Asas-Asas Perjanjian Syarat-Syarat Suatu Perjanjian

64 hutang, misalnya jual-beli barang atau pinjam-meminjam uang antara kedua pihak. Dalam pasal tersebut suatu persetujuan yang dimaksudkan untuk suatu pengakuan berhutang adalah sah apabila tidak disebutkan suatu causa, tetapi ada suatu causa yang diperbolehkan. 104 Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sah kontrak, agar suatu kontrak mempunyai kekuatan mengikat sah maka seluruh persyaratan tersebut diatas harus dipenuhi kesepakatan, kecakapan, hal tertentu, dan sebab yang tidak terlarang. Syarat sah nya kontrak ini bersifat kumulatif, artinya seluruh persyaratan tersebut harus dipenuhi agar kontrak itu menjadi sah, dengan konsekuensi tidak dipenuhi satu atau lebih syarat dimaksud akan menyebabkan kontrak tersebut dapat diganggu gugat keberadaannya batalniettig atau dapat dibatalkan verniettigbaar 105 Selain syarat sahnya kontrak yang diatur dalam Pasal 1320 BW masih terdapat syarat lain yang harus diperhatikan agar kontrak yang dilakukan memiliki kekuata mengikat, sebagaimana diatur dalam Pasal 1335, 1337, 1339, dan 1347 KUHPerdata. Ketentuan Pasal-Pasal tersebut pada dasarnya mempunyai daya kerja yang saling mengisi secara proporsional. Artinya Pasal-Pasal yang mengatur keabsahan kontrak tersebut diatas tidaklah berdiri sendiri, namun berada dalam suatu sistem hukum kontrak yang bersifat “check and balances”, yang bertujuan untuk memberikan landasan yang kukuh bagi hubungan kontraktual para pihak. 106

I. Asas-Asas Perjanjian

104 Subekti b, op.cit, hal 137-138 105 Agus Yudho Hernoko, op.cit, hal 198 106 Ibd, hal 199 65 Selain membahas mengenai syarat sah perjanjian, hal lain yang perlu diperhatikan dalam suatu perjanjian adalah asas. Di dalam teori hukum yng berlaku sekarang ini secara umum diakui bahwa asas-asas hukum di samping perundang-undangn, kebiasaan dan putusan pengadilan juga dianggap sebagai sumber hukum. Asas dan peraturan memiliki cirri bahwa keduanya memberikan arahan atau pedoman bagi sikap atau tindak manusia dan sebab itu keduanya dapat digunakan sebagai patokan atas ukuran untuk menilai perbuatan manusia. 107 Asas-asas hukum adalah pendirian pandangan yang harus turut diperhitungkan tatkala kita menerapkan perundang-undangan. Prisip-prinsip tersebut muncul dalam bentuk pemikiran atau gagasan yang tidak secara tegas dicantumkan di dalam atau oleh hukum yang bersangkutan. Dalam totalitasnya asas-asas tersebut membentuk ruang lingkup pemikiran di dalam mana aturan- aturan hukum diberlakukan. 108 Pengaruh paham individualisme dapat ditemukan kembali sebagai karakteristik hukum perjanjian, baik didalam KUHPerdata lama tahun 1838 maupun KUHPerdata tahun 1992, yakni dalam tematika kebebasan, persamaaan dan keterikatan kontraktual vrijheid, gelijkheid, en contractuele gebondenheid. Pada gilirannya tematika tersebut melandasi asas-asas hukum lainnya. 109 Dari sekian banyak asas hukum yang ada, fokus perhatian harus diberikan pada tiga asas pokok. Ulasan terhadap asas-asas pokok tersebut yang dipandang sebagai tiang penyangga hukum kontrakvakan mengungkap latar belakang pola piker yang melandasi hukum kontrak. Mengingat sifat dasariah dari asas-asas 107 Herlien Budiono, Asas-Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006, hal 75 108 Ibid, hal 90 109 Ibid, hal 94-95 66 pokok utama tersebut, acap mereka disebut juga sebagai asas-asas dasar grondbeginselen. 110 a. asas-konsensualime Menurut Niewenhuis, asas-asas fundamental yang melingkupi hukum kontrak ialah: b. asas kekuatan mengikat perjanjian verbindende kracht der overeenkomst c. asas kebebasan berkontrak contractsvrijheid. 111 Selain asas tersebut diatas, dalam seminar tentang “Reformasi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata” yang diselenggarakan oleh Badan Pengembangan Hukum Nasional BPHN pada tahun 1981 dinyatakan bahwa Undang-Undang kontrak yang baru akan dibuat berlandaskan pasa asas-asas berikut: a. asas kebebasan untuk mengadakan kontrak b. asas menjamin perlindungan bagi kelompok-kelompok ekonomi lemah c. asas iktikad baik d. asas keselarasan e. asas kesusilaan f. asas kepentingan umum g. asas kepastian hukum h. asas pacta sunt servanda. 112 Terkait dengan asas-asas hukum kontrak sebagaimana tersebut di atas, para sarjana memberiporsi perhatian yang berbeda, namun dalam beberapa hal terdapat persamaannya. Dari berbagai asas yang terdapat dalam hukum kontrak 110 Ibid, hal 95 111 Agus Yudho Hernoko, op.cit, hal 105 112 Ibid, hal 106 67 terdapat 5 asas yang dianggap sebagai asas yang sangat penting dalam hukum kontrak, yaitu: a. Asas kebebasan berkontrak Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral di dalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi aturan hukum namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan kontraktual para pihak 113 . Buku III BW menganut sistem terbuka, artinya hukum memberi keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan hukumnya. 114 Pada abad kesembilan belas, seiring dengan makin berpengaruhnya doktrin laissez faire, kebebasan berkontrak menjadi prinsip yang umum dalam mendukung persaingan bebas. Kebebasan berkontrak menjadi penjelmaan hukum legal expression prinsip pasar bebas. Setiap campur tangan negara terhadap kontrak bertentangan dengan prinsip pasar bebas. Kebebasan berkontrak menjadi paradigma baru hukum kontrak yang sangat diagungkan para filosof, ahli hukum dan pengadilan. 115 Kebebasan individu untuk mengikatkan dirinya ke dalam suatu kontrak didayagunakan untuk mewujudkan pertrukaran barang dan jasa. Manusia memiliki kebebasan untuk mengikatkan diri untuk member, melakukan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu, bahkan tanpa perlu menerima kembali sesuatu imbalan, aik dalam artian materiil maupun yuridis. 116 113 Ibid, hal 108 114 Ibid, hal 109 115 Ridwan Khairandi, op.cit hal 1 116 Herlien Budiono, op.cit, hal 376 Kebebasan berkontrak didasarkan pada asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki posisi tawar 68 bargaining position yang seimbang, tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar yang seimbang. 