1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kemiskinan merupakan salah satu masalah klasik yang dihadapi oleh berbagai negara di dunia tidak terkecuali Indonesia. Di Indonesia sendiri jumlah
penduduk miskin pada maret 2013 berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik mencapai 28,07 juta orang atau 11,37 persen dan kembali mengalami kenaikan
pada september 2013 sebanyak 0,48 juta orang sehingga mencapai 28,55 juta orang penduduk yang dikategorikan miskin di Indonesia.
1
Data tersebut menggambarkan masih banyaknya penduduk Indonesia yang mengalami
kemiskinan. Salah satu kelompok yang tergolong di dalamnya adalah kelompok nelayan yang secara umum mata pencaharian nelayan merupakan lapisan sosial
paling miskin dibandingkan dengan kelompok sosial lainnya Kusnadi, 2008. Selain itu, Kusnadi 2004 secara tersirat menjelaskan bahwa zaman orde
baru merupakan zaman kelam bagi nelayan di Indonesia. Hal itu disebabkan oleh orientasi pembangunan pemerintah berdasarkan perspektif daratan. Artinya bahwa
sektor-sektor yang ada di daratan seperti pertanian dan perindustrian dikembangkan dengan cara sedemikian rupa sehingga terkesan mengabaikan
sektor kelautan. Sekalipun terlihat secara umum pemerintah kurang memperhatikan kehidupan nelayan dan sektor kelautan, namun secara nasional
pemerintah juga mencoba melakukan pembangunan di sektor ini dengan meluncurkan program revolusi biru pada tahun 1970-an. Tujuan utama program
1
http:www.bps.go.id diakses 15 Maret 2015
2
ini pada hakekatnya sama dengan konsep revolusi hijau, yaitu berupaya meningkatkan kesejahteraan nelayan di pesisir Indonesia.
Secara prinsipil, program revolusi biru atau blue revolution merupakan modernisasi perikanan Indonesia dengan memberikan bantuan perahu motor dan
teknologi alat tangkap yang lebih baik guna menunjang peningkatan produktifitas hasil penangkapan nelayan. Dalam jangka pendek, pengaruh program revolusi
biru tersebut berdampak baik pada peningkatan produktifitas perikanan serta peningkatan pendapatan bagi masyarakat nelayan. Namun, ketidakcakapan
pemerintah memandang laut sebagai sumberdaya yang bersifat terbuka common Property mengakibatkan kualitas daya dukung lingkungan lautan memburuk.
Dengan sifat sumber daya yang bisa dieksploitasi oleh siapa saja serta hanya berorientasi pada peningkatan produktifitas semata tanpa diimbangi dengan upaya
pelestariannya, maka kondisi sumberdaya laut semakin tahun semakin menurun produktifitasnya. Pada sebuah tulisan lainnya, Kusnadi 2008 menyebutkan
bahwa ada empat aspek yang harus dicermati dalam eksploitasi sumber daya perikanan yang terjadi yaitu sebagai berikut :
1 Keserakahan sosial atas sumber daya perikanan, yang mendorong setiap
individu berkuasa penuh atas sumber daya tersebut. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin hari semakin meningkat. Tekanan-
tekanan penduduk terhadap sumber daya perikanan semakin meningkat seiring bertambahnya penduduk yang bermatapencaharian nelayan dan
keserakahan itu akan terus berkembang karena disemai dalam ranah pembangunan yang kapitalistik
3
2 Gejala ketimpangan akses dan pendapatan yang berimplikasi pada
tumbuhnya kesenjangan sosial ekonomi antar pengguna sumber daya perikanan. Para pengguna sumber daya bukan berasal dari kelompok sosial
yang homogen, akan tetapi dari kelompok sosial yang heterogen yang juga cenderung saling berhadap-hadapan. Di satu sisi terdapat nelayan modern
yang memiliki modal besar serta alat-alat penangkapan yang canggih dan di sisi lainnya terdapat nelayan tradisional yang memiliki modal kecil dengan
alat-alat tangkap sederhana. Hal ini tentu menjadikan keduanya memiliki jangkauan kapasitas yang berbeda dalam mengeksploitasi sumber daya
perikanan yang ada. 3
Penyatuan antara keserakahan sosial dengan perbedaan kapasitas teknologi serta modal, dan akses antar pengguna sumber daya perikanan berpotensi
menimbulkan konflik pengelolaan sumber daya. Latar belakang konflik itu disebabkan karena terjadi kecemburuan sosial, yang dipicu oleh kenyataan
bahwa salah satu pihak memperoleh bagian yang terbesar dari eksploitasi sumber daya perikanan sedangkan pihak lain malah sebaliknya.
4 Hasrat untuk menguasai atau menaklukkan sumber daya perikanan biasanya
disertai dengan tindakan menghalalkan segala cara, termasuk cara-cara penangkapan yang merusak lingkungan, semata-mata untuk memenuhi
keinginan dan kepentingan ekonomi nelayan tanpa berfikir panjang akan dampak-dampak yang akan diterima dikemudian hari.
Keserakahan sosial, ketimpangan modal dan teknologi penangkapan serta hasrat untuk menguasai sumber daya perikanan dengan menghalalkan segala cara,
seperti penggunaan bahan peledak, penggunaan pukat harimau, membuat banyak
4
terumbu karang sebagai tempat perkembangbiakan ikan rusak. Tidak hanya itu, kerusakan ekosistem pesisir terutama kawasan hutan mangrove yang secara
biologis memiliki peran yang relatif sama dengan terumbu karang juga ikut memperburuk situasi. Kerusakan pada dua jenis ekosistem tersebut dalam jangka
panjang telah memberi dampak pada penurunan jumlah ikan dan biota air. Dampak lanjutan dari kondisi demikian adalah produktifitas penangkapan nelayan
menjadi menurun yang kemudian menjebak nelayan dalam perangkap kemiskinan.
Sekalipun demikian, kondisi kemiskinan yang terjadi pada komunitas nelayan, dalam pandangan banyak ahli dinilai terjadi bukan semata-mata karena
faktor sumber daya perikanan yang semakin menurun. Kemiskinan terjadi di banyak komunitas nelayan juga dikarenakan adanya faktor-faktor lain yang sangat
kompleks yang saling mengikat satu dengan lainnya yang membuat nelayan terperangkap dalam jerat kemiskinan Chambers, 1987. Apa yang dilihat
Chambers tenyata juga diamini oleh Kusnadi. Pada sebuah tulisannya, Kusnadi 2004 menjelaskan ada banyak faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan
yang dikategorikan ke dalam faktor internal dan eksternal. Faktor internal, adalah faktor yang berkaitan dengan kondisi sumber daya manusia nelayan dan aktifitas
kerja mereka. Adapun faktor eksternal adalah faktor yang berkaitan dengan kondisi di luar diri dan akivitas kerja nelayan.
Kehadiran kedua faktor tersebut semakin diperburuk dengan adanya ketidak-pedulian serta regulasi khusus dari pemerintah dalam mengatur
penyelesaian benang kusut kemiskinan di komunitas nelayan. Kalaupun regulasinya ada, namun pengawasan atas implementasinya tidak berjalan dengan
5
baik. Menyikapi kondisi dan dinamika kehidupannya yang relatif tidak bisa diprediksi ditambah dengan kondisi kemiskinan yang menjerat serta ditambah
rendahnya penegakan hukum, maka nelayan dituntut untuk memiliki mekanisme adaptasi untuk menjamin keberlangsungan hidupnya.
Kajian yang pernah dilakukan sebelumnya mengungkapkan bahwa, hubungan kerjasama nelayan buruh dengan nelayan kaya yang memiliki perahu
dan alat tangkap perikanan yang dikenal dengan relasi patron-klien adalah salah satu bentuk adaptasi yang paling umum dipraktekkan oleh masyarakat nelayan.
Sydel dalam McGlynn dan Athur: 2000 menyebutkan bahwa relasi Patron-Klien merupakan hubungan kontraktual antara orang-orang dengan status dan kekuasaan
yang tidak sama, yang memberlakukan kewajiban-kewajiban timbal balik dari jenis yang berbeda pada masing-masing pihak. Minimum, yang diberikan adalah
perlindungan dan pertolongan di satu pihak dan kesetiaan di pihak lain yang dilandasi atas dasar landasan pribadi dan berhadapan muka serta berkelanjutan.
Hubungan patron-klien ini terbentuk sebagai jaminan bagi nelayan buruh dalam mengantisipasi masa paceklik seperti tidak bisa melaut akibat cuaca yang
buruk. Hubungan patron-klien dalam masyarakat nelayan melibatkan Nelayan kaya yang memiliki perahu dan alat tangkap perikanan dengan nelayan biasa. Pola
adapatasi lainnya yang juga dipraktekkan oleh nelayan dalam menyiasati kondisi sosial, ekonomi dan budaya yang ada adalah dengan mendorong tenaga produktif
di rumah tangga nelayan istri dan anak untuk ikut mencari nafkah sekalipun kedudukannya sebagai pendamping bukan yang utama Helmi dan Arif Satria, 2012.
6
Gambaran kondisi nelayan yang begitu penuh dengan ketikapastian pendapatan serta carut marut kemiskinan yang digambarkan di atas ternyata juga
ditemukan di komunitas nelayan yang ada di Kota Medan termasuk di Kampung Nelayan Seberang Kecamatan Medan Belawan. Kondisi kehidupan nelayan di
Kota Medan paling tidak tergambar dari hasil kajian yang dilakukan oleh Zulkifli 1988. Dalam Penelitiannya, Zulkifli menggambarkan bahwa relasi patron-klien
di Desa Bagan Deli adalah pola adaptasi yang dapat dijumpai di kehidupan nelayan. Ia juga menjelaskan bahwa dalam rlasi patron
– klien yang ada di Bagan Deli, terdapat kerja sama antara dua pihak yang tidak sederajat baik dari segi
kekuasaan maupun penghasilan. Nelayan Kaya pemborong berperan sebagai patron dan nelayan biasa menjadi klien. Kerjasama tersebut bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi masing-masing pihak. Nelayan Kaya pemborong memberikan bantuan keuangan kepada nelayan biasa pada saat masa paceklik
dimana nelayan biasa tidak melaut ataupun pada saat nelayan mendapatkan kesulitan. Sedangkan nelayan biasa sebagai penerima bantuan membalas kebaikan
pemborong dengan menjual ikan atau membawa peralatan penangkapan milik pemborong secara tetap serta merelakan tenaganya untuk membantu pemborong
pada saat dibutuhkan. Khusus di Kampung Nelayan Seberang, berdasarkan data prasurvey yang
dilakukan juga menunjukan adanya pola adaptasi nelayan berupa kegiatan mendiversifikasi mata pencaharian atau penganekaragaman pendapatan di luar
sektor perikanan. Kegiatan itu terutama dipraktekkan di masa paceklik terjadi. Masa-masa paceklik yang dimaksudkan yaitu ketika sedang tidak musim ikan atau
pasang mati yang memberikan pilihan kepada nelayan untuk tidak melaut. Hal ini
7
tentunya berdampak pada keberlanjutan kehidupan mereka ketika tidak ada lagi pendapatan yang bisa diperoleh ketika tidak melaut. Oleh karena itu, berbagai
upaya adaptasi dilakukan sebagai upaya mempertahankan hidup serta keberlanjutan kehidupan di masa mendatang. Kondisi unik lainnya dari kehidupan
masyarakat di Kampung Nelayan Seberang adalah adanya fakta bahwa kawasan ini berada di areal yang merupakan kawasan hutan mangrove. Sampai dengan saat
ini penduduk di Kampung Nelayan Seberang berjumlah hampir 800 kepala keluarga. Semakin berkurangnya luasan hutan mangrove sebagai kawasan
perkembangbiakan berbagai jenis ikan serta penahan abrasi sebagai akibat alih fungsi lahan menjadi kawasan pemukiman telah berdampak pada penurunan
kuantitas sumber daya perikanan. Selain itu, kawasan pemukiman di Kampung Nelayan Seberang sendiri berada dalam kawasan yang oleh negara hak
penguasaannya dimiliki oleh PT. Pelindo I sebagai otoritas yang mengelola Pelabuhan Belawan. Ini artinya secara hukum, para penduduk yang sudah lebih
dari tiga generasi yang tinggal di kawasan ini, sewaktu- waktu dapat ”digusur”
oleh pihak negara melalui PT. Pelindo I. Berdasarkan hal-hal yang telah disampaikan di atas, maka dalam
pandangan peneliti menjadi sangat relevan membahas kehidupan nelayan di Kampung Nelayan Seberang terutama dilihat dari pola adaptasinya. Mengingat
ada banyak kemungkinan yang harus dihadapi nelayan di sana mulai dari ketidakpastian pendapatan hingga ketidakpastian kepemilikan lahan, yang
mendorong mereka untuk membangun strategi adaptasi untuk bertahan hidup. Oleh karena itu, usaha menggali dan menarasikan pola adaptasi keluarga nelayan
di Kampung Nalayan Seberang terutama dengan menggunakan sudut pandang
8
Antropologi menjadi sebuah hal yang menarik. Hal inilah yang secara akademis mendorong peneliti melakukan penelitian dengan tema mengungkap strategi
adaptasi nelayan di Kampung Nelayan Seberang, Kelurahan Belawan I Kecamatan Medan Belawan, Kota Medan.
1.2 Tinjauan Pustaka