B. Saran
1. Diperlukan adanya perubahan terhadap ketentuan Hukum Acara Pidana
di Indonesia karena sudah tindak sesuai lagi dengan perkembangan yang terjadi saat ini, terutama dalam hal Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi
dimana perlu penguatan kewenangan institusi penegakan hukum di Indonesia terutama Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai garda
terdepan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. 2.
Perlu segera dilakukan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan
menguatkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK dalam menggabungkan tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian
uang agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda dalam hal kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menuntut tindak
pidana pencucian uang dengan mengikuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77PPU-XII20014.
Universitas Sumatera Utara
BAB II KETENTUAN HUKUM ACARA TENTANG KEWENANGAN KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM MEMBERANTAS TINDAK PIDANA KORUPSI DAN KAITANNYA DENGAN PENCUCIAN UANG
A. Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Membicarakan hukum acara tindak pidana korupsi tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan terkait dengan hukum acara pidana. Hukum acara pidana secara
garis besarnya dibagi dalam 5 lima tahapan yang dilaksanakan oleh subjek pelaksana hukum acara pidana : 1 tahap penyidikan dilaksanakan oleh penyidik,
2 tahap penuntutan dilaksanakan oleh penuntut umum, 3 tahap mengadili dilaksanakan oleh hakim, 4 tahap eksekusi dilaksanakan oleh jaksa, dan tahap
pengawasan dan pengamatan putusan pengadilan oleh hakim pengawas dan pengamat.
55
Van Bemmelen, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah, mendefenisikan hukum acara pidana sebagai peraturan-peraturan yang diciptakan negara karena
adanya pelanggaran-pelanggaran undang-undang pidana, yaitu:
56
1 Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran, 2 Sedapat mungkin menyidik pelaku
perbuatan itu, 3 Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat kalau perlu menahannya, 4 Mengumpulkan bahan-bahan bukti yang
diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut, 5 Hakim memberikan keputusan
tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk
55
Hari Sasangka dan Lili Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, Hal.2.
56
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sinar Grafika, Edisi II, cetakan I, Jakarta, 2008, Hal.6
Universitas Sumatera Utara
itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib, 6 upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut, 7 Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan
tindakan tata tertib. Lebih lanjut van Bammelen menegaskan bahwa tiga fungsi hukum acara pidana, yaitu:
57
1 mencari dan menemukan kebenaran, 2 pemberian keputusan oleh hakim, dan 3 pelaksanaan keputusan.
Menurut Moeljatno, hukum acara pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang memberikan dasar-dasar dan aturan-
aturan yang menentukan dengan cara dan prosedur macam apa, ancaman pidana yang ada pada sesuatu tidak pidana dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan
bahwa orang telah melakukan delik. Selanjutnya berdasarkan defenisi tersebut, fungsi hukum acara pidana adalah melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum
pidana, dan hukum acara pidana diperlukan apabila ada sangkaan bahwa orang atau orang-orang telah melanggar larangan hukum pidana.
58
Dalam hukum acara pemberantasan tindak pidana korupsi selain berlakunya KUHAP juga berlaku peraturan lain diluar KUHAP yaitu Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang KPK.
Menurut Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Penyidikan, penyelidikan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan sesuai
57
Ibid, hal.8
58
Moeljatno, Hukum Acara Pidana, tanpa penerbit, Yokyakarta, 1975, hal. 18
Universitas Sumatera Utara
dengan hukum acara pidana yang berlaku yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
“Penyidikan, Penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum
acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang- undang ini”
1. Penyelidikan Tindak Pidana Korupsi
Dalam KUHAP , istilah penyelidikan dan penyidikan dipisahkan. Menurut Andi Hamzah keduanya mempunyai arti yang sama, karena keduanya berasal dari
kata dasar sidik yang berarti memeriksa, meneliti. Kata sidik diberi sisipan el menjadi selidik yang artinya banyak menyidik.
59
Defenisi penyelidikan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 butir 5 KUHAP, adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menemukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang
ini. Menurut ketentuan Pasal 4 KUHAP yang berwenang melakukan fungsi penyelidikan adalah “setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia”.
Pasal 5 KUHAP mengatur kewenangan penyelidik meliputi kewenangan berdasarkan kewajiban hukum dan kewenangan berdasarkan perintah penyidik.
Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4: a.
Karena kewajibannya mempunyai wewenang: 1.
Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
2. Mencari keterangan dan barang bukti;
59
Andi Hamzah, Op.Cit, Hal.119
Universitas Sumatera Utara
3. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan
menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; 4.
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.
b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat,
penggeledahan dan penyitaan; 2.
Pemeriksaan dan penyitaan surat; 3.
Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; 4.
Membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik. Dalam pemberantaasn tindak pidana korupsi selain Kepolisian, terdapat
Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai penyelidik tindak pidana korupsi. Hal ini diatur dalam Pasal 6 huruf c Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Pasal 12 ayat 1 memberikan kewenangan kepada Komisi Pemberantasan
Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 huruf c untuk :
a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.
b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk malarang seseorang
untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri. c.
Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang
diperiksa. d.
Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka,
terdakwa, atau pihak yang terkait.
Universitas Sumatera Utara
e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk
memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya; f.
Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi terkait;
g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi
perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh
tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana pencucian uang;
h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum
negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;
i. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
2. Penyidikan Tindak Pidana Korupsi
Semenjak berlakunya KUHAP, sistem peradilan yang dianut adalah sistem peradilam pidana terpadu integrated criminal justice system. Sistem peradilan
pidana terpadu tersebut diletakkan diatas landasan diferensiasi fungsional diantara aparat penegak hukum sesuai dengan tahap proses kewenangan yang diberikan
undang-undang kepada masing-masing.
60
60
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hal.90
Universitas Sumatera Utara
Menurut KUHAP Pasal 1 huruf b, “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.
Bagian-bagian hukum acara pidana yang berkaitan dengan penyidikan adalah: a. Ketentuan tentang alat-alat penyidik; b. Ketentuan tentang diketahui
terjadinya delik; c. Pemeriksaan ditempat kejadian; d. Pemanggilan tersangka atau terdakwa; e. Penahanan sementara; f. Penggeledahan; g. Pemeriksaan dan
interogasi; h. Berita acara penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan ditempat; i. Penyitaan; j. Penyampingan perkara; k. Pelimpahan perkara kepada penuntut
umum dan pengembalian kepada penyidik untuk disempurnakan.
61
Penyidikan diatur dalam Pasal-pasal 102-136 bagian kedua BAB XIV KUHAP, penyidik dan penyidik pembantu diatur dalam Pasal 6 – Pasal 13 bagian
kesatu dan kedua BAB IV KUHAP. Kewenangan penyidik dalam melakukan penyidikan dapat dilihat dalam Pasal 7 Ayat 1 KUHAP yaitu: a menerima
laporan dan pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; b melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian perkara; c menyuruh
berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; e
melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f mengambil sidik jari dan memotret seseorang; g memanggil orang untuk didengar untuk diperiksa sebagai
tersangka atau saksi; h mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam
61
Andi Hamzah, Op.Cit, Hal.120-121
Universitas Sumatera Utara
hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i mengadakan penghentian penyidikan; j mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juga mengatur secara
khusus tentang penyidikan untuk tindak pidana korupsi. Ketentuan mengenai penyidikan, diatur dalam BAB IV tentang Penyidikan, Penuntutan dan
Pemeriksaan di sidang Pengadilan. Dalam Pasal 28 disebutkan bahwa untuk kepentingan penyidikan,
tersangka wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang
diketahui dan atau diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka.
Dalam Pasal 29 ayat 1 juga dikatakan bahwa untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik,
penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa.
Pasal 30 juga memberikan hak kepada penyidik untuk membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat
lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa.
Dalam hal ini dapat ditemukan perluasan kewenangan penyidik dalam tindak pidana korupsi oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
Universitas Sumatera Utara
3. Penuntutan Tindak Pidana Korupsi
Menurut Pasal 1 angka 7 KUHAP, “penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”.
Defenisi ini mirip dengan defenisi Wirjono Prodjodikoro, perbedaannya ialah dalam defenisi Wirjono Prodjodikoro disebut dengan tegas “terdakwa”
sedangkan KUHAP tidak. “menuntut seorang terdakwa di muka hakim Pidana adalah
menyerahkan peperkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim, dengan permohonan, supaya Hakim
memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa”
62
Sebelum tahap penuntutan, dikenal adanya tahap prapenuntutan, yang diatur dalam Pasal 138 KUHAP. Pasal 138 a quo mengamanahkan bagi jaksa
telah menerima berkas perkara penyidik, maka jaksa tersebut segera mempelajari dan meneliti berkasa perkara penyidik, maka jaksa tersebut segera mempelajari
dan meneliti dalam tenggang waktu 7 hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikannya sudah lengkap atau belum.
Dalam hal berkas belum lengkap maka berdasarkan Pasal 138 Ayat 2 KUHAP penuntut umum harus mengembalikan berkas disertai petunjuk. Berkas
tersebut wajib dikembalikan kembali oleh penyidik kepada penuntut umum 14
62
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996, hal 164
Universitas Sumatera Utara
hari sejak tanggal penerimaan berkas. Apabila berkas sudah memenuhi syarat maka dapat dilimpahkan ke pengadilan.
Apabila menurut Penuntut Umum dapat dilakukan penuntutan maka segera dibuat surat dakwaan Pasal 140 Ayat 1 KUHAP. Akan tetapi apabila penuntut
umum berpendapat sebaliknya bahwa tidak cukup bukti bahwa peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana maka perkara ditutup demi hukum.
Sedangkan untuk proses prapenuntutan dilaksananakan baik oleh penyidik maupun penuntut umum sebagaimana ketentuan Pasal 110 ayat 2 KUHAP jo.
Pasal 138 Ayat 1, 2 KUHAP. Dalam Pasal 141 bahwa penunt umum dapat melakukan penggebungan
perkara dengan satu surat dakwaan. Tetapi kemungkinan penggabungan itu dibatasi dengan syarat-syarat oleh pasal tersebut. Syarat-syarat itu adalah:
a. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan
kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya;
b. Berapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain;
c. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut paut satu dengan yang
lain, akan tetapi satu dengan yang lain penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.
Apa yang dimaksud dengan kata “penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan” tidak disebut, dan penjelasan pasal tersebut
mengatakan cukup jelas. Yang dijelaskan ialah kata “bersangkut-paut”: a.
Oleh lebih dari seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat yang bersamaan;
Universitas Sumatera Utara
b. Oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda, akan tetapi
merupakan pelaksanaan dari permufakatan jahat yang dibuat oleh mereka sebelumnya;
c. Oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapatkan alat yang akan
dipergunakan untuk melakukan delik lain atau menghindarkan diri dari pemindahan karena delik lain.
63
Seperti yang disebutkan diatas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juga mengatur secara khusus tentang
penuntutan dalam Bab IV tentang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Salah satu kekhususan yang berkaitan dengan Penuntutan yaitu tentang beban pembuktian. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menganut sistem
pembuktian terbalik yaitu diatrur dalam Pasal 37, benrbunyi sebagai berikut: 1.
Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
2. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak
terbukti.
Analisis hukum terhadap ketentuan Pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999 menunjukkan bahwa terhadap pembalikan beban pembuktian terdakwa
mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi sehingga jikalau terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan
63
Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1998, hal 92
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
64
Dalam UU No. 31 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 37 yang merupakan hak terdakwa dengan melakukan pembalikan beban pembuktian dengan sifat terbatas
dan berimbang. Hal ini secara eksplisit diterangkan dalam Penjelasan Umum UU No. 31 Tahun 1999 yang berbunyi:
“Undang-undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk
membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda
istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai huhungan dengan perkara yang bersangkutan, dan
penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya”
Sedangkan ketentuan Pasal 37 A dengan tegasnya menyebutkan bahwa: 1.
Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap
orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.
2. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tantang kekayaan yang
tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2 merupakan
tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-
undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini,
sehingga Penuntut Umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Mengenai kewajiban terdakwa untuk memberikan keterangan tentang harta kekayaannya tidak lagi menggunakan sistem pembuktian terbalik murni
64
Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, P.T Alumni, Bandung, 2007 , hal 197.
Universitas Sumatera Utara
sebagaimana dirumuskan dalam pasal 37.
65
Apabila terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya,
maka ketidakdapatan membuktikan itu digunakan untuk memperkuat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Sedangkan,
jika terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi atau perkara pokoknya sebagaimana dimaksud pasal 2, 3, 4, 13,
14, 15, dan 16 UU No.311999 dan pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12 UU No. 202001, maka penuntut umum tetap wajib membuktikan dakwaannya atau
membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Sistem pembuktian demikian biasa disebut dengan sistem semi terbalik, tetapi tidak tepat
jika disebut sistem terbalik murni. Karena dalam hal tindak pidana korupsi tersebut terdakwa dibebani kewajiban untuk membuktikan tidak melakukan
korupsi yang apabila tidak berhasil justru akan memberatkannya. Namun begitu, jaksa juga tetap berkewajiban untuk membuktikan bahwa terdakwa melakukan
tindak pidana korupsi.
66
4. Pemeriksaaan di sidang pengadilan
a. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah pasca Mahkamah Konstitusi memutus perkara
Judicial Review Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi pada tanggal 19 Desember 2006, Dari amar putusan
65
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang. 2005 , hal.408
66
Ibid, hal.409
Universitas Sumatera Utara
Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 012-016-019PUU-IV2006 tersebut, terdapat dua poin krusial. Pertama, Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 53
UU Komisi Pemberantasan Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Dan kedua, Pasal 53 masih mempunyai kekuatan mengikat sampai diadakan
perubahan paling lambat tiga tahun sejak putusan diucapkan.
67
Pada dasarnya tidak banyak perbedaan antara Pengadilan Tipikor sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UU KPK dengan Pengadilan Tipikor
sebagaimana diatur dalam UU Pengadilan Tipikor. Perbedaan yang paling mencolok dari kedua undang-undang tersebut tampak pada jumlah pasal yang
mengaturnya, dimana pengaturan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam UU KPK hanya terdiri dari 11 pasal, yaitu dari Pasal 53 sampai dengan Pasal 62,
sementara dalam UU Pengadilan Tipikor, keberadaan Pengadilan Tipikor diatur dalam 40 pasal. Sehingga UU Pengadilan Tipikor diharapkan memberikan
pengaturan yang komprehensif mengenai keberadaan Pengadilan Tipikor di Indonesia baik mengenai kewenangan, batasan substansi yang dapat diadili, dan
prosedur dalam mengadili. Sementara itu dari materi pengaturannya perbedaan utama terdapat pada masalah kewenangan, dimana kewenangan Pengadilan
Tipikor diperluas, baik mengenai pihak yang dapat mengajukan penuntutan maupun jenis perkaranya hingga menjangkau tindak pidana pencucian uang yang
tindak pidana awalnya tindak pidana korupsi, penentuan komposisi hakim, jangka waktu pemeriksaan di pengadilan, serta diaturnya syarat pemberhentian hakim ad
hoc yang sebelumnya tidak diatur dalam UU KPK. Beberapa materi pokok yang
67
Mahkamah Konstitusi RI, Putusan Nomor 012-016-019PUU-IV2006 Tentang PengujianUndang-undang Nomor 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. hlm. 290.
Universitas Sumatera Utara
diatur dalam UU Pengadilan Tipikor adalah: 1 Kewenangan Pengadilan Tipikor, 2 Kedudukan Pengadilan Tipikor, 3 Komposisi Mejelis Hakim, 4 Jangka
waktu penanganan perkara, dan 5 pembentukan Pengadilan Tipikor. b.
Kewenangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kewenangan Pengadilan Tipikor diatur dalam BAB III Undang-Undang
Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 5 UU Pengadilan Tipikor menyebutkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan
satu-satunya Pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana korupsi. Dan dalam Penjelasan Pasal 5 UU Tipikor disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan “satu-satunya pengadilan” adalah pengadilan yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang penuntutannya diajukan oleh
Penuntut Umum. Rumusan Pasal 5 mengandung pengertian bahwa Pengadilan Tipikor tidak lagi hanya berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak
pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 UU KPK.
Kewenangan Pengadilan Tipikor juga diperluas tidak hanya memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana korupsi saja. Berdasarkan Pasal 6 UU
Pengadilan Tipikor, disebutkan “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara: a.
Tindak Pidana korupsi; b.
Tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi; danatau
c. Tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain
ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.
Universitas Sumatera Utara
B. Kewenangan KPK menurut Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi