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Jakarta: Penerbit Alfabeta, 1997. Usman, Rachmadi,Hukum Jaminan Keperdataan, Jakarta: Penerbit PT Sinar Grafika, 2008.

_______________, Aspek-aspek hukum perbankan Indonesia, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Munir, Fuadi, Jaminan Fidusia, Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2000. Satrio J, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, Bandung:Penerbit PT CitraAditya Bakti, 2002.

Widiyono, Try, Agunan Kredit Dalam Financial Engineering, Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia, 2009.


(5)

Surbekti, R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Penerbit PT Pradnya Paramita, 2007.

_________, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Bandung: Penerbit PT Intermasa, 1982.

Hermansyah, Hukum perbankan nasional Indonesia, Jakarta: Penerbit Fajar Interpratama Offset, 2005.

Djojohadikusumo, Sumitro, Kredit Rakyat Di Masa Depan, Jakarta: PenerbitLP3S,1989.

Jurnal, Makalah dan Artikel

Prasodjo, Ratnawati L., Undang Tentang Jaminan Fidusia,Diskusi Undang-Undang Jaminan Fidusia dan Pendaftaranya, Hotel Regent, 1999.

“ Masyarakat Dijebak Kredit”, Metro 24, 12 Mei 2012.

Pribadi, Unan,”Pelanggaran-Pelanggaran Hukum Dalam Perjanjian Dengan

Jaminan Fidusia”, 6 Desember 2010, diperoleh dar

diakses pada tanggal 15 Januari 2011.

Dyah, “Pelaksanaan Perjanjian Kredit Yang Diikat dengan Jaminan Fidusia”, 6 Juni

2008, diperoleh dari

2008.

Adriyadi, “Peranan Lembaga Jaminan Hutang”, 5 Februari 2005, diperoleh dari

Iwan, “Pelaksaan Pemberian Kredit Dengan Jaminan Perjanjian Fidusia”, 14 Februari 2010, diperloleh dari

terakhir kali diakses pada 15 Juni 2005.

Arheim, “Hukum dan Perbankan Dalam Menyelesaikan Hutang”, 9 Mei 2012, diperoleh dar

terkahir kali diakses pada 25 Mei 2010

Ade, “Hukum Perdat tanggal 5 Februari 2011


(6)

Peraturan Perundang-Undangan

Keputusan Mentri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Nomor M.01.UM.01.06 Tahun 2000 tentang Bentuk Formulir dan Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia.

Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2000