117 Akibatnya pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat cenderung menguasai pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih lemah. Asas kebebasan berkontrak yang dianut oleh Buku III BW ini tercermin dari substansi Pasal 1338 1 BW yang menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.” Menurut Subekti, cara menyimpulkan asas kebebasan berkontrak adalah dengan jalan menekankan pada perkataan “semua” yang ada di muka kata “perjanjian”. 118 a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian Di dalam asas ini terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas dengan siapa ia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut: b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang kan dibutnya d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian 117 Ridwan Khairandy, op.cit, hal 1-2 118 Subekti d, Aneka Perjanjian, Bandung: Alumni, 1995, Cet Keenam hal 4-5 69 f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan Undang-Undang ang bersifat opsional aanvullend recht. 119 Namun penting untuk diperhatikan bahwa kebebasan berkontrak sebagaimana tersimpul dari ketentuan Pasal 1338 1 KUHPerdata tidaklah berdiri dalam kesendiriannya. Asas tersebut berada dalam suatu sistem utuh dan padu dengan ketentuan lain terkait. Dalam praktik dewasa ini, acap kali kebebasan berkontrak kurang dipahami secara utuh, sehingga banyak memunculkan kesan pola hubungan kontraktual yang tidak seimbang dan berat sebelah. Kebebasan berkontrak didasarkan pada asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki posisi tawar bargaining position yang seimbang, tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar yang seimbang. 120 Saat ini kebebasan berkontrak mssih menjadi asas penting dalam hukum kontrak baik civil law maupun common law. Namun demikian dalam perkembangannya tidak lagi muncul kebebasan berkontrak yang seperti pada abad kesembilan belas. Sekaang keebasan berkontrak bukanlah kebebasan tanpa batas, negara telah melakukan sejumlah pembatasan kebebasan berkontrak melalui peraturan perUndang-Undangan dan putusan pengadilan. 121 Dalam perkembangannya asas ini semakin digerogoti, memang asas ini belum mati dalam arti sebenarnya, namun asas ini setidak-tidaknya suadah tidak lagi 119 Agus Yudho Hernoko, op.cit, hal 110-111 120 Ibid, hal 111 121 Peter Gillies, Business Law, Sydney: The Federation Press, 1993, hal 117 70 tampil dalam bentuknya yang utuh. 122 a. Semakin berpengaruhnya ajaran iktikad baik dimana iktikad baik tidak hanya ada pada pelaksanaan kontrak, tetapi juga harus ada pada saat dibuatnya kontrak; Faktor-faktor yang mempengaruhi pembatasan kebebasan berkontrak yaitu: b. Semakin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan misbruik van omstandigheden atau undue influence . 123 Setiawan, menyatakan bahwa pembatasan kebebasan berkontrak dipengaruhi oleh: a. Berkembangnya doktrin iktikad baik; b. Berkembangnya doktrin penyalahgunaan keadaan; c. Makin banyaknya kontrak baku; d. Berkembangnya hukum ekonomi. 124 Sedangkan Purwahid Patrik menyatakan bahwa terjadinya berbagai pembatasan kebebasan berkontrak disebabkan: a. Berkembangnya ekonomi yang membentuk persekutuan-persekutuan dagang, badan-badan hukum atau perseroan, dan golongan-golongan masyarakat lain missal: golongan buruh dan tani; b. Terjadinya pemasyarakatan vermaatschappelijking keinginan adanya keseimbangan antara individu dan masyarakat yang tertuju kepada keadilan sosial; 122 Setiawan, Aneka Masalah Hukum Dan Hukum Acara Perdata, Bandung: Alumni, 1992 , Cetakan Pertama, hal 179-180 123 Ridwan Khairandy, op.cit, hal 2 124 Setiawan, op.cit, hal 179-180 71 c. Timbulnya formalisme perjanjian; d. Makin banyak peraturan dibidang hukum tata usaha negara. 125 Sebagai suatu kesatuan yang bulat dan utuh dalam satu sistem, maka penerapan asas kebebasan berkontrak sebagaimana tersimpul dari substansi Pasal 1338 1 BW harus juga dikaitkan dengan kerangka pemahaman pasal- pasal atau ketetuan-ketentuan lain, yaitu: a. Pasal 1320 BW, mengenai syarat sahnya perjanjian kontrak; b. Pasal 1335 BW, yang melarang dibuatnya kontrak tanpa causa, atau dibuat berdasarkan suatu causa yang palsu atau yang terlarang, dengan konsekuensi tidaklah mempunyai kekuatan; c. Pasal 1337 BW, yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, pabila dilarag oleh Undang-undang, atau apabila berlawaan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum; d. Pasal 1338 3 BW, yang menetapkan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan iktikad baik; e. Pasal 1339 BW, menunjuk terkatnya perjanjian kepada sifat kepatutan, kebiasaan dan Undang-Undang. Kebiasaan yang dimaksud Pasal 1339 BW bukanlah kebiasaan setempat, akan tetapi ketentuan-ketentuan yang dalam kalangan tertentu selalu diperhatikan. f. Pasal 1347 BW mengatur mengenai hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukkan dalam kontrak bestandig gebruiklijk beding. 126 125 Ridwan Khairandy, op.cit, hal 2-3 72 Apabila mengacu rumusan Pasal 1338 1 BW yang dibingkai oleh pasal- pasal lain dalamsuatu keangka sistem hukum kontrak vide Pasal 1320, 1335, 1337, 1338 3 serta 1339 BW maka penerapan asas kebebasan berkontrak ternyata perlu dibingkai oleh rambu-rambu hukum lainnya. Hal ini berarti kebebasan para pihak untuk membuat kontrak perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Memenuhi syarat-syaraat sahnya kontrak; b. Untuk mencapai tujuan para pihak, kontrak harus mempunyai kausa; c. Tidak mengandung kausa palsu atau dilarang Undang-Undang; d. Tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, kesusilaan, dan ketertiban umum; e. Harus dilaksanakan dengan iktikad baik. 127 Dengan demikian yang harus dipahami dan perlu menjadi perhatian, bahwa asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1338 1 BW tersebut hendaknya dibaca diinterpretasikan dalam kerangka pikir yang menempatkan posisi para pihak yang melaksanakan kontrak dalam keadaan seimbang-proporsional. 128 b. Asas Konsensualisme Apabila asas ini dapat diwujudkan dengan sebaik-baiknya maka para pihak akan merasakan manfaat seadil-adilnya dari kontrak tersebut. 126 Agus Yudho Hernoko, op.cit, hal 117-118 127 Ibid, hal 118 128 Ibid, hal 120 73 Asas konsensualisme mempunyai hubungan erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat dalam Pasal 1338 1 BW. Hal ini sedasar dengan pendapat Subekti yang menyatakan bahwa asas konsnensualisme yang terdapa dalam Pasal 1320 jo. 1338 BW. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan mengakibatkan perjanjian itu tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai Undang-Undang. Sementara Rutten menggarisbawahi bahwa perjanjian yang dibuat itu pada umumnya bukan secara formal tapi konsensual, artinya perjanjian itu selesai karena persesuaian kehendak atau consensus semata- mata. 129 Konsensualisme berasal dari bahasa Latin, consensus yang berarti sepakat. Sepakat dalam hal ini adalah adanya persesuaian kehendak diantar para pihak. Apa yang dikehendaki oleh suatu pihak saa seperti apa yang dikehendaki pihak lain. Kata “sama” bukan berarti bahwa apa yang dimaksud oleh salah satu pihak tersebut, dimaksud juga oleh pihak lain satu maksud kehendak, melainkan “sama dalam kebalikannya”. 130 Asas konsnesualisme ini tercermin pada pasal 1320 KUHPerdata dimana kesepakatan para pihak merupakan syarat formil yang harus dipenuhi untuk tercapai sahnya suatu perjanjian, pelanggaran terhadap syarat ini menyebakan perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan oleh Penagdilan apabila diminta pembatalan kepada hakim. Asas konsensualisme ini mempunyai arti bahwa suatu perjanjian lahir sejak detik tercapainya kesepakatan antara kedua belah pihak. 131 129 Ibid, hal 121 130 Subekti c, op.cit, hal 3 131 P.N.H. SImanjuntak, op.cit, hal 333 Prinsip konsensual ini diterima baik di sistem civil law maupun common law. 74 Prinsip ini menentukan bahwa private individuals memiliki kebebasan untuk menentukan isi dan akibat hukum suatu kontrak tanpa adanya campur tangan dan pembatasan oleh hukum. 132 a. Kesesatan atau dwaling Pada asas ini yang ditekankan adalah adanya persesuaian kehendak meeting of mind sebagai inti dari hukum kontrak. Asas konsensualisme merupakan “roh” dari suatu perjanjian. Hal ini tersimpul dari kesepakatan para pihak, namun demikian pada situasi tertentu trdapat perjanjian yang tidak mencerminkan wujud kesepakatan yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan adanya cacat kehendak wilsgebreke yang mempengaruhi timbulnya perjanjian. Dalam BW cacat kehendak meliputi tiga hal, yaitu: b. Penipuan atau bedrog c. Paksaan atau dwang 133 Dengan demikian asas konsensualisme sebagaimana yang tersimpul dari ketentuan Pasal 1320 angka 1 BW tentang kesepakatan atau toestemming, yang menyatakan bahwa perjanjian itu telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat, hendaknya juga diinterpretasi semata-mata secara gramatikal. Pemahaman asas konsensualisme yang menekankan pada “sepakat” para piha ini, berangkat dari pemikiran bahwa yang berhadapan dalam kontrak itu adalah orang yang menjunjung tinggi komitmen dan tanggung jawab dalam lalu lintas hukum. 134 Kehendak “bebas” individu di dalam janji-janji yang ia buat dibatasi atau terikat pada “kesadaran individual dan kemasyarakatan” yang terdiri dari 132 Ridwan Khairandy, op,cit, hal 95 133 Agus Yudho Hernoko, op.cit, hal 121-122 134 Ibid, hal 122 75 kehendak individu serta daya kerja kesadaran akan ikatan kebersamaan dalam masyarakat, yang dijaga dan ditegakkan oleh hukum objektif. Berangkat dari perjumpaaan kehendak individual dari para pihak dan karena daya hukum objektif, maka terciptalah keterikatan kekuatan mengikat. Elemen subjektif dan objektif dalam kenyataannya tidak terpisahkan satu sama lainnya dan saling menjalin. 135 c. Asas Daya Mengikat Kontrak Pacta Sunt Servanda Asas daya mengikat kontrak ini merupakan pencerminan dari Pasal 1338 1 KUHPerdata dalam kalimat “ berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Dalam kalimat tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pembuatanya layaknya Undang-Undang. Asas ini menyatakan bahwa suatu perjanjian mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan para pihak terikat untuk melaksanakan kesepakatan kontraktual, serta bahwa suatu kesepakatan harus dipenuhi, dianggap sudah terberi dan kita tidak pernah menanyakannya kembali. Kehidupan masyarakat hanya mungkin berjalan dengan baik jika seorang dapat mempercayai perkataan orang lain. 136 Jika asas kebebasan berkontrak dan asas pacta sunt servanda dipegang teguh dapat melahirkan ketidakadilan dalam kontrak. Dari sinilah kemudian lahir adanya pembatasan kebebasan berkontak dan pembatasan dari kekuatan mengikatnya perjanjian baik melalui peraturan perundang-undangan maupun 135 Herlien Budiono, op.cit, hal 392 136 Ibid, hal 100 76 pengadilan. 137 Lebih lanjut, secara substansial daya mengikat kontrak khususnya terkait isi perjanjian atau prestasi, ternyata tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diaruskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang- Undang. 138 a. Pertama, daya mengikat perjanjian itu dibatasi oleh iktikad baik, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 3 BW. Bahwa perjanjian itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik; Niewenhuis menyatakan bahwa kekuatan mengikat dari perjanjian yang muncul seiring dengan asas kebebasan berkontrak yang memberikan kebebasan dan kemandirian kepada para pihsk, pada situasi tertentu daya berlakunya dibatasi oleh dua hal, yaitu: b. Kedua, adanya overmacht atau force majeure daya paksa juga membatasi daya mengikatnya perjanjian terhadap para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Memang pada prinsipnya perjanjian itu harus dipenuhi para pihak, apabila tidak dipenuhi maka disini telah timbul wanprestasi dan bagi kreditor melekat hak utuk mengajukan gugatan, baik pemenuhan, ganti rugi maupun pembubaran perjanjian. Namun dengan adanya overmacht atau force majeure , maka gugatan kreditur akan dikesampingkan, 137 Ridwan Khairandy, op,cit, hal 33 138 Agus Yudho Hernoko, op.cit, hal 128-129 77 mengingat ketiadaan prestasi tersebut terjadi diluar kesalahan debitur vide Pasal 1444 KUHPerdata 139 Dalam konteks pengharapan masa depan akan keseimbangan, maka hendak dicegah munculnya kondisi tidak seimbang, misalnya dirugikan salah satu pihak oleh pihak lainnya. 140 Di dalam masyarakat hukum Indonesia, kekuatan mengikat yuridis yang muncul sebagai akibat kesepakaatan seyogyanya dipandang sebagai cerminan norma-norma kemasyarakatan. Kesepaatan yang dari muatan isi ataupun tujuannya ternyata bertentangan atau melanggar kesusilaaan geode zeden atau ketertiban umum tidak saja dianggap sebagai perjanjian yang tidak dapat diterima, tetapi lebih dari itu hal yang sama juga akan berlaku bila para pihak berkeluh karena munulnya situasi dan kondisi tidak seimbang. Dalam hal demikian, setidak-tidaknya harus ditelaaah apakah benarperjanjian tersebut masih memiliki kekuatan mengikat terhadap para pihak. 141 d. Asas Keseimbangan Sebagaimana dimaknai dalam bahasa sehari-hari, kata “seimbang” evenwicht menunjuk pada pengertian suatu keadaan pembagian beban di kedua sisi berada dalam keadaan “seimbang”. Di dalam konteks studi ini, keseimbangan berarti dimengerti sebagai keadaan hening atau keselarasan karena dari pelbagai gaya yang bekerja tidak ada satupun mendominasi yang lainnya, atau karena tidak suatu pihak yang menguasai yang lainnya. 142 139 Ibid, hal 129 140 Herlien Budiono, op.cit, hal 375 141 Ibid, hal 375-376 142 Ibid, hal 304 78 Dalam suatu perjanjian apabilaada kedudukan salah satu pihak lebih kuat daripada pihak lainnya menyebabkan ketidaksetaraan isi dari suatu perjanjian yang dibuat. Akibat ketidaksetaraan dalam suatu perjanjian adalah terjadinya ketidakseimbangan posisi para pihak dalam kontrak. Jika kedudukan pihak yang lebih kuat tersebut berpengaruh terhadap perhubungan prestasi satu dengan lainnya dan hal mana mengacaukan keseimabngab dalam perjanjian, hal ini bagi yang dirugikan merupakan alasan untuk mengajukan tuntutan ketidakabsahan perjanjian. 143 “keseimbangan para pihak hanya akan terwujud apabila berada dalam posisi yang sama kuata. Oleh karena itu dengan membiarkan hubungan kontraktual para pihak semata-mata pada mekanisme kebebasan berkontrak, sering kali mengasilkan ketidakadilan apabla salah satu pihak berada dalam posisi yang lemah. Dengan demikian, negara harusnya ikut campur tangan untuk melindungi pihak yang lemah dengan menentukan klausul tertentu yang harus dimuat atau dilarang dalam suatu kontrak.” Menurut Sutan Remy SJahdeini bahwa keseimbangan berkontrak pada hubungan antara bank dan nasabah yaitu: 144 Tampaknya Sutan Remy Sjahdeini memahami keseimbangan para pihak yang berkontrak bank-nasabah dari posisi atau kedudukan para pihak yang seharusnya sama. 145 143 Ibid, hal 318 144 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993, hal 7 145 Agus Yudho Hernoko, op.cit, hal 27 Pikiran Sutan Remy Sjahdeini dalam hubungannya dengan asas keseimbangan tersebut di atas tampaknya juga sejalan dengan pendapat Mariam Darus Badrulzaman yaitu: 79 “Menurutnya dalam hubungan bank-nasabah, menempatkan nasabah pada posisi yang lemah sehingga perlu dilindungu melalui campur tangan pemerintah terhadap substansi perjanjian kredit bank.” 146 Beranjak dari kedua pendapat tersebut maka asas keseimbangan dipahami sebagai keseimbangan kedudukan posisis tawar para pihak dalam menentukan kehendaknya. Asas keseimbangan ini berhubungan erat dengan asas proporsionalitas dalam hukum kontrak. Di dalam asas proporsionalitas ini diberikan penekanan pada pembagian beban pembuktian secara adil bagi pihak- pihak. 147 Asas proporsionalitas dalam kontrak diartikan sebagai asas yang mendasari pertukaran hak dan kewajiban sesuai proporsi atau bagiannya. Proporsionalitas pembagian hak dan kewajiban ini diwujudkan dalam seluruh proses hubungan kontraktual, baik pada fase prakontraktual, pembentukan kontrak maupun pelaksanaan kontrak. Asas proporsionalitas tidak mempermasalahkan keseimbangan kesamaan hasil, namun lebih menekankana proposi pembagian hak dan kewajiban di antara para pihak. 148 e. Asas Iktikad Baik Asas iktikad baik ini berasal dari Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan “perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.” Asas iktikad baik ini berkembang sesuai perkembangan kontrak yang semakin meluas. Akibat dari perkemabangan asas iktikad baik ini adalah adanya pembatasan 146 Mariam Darus Badrulzaman b, Perjanjian Kredit Bank, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991, hal 42-45 147147 Agus Yudho Hernoko, op.cit, hal 31 148 Ibid, hal 31-32 80 terhadap asas kebebasan berkontrak. Tujuan dari asas iktikad baik ini ialah untuk mendapatkan kontrak yang dibuat secar adil oleh para pihak. Walaupun iktikad baik menjadi asas yang paling penting alam hukum kontrak dan diterima dalam berbagai sistem hukum, tetapi hingga kini doktrin iktikad baik masih merupakan sesuatu yang kontroversial. 149 Perdebatan utama yang tmbul disini ialah berkaitan dengan definisi iktikad baik itu. Dengan perkataaan lain, perdebatan ini berkaitan dengan apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan iktikad baik. 150 a. Suatu kewajban bagi para pihak untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan kontrak kejujuran terhadap janjia itu sendiri; Belum ada definisi tunggal mengenai makna iktikad baik, hal ini dikarenakan pengaturan iktikad baik di berbagai negara dalam hukum kontrak sangat minim. Konsep terbaru iktikad baik dalam sistem common law dikemukakan oleh Sir Anthony Mason dalam suatu kuliah di Iniversitas Cambridge pada 1993, yang menyatakan bahwa konsep iktikad baik mencakup tiga doktrin ang berkaitan dengan: b. Pemenuhan standar perilaku terhormat; dan c. Pemenuhan standard of contract yang masuk akal yang berkaitan dengan kepentingan para pihak. 151 Dalam hukum kontrak, iktikad baik memiliki tiga fungsi. Iktikad baik dalam fungsinya yang pertama mengajarkan bahwa seluruh kontrak harus 149 David Stack, The Implied Covenant of Good Fsith and Fsir Dealing:Examining Employees Good Faith Duties, The Hasting Law Journal, vol 39 Januari, 1998 hal 483 150 Agus Yudho Hernoko, op.cit, hal 6-7 151 Ibid, hal 162 81 ditafsirkan sesuai dengan iktikad baik, maksudnya ialah setiap kontrak yang telah dibuat harus ditafsirkan secara fair atau patut. Fungsi kedua adalah fungsi menambah aanvullende werking van geode trouw, maksud dari fungsi ini ialah iktikad baih dapat menambah isi suatu perjanjian tertrntu dan juga dapat menmbah kata-kata ketentuan Undang-Undang mengenai perjanjian itu.Fungsi ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan beperkende en derogerende werking van de geode trouw , fungsi ini mengajarkan bahwa suatu perjanjian tertentu atau syarat-syarat tertentu dalam kontrak atau ketentuan Undang-Undang mengenai kontrak itu dapat dikesampingkan, jika sejak dibuatnya kontrak itu keadaan telah berubah, sehingga pelaksanaan kontrak itu menimbulkan ketidakadilan. 152

J. Ketentuan Klausula Baku Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang

Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Apotek Terhadap Obat Yang Mengandung Cacat Tersembunyi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Studi Pada Apotek Yakin Sehat)

12 118 111

Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi Kasus Putusan Nomor 56/Pdt.G/2011/Pn Tegal)

6 53 132

Pelaksanaan Surat Wasiat Menurut Undang – Undang Hukum Perdata Dan Kompilasi Hukum Islam

0 77 89

Pelaksanaan Surat Wasiat Menurut Undang – Undang Hukum Perdata Dan Kompilasi Hukum Islam

5 109 89

Implementasi Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Menguji Undang-Undang Terhadap Undang Undang Dasar 1945 (Study Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/Puu-V/2007)

0 25 93

Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Usaha Air Minum Depot (AMD) Isi Ulang Ditinjau Dari Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

3 124 97

Perlindungan Konsumen Terhadap Jasa Pelayanan Tukang Gigi Ditinjau Dari Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

12 99 88

1 BAB I PENDAHULUAN - Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Apotek Terhadap Obat Yang Mengandung Cacat Tersembunyi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Studi Pada Apotek Yakin Sehat)

0 0 17

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSULA BAKU E. Pengertian Klausula Baku - Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi Kasus Putusan Nomor 56/Pdt.G/2011/Pn Tegal)

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi Kasus Putusan Nomor 56/Pdt.G/2011/Pn Tegal)

0 0 19