65 “Kalau mau jujur, percuma dibangun rumah besar dari beton kalau
pas orang perum Pelabuhan Belawan butuh, mau gak mau kita harus pindah. Soalnya kita kan cuma numpang disini. Makanya saya
tidak membangun rumah jadi bagus..karena percuma saja kan?apalagi biaya bangun rumah sekarang sudah mahal. Dari pada
tidak makan baguslah kondisi rumah kayak gini aja. Wawancara, 10 Mei 2015
Penggalian atas besarnya biaya membangun rumah memang dapat
dimaklumi. Bila dahulu bahan bangunan untuk membuat rumah adalah kayu yang berasal dari hutan sekitar tempat tinggal sehingga biaya pembangunan rumah bisa
diperkecil, namun saat ini bangunan rumah di Kampung Nelayan Seberang sudah terbuat dari beton. Bagi mereka yang membangun rumah dari beton pilihan itu
dilakukan karena mereka juga memang ingin kelihatan rumahnya “layak” dan secaran ekonomi mereka memiliki kemampuan membeli materialnya. Ketiadaan
hak atas tanah secara langsung juga berimbas pada tidak adanya akses masyarakat pada modal yang disediakan oleh pranata keuangan formal.
3.1.2. Sumber Keuangan
Sebagaimana dijelaskan pada banyak literatur, mata pencaharian sebagai nelayan yang masuk dalam pola mata pencaharian ekstraktif adalah jenis sumber
penghidupan yang diliputi dnegan kondisi ketidakpastian. Menjadikan usaha menangkap ikan sebagai satu-satunya sumber keuangan sudah pasti berimbas
pada minimnya kemungkinan untuk menabung. Saat ini saja, sebagian informan yang bermata pencaharian sebagai nelayan sudah mengeluhkan bahwa uang yang
diperoleh dari mencari ikan dengan besaran yang tidak menentu amatlah sulit dijadikan pegangan setiap harinya. Sifat pengeloalan sumberdaya perikanan yang
cenderung ekstratif terebut, maka adakalanya hasil yang diperoleh nelayan banyak namun tidak sedikit pula hasil tangkapan yang diperoleh tidak mencukupi. Saat
tangkapan sedikit, maka para nelayan tidak jarang pulang dengan uang yang tidak
66
mencukupi untuk hidup dan pada sesekali waktu mereka juga kerap pulang dengan tangan hampa tanpa mendapatkan sedikitpun hasil tangkapan. Pola musim
dan iklim yang mempengaruhi arus migrasi ikan di laut jelas merupakan hal yang kendalianya ada di luar diri nelayan. Uraian tentang bagaimana sulitnya hidup
sebagai nelayan di Kampung Nelayan Seberang diungkapkan oleh seorang informan sebagai berikut:
“Menjadi nelayan saat ini tidak seenak dulu. Kalau dulu kita mencari ikan tidak perlu lama-lama. Cukup setengah hari, bisa dapat hasil yang
banyak. Kalau sekarang, cari ikan seharian pun belum tentu dapat banyak. Mungkin karena jumlah nelayannya sudah banyak dan kondisi
lingkungan udah rusak, tidak macam dulu lagi. Kehidupan kayak ginilah yang membuat sebagian orang di kampung ini sulit berubah.
Pendapatan dari laut tidak menjanjikan lagi. Mau ganti kerjaan sekarang butuh ijazah, kami disini cuma tamat SD, mana ada yang mau
terima, jadi ya macam ini lah hidup kami dek.
” wawancara, 8 Juni 2015
Minimnya pendapatan saat musim paceklik bagi nelayan adalah kondisi
yang tidak bisa diubah. Bagi mereka tetap mencari ikan di musim paceklik adalah pilihan yang masuk akal untuk memperolah uang. Ketika penghasilan tidak
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, para nelayan biasanya meminjam uang kepada tetangga atau kerabat yang memiliki kelebihan uang.
Selain itu, toke yang menjadi penampung hasil tangkapan nelayan juga sering kali menjadi sasaran empuk untuk meminjam uang dan bayarannya dicicil dari hasil
tangkapan yang setiap harinya diberikan kepada toke. Pada kondisi tertentu, tidak jarang pula ada nelayan yang tidak membayar kembali utangnya sama sekali.
Toke yang juga merupakan warga dari kampung nelayan seberang terpaksa memaklumi hal tersebut karena mereka tahu kondisi yang dirasakan oleh para
nelayan. Seperti pengakuan salah seorang toke yang bernama aseng 32 tahun yaitu sebagai berikut :
67 ”kalau lagi pasang mati orang-orang sini gak bisa melaut, jadi ngutang
dulu sama aku ato toke yang lain. Bayarnya dipotong dari hasil tangkapan yang distor. Tapi ada juga yang gak bayar. Soalnya mang gak
ada,, jadi harus gimana lagi?? Terpaksa diikhlaskan aja, karna memang
kondisinya macam itu”.wawancara pada tanggal 10 juni 2015
Merujuk pada hasil pengamatan dan wawancara, diketahui bahwa istri para nelayan memiliki berperan ekonomi yang cukup signifikan. Para isteri
memiliki peran sebagai pengatur keuangan di dalam rumah tangga. Peran tersebut mengharuskan mereka menggunakan segala upaya yang ada termasuk terjun
langsung ikut mencari penghasilan tambahan guna mencukupi kebutuhan sehari- hari. Pekerjaan-pekerjaan yang digeluti oleh para istri nelayan di kampung
nelayan seberang tergambar jelas dari hasil observasi yang dilakukan. Pengamatan atas aktivitas para isteri memperlihatkan bahwa dalam rangka membantu
keuangan keluarga, ada isteri yang membuka warung kecil yang menjual makanan-makanan ringan, ada yang beternak mengembala kambing, dan ada
yang membuat terasi yang dijual pada masyarakat kampung nelayan. Tidak hanya itu, ada pula isteri yang bekerja sebagai tukang potong kepala udang, serta ada
yang ikut terjun langsung ke laut untuk ikut bersama suami mencari ikan. Kondisi keuangan yang sulit dipertegas dengan kenyataan bahwa akses
penduduk Kampung Nelayan Seberang ke pranata keuangan formal berupa bank menjadi tidak mungkin terjadi. Berdasarkan pemahaman penduduk, dengan pola
matapencaharian yang tidak jelas pendapatanya, serta tidak adanya aset berupa tanah rumah yang bisa diagunkan, maka tidak mungkin ada bank yang mau
memberi pinjaman kepada masyarakat. Merujuk pada kondisi keuangan yang dideskripsikan di atas, maka
tergambar dengan jelaslah bahwa penggunaan ide Friedman, dalam membahas
68
kondisi kemikiskinan yang ditandai dengan ketikamampuan menguasai aset sosial berupa keuangan terlihat di Kampung Nelayan Seberang. Gambaran ini juga
menjadi indikator bahwa secara tidak langsung, kondisi yang ditampilkan oleh masyarakat di Kampung Nelayan Seberang berdasarkan hasil pengumpulan data
memang identik dengan kondisi miskin.
3.1.3. Organisasi Sosial