Concursus Realis dalam hubungan Tindak Pidana Korupsi sebagai

Berdasarkan Pasal 40 disebutkan “Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi”. Dalam Pasal 51 ayat 1 disebutkan bahwa “penuntut adalah penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”. Ayat 2 disebutkan bahwa “penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 melaksanakan fungsi penuntutan tindak pidana korupsi”. Dan ayat 3 dikatakan bahwa “ Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah Jaksa Penuntu Umum”. Dalam Pasal 52 ayat 1 disebutkan “Penuntut Umum setelah meneriman berkas perkara dari penyidik, paling lambat 14 empat belas hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas tersebut, wajib melimpahkan berkas perkara tersebut ke Pengadilan Negeri”. Dan ayat 2 menyebutkan “ dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Ketua Pengadilan Negeri wajib menerima pelimpahan berkas perkara dari Komisi Pemberantasan Korupsi untuk diperiksa dan diputus”.

B. Concursus Realis dalam hubungan Tindak Pidana Korupsi sebagai

tindak Pidana awal dari Tindak Pidana Pencucian Uang 1. Pengertian Penggabungan Tindak Pidana Concursus atau samenloop Concursus atau beberapa pakar hukum dalam bahasa indonesia lebih senang menyebutnya perbarengan tindak pidana, yang dimaksud dengan perbarengan ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang dimana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana, atau antara Universitas Sumatera Utara tindak pidana awal dan tindak pidana berikutnya tidak dibatasi dengan suatu putusan hakim. 108 Terdapat bermacam-macam pandangan mengenai gabungan delik atau concursus ini. Ada yang mengupasnya sebagai bagian tersendiri, ada pula yang memandangnya hanya sebagai hal penentuan pidana yang akan dijatuhkan. Van hammel menguraikan gabungan delik sebagai bagian hukum pidana tersendiri. Van Hattum juga membahas gabungan delik sebagai satu lembaga hukum pidana sendiri dengan alasan lain, yaitu berkaitan dengan masalah nebis in idem dan ajaran rumusan delik delictsomschrijvingen. 109 Concursus atau juga dapat dikatakan samenloop dikenal dalam buku I KUHP tentang ketentuan umum. menarik untuk dibahas dalam tinjauan pustaka dalam pembahasan tentang money laundring tindak pidana Khusus ini adalah menurut Pasal terakhir dari Buku I yakni Pasal 103 mengatakan bahwa ketentuan dari delapan bab yang pertama dari buku ini berlaku juga terhadap perbuatan yang dapat dihukum menurut peraturan perundangundangan lain, kecuali apabila ada undang-undang wet tindakan umum pemerintah algemene maatgelen van bestuur atau ordonansi menentukan peraturan lain. 110 Hal ini berarti semua ketentuan dari bab 1 sampai bab 8 buku I KUHP masih berlaku kepada semua peraturan perundangundangan yang ada di Indonesia kecuali undang-undang baru menentukan sendiri ketentuan barunya, tentu jika hal 108 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian 2: penafsiran hukum pidana, dasar peniadaan, pemberatan peringanan, kajahatan aduan, perbarengan dan ajaran kausalitas, 2009, Hal 109. 109 Andi Zainal Abidin Farid Andi Hamzah, Bentuk Khusus Perwujudan Delik dan Hukum Penitensier , 2006. hal 239-240. 110 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Kukum Pidana , Politea; Bogor, 1988 Universitas Sumatera Utara ini terjadi maka asas yang dipergunakan adalah asas lex spesialis derogate lege generali atau paling tidak asas lex superior derogate lege Inferiori. Hal yang berbeda adalah tidak diaturnya ketentuan tentang concursus samenloop dalam bab manapun dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Concursus yang dalam bahasa belanda disebut samenloop van strafbaar feit atau dalam hukum pidana berarti tindak pidana berlanjut memiliki rumusan dalam bab VI buku I KUHP Pasal 63 ayat 1 yang berbunyi “jika suatu perbuatan termasuk dalam beberapa tindak pidana, maka hanyalah dikenakan satu saja dari ketentuan itu, jika berlainan, maka yang dikenakan adalah ketentuan yang terkait dengan hukuman pokoknya”. Di dalam ilmu hukum pidana dikenal 3 bentuk Concursus yang juga disebut ajaran hukum pidana sebagai berikut yakni: 111 Concursus idealis eendaadsche samenloop; Perbuatan lanjutan voortgezette handeling; Concursus realis meerdaadsche samnloop. a. Concorsus idealis eendaadsche samenloop Ilmu hukum pidana mengatakan bahwa concursus idealis yang jika diindonesiakan maka berarti gabungan satu perbuatan, Hal ini oleh Adami Chazawi mengatakan bahwa concursus sesungguhnya hanya ada satu perbuatan yang dilakukan hanya saja perbuatan tersebut melanggar beberapa ketentuan pidana. 112 111 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik hukum pidana, 2005, hal 32 112 Adami Chazawi, Loc.cit Universitas Sumatera Utara Concursus idealis dalam pembahasan diatas menjelaskan tentang bunyi Pasal 63 KUHP. Hazelwinkel Suringa menjelaskan “perbuatan” feit yang dimuat dalam Pasal 63 KUHP sebagai berikut: “Perbuatan yang dimaksud adalah suatu perbuatan yang berguna menurut hukum pidana, yang karena cara melakukannya, atau karena tempatnya, atau karena orang yang melakuannya, atau karena objek yang ditujunya, juga merusak kepentingan hukum, yang telah dilindungi oleh undang- undang lain” 113 Sampai pada tahun 1932, feit diartikan sebagai perbuatan atau tindakan materiil. Hal ini dapat diketahui dari arrest hoge raad, masing-masing tanggal 15 Oktober 1917, N.J. 1917 dan tanggal 26 Mei 1930 N.J. 1930 antara lain berbunyi sebagai berikut: “Feit adalah suatu tindakan dalam arti materiil. Perbuatan bersepeda disebuah jalan yang terlarang dan tanpa memakai sebuah bel itu merupakan satu tindakan. Demikian halnya perbuatan bersepeda ke arah yang terlarang dan tanpa memakai tanda pembayaran pajak sepeda” 114 b. Perbuatan lanjutan voortgezette handeling Perbuatan berlanjut atau voortgezette handeling yang Utrech menyebutnya perbuatan terus-menerus dan R. Soesilo menyebutnya perbuatan yang diteruskan. Apapun sebutannya oleh para pakar kita harus tetap melihat Pasal 64 yang rumusannya sebagai berikut: “Jika beberapa perbuatan berhubungan, sehingga dengan demikian harus dipandang sebagai suatu perbuatan yang diteruskan, maka hanya satu ketentuan pidana saja yang digunakan walaupun masing-masing perbuatan itu menjadi kejahatan atau pelanggaran, dan jika hukumannya berlaianan, 113 Leden Marpaung, Op.cit, hal 53. 114 Ibid Universitas Sumatera Utara maka yang digunakan ialah peraturan yang terberat hukuman utamanya” 115 Sampai dimana eratnya hubungan antara beberapa perbuatan ini tidak ada penjelasan resmi. Bahkan, penjelasan memorie van toelichting dari Belanda mengatakan bahwa ini merupakan soal faktual yang penetuannya diserahkan pada kebijaksanaan pada pelaksana undang-undang. 116 Adapun istilah yang dipergunakan mengenai apa yang dimaksud dengan perbuatan berlanjut pada rumusan ayat pertama, pada dasarnya adalah “beberapa perbuatan baik berupa pelanggaran maupun kejahatan yang satu dengan yang lain terdapat hubungan yang sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan yang diteruskan”. Dari rumusan Pasal tersebut dapat ditarik unsur dari perbuatan berlanjut adalah: 117 1 Adanya beberapa perbuatan, meskipun berupa: a Pelanggaran, atau b Kejahatan 2 Antara perbuatan yang satu dengan yang lain terdapat hubungan yang sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai sebuah perbuatan berlanjut. Di dalam penjelasan Pasal 64 ayat 1 dan ayat 2 tersebut R. Soesilo memberi pengertian bahwa beberapa perbuatan yang satu sama lain ada 115 R. Soeslio, Loc.Cit 116 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, 2003, hal 147 117 Adami Chazawi, Op.Cit, hal 130. Universitas Sumatera Utara hubungannya supaya dapat dikatakan sebagai suatu perbuatan yang diteruskan menurut pengetahuan harus memenuhi syarat: 1 Harus timbul dari satu niat, atau kehendak atau keputusan, misalnya seseorang tukang berniat mempunyai mencuri radio, tetapi tidak ada kesepakatan untuk mencuri satu pesawat radio yang komplit. Ia hanya berkesempatan hari ini mencuri beberapa lampu radio dari gudang majikannya, lain hari mencuri pengeras suara beberapa lampu radio gudang kawat, lain hari mencuri pengeras suara lain minggu lagi mencuri kawat dan seterusnya. 2 Perbuatan-perbuatannya itu harus sama macamnya, misalnyapencurian dengan pencurian, penggelapan dengan penggelapan dari yang terberat sampai yang teringan dan seterusnya. 3 Waktu antaranya tidak boleh terlalu lama. Penyelesaian mungkin makan tempo sampai tahunan, akan tetapi perbuatan berulang-ulang untuk menyelesaikan tidak boleh terlalu lama. c. Concursus realis meerdaadsche samenloop Concursus Realis dalam bahasa Belanda disebut meerdaadsche samenloop, diatur dalam Pasal 65 dan 66 KUHP masing masing terdapat dalam ayat 1 dan berbunyi “beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan”. Pengertian perbuatan dalam rumusan Pasal ini adalah perbuatan yang telah memenuhi seluruh syarat dari suatu tindak pidana tertentu dan dirumuskan dalam undang-undang. Perbedaan antara realis dan idealis adalah idealis adalah satu Universitas Sumatera Utara perbuatan tetapi melanggar beberapa aturan hukum sedangkan realis adalah beberapa perbuatan yang berdiri sendiri dan masingmasing melanggar aturan juga sendiri-sendiri. Berbicara tentang concursus maka tidak akan jauh dari sistem panjatuhan pidana yang diberikan terhadap pelaku kejahatan yang masuk dalam ketegori concursus. 2. Penerapan sanksi Pidana korupsi yang berbarengan dengan tindak pidana Pencucian Uang concursus realis Seperti dikemukan diatas, bahwa menurut doktrin hukum pidana dan KUHP , terdapat perkara tindak pidana concursus realis meerdaadsche samenloop, dimana penerapan saksinya memakai sistem absorbsi yang dipertajam. Tindak Pidana Korupsi sebagai salah satu predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang sehingga dapat dikategorikan sebagai penggabungan tindak pidana. Dijelaskan juga menurut Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip oleh Ivan Yustiavandana, Arman Nefi, dan Adiwarman, predicate crime atau predicate offence adalah delik-delik yang menghasilkan criminal proceeds atau hasil kejahatan yang kemudian dicuci. 118 Upaya mengefektifkan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan menggabungkannya dengan tindak pidana pencucian uang, tampaknya menjadi semakin strategis ke depan. Hal ini, dikarenakan upaya untuk menyembunyikan uang hasil korupsi semakin kompleks, namun dapat diantisipasi oleh Undang- Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. 118 Ivan Yustiavandana Et.All., Tindak Pidana Pencucian Uang di Pasar Modal, Cetakan I, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 54. Universitas Sumatera Utara . Pencucian uang merupakan sarana bagi pelaku kejahatan korupsi untuk melegalkan uang hasil kejahatannya dengan cara menyembunyikan ataupun menghilangkan asal-usul uang yang diperoleh dari hasil kejahatan melalui mekanisme lalulintas keuangan. 119 Korupsi sebagai tindak pidana asal Tindak Pidana Pencucian Uang seperti yang sudah dijelaskan diatas menurut Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, hal ini merupakan concursus realis perbarengan perbuatan yang diatur dalam Pasal 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71 KUHP, dimana Korupsi dan Pencucian Uang merupakan dua tindak pidana yang berdiri sendiri. Sebagai konsekuensi dari adanya tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang, maka pemrosesan terhadap kedua tindak pidana itu dilaksanakan secara bersamaandigabung. Hal ini dalam istilah hukumnya disebut dengan istilah concursus realis pada saat mana penghukuman terjadi apabila seseorang sekaligus merealisasikan beberapa perbuatan. 120 Penanganan perkara tidak pidana pencucian uang mempunyai arti penting bagi pengembalian aset negara terkait dengan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Money Laindering hanya diperlukan dalam hal uang yang tersangkut jumlahnya besar, karena bila jumlahnya kecil uang itu dapat terserap ke dalam peredaran secara tidak kentara. Uang kotor itu harus dikonversikan menjadi uang 119 Marwan Efendi, Korupsi dan Pencegahan, Timpani, Jakarta, 2010, hal. 71 120 Ibid, hal. 4 Universitas Sumatera Utara sah sebelum uang tersebut dapat diinvestasikan atau dibelanjakan, yaitu denga cara yang disebut pencucian uang money laundering. 121 Sebagaimana diketahui, pola tindak pidana pencucian uang dapat dikelompokkan ke dalam tiga pola kegiatan, yakni : placement, layering dan integration. 122 a. Placement Merupakan upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan financial sistem atau upaya menempatkan uang giral cheque, wesel bank, sertifikat deposito, dan lain-lain kembali ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan. Dalam proses penempatan uang tunai kedalam sistem keuangan ini, terdapat pergerakan fisik uang tunai baik melalui penyeludupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, penggebungan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, atau cara-cara lain seperti pembukaan deposito, pembelian saham-saham atau juga mengkonversikannya ke dalam mata uang negara lain. 123 Bentuk kegiatan dari placment antara lain: 124 121 Sarah N. Welling, Smurfs, Money Laundering, and the United States Criminal Federal Law, yang dimuat dalam Brent Fisse, David Fraser Graeme Coss, hal. 201 122 Keputusan Kepala PPATK No. 21KEP.PPATK2003 Pedoman I: Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bagi PJK, PPATK, Jakarta, 2003 123 Bismar Nasution, Op.cit, hal. 19 124 Keputusan Kepala PPATK No. 21KEP.PPATK2003 Pedoman I: Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bagi PJK, PPATK, Jakarta, 2003 Universitas Sumatera Utara 1 Menempatkan dana pada bank, kadang-kadang kegiatan ini diikuti dengan pengejuan kreditpembiayaan; 2 Menyetorkan uang kepada penyedia jasa keuangan sebagai pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail; 3 Menyeludupkan uang tunai dari suatu negara ke negara lain; 4 Membiayai suatu usaha yang seolah-olah atau terkait dengan usaha yang sah berupa kreditpembiayaan, sehingga mengubah kas menjadi kreditpembiayaan; 5 Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan pribadi, membelikan hadiah yang nilainya mehal sebagai penghargaanhadiah kepada pihak lain yang pembayarannya dilakukan melalui penyedia jasa keuangan. b. Layering Pekerjaan pencucian uang belum berakhir dengan placement, jumlah uang haram yang sangat besar, yang ditempatkan di suatu bank tetapi tidak dapat dijelaskan asal-usulnya, akan menarik perhatina otoritas moneter negara yang bersangkutan, yang pada gilirannya akan menarik pula perhatian para penegak hukum. Layering adalah upaya memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya yaitu tindak pidananya melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana tersebut. 125 125 Muhammad Yusuf dkk, Op.cit, hal 16 Universitas Sumatera Utara Bentuk kegiatan dari Layering antara lain: 126 1 Transfer dana dari suatu bank ke bank lain dan atau antar wilayan negara; 2 Penggunaan simpanan tunai sebagaiagunan untuk mendukung transaksi yang sah; 3 Memindahkan uang tunai lintas batas negara melalui jaringan kegiatan usaha yang sah maupun shell compaby perusahaan gadungan. Teknik lain dari layering adalah memberi saham atau obligasi, kendaraan dan pesawat terbang atas nama orang lain. Kasino sering juga digunakan karena kasino menerima uang tunai. Sekali uang tunai tersebut dikonversikan ke dalam chips dari kasino tersebut, maka dana yang telah dibelikan chips tersebut dapat diterik kembali dengan menukarkan chips tadi dengan cek yang dikeluarkan oleh kasino tersebut. 127 c. Integration Merupakan suatu upaya menggunakan harta yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan melalui placement dan layering sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang halal. Poses ini merupakan upaya untuk mengembalikan uang yang telah dikaburkan jejaknya sehingga pemilik semula dapat menggunakan dengan aman. Disini uang yang dicuci melalui placement dan layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan resmi 126 Keputusan Kepala PPATK No. 21KEP.PPATK2003 Pedoman I: Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bagi PJK, PPATK, Jakarta, 2003 127 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hal. 36 Universitas Sumatera Utara sehingga tampak seperti tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan yang menjadi sumber dari uang tersebut. 128 Bentuk kegiatan dari integration antara lain: 129 1 Mengggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan materialmaupun keuangan; 2 Dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah; ataupun 3 Untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Jeffrey Robinson, tahap placement adalah tahap yang paling rentan vulnerable bagi pencuci uang karena apabila pencuci uang tidak dapat memasukkan uang haram tersebut ke dalam proses pencucian, maka ia tidak akan dapat mencuci uang haram tersebut. Namun, sekali uang haram itu berhasil dikonversikan ke dalam ke dalam nomor-nomor atau rekening bank yang muncul di suatu layar komputer dan nomor-nomor tersebut berhasil dipindahkan mondar-mandir melintas dunia, maka hal itu seperti halnya riak air sebagaimana digambarkan di atas lenyap dan batu tersebut terkubur di dalam lumpur di dasar kolam. 130 Hubungan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal predicate crime sudah diatur dalam Pasal 2 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, bahwa hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang 128 Bismar Nasution, Op.Cit, hal. 63 129 Keputusan Kepala PPATK No. 21KEP.PPATK2003 Pedoman I: Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bagi PJK, PPATK, Jakarta, 2003 130 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hal 63 Universitas Sumatera Utara diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Sehingga tepat sekali pendapat yang menyatakan tidak akan ada money laundering kalau tidak ada kejahatan yang menghasilkan uangharta kekayaan no crime no money laundering. Penanganan tindak pidana pencucian uang mempunyai arti penting bagi pengembalian aset negara terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang percepatan Pemberantasan Korupsi yang dikeluarkan oleh presiden pada tanggal 9 Desember 2004 bertepatan dengan hari anti Korupsi Sedunia menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam melakukan kriminalisasi terhadap pencucian uang hasil korupsi tersebut sekaligus menjadi suatu instrumen hukum yang memerintahkan aparat penegak hukum untuk secepatnya memulihkan kerugian negara asset recovery. 131 Salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan negara. Terhadap kerugian keuangan negara ini membuat UU Korupsi baik yang lama yaitu UU No. 3 tahun 1971 maupun yang baru yaitu UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001, menetapkan kebijakan bahwa kerugian keuangan negara itu harus dikembalikan atau diganti oleh pelaku korupsi Asset Recovery. 131 Marwan Efendi, Op.Cit, hal. 72. Universitas Sumatera Utara Yang menjadi pertanyaan, mengapa kerugian keuangan negara harus dikembalikan oleh pelaku tindak pidana korupsi? Unrtuk itu dapat dianalisis dari pemikiran Utilitarianisme yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham, dengan prinsip the principle of utility yang berbunyi the greatest happiness of the greatest number kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar. Prinsip kegunaan ini menjadi norma untuk tindakan-tindakan pribadi ataupun kebijakan pemerintah melalui pembentukan hukum. Dengan demikian, undang-undang yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat akan dinilai sebagai undang-undang yang baik. Karena itu tugas hukum adalah memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan. Tegasnya memelihara kegunaan. 132 Pandangan Thomas Aquinas juga dapat membenarkan tindakan negara dalam pengaturan pengembalian asset negara. Bahwa dasar pemikirannya terkait apa yang menurut Aquinas sebagai keadilan umum justitia generalis. Keadilan umum adalah keadilan menurut kehendak undang-undang yang harus ditunaiikan demi kepentingan umum. 133 Pasal 17 UU No. 31 Tahun 1999 dengan tegas menentukan: “Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18”. Kemudian Pasal 18 ayat 1 huruf a dan b menentukan, bahwa: 132 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hal. 271 133 E. Sumaryono, Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisius, Yogyakarta, 2000, hal. 160 Universitas Sumatera Utara a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula barang yang menggantikan barang-barang tersebut; b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; Menurut Pasal 18 ayat 2 UU No. 31 Tahun 1999, Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 satu bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.. Kemudian pada Pasal 18 ayat 3 yang menormatifkan: Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksirnum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. Menurut Jeane Neltje Saly, dasar pemikiran yang terkait dengan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi dilatarbelakangi oleh kebutuhan dan tuntutan nasional ataupun internasional akan penyelamatan keuangan negara untuk kesejahteraan rakyat. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah semakin Universitas Sumatera Utara meluas ke berbagai elemen, termasuk pada lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tindak pidana korupsi ini sangat mengganggu perekonomian negara-negara di dunia, seperti di Indonesia, yang tidak saja semata-mata merugikan keuangan negara,tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat orang mengatakannya dapat disebut sebagai extraordinary crime. 134 Pengembalian Aset asset recovery dalam United Nations Convention Against Corruption, 2003 UNCAC diatur pada Bab IV Pasal 51-Pasal 59. Untuk mengedepankan asset recovery dalam penanganan tindak pidana korupsi, setiap negara di samping membuka hubungan kerja sama yang lebih 1uas, tidak hanya dalam penegakan hukum para pelakunya melainkan juga dalam mengembalikan aset hasil korupsi yang dilarikandisembunyikan di wilayah negara lain, baik yang terkait aspek pidana maupun aspek perdata. 135 Hal tersebut merupakan isu strategis dan terobosan besar dalam pemberantasan korupsi masa kini. Bagi Indonesia, isu tersebut memiliki persoalan hukum tersendiri baik secara konsepsional maupun operasional. Istilah asset recovery pengembalian aset tidak diatur secara eksplisit dalam dalam Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara ataupun dalam Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan, juga tidak 134 Jeane Neltje Saly, Pengembalian Asset Negara Hasil Korupsi di Indonesia Dalam Perspektif United Convention Againts Corruption 2002 UNTAC, Artikel, Legislasi Indonesia, Vol. 7. No. 4 Desember 2010. 135 Ibid Universitas Sumatera Utara diatur di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang terakhir dengan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 136 Ditinjau dari aspek pidana, Pasal 18 ayat 1 UU Tipikor yang menentukan mengenai perampasan barang, pembayaran uang pengganti, dan pencabutan hak atau keuntungan. Perampasan barang dapat diartikan secara konseptual dengan confiscation proceedings. Selain itu pembayaran uang pengganti dan pencabutan hak atau keuntungan, secara konseptual dapat diartikan sebagai cash forfeiture proceedings, walaupun terdapat perbedaan dalam urutan prosesnya, yaitu pada pembayaran uang pengganti ditempuh melalui proses peradilan pidana terlebih dahulu, meskipun kemudian dapat muncul proses pelelangan yang ditempuh berdasarkan hukum perdata. 137 Djoko Sumaryanto juga berpendapat, bahwa upaya pengembalian aset yang dikorupsi oleh para koruptor harus terus dilakukan oleh PemerintahPenegak Hukum dengan alasan: 138 a. dana atau aset yang dikorupsi adalah harta kekayaan negara Indonesia yang harus diperuntukkan bagi pembangunan dalam upaya meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Tindak pidana korupsi telah mengakibatkan hilangnya kesempatan 136 Ibid 137 Ibid 138 Joko Sumaryanto, Pembalikan Beban Pembuktian Korupsi Bagian I, Artikel, 15 Januari, 2009, Dimuat dalam Media online GagasanHukum.WordPress.Com. Universitas Sumatera Utara rakyat Indonesia untuk menikmati hak-haknya dan menempatkan sebagian besar rakyat hidup di bawah garis kemiskinan; b. negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya melalui pencapaian alternatif sumber pendanaan. Salah satu sumber pendanaan tersebut harus diambil dari dana atau aset hasil tindak pidana korupsi; c. upaya pengembalian aset memiliki makna preventif terletak pada pengungkapan kepada publik bahwa tidak ada tempat yang aman di dunia bagi para pelaku tindak pidana korupsi. Sedangkan makna represif terletak pada pemidanaan para pelaku tindak pidana korupsi; d. tindak pidana korupsi korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, dan akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi; e. tindak pidana korupsi sudah terjadi pada semua bidang tata pemerintahan, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Bahkan disinyalir tidak sedikit hakim di semua tingkatan peradilan yang melakukan Korupsi. Akibat integritas yang rendah dan kemampuan terbatas dari hakim ini menyebabkan banyak putusan pengadilan dalam kasus korupsi yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Universitas Sumatera Utara Dalam perkembangannya, pengaturan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebagaimana diatur oleh UU No. 31 taun 1999 Jo Perubahannya UU No. 20 Tahun 2001, juga bersesuaian dengan Konvensi Anti Korupsi KAK tahun 2003, yang telah membuat terobosan besar mengenai Pengembalian Kekayaan Negara Aset Recovery yang meliputi sistem pencegahan dan deteksi hasil tindak pidana korupsi Pasal 52, sistem pengembalian aset secara langsung Pasal 53, sistem pengembalian aset secara tidak langsung dan kerjasama internasional untuk tujuan penyitaan Pasal 55. Ketentuan esensial yang teramat penting dalam konteks ini adalah ditujukan khusus terhadap pengembalian aset-aset hasil korupsi dari negara ketempatan custodial state kepada negara asal country of origin aset korupsi. 