85
dilaksanakan sepenuhnya dengan adanya perjanjian dengan menggunakan klausula baku.
162
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; Kedudukan perjanjian baku sebagai sub sistem dari perjanjian di dalam
hukum perdata mengharuskan perjanjian baku tunduk jugaa pada KUHPerdata. Maka agar perjanjian baku dianggap sah dan mengikat sebagai
perjanjian maka baik dalam pembuatan perjanjian baku hingga mengenai keabsahan perjanjian baku harus mengikuti syarat-syarat yang diatur oleh
KUHPerdata. Adapun syarat-syarat sah dalam suatu perjanjian diatur di dalam Buku III
KUHPerdata. Pada Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat yaitu;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu pokok persoalan tertentu;
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.
163
Selain syarat-syarat yang tersebut di atas, perjanjian baku juga harus tunduk kepada asa-asas yang dianut oleh hukum perdata yang telah dijelaskan
sebelumnya. Pelanggaran terhadap syarat-syarat prjanjian atau asas-asas hukum perjanjian menyebabkan suatu perjanjian itu batal demi hukum atau
dapat dibatalkan. Tentu saja hal ini juga berlaku kepada perjanjian baku.
K. Ketentuan Klausula Baku Menurut Undang-Undang Perlindungan
Konsumen
162
Ibid, hal 215
163
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
86
Perjanjian baku banyak memberikeuntungan dalam penggunaannya, tetapi dari berbagai keuntungan yang ada tersebut terdapat sisi lain dari penggunaaan
serta perkembangan perjanjian baku yang banyak mendapat sorotan kritis dari para ahli hukum, yaitu sisi kelemahannya dalam mengakomodasikan posisi
yang seimbang bagi para pihaknya.
164
Kelemahan-kelemahan perjanjian baku ini bersumber dari karakteristik perjanjian baku yang dalam wujudnya merupakan suatu perjanjian yang dibuat
oleh salah satu pihak dan suatu perjanjian terstandarisasi yang menyisakan sedikit atau bahkan tidak sama sekali ruang bagi pihak lain untuk
menegosiasikan isi perjanjian itu. Sorotan para ahli hukum dari berlakunya perjanjian baku selain dari segi keabsahannya adalah adanya klausul-klausul
yang tidak adil dan sangat memberatkan salah satu pihak.
165
a. Para pihaknya adalah konsumen dan produsen; Perjanjian baku merupakan suatu kontrak yang disebut dengan kontrak
konsumen consumer contracts yang melibatkan konsumen dalam transaksi bisni yang dilakukan. Dengan demikian , dapat disimpulkan kontrak
konsumen adalah setiap kontrak yang dicirikan dengan unsur-unsur antara lain:
b. Hubungan atas-bawah subordinat dalam hal bargaining position atau posisi tawar-menawar;
c. Bentuknya standar kontrak standar; kontrak baku;
164
Sriwati, op.cit, hal 177
165
Ibid, hal 178
87
d. Pada banyak model kontrak konsumen yang berbentuk baku atau standar tidak terdapat negosiasi para pihak;
e. Merupakan kontrak adhesi dibuat oleh salah satu pihak, umumnya yang membuat adalah pihak produse atau peaku usaha- take it or
leave it contract ;
f. Produk kontrak baku atau standar umumnya dibuat dalam jumlah banyak masal;
g. Terdapat klausul eksonerasi atau eksemsi; h. Terhadap kontrak konsumen ini intervensi campur tangan otoritas
tertentu bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi konsumen, dengan memberlakukan aturan yang bersifat memaksa
mandatory rule .
166
Di Indonesia tidak banyak peraturan yang mengatur mengenai klausula baku. Padahal tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini setiap kontrak yang dibuat,
rata-rata menggunakan klausula yang telah dibakukan. Padahal perlu adanya keseimbangan antara hak yang dimiliki oleh produsen dan konsumen. Sebagai
kontrak konsumen, hal mengenai kontrak baku ini juga diatur di dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang
Perlindungan Konsumen ini mengatur tentang ketentuan Pencantuman klausula baku didalalam Bab V pada pasal 18 yang berbunyi sebagai berikut:
1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditujukan unyuk diperdagangkan dilarang membuat atau
166
Agus Yudho Hernoko, op.cit, hal 34-35
88
mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen danatau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasavdari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsunguntuk melakukan
segal tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
f. memberihak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaaan konsumen yang menjadi obyek
jual beli jasa; g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan danatau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberikuasa pada pelaku usaha
untuk pembebanan hak tanggunag, hak gadi, atau hak jaminan terhadap barag yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
89
2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas,
atau yang pengungkapannya sulit dimeegerti. 3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada
dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dinyatakan batal demi hukum.
4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-Undang ini.
167
Selain mengatur tentang pencantuman klausula baku, Undang-Undang Perlindungan konsumen juga mengatur mengenai hak dan kewajiban kosumen
yang harus dihormati. Menurut ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, konsumen memiliki hak sebagai berikut:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang danatau jasa.
b.
Hak untuk memilih barang danatau jasa serta mendapatkan barang danatau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan.
c.
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang danatau jasa.
d.
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang danatau jasa yang digunakan.
e.
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan konsumen, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
167
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
90
f.
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g.
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
h. Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi, danatau penggantian jika barang danatau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian dan tidak sebagaimana mestinya i. hak-hak yang diatur dalam ketetnutan peraturan perundang-
undangan lainnya.
168
Selain memperoleh hak tersebut, sebagai balance, konsumen juga diwajibkan untuk:
1.
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang danatau jasa, demi keamanan
dan keselamatan.
2.
Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang danatau jasa.
3.
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4.
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut .
169
Terhadap hak dan kewajiban konsumen yang diatur I dalam Undang- Undang Perlindungan Konsumen ini hendaknya dihormai dan dijalankan
sebagaimana apa yang diatur. Apabila baik konsumen maupun produsen saling menghormati hak dan kewajiban yang telah diatur seta melaksanakan
168
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
169
Ibid,
91
ketentuan mengenai pencantuman klausula baku dengan sebaik-baiknya maka tidak akan terjadi masalah dalam pelaksanaan perjanjian baku.
Sering sekali pelanggaran terhap Undang-Undang perlindungan Konsumen ini terjadi, apabila terjadi pelanggaran maka negara lebih banyak
memberikan kesempatan pada putusan-putusan hakim, padahal Indonesia sebagai negara civil law yang mengacu pada Undang-Undang sebagai sumber
hukum utama. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya perundang-undangan di Indonesia padahal menurut Pasal 18 ayat 2 UUPK ini apabila ada
pelanggaran terhadap ketentuan pencantuman klausula baku dengan jelas dinyatakan bahwa perjanjian tersebut batal demi hukum sehingga perjanjian
itu dianggap tidak pernah ada syarat objektif tanpa perlu dimintakan pembatalannya di Pengadilan dapat dibatalkan.
L. Sengketa dan Penyelesaian Sengketa Mengenai Klausula Baku