Legalitas Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan

Sehingga ke depan, upaya pemiskinan koruptor dengan cara menggabungkan tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian uang danatau dengan tindak pidana lainnya yang menjadi predicate crime, serta penerapan sanksi dengan sistem absorbsi yang dipertajam dan sanksi pidana tambahan uang pengganti kerugian Negara, maka diprediksikan akan lebih memberikan effek jera yang efektif, baik kepada si pelaku koruptor maupun prevensi umum bagi para penyelenggara Negara, penyelenggara pemerintahan, korporasi, dan masyarakat luas.

C. Legalitas Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan

Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang . Kebijakan hukum pidana penal policy merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan. Seperti yang dijelaskan oleh G. Peter Hoefnagels bahwa kebijakan penanggulangan tindak pidana criminal policy dapat ditempuh melalui 3 tiga cara, yaitu: 142 a. Criminal law application; b. Prevention without punishment; c. Influencing views of society on crime and punishment Pada hakikatnya kebijakan hukum pidana penal policy dapat difungsionalisasikan dan dioperasionalisasikan melalui beberapa tahap, yaitu: 143 142 Teguh Prasetyo Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana : Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Cetakan III, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2012, hlm.17 143 Ibid, hal 21-22 Universitas Sumatera Utara a. tahap formulasi atau kebijakan legislatif yaitu tahap perencanaan dan perumusan peraturan perundang-undangan pidana. Tahap ini merupakan tahap awal yang paling strategis karena menjadi dasar, landasan dan pedoman bagi tahap-tahap selanjutnya. b. tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif yaitu tahap penerapan dari ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dilanggar. c. tahap eksekusi atau kebijakan administratif yaitu tahap pelaksanaan dari putusan pengadilan atas perbuatan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam melakukan proses penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang, khususnya tahapan penuntutan, ketentuan yang dijadikan pedoman adalah Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang UU PPTPPU yang berbunyi : “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang- Undang ini” Ketentuan Pasal 68 UU PPTPPU menegaskan berlakunya azas “lex specialis derogate legi generali”, yang mana UU PPTPPU menjadi ketentuan yang bersifat khusus sedangkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 KUHAP sebagai ketentuan yang bersifat umum. Universitas Sumatera Utara Dalam hal penuntut umum tindak pidana pencucian uang yang bersumber dari tindak pidana korupsi maka perlu dicermati Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU KPK, Pasal 6 menjelaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai beberapa tugas yaitu : 1. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; 2. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; 3. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; 4. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan 5. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Dari penjelasan Pasal 6 tersebut, wewenang serta tugas Komisi Pemberantasan Korupsi dijelaskan lebih mendalam yaitu pada Pasal 8 Undang- Undang KPK yaitu, pelaksanaan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang bersangkutan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik. Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 empat belas hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Universitas Sumatera Utara Pemberantasan Korupsi. Penyerahan sebagaimana dimaksud, dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. 144 Berdasarkan pada Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan dan penuntutan dapat diambilalihkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan-alasan yang dijelaskan oleh Pasal 9 Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu: 1. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti; 2. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; 3. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya; 4. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi; 5. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau 6. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam melaksanakan tugas Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: 1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; 2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; danatau 3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 satu milyar rupiah. 144 Penjelasan Pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahuun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Universitas Sumatera Utara Tindak Pidana Korupsi adalah tindakan yang dilakukan oleh subjek hukum yang berdasarkan dari korupsi atau pendapatan tidak sah, suap dan gratifikasi. Umumnya Tindak Pidana Korupsi akan bersamaan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang yang dimana modus pelaksaannya adalah placement, layering dan integration. Placement adalah tindakan yang dilakukan oleh subjek hukum terkait dengan uang tunai hasil dari kejahatan yang biasanya adalah hasil dari Tindak Pidana Korupsi dimasukan kedalam sistem keuangan agar asal-usul uang tersebut sulit dilacak atau tersamarkan. Setelah melewati placement, modus selanjutnya adalah layering dimana melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk memutuskan memisahkan hubungan antara dana yang tersimpan di bank dan tindak pidana yang menjadi sumber dana tersebut. Tujuannya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana. Setelah melewati layering, modus terakhir adalah integration yaitu upaya menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah secara hukum, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana. Penyatuan uang melibatkan pemindahan sejumlah dana yang telah melewati proses pelapisan yang diteliti dan kemudian disatukan dengan dana yang berasal dari kegiatan legal ke dalam arus perputaran dana global yang begitu besar. 145 Berdasarkan klasifikasi dari Pasal 3, 4, 5 Undang- Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan tujuan untuk menyamarkan atau menyembunyikan asal-usul dari harta kekayaan. 145 Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 20-21 Universitas Sumatera Utara Dalam hal kewenangan KPK menuntut TPPU, Dr. H.Sigit Herman Binaji, S.H., M.Hum hakim ad hoc Tipikor pada Pengadilan Negeri Serang Banten berpendapat bahwa: 146 1. Sebagai konsekuensi pasal 2 ayat 1 huruf b UU TPPU No.8 Tahun 2010, yakni TPPU dengan Predikat Crime korupsi, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 14 UU Tipikor No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001, KPK berwenang menuntut perkara TPPU dengan dakwaan kumulatif, karena secara historis embrio lahirnya Pengadilan Tipikor melalui UU No.46 Tahun 2009 adalah pasal 53 UU KPK No.30 Tahun 2002 sudah dibatalkan MK di mana Pengadilan Tipikor awalnya menerima limpahan perkara dari Jaksa KPK, sehingga logis Jaksa KPK berwenang menuntut perkara TPPU. 2. Putusan Hakim Progresif dengan menerobos positivisme hukum sangat dibutuhkan manakala norma hukum positif dirasa tidak memadai guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh umat manusia. 3. Pasal 50 ayat 3 UU KPK No.30 Tahun 2002 menyatakan: “Dalam hal KPK sudah mulai menyidik perkara Tipikor, Kepolisian atau Kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan Penyidikan”. sehingga menjadi tidak efektif dan tidak efisien manakala Penyidikan dan Penuntutan Tipikor sebagai Predicat Crime TPPU sudah dilakukan Jaksa pada KPK namun kemudian Penuntutan perkara TPPU-nya diambil alih lagi atau dituntut oleh Jaksa pada Kejaksaan. 146 Majalah Mahkamah Agung Nomor 5 edisi September Tahun 2014 Universitas Sumatera Utara Demikian juga menurut ahlipakar tentang TPPU, yakni Dr.YunusHusein, S.H., LLM, yang jugamantanKepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan PPATK: 147 1. Adalah benar UU TPPU Nomor 8 tahun 2010 tidak menyebut secara jelas kewenangan KPK menuntut TPPU, namun pasal 75 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang TPPU menyatakan apabila dalam menyidik tindak pidana asal Predicate Crime “korupsi” ditemukan ada TPPU, maka Penyidik KPK menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan TPPU Concursus Realis Dalam hal Penyidikannya digabung di mana KPK menuntut tindak pidana asal Korupsi juga wajar menuntut perkara TPPU-nya, 2. Kalau penuntutan TPPU diserahkan kepada Instansi Kejaksaan sebagai Penuntut Umum, sedangkan Penuntutan korupsinya oleh KPK, tidak efekti dan efisien, bertentangan dengan prisip sederhana, cepat dan biaya ringan dalam beracara sebagaimana amanat UU Pokok kekuasaan Kehakiman No.48 Tahun 2009, dan terdakwa juga akan diadili 2 kali dengan berkas berbeda sedangkan materi perkaranya sangat berhubungan, sehingga kurang memberikan kepastian hukum bagi terdakwa, 3. Menyerahkan penuntutan kepada lembaga Kejaksaan tidak memiliki dasar hukum kuat, karena justru KPK berwenang mengambil alih 147 YunusHusein, LLM makalah Tindak Pidana Pencucian Uang, disampaikan dalam seminar tentang Money Laundering kerjasama antara KPK dan Kehakiman Australia di Semarang dari tanggal 20 Mei 2014 s.d tanggal 22 Mei 2014 Universitas Sumatera Utara perkara korupsi yang sedang ditangani Kepolisian atau Kejaksaan sesuai Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, 4. Menurut para ahli hukum tujuan hukun adalah keadilan Justice, kemanfaatan Utility dan kepastian hukum Certainty, dari ketiganya, keadilan yang harus didahulukan sebab hukum yang efisien yang merupakan tujuan hukum, 5. Dalam menyidik dan menuntut tindak pidana asal korupsi dengan perkara TPPU, baik hukum formil maupun hukum materiil digabungkan yang berasal dari berbagai UU. Pasal 68 UU No.8 tahun 2010 tentang TPPU menyatakan: “ Hukum Acara yang berlaku adalah hukum Acara sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini KUHAP dan UU lainnya, seperti UU KPK, UU TPPU, UU Tipikor. Bahwa UU KPK No.30 Tahun 2002 memberi kewenangan KPK sebagai Penyidik dan Penuntut, memblokir rekening, meminta keterangan keadaan keuangan tersangka dan terdakwa tanpa izin Gubernur BI, tanpa perlu menggunakan UU TPPU, 6. UU No.46 Tahun 2009 memberi kewenangan kepada Pengadilan Tipikor memeriksa, mengadili dan memutus perkara Tipikor, tindak pidana Pencucian uang Predicat Crime korupsi dan tindak pidana lain yang ditentukan sebagai Tipikor pasal 6 UU No.46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor, sehingga secara historis Pengadilan Universitas Sumatera Utara Tipikor menerima penyerahan perkara dari KPK, oleh karenanya Penuntut Umum KPK dapat melimpahkan perkara TPPU yang predicate crime-nya tipikor kepada Pengadilan Tipikor, 7. Sesuai Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Kejaksaan adalah satu dan tidak dapat dipisahkan dalam melaksanakan tugas Penuntutan tindak pidana dan kewenangan lain, dengan demikian Penuntut Umum di Kejaksaan dan di KPK adalah satu kesatuan. KPK tidak merekrut Penuntut Umum di luar Kejaksaan, 8. Sistem Anti Pencucian Uang untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pada umumnya, termasuk korupsi, sehingga sebaiknya Penuntutan perkara TPPU yang disidik KPK dilakukan oleh KPK yang menyidik dan menuntut perkara korupsi, sesuai dengan tugas KPK yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi. Yunus Husein juga memberikan pandangan tentang kewenangan KPK menuntut Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai saksi ahli dalam Perkara di Mahkamah Konstitusi dengan pemohon Akil Mochtar, dimana beliau berpendapat: 148 1. Dalam Pasal 75 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Disana disebutkan kalau penyidik tindak pidana asal menemukan adanya tindak pidana tindak pidana pencucian uang, dia harus menggabungkan dua tindak pidana. Pasal 141 KUHP mengenai kemungkinan menggabungkan dua perkara dengan dibuat dakwaan kumulatif di 148 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77PPU-XII20014, hal 114 Universitas Sumatera Utara dalam satu berkas. Kemudian dalam Pasal 76 ada kata-kata penuntut umum melimpahkan berkas ke pengadilan kurang lebih dalam waktu sebulan. Penuntut umum bukan hanya penuntut umum yang ada di Kejaksaan Agung, tetapi juga bisa juga penuntut umum yang ada di KPK karena selama ini juga menuntut perkara-perkara korupsi, dan pencucian uang adalah perkara yang lahir dari tindak pidana korupsi. Itulah yang menjadi kewenangan Pengadilan Tipikor untuk memeriksa perkara cuci uang berasal dari tindak pidana korupsi. 2. Kenapa KPK berwenang menuntut TPPU? Kalau penuntutan perkara TPPU saja atau penuntut perkara tindak pidana korupsi dan TPPU diserahkan kepada Kejaksaan sebagai Penuntut Umum. Jadi yang menyidik KPK, perkara korupsi, yang menuntut juga. Lalu untuk TPPU diserahkan kepada Kejaksaan Agung, ini tidak sesuai dengan asas hukum yaitu pengadilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Satu perkara saja bisa setahun lebih, bagaimana apalagi dipisah. Kasihan terdakwa, kasihan saksi, semuanya dipanggil. Apalagi time management dalam pengadilan kurang begitu bagus, seringkali menunggu lama sekali dan sudah tentu sangt tidak sesuai dengan peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Hal ini diatur bukan saja dalam KUHP, tetapi juga dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 3. Menurut Gustav Radbruch yang menyebutkan tujuan hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, sama dengan pendapat Universitas Sumatera Utara Prof. Sadiman. Dimana diantara ketiganya Keadilanlah yang paling utama. Dan menurut para ekonom, hukum yang adil adalah hukum yang efisien dan efisienlah yang merupakan tujuan dari hukum. Hukum tidak noleh megatur kalau tidak efisien. Jadi pengertian sederhana, cepat dan biaya ringan itu sesuai dengan keadilan, paling tidak keadilan yang sesuai dengan prinsip-prinsip ekonimi. Apalagi kita semua merupakan homo ekomonikus. 4. Menyerahkan penuntutan perkara TPPU kepada Kejaksaan tidak memiliki dasar hukum kuat. Tidak ada pasal yang menyebutkan harus demikian. Justru sebaliknya, KPK memiliki kewenangan supervisi. Dalam kewenangan supervisi ini KPK bisa mengambil alih perkara- perkara korupsi yang dianggap tidak berjalan sebagaimana mestinya. Justru dengan mengambil alih, bukan menyerahkan. Ini diatur dalam Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 5. Pasal 58 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang mengenai hukum acara. Dalam rangka perkara TPPU yang berlaku hukum acara gabungan yaitu bukan hanya Undang-Undang TPPU sendiri, akan tetapi undang-undang lain yang memiliki hukum acara. Misalnya KUHAP, UU KPK, ITE, dan UU Tipikor sendiri satu sama lain saling memperkuat. Seandainya UU TPPU ada kekurangan, misalnya kekurangan dalam hal KPK meminta keterangan dari penyedia jasa keuangan misalnya tidak diatur, KPK dapat meminta keterangan dari Universitas Sumatera Utara penyedia jasa keuangan berdasarkan undang-undang KPK itu sendiri. Ini diatur dalam Pasal 12C UU KPK. Jadi hukum acara sangat kuat, saling melengkapi, sehingga yang dipakai bukan saja UU TPPU tapi juga undang-undang lainnya. 6. Menurut Pasal 6 UU Pengadilan Tipikor menyebutkan Pengadilan Tipikor berwenang mengadili tiga jenis perkara yaitu perkara korupsi, perkara TPPU yang berasal dati korupsi dan perkara lannya yang dianggap juga perkara tindak pidana korupsi. Dan menurut Jaksa Senior Reda Mantovani dan Nerendra sebenarnya dengan menggunakan intepretasi sistematis dan historis sudah dapat diambil suatu sikap bahwa penuntut umum KPK dapat juga menuntut tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi. Karena memang secara historis dulu KPK hanya menyerahkan perkara ke pengadilan tipikor. Kalau pengadilan tipikor berwenang mengadili perkara TPPU yang tindak pidana asalnya korupsi, maka KPK juga berwenang menyerahkan perkara yang dia sidik, dan dituntut sendiri ke pengadilan tipikor. 7. Menurut Prof. Satjipto Rahardjo yang terkenang dengan teori hukum progresif ini kita tidak boleh terlalu tekstual, terlalu legalistis, bisa kita berpikir beyond in the teks lebih di luar teks yang tertulis. Memang kalau dikaju secara mendalam setiap undang-undang pasti ada kelemahan itulah beda ciptaan manusia dengan ciptaan Tuhan. Jadi kekurangan-kekurangan itu bisa dijawab dengan sistem baik oleh Universitas Sumatera Utara Yuriprudensi, oleh penafsiran, dan lain sebagainya, termasuk penafsiran dengan menggunakan teori hukum yang progresid ini. Jadi haruslah juga dilihat Yurisprudensi, dipergunakan oleh hati nurani, dilihatlah keadilan dalam rangka memproses kasus yang dihadapi oleh Pengadilan Tipikor yang disidik dan dituntut oleh KPK. 8. Yudrisprudensi. Dalam kasus tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya Korupsi sudah ada beberapa kasus yang inkracht, dan semua penuntutan dilakukan oleh KPK, yaitu kasus Wa Ode Nurhayati, Djoko Susilo, Lutfi Hasan Ishak, Ahmad Fatonah, Rudi Rubiandini, dan Deviardi. 9. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Pasal 2 ayat 3 Undang-Undang tersebut menyebutkan Kejaksaan adalah satu dan tidak dipisahkan dalam menjalankan tugas penuntutan tindak pidana dan kewenangan lain. Jadi jaksa-jaksa yang menuntut di KPK adalah dari Kejaksaan juga belum berhenti dan jaksa KPK menuntut untuk kepentingan umum, kepentingan negara sama dengan jaksa-jaksa di Kejaksaan Agung. 10. Penuntutan oleh KPK akan lebih meningkatkan aset recovery, pemulihan aset hasil korupsi. Kalau hanya dipakai Undang-Undang Korupsi dan hanya menghukum berat pelakunya tanpa mengejar hasil tindak pidananya orang tidak akan jera, orang akan lebih takut kalau asetnya diambil hasil kejahatan. Universitas Sumatera Utara Jika lembaga yang berwenang melakukan penuntutan terhadap tindak pidana asal dan lembaga yang berwenang melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang adalah lembaga yang berbeda, maka berpotensi terjadi tumpang tindih kewenangan serta ketidakpastian yang menghambat proses penuntutan. Kondisi ini tidak sesuai dengan harapan tercapainya peradilan pidana yang efektif yang diindikasikan melalui 3 tiga faktor yang saling berkaitan, yaitu adanya undang-undang yang baik good legislation, pelaksanaan yang cepat dan pasti quick and certain enforcement, dan pemidanaan yang layak dan seragam moderate and uniform sentencing. 149 Dalam pertimbangan oleh Mahkamah Kostitusi dalam perkara Nomor 77PPU-XII2014 menyatakan “menimbang bahwa mengenai Pasal 76 ayat 1 UU Nomor 8 Tahun 2010 yakni ketentuan bahwa penuntut umum wajib menyerahkan berkas perkara tindak pidana pencucian uang kepada pengadilan negeri yang menurut pemohon hanya penuntut umum pada Kejaksaan RI yang berwenang sedangkan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang, menurut mahkamah penuntut umum merupakan suatu kesatuan sehingga apakah penuntut umum yang bertugas di Kejaksaan RI atau yang bertugas di KPK adalah sama. Selain itu, demi peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, penuntutan oleh jaksa yang bertugas di KPK akan lebih cepat daripada harus dikirim lagi ke Kejaksaan Negeri. Apalagi tindak pidana pencucian 149 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, 2005, Hal 57 Universitas Sumatera Utara uang tersebut terkait dengan tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK. Dengan demikian dalil pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum”. 150 Dengan ditolaknya permohonan pemohon oleh Mahkamah Konstitusi maka semakin menguatkan kewenangan KPK menuntut tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi dimana berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Pasal 10 ayat 1 yang berbunyi: MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: 1 Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2 Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3 Memutus pembubaran partai politik; 4 Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Dalam penjelasan Pasal 10 ayat 1 disebutkan bahwa Putusan Mahkamah Kostitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Kostitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. 151 150 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77PPU-XII20014, hal 205 151 Penjelasan Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Universitas Sumatera Utara BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan