44
5 Undang-Undang nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian
H. Kekuatan Mengikat Klausula Baku
Perjanjian baku merupakan perjanjian yang telah ditentuksan klausul- klausulnya terlebih dahulu oleh satu pihak. Masalahnya di sini apakah perjanjian
itu mempunyai kekuatan mengikat atau tidak. Perjanjian baku adalah salah satu bentuk format atau modelperjanjian yang merupakan sub system dalam system
hukum perdata. Sebagai subsistem hukum perdata, maka isi perjnjian baku haruslah tunduk pada prinsip-prinsipasas-asas hukum perjanjian dan norma-
norma hukum perjanjian yang diatur dalamBuku III KUHPerdata.
48
Menurut ketentuan Pasakl 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian yang
dibuat secara sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata, yang mana perjanjian itu setelah dibuat maka berlaku sebagai
Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak, atau karena alaan-alasan yang cukup
menurut Undang-Undang dan harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
49
48
Abdul Hakim Siagian, Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Melalui Kontrak Baku dan Asas Kepatutan Dalam Perlindungan Konsumen,
Medan: UMSU Press 2014 hal 6
49
Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Hal tersebut diatas berlaku juga terhadap perjanjian baku yahg merupakan suatu perjanjian. Banyak pandangan para ahli terhadap persoalan mengenai
kekuatan mengikat dari perjanjian baku. Dalam perpustakaan hukum telah dicoba untuk membuat dasar ikatan dengan syarat-syarat baku. Pertama-tama ada ajaran
penaklukan kemauan wilsonderwerping dari Zeylemaker. Ia berpendapat bahwa:
45
“orang mau karena orang merasa takluk kepada satu pengaturan yag aman, disusun secara ahli dan tidak sepihak, atau karena orang tidak dapat berbuat
lain daripada takluk, tetapi orang mau dan orang tahu bahwa orang mau”
50
Hondius berpendapat bahwa dua konstruksi itu tidak meyakinjkan. Pendapat Zeylemaker memang dapat dipakai sebagai dasar pengikatan, tetapi hanya dengan
syarat bahwa hal itu dilengkapi dengan alasan keprcayaan. Hal ini mengandung arti di dalam penandatanganan hanya ada nilai dalam kerangka pembicaraan,
penandatanganan tidak hanya mengikat kalau ia mau, juga jika ia sepanjang ia telah menciptakana kepercayaan pada pihak peserta lain dengan cara dapat
diperhitungkan, bahwa ia mau terikat.
51
Sluitjer menyatakan bahwa perjanjian baku bukan merupakan suatu perjanjian, sebab kedudukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah seperti
pembentuk Undang-Undang swasta legio particuliere wet-gever. Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah seperti Undang-Undang,
bukan perjanjian. Pitlo menggolongkan perjanjian baku sebagai perjanjian paksa dwang contract,
yang walaupun secara teoritis yuridis, perjanjian baku ini tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang dan oleh beberapa ahli hukum ditolak,
namun kenyataannya kebutuhan masyarakat berjalana dalam arah yang berlawanan dengan keinginan hukum.
52
Pandangan diatas melihat perjanjian baku dari aspek pembuatan substansi kontrak. Substansi kontrak itu dibuat oleh pengusaha secara sepihak. Dengan
50
Sudikno Mertodikusumo, Syarat-Syarat Baku Dalam Hukum Kontrak, Disajikan pada Penataran Hukum Perdata, yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta:Fakultas
Hukum UGM 1995, hal 12-13
51
Hondius, op.cit hal 147
52
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit, hal 117
46
demukian Sluitjer berpendapat substansi kontrak itu bukan kontrak, tetapi merupakan Undang-Undang swasta yang diberlakukan bagi debitur.
53
Menurut Mariam darus Badrulzaman bahwa perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan idak memberikan kesempatan pada debitur untuk
mengadakan real bargaining dengan pengusaha kreditur. Debitur tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasannya dalam
menentkan isi perjanjian. Karena itu perjanjian baku tidak memenuhi elemen yang dikehendaki pasal 1320 KUHPerdata.
54
Pandangan Mariam Darus Badrulzaman juga mengkaji dari aspek kebebasan berkontrak. Di sini pihak debitur tidak mempunyai kekuatan taewar-menawar
dalam menentukan isi kontrak dengan pihak kreditur. Pihak kreditur tinggal menyodokan isi kontrak tersebut kepada debitur dan debitur tinggal menyetujui
“Ya” atau “Tidak”. Apabila debitur menyetujui substansinya, ia menandatangani kontrak tersebut, akan tetapi, apabila substansi itu tidak disetujui, maka ia tidak
menandatangani kontrsk tersebut. Dengan demikian, kebebasan berkontrak yang tercantum dalam Pasal 1338 KUHPerdata tidak mempunyai arti bagi debitur
karena ha-hak debitur dibatasi oleh kreditur.
55
“
Keabsahan berlakunya perjanjian baku tidak perlu dipersoalkan, oleh karena perjanjian baku eksistensinya sudah merupakan kenyataan, yaitu dengan telah
dipakainya perjanjian baku secara meluas dalam dunia bisnis seja lebih dari 80 tahun lamanya. Kenyataan itu terbentuk karena perjanjian baku memang lahir dari
kebutuhan masyarakat sendiri. Dunia bisnis tidak dapat berlangsung tanpa Sutan Remy Sjahdeini berpendapat sebagai berikut.
53
H. Salim HS, op.cit, hal 173
54
Mariam Darus Badrulzaman, op.cit, hal 13
55
H. Salim HS a, op.cit, hal 174
47
perjanjian baku. Perjanjian baku dibutuhkan pleh dank arena itu diterima oleh masyarakat”
56
“kekuatan mengikat perjanjian baku dititik beratkan dari kebiasaan yang berlaku pada masyarakat. Pada dasarnya, masyarakat menginginkan hal-hal
yang bersifat pragmatis. Artinya dengan menandatangani perjanjian baku, ia akan segera mendapatkan sesuatu yang diinginkannya, tanpa memerlukan
waktu yang lama. Seperti apabila ia membutuhkan kredit bank, maka begitu ia menandatangani perjanjian kredit, perjanjian sudah terjadi. Dengan
ditandatanganinya standar kontrak tersebut, timbullah hak dan kewajiban para pihak.
Menurut H. Salim HS, ia berpandangan bahwa.
57
Ketentuan mengenai pencantuman klausula baku dalam suatu perjanjian diatur pula oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pada prinsipnya Undang-
Undang tentang Perlindungan Konsumen tidak melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian baku yang memuat klausula baku atas setiap dokumen
danatau perjanjian transaksi usaha perdagangan barang dan atau jasa, selama dan sepanjang perjanjian baku danatau klausula baku tersebut tidak mencantumkan
ketentuan sebagaimana yang dilarang dalam pasal 18 ayat 1, serta tidak “berbentuk” sebagaiman dilarang dalam pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
58
56
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hal 70-71
57
H. Salim HS a, op.cit, hal 174-175
58
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani,op.cit , hal 57
48
BAB III PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU MENURUT KITAB UNDANG-