Komplikasi PPOK Karakteristik Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) yang dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan Tahun 2012

biasanya mengalami perburukan pada pagi hari. Warna dari dahak tersebut berwarna putih pada penderita yang bukan perokok dan berwarna abu-abu pada perokok. 2.3.3 Mengi Suara mengi dihasilkan oleh aliran turbulen pada saluran udara. Gejala ini muncul karena adanya paparan alergen tertentu dan penderita yang mengalami eksaserbasi disebabkan penyempitan bronkus. Gejala lain yang timbul adalah nyeri dada, infeksi dada, anoreksia, penurunan berat badan, kelelahan, depresi, dan kecacatan terjadi pada PPOK stadium lanjut.

2.4 Komplikasi PPOK

21

2.4.1 Kor pulmonal gagal jantung kanan

Komplikasi ini terjadi karena adanya peningkatan tekanan dan desakan dari ventrikel kanan disebabkan perbesaran sel ventrikular kanan. Peningkatan resistensi pembuluh darah paru sebagai akibat dari penyempitan pembuluh darah hipoksia paru menyebabkan desakan pada sisi kanan jantung. Pada akhirnya terjadi hipertrofi dan kegagalan ventrikel kanan. Berdasarkan penelitian Puspita 2007 di RS Dr. Kariadi Semarang dari 72 penderita gagal jantung terdapat 9,7 PPOK sebagai komorbid gagal jantung. 27 2.4.2 Polisitemia Pada tingkat kronis jumlah oksigen semakin rendah sehingga untuk menyeimbangkan dengan kebutuhan terjadi peningkatan jumlah sel darah merah. Peningkatan sel darah merah berguna untuk meningkatkan hemoglobin untuk memenuhi kebutuhan oksigen. Mekanisme ini meningkatkan viskositas Universitas Sumatera Utara darah, sehingga darah lebih sulit dipompa ke dalam jaringan, dan mengurangi pengiriman oksigen. 2.4.3 Pneumotoraks Komplikasi ini terjadi pada penderita emfisema. Bulla yang terdapat pada emfisema tahap lanjut bisa saja pecah sehingga udara yang terdapat di dalam bulla masuk ke dalam rongga pleura. Gejala yang muncul yaitu nyeri dada dan sesak yang meningkat. Diagnosis ditegakkan dengan foto sinar X. Pada tahap ringan tidak menunjukkan gejala sehingga dapat sembuh sendiri. 2.4.4 Eksaserbasi Eksaserbasi terjadi karena produksi sputum yang berlebihan sehingga memudahkan bakteri tumbuh dan akan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik imunitas tubuh mulai menurun, hal ini ditandai dengan menurunnya kadar limfosit di dalam darah. 2.5 Epidemiologi PPOK

2.5.1 Distribusi dan Frekuensi PPOK Berdasarkan Orang

Pada tahun 2006 prevalens penderita PPOK lebih tinggi pada orang kulit putih di Amerika 0,5 sementara pada orang Afrika Amerika sebanyak 0,03. Berdasarkan penelitian American Lung Association State of Lung Disease in Diverse Communities 2010, pada tahun 2008 perbandingan antara penderita PPOK berkulit hitam Afrika Amerika dengan penderita berkulit putih yang didiagnosis menderita bronkitis kronis cukup signifikan. 28 Penderita PPOK lebih tinggi pada laki- laki, namun di beberapa negara Eropa tidak ada perbedaan yang menonjol antara penderita laki- laki dengan Universitas Sumatera Utara penderita perempuan. Pada usia 45 −65 tahun terjadi peningkatan angka prevalens sebesar 2 dan pada usia di atas 75 tahun terjadi peningkatan sebesar 7 pada laki- laki. 29 Di negara Amerika dan Inggris tidak ada perbedaan yang menonjol antara jumlah penderita laki- laki dengan perempuan. Hal ini dikaitkan dengan faktor risiko PPOK yang paling berpengaruh yaitu rokok. Pada umumnya proporsi penggunaan rokok antara laki-laki dengan perempuan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Pada tahun 2004 di negara Inggris angka mortalitas PPOK sebanyak 5 pada laki- laki dan 4 pada perempuan. Angka mortalitas ini cenderung lebih tinggi di daerah urban seperti South Wales, bagian barat laut, dan daerah Skotlandia. Kebanyakan mereka adalah perokok dan golongan ekonomi menengah ke bawah. 30

2.5.2 Distribusi Frekuensi Penderita PPOK berdasarkan tempat

Hasil survei yang dilakukan pada 25 negara penduduk terbanyak tahun 2006 angka kecacatan tertinggi adalah negara India dengan angka kecacatan 667 per 100.000 penduduk dan angka mortalitas PPOK tertinggi yaitu negara Cina sebanyak 130,5 per 100.000 penduduk. Sementara Indonesia berada pada peringkat ke-6 dengan angka kecacatan 613 per 100.000 penduduk dan angka mortalitas sebanyak 58,4 per 100.000 penduduk. 31

2.5.3 Distribusi Frekuensi Penderita PPOK berdasarkan waktu

Data WHO menunjukkan prevalenssi PPOK pada tahun 2001 sebesar 4,8 dan menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. Di Provinsi Yogyakarta pada sebuah Balai Pengobatan Penyakit Paru BP4 kunjungan kasus baru Universitas Sumatera Utara mengalami peningkatan dari tahun 2004-2007 kecuali tahun 2006. Pada tahun 2005 terjadi sedikit peningkatan. Akan tetapi pada tahun 2006 terjadi penurunan kasus sebanyak 49,61 . Hal ini disebabkan terjadinya gempa bumi yang mengakibatkan banyaknya korban yang meninggal.pada tahun 2007 terjadi peningkatan sebesar 146 dari tahun 2006 dan meningkat 23,85 dari tahun 2005. 32 Prevalensi PPOK di Povinsi Jawa Tengah tahun 2005 sebesar 0,09 kemudian terjadi peningkatan pada tahun 2006 menjadi 0,14 dan pada tahun 2007 sebesar 0,16. Terjadi penurunan prevalensi dari tahun 2008 sebesar 0,20 menjadi 0,12 akan tetapi masih menjadi salah satu dari tujuh penyakit terbesar. Pada tahun 2009 PPOK di Provinsi Jawa Tengah berjumlah 39.474 kasus proporsi 2,6. 33

2.5.4 Faktor risiko PPOK

a. Rokok Rokok merupakan faktor risiko yang paling besar terhadap terjadinya PPOK. Hampir 90 PPOK disebabkan oleh rokok. 34 Berdasarkan penelitian Tri Agus Yuarsa 2013 dari 85 penderita proporsi penderita yang memiliki riwayat merokok selama 30-40 tahun sebesar 87 dan yang paling sedikit proporsi penderita yang memiliki riwayat merokok 10-20 tahun yaitu 0,03. 4 Asap rokok dapat meningkatkan kadar oksidan melalui peningkatan sel radang antara lain makrofag alveolar meningkat 2-4 kali, dan netrofil meningkat 3-5 kali, sehingga mengakibatkan bertambahnya kadar superoksida dan hidrogen peroksida. Selain itu rokok juga berperan sebagai oksidan serta menekan aktivitas silia, dan dapat mengakibatkan hipertrofi mukus. Oksidan juga mampu merusak sel Universitas Sumatera Utara parenkim serta jaringan ikat dari ekstraseluler, dengan sifatnya sebagai bahan kimia yang elektrofilik reaktif. 24 Asap rokok efek sistemik Inflamasi epitel stres oksidan penurunan berat badan, Saluran pernapasan kelemahan otot CD8 Makrofag PMN Penghambatan antiprotease normal penghambatan α-1antitripsin Peningkatan aktivitas protease genetika Kerusakan dinding alveolus dan bronkus , peningkatan produksi mukus PPOK b. Defisiensi alfa-1-antitripsin Alfa-1-antitripsin merupakan senyawa protein atau polipeptida yang terdapat dalam darah atau cairan bronkus. Senyawa ini berfungsi menghalangi perusakan parenkim paru oleh protease yang berasal dari bakteri maupun leukosit. Apabila terjadi defisiensi kemungkinan akan terjadi emfisema, yang berpotensi menjadi PPOK. Kelainan ini dapat diturunkan melalui gen resesif autosomal. 17 c. Lingkungan Kerja Lingkungan kerja yang menghasilkan partikel juga menjadi faktor risiko PPOK, seperti penambang batu bara, penambang batu karang, pekerjaan yang menghasilkan TNFα ά ά άά ά Radikal oksige Perforin, lipase Elastase Universitas Sumatera Utara partikel debu organik seperti debu kapas, debu padi, dan debu kayu. Bagi mereka yang sering terpajan dengan klorin, amonia, sulfur dioksida, toluen diisosianat, asap diesel, kromium, sulfur, natrium dioksida, dan aldehid juga berisiko terkena PPOK. 35 Insiden PPOK lebih tinggi pada golongan sosio ekonomi rendah, terutama yang tinggal di daerah perkotaan. Hal ini dikaitkan dengan tempat tinggal mereka yang kumuh, lembab, dan kepadatan penduduk yang memudahkan terjadinya penyebaran infeksi saluran pernapasan. Gaya hidup mereka yang banyak merokok dan tingginya paparan polusi pekerjaan juga memengaruhi tingginya kasus PPOK di lingkungan ini. 29 Di beberapa wilayah regional seperti di Afrika dan Asia masih menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak dengan ventilasi yang buruk. Hal inilah yang mengakibatkan ibu rumahtangga banyak yang menderita PPOK. 36 d. Pertumbuhan paru yang tidak optimal Hai ini berkaitan dengan pola konsumsi pada masa kehamilan, berat lahir yang rendah, dan pajanan faktor risiko sewaktu anak-anak. Tetapi hal ini masih dugaan dan belum dapat dibuktikan. 1 2.6 Pencegahan PPOK 2.6.1 Pencegahan Primer