91
ketentuan mengenai pencantuman klausula baku dengan sebaik-baiknya maka tidak akan terjadi masalah dalam pelaksanaan perjanjian baku.
Sering sekali pelanggaran terhap Undang-Undang perlindungan Konsumen ini terjadi, apabila terjadi pelanggaran maka negara lebih banyak
memberikan kesempatan pada putusan-putusan hakim, padahal Indonesia sebagai negara civil law yang mengacu pada Undang-Undang sebagai sumber
hukum utama. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya perundang-undangan di Indonesia padahal menurut Pasal 18 ayat 2 UUPK ini apabila ada
pelanggaran terhadap ketentuan pencantuman klausula baku dengan jelas dinyatakan bahwa perjanjian tersebut batal demi hukum sehingga perjanjian
itu dianggap tidak pernah ada syarat objektif tanpa perlu dimintakan pembatalannya di Pengadilan dapat dibatalkan.
L. Sengketa dan Penyelesaian Sengketa Mengenai Klausula Baku
1. Sengketa Para pelaku bisnis dalam hubungannya dengan pihak lain senantiasa
mengharapkan agar kontrak yang mereka buat dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Namun demikian, dalam perjalanan waktu tidak menutup
kemungkinan terjadi sengketa diantara mereka, meskipun hal ini sebenarnya sama sekali tidak diharapkan. Sengketa kontrak pada umumnya muncul sebagai akibat
adanya ketidaksepakatan, perbedaan, gangguan, kompetisi atau ketidakseimbangan di antara para pihak.
Sengketa atau konflik muncul sebagai akibat dari beberapa hal antara lain:
92
a. Scarce Resource, kelangkaan sumber-sumber yang signifikan terhadap eksistensi partisipan konflik. Pada kondisi ini pendekatan yang paling
sering digunakan adalah kompetisi yang bermuara pada zero sum game satu pihak menang yang lain kalah;
b. Ambiguous Jurisdictions, kondisi di mana batas-batas kewenangan atau hak saling dilanggar, sehingga satu pihak mengambil keuntungan
yang yang seharusnya juga menjadi bagian keuntungan dari pihak lain; c. Intimacy, keterdekatan yang sering kali bermuara pada konflik
mendalam jika perbedaan-perbedaan yang terjadi tidak dikelola dengan matang. Konflik berbasis intimacy biasanya bersifat lebih mendalam
disbanding partisipan yang memiliki pengalaman “kenal” satu sama lain;
d. We-They Distinctions, terjadi dalam kondisi di mana orang menciptakan diskriminasi yang sifatnya berseberangan.
170
Sengketa bisnis dalam kontrak seringkali berawal dari kesalahan mendasar dalam proses terbentuknya kontrak dengan berbagai faktor atau penyebabnya
antara lain: a. Ketidakpahaman terhadap proses bisnis yang dilakukan. Kondisi
ini muncul ketika pelaku bisnis semata-mata terjebak pada orientasi keuntungan serta karakater coba-coba gambling tanpa
memprediksi kemungkinan resiko yang akan menimpanya; b. Ketidakmampuan mengenali partner atau mitra bisnisnya, ada
sementara pelaku bisnis yang sekadar memperhatikan performa
170
Ronny H. Mustamu, Konflik dan Negosiasi Makalah, Jurusan Manajemen FE Universitas Kristen Petra, Surabaya:2000
dalam Agus Yudho Hernoko, op.cit, hal 304
93
atau penampilan fisik mitra bisnisnya tanpa meneliti lebih lanjut track record
dan bonafiditas. Joke yang berkembang menerangkan bahwa beberapa pelaku bisnis local begitu mudahnya terpaku dan
tertarik untuk terlibat denga kerja sama yang ditawarkan mitra bisnis asingnya, semata-mata berasumsi bahwa orang asing selalu
lebih unggul segala-galanya tanpa memperhatikan prinsip “know your partner”
; c. Tidak adanya legal cover yang melandasi proses bisnis mereka.
Hal ini menunjukkan rendahnya pemahaman dan apresiasi hukum pelaku bisnis dalam melindungi aktivitas bisnis mereka.
171
Muara konflik sebagaimana terurai di atas, dikarenakan pelaku bisnis tidak memperhatikan aspek legal cover dalam memproteksi bisnis mereka, khususnya
aspek kontraktualnya. Dalam praktik dapat diperbandngkan bagaimana acapkali aspek hukum kontrak dikesampingkan semata-mata demi tintutan bisnis profit
oriented , seolah-olah aspek “legal cover” ini sekedar “the last resort” dalam mata
rantai aktivitas bisnis mereka.
172
2. Penyelesaian Sengketa Mengenai Klausula Baku Hal diatas juga merupakan penyebab terjadinya sengketa mengenai
perjanjian klausula baku. Para pelaku usaha produsen dan konsumen sering sekali mengenyampingkan apa yang telah diatur oleh Buku III KUHPerdata
ataupun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Apabila kelak dikemudian hari terjadi masalah terhadap perjanjian baku, maka
171
ibid, hal 305
172
Ibid, hal 305
94
pada umumnya ada dua pilihan bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa tersebut :
a. Penyelesaian melalui jalur non litigasi out of court settlement b. Penyelasian melalui jalur litigasi in court settlement.
Menurut Fisher dan Ury, terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi proses penyelesaian sengketa, yaitu : kepentingan interest, hak rights dan
status kekuasaan power. Para pihak yang bersengketa ingin kepentingannya tercapai, hak-haknya terpenuhi dan status kekuasaannya diperlihatkan,
dimanfaatkan serta dipertahankan.
173
a. Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Non Litigasi Berikut ini akan diterangkan mengenai
penyelesaian sengketa baik secara litigasi maupun non litigasi terhadap permasalahan mengenai klausula baku.
Penyelesaaian sengketa yang timbul dalm dunia bisnis merupakan masalah tersendiri, karena apabila para pelaku bisnis menghadapi sengketa tertentu, maka
dia akan berhadapan dengan proses peradilan yang berlangsung lama dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sedangkan dalam dunia bisnis,
penyelesaian sengketa yang dikehendaki adalah berlangsung cepat dan murah.
174
Di Indonesia penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilabn non-litigasi sering disebut dengan penyelesaian sengketa alternatif alternatif
dispute resolution . Penyelesaian sengketa alternatif PSA ini memiliki beberapa
keuntungan yaitu prosesnya tidak membutuhkan waktu yang lama, biayanya relatif lebih ringan, dan dapat menjaga keharmonisan para pihak karena PSA ini
173
Ibid, hal 307-308
174
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit, hal 155
95
bertujuan untuk menyelesaikan masalah dengan hasil win-win solution sehingga menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Ada beberapa bentuk dari penyelesaian sengketa secara alternatif ini, beberapa diantaranya adalah:
a. Arbitrase Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa. Arbitrase sudah sejak lama dikenal di Indonesia. Bahkan
telah dibentuk Badan Arbitrase Nasional Indonesia BANI sejak 30 November 1977, berdasarkan Surat Keputusan Kamar Dagang dan Industri KADIN Nomor
SKEP152DPH1977.
175
Kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase karena putusannya langsung dan final serta telah memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat para
pihak. Putusan arbitrase ini memiliki kekuatan eksekutorial, sehingga apabila pihak yang dikalahkan tidak memenuhi putusan secara sukarela, maka pihak yang
menang dapat meminta eksekusi kepengadilan. Arbitrase di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.. menurut Pasal 1 angka 1 UU Arbitrase dan APS, Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata
di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
176
175175
Ibid, hal 157
176
Ibid, hal 160
96
Namun penyelesaian sengketa secara arbitrase ini juga memiliki beberapa kekurangan yaitu penyelesaian sengketa secara arbitrase ini biayanya mahal,
walaupun secara teori seharusnya biayanya lebih murah namun pada kenyataannya biaya yang keluar hampir sama dengan biaya penyelesaian sengketa
melalui proses peradilan. Kemudian penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini cenderung lambat walaupun seharusnya sengketa dapat diselesaikan dalam waktu
60-90 hari namun banyak juga sengketa yang diselesaikan setelah bertahun-tahun. b. Konsultasi
Selain melalui cara Arbitrase, menurut Pasa 1 ayat 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, maka alternatif penyelesaian sengketa dapat dilakukan
dengan cara konsultasi. Pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu yang disebut dengan klien
dengan pihak lain yang merupakan konsultan yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperlun dan kebutuhan kliennya.
Pendapat yang diberikan ini tidak mengikat, artinya klien bebas untuk menerima pendapatnya atau tidak.
177
c. Negosiasi Negosiasi adalah proses konsensus yang digunakan para pihak untuk
memperoleh kesepakatan di antara mereka.menurut Frans Hendra Winarta , negosiasi ialah suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses
177
Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, hal 185-186
97
pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif.
178
Negosiasi biasanya dipergunakan dalam sengketa yang tidak terlalu pelij, dimana para pihak masih beritikad baik untuk duduk bersama dan memecahkan
masalah. Negosiasi dilakukan apabila komunikasi antar piihak yang bersengketa masih terjalin dengan baik, masih ada rasa saling percaya, dan ada keinginan
untuk cepat mendapatkan kesepakatan dan meneruskan hubungan baik.
179
d. Konsiliasi Konsiliasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang
dapat ditempuh di luar pengadilan. Konsiliasi adalah suatu proses dimana penengah akan bertindak menjadi konsiliator dengan kesepakatan para pihak
dengan mengusahakan solusi yang dapat diterima. Penyelesaian sengketa ini juga memiliki banyak persamaan dengan arbitrase, dan juga menyerahkan kepada
pihak ketiga untuk memberikan pendapatnya tentang sengketa yang disampaikan oleh para pihak.
Ketentuan mengenai konsisliasi dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 ayat 10 UU Nomor 30 Tahun 1999. Hasil dari kesepakatan para pihak melalui
alternatif penyelesaian sengketa konsiliasi harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani secara bersama oleh para pihak yang bersengketa, dan didaftarkan
di PengadilanNegeri. Kesepakatan tertulis dari konsiliasi ini bersifat tertulis dan mengikat para pihak.
180
e. Mediasi
178
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hal 7
179
Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, hal 186
180
Ibid, hal 188
98
Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang fleksibel dan tidak mengikat serta melibatkan pihak netral yaitu mediator, yang memudahkan
negosiasi antara para pihak atau membantu mereka dalam mencapai kompromi kesepakatan.
181
Tujuan dari proses mediasi ialah mwembantu orang dalam mencapai penyelesaian sukarela dalam suatu sengketa atau konflik. Jasa yang
diberikan mediator tersebut adalah menawarkan dasr-dasar penyelesaian sengketa, namun tidak memberikan putusan atau pendapat terhadap sengketa yang sedang
berlangsung.
182
Peran mediator sangat terbatas, yaitu pada hakikatnya hanya menolong para pihak untuk mencari jalan keluar dari persengketaan yang mereka hadapi,
sehingga hasil penyelesaian dalam bentuk komproni terletak sepenuhnya pada kesepakatan para pihak dan kekuatannya tidak secara mutlak mengakhiri sengketa
secara final dan tidak pula mengikat secara mutlak tapi tergantung pada iktikad baik untuk memenuhi secara sukarela.
183
Keuntungan penyelesaian sengketa melalui mediasi adalah karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan untuk mencapai kompromi. Keuntungan
lainnya ialah penggunaan mediasi dalam menyelesaikan sengketa menyebabkan penyelesaian sengketa cepat terwujud, biaya murah, bersifat rahasia tidak terbuka
untuk umum, saling memberikan keuntungan dalam kompromi, kedua belah pihak bersifat koperatif, tidak ada pihak yang menang ataupun kalah karena dalam
mediasi kedua pihak sama-sama menang serta tidak emosional.
184
181
Winner Sitorus, Aspek-Aspek Hukum Penyelesaian sengketa Bisnis Internasional Melalui Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa,
Tesis Jakarta: UI, 1998, hal 125
182
Ahmadi Miru, op.cit, hal 164-165
183
Ibid, hal 165
184
Ibid, hal 165-166
99
f. Penilaian Ahli Yang dimaksud dengan penilaian ahli ialah pendapat hukum oleh lembaga
arbitrase. Menurut Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, lembaga arbitrase adalah badan yang dipilij\h oleh para pihak yang bersengketa
unutuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum
tertentu dalam hal belum timbul sengketa. Pelaksanaan penyelesaian sengketa diatur dapat dilaksanakan oleh para
pihak Masing-masing atau menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai suatu badan yang
ditugaskan untuk menyelesaikan permasalan sengketa konsumen yang disebut Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen disingkat sebagai BPSK adalah salah satu lembaga peradilan konsumen berkedudukan pada tiap Daerah Tingkat II kabupaten dan
kota di seluruh Indonesia sebagaimana diatur menurut Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bertugas utama menyelesaikan
persengketaan konsumen di luar lembaga pengadilan umum.
185
BPSK beranggotakan unsur perwakilan aparatur pemerintah, konsumen dan pelaku usaha atau produsen yang diangkat atau diberhentikan oleh Menteri,
dalam menangani dan mengatur permasalahan konsumen, BPSK memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan dan
keterangan dari para pihak yang bersengketa, melihat atau meminta tanda bayar,
185
http:id.wikipedia.orgwikiBadan_Penyelesaian_Sengketa_Konsumen, diakses Tanggal 24 Maret 2015 pukul 19.00 WIB
100
tagihan atau kuitansi, hasil test lab atau bukti-bukti lain, keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK bersifat mengikat dan penyelesaian
akhir bagi para pihak.
186
a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
Adapun tugas dan wewenang BPSK telah diatur dalam Pasal 52 Undang- Undang Perlindungan Konsumen yaitu:
b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen; melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
c. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
d. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
e. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; f. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen; g. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli danatau setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
h. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang atau pihak yang tidak bersedia memenuhi panggilan
186
Ibid,
101
badan penyelesaian sengketa konsumen; mendapatkan, meneliti danatau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau
pemeriksaan; i. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
konsumen; j. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; k. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan Undang-undang ini. Dalam menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, BPSK
membentuk majelis dengan jumlah anggota yang harus berjumlah ganjil, yitu terdiri dari sedikit-dikikitnya 3 tiga orang yang mewakili semua unsur, dan
dibantu seorang panitera. Lembaga penyelesaian di luar pengadilan yang dilaksanakan melalui BPSK ini memang dikhususkan bagi konsumen perorangan
yang memiliki perselisihan dengan pelaku usaha. b. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan Litigasi
Dalam pasal 54 ayat 3 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dikatakan bahwa keputusan BPSK bersifat final dan mengikat. Walaupun
demikian para pihak sering sekali tidak setuju terhadap putusan tersebut. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan ini diatur dalam pasal 48 Undang-
Undang tentang Perlindungan Konsumen. Penyelasaian sengketa konsumen melalui pengadilan hanya dimungkinkan apabila:
102
1. Para pihak belum memilih upaya penyelesaian konsumen di luar pengadilan, atau;
2. Upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh pihak
yang bersengketa.
187
Suatu hal yang harus diingat, bahwa cara penyelesaiana sengketa melalui pengadilan menggunakan hukum acara yang berlaku selama ini, yaitu HIRRBg s.
Tidak ada perbedaan mengenai penyelesaian sengketa bisnis di pengadilan terhadap penyelesaian sengketa lain. Secara umum dapat dikemukakan berbagai
kritikan terhadap penyelesaian sengketa melalui pengadilan yaitu karena: 1. Penyelesaian sengketa nenlalui pengadilan sangat lambat atau
disebut buang waktu lama diakibatkan oleh proses pemeriksaan yang sangat formalistic dan sangat teknis. Di samaping itu, arus
perkara yang semakin deras membuat beban pengadilan semakin banyak.
2. Biaya perkara dalam proses penyelesaian sengketa sangat mahal, lebih-lebih jika dikaitkan dengan lamanya penyelesaian sengketa,
karena semakin lama proses penyelesaian sengketa, maka semakin banyak pula biaya yang harus dikeluarkan.
3. Pengadilan pada umumnya tidak responsive, hal ini dilihat dari kurang tanggapnya pengadilan dalam melindungi dan membela
kepentingan umum. Pengadilan dianggap sering tidak adil, karena
187
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit, hal 234
103
hanya memberikan pelayanan dan kenyamanan kepada lembaga besar atau orang kaya saja.
4. Putusan pengadilan dianggap tidak menyelesaikan masalah, bahkan dianggap semakin memperumit masalah karena secara
objektif putusan pengadilan tidak mampu memuaskan, serta tidak mampu memberikan kedamaian dan ketentraman kepada para
pihak. 5. Kemampuan para hakim yang bersifat generalis. Para hakim
dianggap empunyai kemampuan terbatas terutama dalam abad iptek dan globalisasi sekarang, karena pengetahuan yang dimiliki
hanya di bidsng hukum, sedangkan di luar itu pengetahuannya bersifat umum, bahkan awam,. Dengan demikian, sangat mustahil
mampu menyelesaikan sengketa yang mengandung kompleksitas di berbagai bidang.
188
Berdasarkan uraian di atas, maka lebih sering para pelaku bisnis dalam menyelesaikan sengketa bisnis tidak memilih jalan litigasi dalam menyelesaikan
sengketanya, mereka lebih memilih untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Karena penyelesaian sengketa di luar pengadilan non litigasi dirasa
lebih praktis dan efektitif dalam menyelesaikan sengketa konsumen terutama sengketa mengenai klausula baku.
188
Ibid, hal 235-236
104
BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU
DALAM SUATU PERJANJIAN STUDI PUTUSAN A.
Kasus Posisi Atas Putusan Pengadilan Negeri Tegal Nomor : 56Pdt.G2011PN.Tgl
Kasus ini merupakan kasus gugatan perbuatan melawan hukum antara Titin Supriatini, sebagai penggugat I, Agus salim, sebagai penggugat II, Teguh
arifianto, sebagai penggugat III, Umi Rudi wardani sebagai penggugat IV, melalui kuasanya R. Suryo Suprapto, SH dan Lis Ernawati, SH. keduanya
AdvokadKonsultan Hukum dan pengurus pada YPK KOMNAS PK-PU INDONESIA berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 20 Juli 2011, yang telah
dilegalisasi dan didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri Tegal nomor register :138SK2011PN.Tgl tertanggal 09 Agustus 2011 melawan PT. BCA
FINANCE, yang berkedudukan di Jakarta Cq. PT. BCA FINANCE Cabang Tegal, berlamat di Jl. AR. Hakim No. 2 Tegal, Jawa Tengah. Dalam hal ini telah
memberikan kuasanya kepada Caelilia Yulianti, Hendra Yudha Siswoko, Emiral Rangga Tranggono, Tri Pujihartono, Juli Ramdani ke-5 orang tersebut masing-
masing berkedudukan sebagai karyawan di PT. BCA Finance, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 14 September 2011 yang selanjutnya disebut sebagai
Tergugat. Pada tanggal 11 Februari 2008 Penggugat I telah mengadakan Perjanian
Kredit dengan tergugat denganNomor Kontrak 9950302698-001 dengan menggunakan klausula baku dimana penggugat akan memperoleh Fasilitas