139 Strategi pengembalian aset hasil korupsi secara eksplisit diatur dalam mukadimah KAK 2003, Pasal 8 menentukan, bahwa : ”Bertekad untuk mencegah, melacak dan menghalangi dengan cara yang lebih efektif transfer-transfer internasional atas aset-aset yang diperolah secara tidak sah, dan untuk memperkuat kerjasama internasional dalam pengembalian aset.” UU Nomor 17 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003 menekankan pada pengembalian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. Ketentuan-ketentuan tentang pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi menghadapi kendala dalam pelaksanaannya, antara lain, karena perbedaan sistem hukum di antara negara-negara, kemauan politik negara-negara penerima 139 Ibid Universitas Sumatera Utara aset hasil tindak pidana korupsi. Pentingnya masalah pengembalian aset bagi negara-negara berkembang yang mengalami kerugian karena tindak pidana korupsi, melihat masalah ini sebagai hal yang harus mendapat perhatian serius. Bahkan sebenarnya beberapa negara menginginkan agar pengembalian aset diperlakukan sebagai hak yang tidak dapat dihapus atau dicabut. 140 Pengembalian aset hasil korupsi dapat dilakukan melalui jalur Pidana Aset Recovery secara tidak langsung melalui Criminal recovery dan jalur perdata Aset Recovery secara langsung melalui civil recovery. Khusus terhadap jalur hukum pidana Penal yaitu aset recovery secara tidak langsung maka proses pengembalian aset lazimnya dapat dilakukan melalui 4 empat tahapan, yaitu: 141 a. pelacakan aset dengan tujuan untuk mengidentifikasi aset, bukti kepemilikan aset, lokasi penyimpanan aset dalam kapasitas hubungan dengan deliktindak pidana yang dilakukan. b. pembekuan atau perampasan aset dimana menurut Bab I Pasal 2 huruf KAK 2003 aspek ini ditentukan meliputi larangan sementara untuk mentransfer, mengkonversi, mendisposisi, atau memindahkan kekayaan atau untuk sementara menanggung beban dan tanggung jawab mengurus dan memelihara serta mengawasi kekayaan berdasarkan penetapan pengadilan atau penetapan dari otoritas lain yang berkompeten. 140 Ibid 141 Ibid Universitas Sumatera Utara c. penyitaan aset dimana menurut Bab I Pasal 2 huruf g KAK 2003 diartikan sebagai pencabutan kekayaan untuk selamanya berdasarkan penetapan pengadilan atau otoritas lain yang berkompeten. d. pengembalian dan penyerahan aset-aset kepada negara korban. Pengembalian aset secara tidak langsung diatur dalam ketentuan Pasal 54- 55 KAK 2003 dimana sistem pengembalian aset tersebut dilakukan melalui proses kerjasama internasional atau kerjasama untuk melakukan penyitaan. Apabila diperinci secara global maka dapat melalui aspek-aspek sebagai berikut: a. Mengambil tindakan-tindakan yang mungkin diperlukan untuk mengizinkan otoritas yang berkompeten untuk memberlakukan perintah penyitaan yang dikeluarkan oleh suatu pengadilan dari negara peserta lain; b. Mengambil tindakan yang mungkin diperlukan untuk mengizinkan otoritas yang berkompeten, dimana mereka mempunyai yurisdiksi untuk memerintahkan penyitaan atas kekayaan yang berasal dari luar negeri dengan putusan pengadilan atas kejahatan pencucian uang atau kejahatan lainnya, sebagaimana dalam yurisdiksi mereka atau dengan prosedur lain berdasarkan hukum nasionalnya; c. Mempertimbangkan untuk mengambil tindakan yang mungkin diperlukan untuk memperkenankan penyitaan atas harta kekayaan tanpa penuntutan pidana dalam kasus dimana pelakunya meninggal dunia atau tidak diketahui keberadaannya atau dalam kasus-kasus khusus lainnya. Universitas Sumatera Utara Sehingga ke depan, upaya pemiskinan koruptor dengan cara menggabungkan tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian uang danatau dengan tindak pidana lainnya yang menjadi predicate crime, serta penerapan sanksi dengan sistem absorbsi yang dipertajam dan sanksi pidana tambahan uang pengganti kerugian Negara, maka diprediksikan akan lebih memberikan effek jera yang efektif, baik kepada si pelaku koruptor maupun prevensi umum bagi para penyelenggara Negara, penyelenggara pemerintahan, korporasi, dan masyarakat luas.

C. Legalitas Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan