115
3. Dalam Konpensi dan Rekonpensi • Menghukum Penggugat konpensi tergugat rekonpensi untuk
membayar segala biaya perkara yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp. 600.900,-enam ratus ribu sembilan ratus rupiah
B. Analisis Hukum Terhadap Pencantuman Klausula
Baku Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen Studi Kasus Putusan Nomor 56PDT.G2011PN.Tegal
Gugatan ini lahir karena adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat terhadap Penggugat I,II,II, dan IV. Dalam kasus ini
putusan hakim menyatakan bawa gugatan para Penggugat ditolak atau tidak dapat diterima. Hal ini didasarkan pada pertimbangan Hakim yang menyatakan gugatan
para penggugat kabur serta tidak dapat diterima. Perbuatan Tergugat merupakan suatu perbuatan melawan hukum dimana
pada kasus ini Tergugat telah memenuhi unsur-unsur dari Perbuatan melawan hukum yaitu:
a. Adanya perbuatan melawan hukum Dalam kasus ini Tergugat telah melanggar Pasal 18 ayat 1 huruf a, huruf
c, huruf d, huruf f, dan huruf g, Pasal 18 ayat 2, Pasal 15 ayat 2 Undang- Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, serta Penggugat juga
tidak mengetahui telah dikeluarkannya akte fidusia atas perjanjian kredit mereka dikarenakan mereka tidak menerima salinan akte jaminan fidusia tersebut, hal ini
116
jelas melanggar Didalam bukti yang diajukan oleh Tergugat ada bukti berupa akte fidusia tetapi Penggugat tidak pernah mendapat salinan akte perjanjian fidusia
tersebut dan akte fidusia tersebut menurut Penggugat tidak didaftarkan dikantor pendaftaran fidusia untuk mendapatkan “sertifikat fidusia” hal ini karena
Penggugat dalam mendatangani kontrak dengan Tergugat tidak dihadapan Notaris.
Sedangkan di dalam UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan PP No. 86 Tahun 2000 tentang Tata cara Pendaftaran Fidusia dan Biaya
Pendaftaran Fidusia disebutkan salah satu syarat pendaftaran Fidusia adalah adanya salinan “Akta Notaris” yang disebutkan di atas. Dikarenakan perjanjian
tersebut dibuat dibawah tangan sehingga tidak ada akta notaris maka tidak bisa dibuatkan sertifikat fidusia. Jadi dapat disimpulkan bahwa leasing telah dengan
sengaja melanggar UU No. 42 Tahun 1999 Jo PP No. 86 Tahun 2000.
189
b. Melanggar Hak Subjektif Orang Lain Hak subjektif orang lain adalah suatu hak wewenang khusus yang diberikan
dijamin hukum kepada seseorang untuk digunakan bagi kepentingannya. Adapun hak-hak subyektif adalah sebagai berikut:
1. Hak-hak perorangan Hak-hak perorangangan seperti : kebebasan, kehormatan, nama baik dan
lain- lain. Termasuk dalam pelanggaran hak subyktif orang lain adalah perbuatan fitnah, menyebarkan kabar bohong dan lain-lain.
2. Hak-hak atas harta kekayaan
189
http:lpksmjabar.blogspot.com201112bentuk-pelanggaran-lembaga-pembiayaan.html diakses tanggal 2 April 2015 pukul 21.00 WIB.
117
Hak-hak atas harta kekayaan misalnya: hak-hak kebendaan dan hak mutlak lainnya.
Dalam hal ini Penggugat menyatakan bahwa tindakan penyitaan yang dilakukan Tergugat terhadap Penggugat I telah membuat nama baik Penggugat I
tercemar. c. Ada Kesalahan Schuld
Perbuatan yang dilakukan Tergugat merupakan perbuatan yang dilakukan karena kesalahan karena kesengajaan. Masalah kesalahan ada dua kemungkinan
yaitu: 1. Orang yang dirugikan juga mempunyai kesalahan atas timbulnya kerugian.
Dalam hal demikian sebagian kerugian dibebankan kepadanya, kecuali jika perbuatan melawan hukum itu dilakukan dengan sengaja;
2. Kerugian ditimbulkan oleh beberapa orang pembuat. Dalam hal demikian menurut Hoge Raad, maka terhadap masing-masing orang bertanggung
jawab atas terjadinya perbuatan tersebut, dapat dituntut untuk keseluruhannya.
Dalam hal ini Tergugat melakukan kesalahan dikarenakan juga Penggugat juga mempunyai kesalahan yang menyebabkan Tergugat melakukan penyitaan
kepada Penggugat. Penggugat telah lalai dalam memenuhi kewajiban angsuran.
d. Ada Kerugian Akibat perbuatan itu menimbulkan kerugian yang diderita orang lain.
Kerugian itu dapat berupa kerugian materil atau moril. Kerugia materil adalah
118
kerugian berupa materi, sedangkan kerugian moril menyangkut kehormatan, harga diri, dan lain-lain dan ditaksir nilainya dengan uang sesuai dengan status sosial
penggugat. Dalam hal ini Penggugat menyatakan kerugian materil dan morilnya dimana keluarga besar Pengguagt tercemar nama baiknya di masyarakat. Dalam
hal pembuktian kerugian moril ini, sebaiknya diperlukan akta otentik yang dapat membuktikan adanya kerugian moril bagi Penggugat.
e. Adanya Hubungan Kausal Untuk dapat menuntut ganti rugi haruslah ada hubungan kausal antara
perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian yang diderita penggugat. Bagi Penggugat, karena pelanggaran yang telah dilakukan oleh Tergugat terhadap
kontrak baku yang telah dibuat secara sepihak oleh Tergugat menyebabkan Penggugat mengalami kerugian baik materil maupun immateriil.
Hakim dalam amar putusannya tidak menerima gugatan yang diajukan oleh Penggugat karena Penggugat tidak memenuhi syarat formil dari suatu
gugatan sehingga gugatan tersebut dinyatakan obscuur libelium. Padahal walaupun tanpa putusan oleh hakim, menurut Pasal 18 ayat 3 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, pelanggaran yang dilakukan oleh Tergugat menyebabkan kontrak yang dibuat antara Penggugat dengan Tergugat adalah batal
demi hukum artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
190
Batal karena hukum atau batal demi hukum nietigheid van rechtswege berakibat suatu perbuatan untuk sebagian atau keseluruhan bagi hukum dianggap
190
http:www.hukumonline.comklinikdetailcl4141pembatalan-perjanjian-yang-batal-demi- hukum diakses tanggal 3 april 2015 pukul 17.00 wib
119
tidak pernah ada dihapuskan tanpa diperlukan suatu keputusan hakim atau keputusan suatu badan pemerintahan batalnya sebagian atau seluruh akibat
ketetapan itu.
191
“Ántara gugatan-gugatan yang digabung itu harus ada hubungan bathin innerlijke samenhang.”
Penegakan hukum perlindungan konsumen, terutama mengenai pelarangan pemasukan klausula baku dalam setiap aktivitas perdagangan belum berjalan
efektif dan sesuai harapan. Hakim tidak dapat menerima gugatan penggugat karena para Penggugat menggabungkan gugatannya tidak memenuhi syarat
penggabungan gugatan dimana menurut Soepomo:
192
Menurut Pasal 46 angka 1 huruf b menyatakan bahwa gugatan dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama
menurut penlis ini mengenyampingkan PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang gugatan Class Action. Hal ini berkaitan dengan asas hukum Lex Superiori
Derogat Legi Inferiori yaitu ketentuan yang mempunyai derajat yang lebih tinggi
Seharusnya Penggugat II, III, dan IV tidak ikut menggabungkan gugatannya dengan Penggugat I, hal tersebut menyebabkan gugatan kabur karena ada
perbedaan kepentingan yang dituntut para Penggugat dimana Penggugat I menuntut bahwa eksekusi yang dilakukan Tergugat tidak sah sedangkan Pengguat
II, III, dan IV menuntut bahwa Perjanjian Pembiayaan yang mereka tanda tangani menjadi batal demi hukum padahal gugatan ini sudah merupakan gugatan yang
berbeda dan tidak dapat digabungkan.
191
http:edukasi.kompasiana.com20131019batal-demi-hukum-602043.html diakses tanggal 3 april 2015 pukul 17.05 wib
192
M. Yahya Harahap, S.H, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hal 107
120
didahulukan pemanfaatannya daripada ketentuan yang mempunyai derajat lebih rendah. Dalam hal ini UUPK memiliki derajat yang lebih tinggi daripada PERMA
No. 1 Tahun 2002 karena PERMA dibuat oleh Mahkamah Agung yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang dan hanya memiliki kekuatan
hukum mengikat selama diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
193
a. Tidak mengalami perubahan apa pun, Namun gugatan penggugat menjadi kabur dikarenakan dalam hal ini
antara Penggugat I menggunakan jenis Perjanjian Kredit dengan Tergugat dan Penggugat II, III, dan IV menggunakan Perjanjian Pembiayaan dengan tergugat
yang mana konsekuensi atas kedua perjanjian ini berbeda. Hal ini sangat disayangkan karena atas dasar ini yang menjadikan gugatan para Penggugat tidak
dapat diterima. Walaupun terhadap putusan ini dapat diajukan kembali dengan jalan menghilangkan cacat formil yang bersangkutan.
Terhadap putusan akhir yang memuat diktum gugatan tidak dapat diterima niet ontvankelijk verklaard, apabila dalam gugatan penggugat terkandung cacat
formil. Dalam putusan akhir menyatakan tidak dapat diterima maka status hubungan hukum antara para pihak maupun dengan objek perkara:
b. Oleh karena itu hubungan hukum di antara mereka kembali kepada keadaan semula seperti sebelum terjadi perkara,
c. Dengan dimikian jika sekiranya pada saat proses berlangsung telah sempat diletakkan sita atas objek perkara atas harta tergugat maka
193
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan PerUndang-Undangan
121
putusan akhir tersebut disertai dengan diktum: memerintahkan pengangkatan sita.
194
194
M. Yahya Harahap, Op.cit, hal 891
122
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN