73 juga. Sudah bisa buak sekali makan itu 6000. Kalau kita bawa kapal
sendiri jadi tambah pula kerjaan kita. Jadi agak susahnya kita orang tua di kampung ini kalau berhuungan sama orang luar. Tapi lain kalau
orang luar yang datang kesini yaa. Lagian kalaupun kita bangun bisnis disini agak susah juganya berkembang. Bank tidak mau kasi pinjam
sebab tempat usaha kita juga tidak
jelas.”. wawancara, 25 Mei 2015
Wawancara di atas pada dasarnya memperlihatkan banyak informasi. Salah satu hal penting yang diungkap oleh hasil wawancara di atas adalah motif
masyarakat untuk membangun jaringan sosial yang menjamin dia untuk lebih mudah memenuhi kebutuhan hidup secara ekonomi tidak muncul. Apa yang
terjadi pada jaringan sosial yang dimiliki oleh kelmpok penduduk yang berusia tua pada dasarnya tidaklah semuanya pasif. Dari beberapa wawancara juga diketahui
bahwa ada tokoh masyarakat di kampung ini yang memiliki koneksi politik dan bisnis dengan tokoh politik dan atau pedagang besar di Medan. Hanya saja,
koneksi yang ada tersebut tetap tidak bisa secara maksimal dipergunakan untuk mengatasi kesulitan dasar. Selama ini, koneksi sosial yang dimiliki oleh orang
tertentu di masyarakat yang menjadikan kampung ini “banjir” bantuan. Namun tetap saja bantuan yang diterima cenderung bersifat sebagai bantuan charity
sumbangan dan tidak tepat sasaran. Artinya tidak menyentuh dasar persoalan di Kampung Nelayan Seberang.
3.1.5. Informasi
Keberadaan jaringan sosial yang terbatas yang dimiliki oleh masyarakat di Kampung Nelayan Seberang, menjadikan akses informasi dari dunia luar juga
terbatas. Minimnya informasi yang teresebar setiap hari begitu dirasakan oleh sebagian besar masyarakat. Pengalaman itu juga dirasakan oleh peneliti saat
beberapa hari tinggal di kampung tersebut. Saluran informasi yang paling umum adalah media televisi. Hanya saja, berdasarkan pengamatan tayangan televisi yang
74
paling banyak ditonton oleh masyarakat adalah acara hiburan dan sinetron semata. Memang benar beberapa orang penduduk juga biasa menonton tayangan berita,
namun sifatnya adalah tidak rutin. Pola prilaku yang belum menempatkan informasi sebagai nilai dapat
dimaklumi sebagai perwujudan dari konsekuensi mata pencaharian yang dipilih. Mengingat nelayan adalah mata pencaharian utama, makan aktivitas utama
mereka juga behubungan dengan persiapan untuk terus melaut. Karenanya kegiatan memperbaiki kapal serta peralatan tangkap ketika tidak melaut adalah hal
yang paling umum terlihat. Dengan kata lain, kehidupan para nelayan sebagian besar dihabiskan untuk berbagai kegiatan yang juga berhubungan dengan mata
pencaharian mereka sebagai nelayan. Keberadaan informasi seperti bagaimana pengelolaan keuangan dalam rumah tangga tidak menjadi sangat berharga bagi
para nelayan. Minimnya akses informasi yang terjadi di Kampung Nelayan Seberang
pada dasarnya dipengaruhi oleh banyak faktor. Akses transportasi yang terbatas, minimnya motif untuk memperkaya informasi serta jebakan rutinitas adalah
sekumpulan faktor yang ikut mempengaruhi kondisi dimana masyarakat menjadi sangat kurang menghargai informasi. Implikasi dari minimnya penguasaan
masyarakat atas informasi adalah ketidakmampuan memanfaatkan peluang dan kesempatan. Tidak hanya itu, dari dorongan untuk mengubah kehidupan sebagai
bagian dari nilai diri menjadi tidak muncul. Pola demikian itu begitu terlihat di Kampung Nelayan Seberang. Rasa puas atas kondisi yang ada sekalipun di saat
yang bersamaan ada rasa tidak puas, namun ketidaktersediaan informasi membuat masyarakat menjadi tidak berbuat apa-apa.
75
Berdasarkan kelima elemen sosial yang menjadi indikator kemiskinan yang diajukan oleh Friedman, maka dapatlah dinyatakan bahwa secara kualitas
tampilan yang dimunculkan oleh kondisi sosial masyarakat Kampung Nelayan Seberang adalah benar sesuai dengan gambaran kondisi miskin. Tampilan luar ini
sekalipun belum sepenuhnya benar tapi secara tidak langsung penyebutan bahwa Kampung Nelayan Sebarang sebagai kampung miskin tidak bisa dibantah.
Berdasarkan hasil penggalian data dan informasi yang diperoleh selama di lapangan terlihat dengan jelas bahwa akan sulit menghapuskan citra miskin dari
kehidupan masyarakat di Kampung Nelayan Seberang. Sebutan sebagai kampung miskin berdasarkan indikator yang telah diuraikan ternyata juga oleh sebagian
informan dianggap hal yang biasa. Bagi mereka, predikat sebagai kampung miskin adalah hal tidak bisa ditolak. Pengakuan ini paling tidak terungkap dari
hasil wawancara yang diungkapkan oleh seorang informan sebagai berikut:
“Kayakmanala mau dibilang, memang hidup banyak orang di kampung ini sulit. Selama ini, kampung kami memang dianggap miskin. Jadinya
kami banyak dapat bantuan. Kalau dulu orang malu bilang dia miskin, kalau di kampung ini orang berani terang-terangan dan tidak lagi malu
bilang miskin. Mungkin biar dapat bantuan.
” Wawancara, 25 Mei 2015
Apa yang diungkapan oleh petikan wawancara di atas memang bisa saja
bersifat subjektif. Namun demikian kondisi itu tetap memperlihatkan bahwa gambaran miskin adalah gambaran yang tidak bisa dilepaskan ketika orang
berkunjung ke Kampung Nelayan Seberang. Melalui pembahasan di atas terlihat dengan jeals bahwa kemiskinan seakan-akan hal yang biasa bagi masyarakat
kampung itu. Menggunakan ide basis sosial versi
Friedman, terlihat bahwa ketiadaan hak kepemilikan atas
aset berupa rumah dan tanah, penghasilan yang tidak menentu serta keterbatasan pada pranata keuangan, hingga dampak kekurangan akses
76
jaringan sosial dan informasi akibat dari mata pencaharian utama sebagai nelayan yang mengharuskan para nelayan membangun sebuah mekanisme bertahan hidup.
3.2. Motif dan Alasan Masyarakat untuk tinggal di Kampung Nelayan Seberang