Tindak Pidana Korupsi sebagai Predicate Crime dalam Tindak Pidana

c. Akuntabilitas, bahwa setiap tindakan KPK termasuk hasil akhir dari tindakan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. d. Kepentingan Umum, bahwa segala tindakan KPK dalam pengungkapan kasus korupsi wajib memperhatikan dan mengutamakan kepentingan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. e. Proporsionalitas merupakan asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban KPK.

C. Tindak Pidana Korupsi sebagai Predicate Crime dalam Tindak Pidana

Pencucian Uang dan Pembalikan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang. 1. Korupsi sebagai Predicate Crime dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Pencucian uang secara umum dapat diartikan sebagai suatu tindakan atau perbuatan yang memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atau hasil dari suatu tindak pidana yang kerap dilakukan oleh organisasi kejahatan crime organization maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotika, dan tindak pidana lainnya. Tujuannya adalah menyembunyikan atau mengaburkan asal usul uang haram tersebut sehingga dapat digunakan seolah olah sebagai uang yang sah. 70 Sutan Remi Sjahdeni memberikan defenisi yang lengkap tentang money laundring dengan mangatakan bahwa Pencucian uang adalah rangkaian kegiatan merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang 70 Philips Darwin, Money Laundering Cara Memahami Dengan Tepat dan Benar Soal Pencucian Uang, Sinar Ilmu, Jakarta, 2012, hal 9 Universitas Sumatera Utara haram atau uang hasil kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan dan menyamarkan asal usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana dengan cara terutama memasukkan uang tersebut kedalam sistem keuangan financial sistem sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang halal. 71 Predicate Crime atau dalam bahasa hukum disebut tindak pidana asal. Istilah ini hampir tidak pernah dikenal dalam tindak pidana yang lain terlebih tindak pidana biasa, karenanya istilah ini baru muncul dalam tindak pidana pencucian uang yang memang dikenal sebagai double track criminality atau tindak pidana yang memiliki predicate crime dan follow up crime. Tidak banyak pakar yang memberikan pengertian tentang predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang namun perlu untuk menjadi rujukan pengertian yang dikemukakan oleh Imam C. Syahputra, yang mengatakan bahwa “predicate crime adalah kejahatan yang berkenaan dengan perilaku yang melanggar hukum itu sendiri. Seperti pembahasan diatas bahwa predicate crime adalah tindak pidana yang menghasilkan uang atau harta kekayaan yang akan dikaburkan asal usul hartanya dengan melakukan pencucian uang. Undang-undang dalam hal ini UU No. 8 Tahun 2010 melimitatifkan apa saja yang dapat dianggap sebagai kejahatan asal sebelum terjadinya tindak pidana pencucian uang. Hal tersebut terdapat dalam 71 Edi Setiadi dan Rena Yuliana, Graha Ilmu, Yokyakarta, 2010, hal 154 Universitas Sumatera Utara Pasal 2 menyatakan bahwa harta kekayaan adalah harta yang diperoleh dari tindak pidana: 1. korupsi; 2. penyuapan; 3. narkotika; 4. psikotropika; 5. penyelundupan tenaga kerja; 6. penyelundupan migran; 7. di bidang perbankan; 8. di bidang pasar modal; 9. di bidang perasuransian; 10. kepabeanan; 11. cukai; 12. perdagangan orang; 13. perdagangan senjata gelap; 14. terorisme; 15. penculikan; 16. pencurian; 17. penggelapan; 18. penipuan; 19. pemalsuan uang; 20. perjudian; 21. prostitusi; Universitas Sumatera Utara 22. di bidang perpajakan; 23. di bidang kehutanan; 24. di bidang lingkungan hidup; 25. di bidang kelautan dan perikanan; atau 26. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 empat tahun atau lebih. 2. Pengaturan Beban Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang a. Sistem Pembuktian menurut KUHAP Pembuktian adalah suatu proses kegiatan untuk membuktikan sesuatu atau menyatakan kebenaran tentang suatu peristiwa. 72 Indonesia dengan KUHAP-nya menganut sistem pembuktian negatif yaitu menurut undang-undang dimana peranan alat bukti dan keyakinan hakim bergandengan dalam sebuah pengambilan keputusan pengadilan. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif ini dapat dikatakan merupakan kolaborasi dari sistem pembuktian berdasar kayakinan hakim conviction in time dan sistem pembuktian positif mutlak menggunakan alat bukti. Karena sistem pembuktian ini memberikan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang itu. Dari keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif “menggabungkan” kedalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. 73 Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak 72 Adami Chazawi, Op.cit, Hal. 398 73 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP pemeriksaan sidang pengadilan, banding, kasasi dan peninjauan kembali, 2000, hal 279. Universitas Sumatera Utara pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat- alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang. Itu tidak cukup, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Kegiatan pembuktian didasarkan pada dua hal, yaitu alat-alat bukti dan keyakinan yang merupakan kesatuan tidak dipisahkan, yang tidak berdiri sendiri-sendiri. 74 Sistem ini mewajibkan dan melimitatifkan apa saja yang dapat dijadikan bukti dipersidangan dan tercantum dalam Pasal 184 KUHAP yakni, yang dimaksud sebagai alat bukti yaitu: a. Keterangan Saksi b. Keterangan Ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa M. Yahya Harahap mengatakan bahwa untuk menentukan salah atau tidaknya terdakwa maka maka ada dua komponen yang harus terpenuhi yakni: 1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat bukti yang sah menurut undang-undang. 74 Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit P.T Alumni, Bandung, 2008, Hal. 27 Universitas Sumatera Utara 2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarakan atas cara dan dengan alat bukti yang sah menurut undang-undang 75 KUHAP pun mengatur tentang batas minimal suatu pembuktian dari alat alat bukti diatas dan itu digambarkan dalam Pasal 183 KUHAP yakni: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya” Batas minimal alat bukti ini juga terkandung dalam Pasal 185 ayat 2 yakni: “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya” Pasal ini adalah perwujudan dari asas unus testis nullus testis yang berarti satu saksi bukan saksi dan itu juga berarti satu alat bukti belum bisa dipakai untuk menghukum terdakwa. Pasal tersebut juga mensyaratkan adanya keyakinan hakim dalam setiap pengambilan keputusan. Ini berarti pengamatan hakim sangat penting dan esensial sifatnya karena hakim yang menguasai proses persidangan. 76 Pasal 188 ayat 3 KUHAP menyatakan bahwa: “Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya” Peranan hakim disini cukup penting karena hakim harus menyertakan keyakinannya atas suatu keterbuktian terhadap peristiwa dan keyakinannya 75 M. Yahya Harahap, Loc.cit, hal. 279 76 M. Akil Mochtar, Pembalikan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Korupsi , 2009, hal 27. Universitas Sumatera Utara tersebut adalah apa yang ia temukan dipersidangan selama proses persidangan berlangsung. Hakim juga diwajibkan menggali nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat dan mencari tahu keinginan dan rasa keadilan dalam masyarakat, dan ini wajib oleh Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat 1 yakni: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat” Hal ini menjadikan peranan undang-undang dan keyakinan hakim dalam sistem pembuktian negatif menjadi seimbang, jikalau dipersidangan telah terdapat dua alat bukti yang membuktikan kesalahan terdakwa akan tetapi hakim tidak yakin dengan hal tersebut maka hakim boleh membebaskan terdakwa, begitu pun sebaliknya sekalipun hakim yakin bahwa terdakwa bersalah akan tetapi bukti dipersidangan tidak mencukupi batas minimal maka hakim harus membebaskan terdakwa. Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan adalah: 77 1 Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan. 2 Bagi terdakwa atau penasehat hukum, pembuktian merupakan usaha sebaliknya, untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti 77 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op,cit, Hal. 11 Universitas Sumatera Utara yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasihat hukum jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut disebut bukti kebalikan. 3 Bagi hakim, atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat- alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasihat hukum terdakwa dibuat dasar untuk membuat keputusan. b. Pengaturan Pembuktian Terbalik Dasar hukum munculnya peraturan di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP adalah Pasal 103 KUHP. Didalam pasal tersebut dinyatakan: “ketentuan dari delapan bab yang pertama dari buku ini berlaku juga terhadap perbuatan yang dapat dihukum menurut peraturan undang-undang lain, kecuali kalau ada undang-undang wet tindakan umum pemerintahan algemene maatregelen van bestuur atau ordonansi menentukan peraturan lain” Dalam ketentuan sistem pembalikan beban pembuktian UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam sistem pembalikan beban pembuktian ini beban pembuktian berada ditangan terdakwa atau penasehat hukum terdakwa. Jadi, dalam hal ketentuan dalam peraturan perundang-undangan mengatur lain daripada yang telah diatur di dalam KUHP, dapat diartikan bahwa suatu bentuk aturan khusus telah mengesampingkan aturan umum Lex specialis derogate Legi Generali. Dengan kata lain Pasal 103 KUHP memungkinkan suatu Universitas Sumatera Utara ketentuan perundang-undangan di luar KUHP untuk mengesampingkan ketentuan- ketentuan yang telah diatur dalam KUHP. 78 1 Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Mengenai pembalikan beban pembuktian diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 yaitu Pasal 37: 1 Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. 2 Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Analisis hukum terhadap ketentuan Pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999 menunjukkan bahwa terhadap pembalikan beban pembuktian terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi sehingga jikalau terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. 79 2 Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Pasal 77 UU No 8 tahun 2010 menyebutkan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan pengadilan, maka terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Pada penjelasan pasal ini tertera cukup jelas, sehingga konstruksi hukum pada undang undang ini mengamanatkan bahwa terdakwa tidak lagi “diberi kesempatan” dalam 78 Evi Hartanti, Loc.cit 79 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, P.T Alumni, Bandung, 2007, hal. 197 Universitas Sumatera Utara pembuktian terbalik, namun “wajib” untuk melakukannya. Inilah kelebihan undang undang pencucian uang yang baru dibanding undang undang yang lama. 80 Dalam hal pemeriksaan perkara tindak pidana pencucian tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asal predicate crime, karena tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 69 UU No. 8 Tahun 2010. Walaupun kejahatan pencucian uang ini lahir dari kejahatan asalnya, misalnya korupsi namun rezim anti pencucian uang dihampir seluruh negara menempatkan pencucian uang sebagai salah satu kejahatan yang tidak bergantung pada kejahatan asal dalam hal akan dilakukan proses penyidikan pencucian uang. 81 Dilihat secara komperhensif melalui pendekatan sejarah pembuktian terbalik sebetulnya tidak dikenal dalam negara yang menganut sistem hukum Civil Law maupun Common Law Anglo Saxon. Namun pada akhirnya terdapat pengecualian terhadap peraturan kedua sistem tersebut, yakni diaturnya beban pembuktian terbalik atas kasus suap atau gratifikasi. 82 Perdebatan para ahli dengan mengomparasikan penggunaan beban pembuktian terbalik dengan negara lain sebetulnya terletak pada ruh dari kedua sistem hukum ini. Keduanya mengakui penggunaan pembuktian terbalik, namun ruh dari civil law berasas praduga tak bersalah, sedangkan common law Anglo saxon sebaliknya dengan menggunakan praduga bersalah. 80 Philips Darwin, Money Laundering, Op.cit, hal 78. 81 Andrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal 228. 82 Harry Murti, dalam jurnal ilmiah, Beban Pembuktian Terbalik Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Juridis Sosiologis, 2011 Universitas Sumatera Utara Metode beban pembuktian terbalik dalam TPPU saat ini telah dilakukan oleh beberapa negara, antara lain Hongkong, Inggris Malaysia, Singapura. Persoalan beban pembuktian terbalik dalam perkembangannya, menjadikan suatu kondisi yang mana dalam “certain cases” kasus kasus tertentu yaitu korupsi, diperkenankan dengan mekanisme yang berbeda dengan menerapkan sistem pembuktian terbalik. 83 Proses prosedural dari peradilan pidana dalam ranah TPPU berorientasi salah satunya dengan pengembalian aset kejahatan melalui metode beban pembuktian terbalik. Di negara Inggris dan beberapa negara common law lainnya proses tersebut menggunakan praktik non-conviction based forfeiture, yang memisahkan aspek “pemilik aset” di satu sisi dan aspek “aset tindak pidana di sisi lain. 84 Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa beban pembuktian terbalik tidak melanggar Hak Asasi Manusia karena di dasarkan pada teori beban pembuktian terbalik berimbang. Secara sosiologis bahwa keadaan di Indonesia saat ini dari apa yang dikemukakan sebelumnya telah berada dalam transisi pembenahan permasalahan TPPU dengan berbagai kejahatan asal. Kebutuhan hukum serta kondisi faktual saat ini adalah konsep baru dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010, dengan penguatan sistem beban pembuktian terbalik dalam penyelesaian TPPU. 85 83 Lilik Mulyadi 2007:103 dalam pidato pengukuhan guru besar Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, SH., M.Hum, Pembuktian Terbalik dalam Pengembalian Aset Kejahatan Korupsi, 2012 84 Ibid., hal 15 85 Harry Murti, Loc.cit Universitas Sumatera Utara Beban pembuktian terbalik secara berimbang yang menjadi muatan utama konsep di Indonesia merupakan salah satu jalan terbaik untuk mengikis pergesekan pertentangan. Menurut Oliver Stolpe dalam beban pembuktian terbalik keseimbangan kemungkinan Balanced Probability of Principles. 86 Pelaksanaan beban pembuktian terbalik telah memiliki kepentingan yang mendesak untuk segera di implementasikan dalam sebuah praktik TPPU. Sekaligus menjawab atas permasalahan mengakar dalam kejahatan asal TPPU yang tidak kunjung menempati titik terbaik dalam sejarah bangsa. Alternatif pembuktian yang diajukan dan digagas oleh pemikir di negara maju adalah, teori keseimbangan kemungkinan pembuktian balanced probability of principles, yaitu mengedepankan keseimbangan yang proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi. Model baru asas pembuktian terbalik ini ditujukan terhadap pengungkapan secara tuntas asal usul asetaset yang diduga dari hasil korupsi itu sendiri, dengan menempatkan hak atas kekayaan pribadi seseorang pada level yang sangat rendah, akan tetapi secara bersamaan menempatkan hak kemerdekaan orang yang bersangkutan pada level yang sangat tinggi dan sama sekali tidak boleh dilanggar. 87 86 Sunarmi dkk, dalam jurnal, Tinjauan Yuridis Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang, 2011 87 Razif Novwan Putranto Law Firm Penerapan Azas Pembuktian Terbalik dalam Perkara Korupsi, http:www.rnplawfirm.com?p=publicationid=8title=azaz-pembuktian, diakses pada tanggal 2 Mei 2016 Universitas Sumatera Utara Model pembuktian terbalik dalam Konvensi Anti Korupsi 2003,dan banyak memperoleh pengakuan dari negara-negara maju baik yang menggunakan sistem hukum Common Law dan Civil Law, yaitu mendukung penggunaan prosedur keperdataan dalam menerapkan teori pembuktian terbalik dengan keseimbangan kemungkinan tersebut, artinya, sepanjang prosedur pembuktian terbalik tersebut ditujukan untuk menggugat hak kepemilikan seseorang atas harta kekayaannya yang berasal dari tindak pidana korupsi. 88 Konvensi Anti Korupsi 2003 yang telah diratifikasi telah memuat ketentuan mengenai pembuktian terbalik dalam konteks proses pembekuan freezing, perampasan seizure, dan penyitaan confiscation di bawah judul Kriminalisasi dan Penegakan Hukum Bab III. Pascaratifikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 sudah tentu berdampak terhadap hukum pembuktian yang masih dilandaskan kepada Undang-undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 tahun 1981 dan ketentuan mengenai penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta pemeriksaan pengadilan di dalam UU Nomor 8 tahun 2010. 89 88 Ibid 89 Ibid Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang