Coral Triangle Initiative sebagai “Green Business” Baru

72 Dalam forum pertama tersebut, CTI memiliki 3 target utama untuk merangsang investasi dalam kemitraan publik-swasta yang menjamin keberlanjutan dan profitabilitas sektor-sektor kunci yang bergantung pada sumber daya laut di CT. Pertama, menginspirasi sektor-sektor kelautan berbasis sumber daya tuna, ikan karang hidup, agen perjalanan dan pariwisata yang beroperasi di CT untuk menangani ancaman bisnis lingkungan, sosial dan ekonomi melalui akses green investment yang mendukung kemitraan untuk bisnis yang menguntungkan dan berkelanjutan dalam CT. Kedua, mengkatalisasikan kolaborasi antara pemerintah CT6, LSM, lembaga internasional dan sektor swasta yang mendorong kemitraan swasta-publik dan mendorong investasi berkelanjutan, dan pertumbuhan hijau dan bersih. Ketiga, memastikan komitmen berkelanjutan dari sektor-sektor kunci dalam mendukung tujuan negara anggota CTI menuju pembangunan berkelanjutan WWF, 2010. Bisnis di CT yang siap untuk berganti haluan menjadi green investment yang dapat menuai keuntungan dari peluang pasar baru dan menyelaraskan diri dengan prioritas CTI. Menurut Dr Lida Pet-Soede, Coral Triangle Business Summit dimaksudkan untuk membantu bisnis menuai keuntungan pasar melalui pengelolaan 73 yang bertanggung jawab dari lingkungan laut. Ancaman perubahan iklim dan permintaan konsumen yang meningkat untuk green products menunjukkan salah satu peningkatan kebutuhan yang dapat dimanfaatkan oleh manajemen dari CT WWF, 2009. Tahun 2011 Malaysia bersama USCTI didaulat sebagai penyelenggaraan untuk 2 �� CTI Business Summit dan mengganti nama menjadi CTI Regional Business ForumCTI-RBF. CTI-RBF 2011 menarik 188 peserta mewakili 43 dari lembaga pemerintah, 25 dari sektor swasta dan 32 dari masyarakat sipil dan akademisi. Peserta termasuk perwakilan dari bisnis dan industri, instansi pemerintah lokal dan nasional, lembaga swadaya masyarakat dan lembaga akademis yang bekerja di kawasan Coral Triangle. Para pemimpin bisnis dan industri diwakili sektor termasuk ekowisata, teknologi informasi, pengiriman dan logistik, investasi hijau, dan perikanan komersial. Masing-masing dari CT6 mengumumkan kemitraan baru dengan sektor swasta dan telah menyoroti kemajuan program sektor swasta mereka sejak 1 CTI Business Summit yang diadakan di Filipina tahun 2010. Public-Private Partnerships PPPs dibentuk untuk tujuan kerjasama bersama sektor bisnis publik-privat dalam bidang tekknologi dan praktik baru skala regional 74 dan nasional yang akan melindungi spesies laut, meningkatkan hasil perikanan dan mengurangi jumlah penangkapan spesies laut. Kelompok bisnis ini akan mendukung program-program pelestarian lingkungan ekosistem laut dan pesisir serta mempromosikan Untuk masuk dalam PPPs, kelompok bisnis harus mematuhi regulasi dan telah memperoleh persetujuan dari CT6. 3 � CTI-RBF 2013 di Bali fokus dalam membangun perkembangan Blue Economy di kawasan dengan menerapkan model bisnis ekonomi baru yang secara ekonomi menguntungkan dan berkelanjutan bagi lingkungan. Blue Economy dapat membantu memperbesar upaya produksi makanan laut yang bertanggung jawab di Coral Triangle. Forum ini digunakan sebagai latform regional untuk membantu menjaga profitabilitas jangka panjang dari bisnis, kelestarian sumber daya laut yang terbatas di kawasan dan kesejahteraan jutaan orang yang secara langsung tergantung pada CT untuk makanan dan mata pencaharian CTI-RBF, 2013 � �� CTI-CFF Regional Business Forum 2015 diadakan di Bali dengan 3 kegiatan khusus yaitu Coral Triangle Sustainable Marine Tourism Conference, Coral Triangle Marine Tourism Investment Forum, Coral Triangle Marine Tourism Expo. Forum ini sebagaian besar memfokuskan pada investasi dan pengelolaan pariwisata 75 bahari yang berkelanjutan serta pengembangan inovasi baru dalam industri pariwisata. Menurut Rili Djhani, pengelolaan sektor bisnis pariwisata bahari secara berkelanjutan akan memberikan dampak yang besar pada upaya pelestarian keanekaragaman hayati laut di kawasan Segitiga Karang serta membantu penghidupan 120 juta orang yang menggantungkan hidupnya dari ekosistem laut. Kita bisa menjaga dan melestarikan sumber daya yang unik ini dengan baik dengan melibatkan berbagai lapisan pemangku kepentingan termasuk dari sektor swasta, pejabat pemerintah lokal, dan para pemimpin perempuan yang ada di kawasan Segitiga Karang Herdiman, 2015 CTI-RBF bagi regional sangat penting. Dengan menggandeng sector-sektor public dan swasta, CTI dapat mendorong kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian lingkungan khususnya lingkungan ekosistem laut dan pesisir. Tren “greening” yang mulai digandrungi masyarakat menciptakan peluang pasar dan dimanfaatkan oleh pelaku bisnis yang semula dengan cara konvensional beralih ke ramah lingkungan. Program CSR yang diwajibkan bagi industri bisnis semakin inovatif yang mempertimbangkan keanekaragaman hayati, konservasi, dan ekosistem. 76 PPPs memberikan akses terbuka bagi proses industri dan peralihan teknologi hijau untuk perikanan dan pengembangan properti pesisir yang berkelanjutan. Pemangku kepentingan CT6 akan mengejar kemitraan sektor publik-swasta untuk menjamin keberlanjutan sumber daya laut sehingga pemerintah harus menetapkan dan menegakkan kerangka kerja untuk investasi hijau yang berkelanjutan. Beralihnya model filantropi dari tradisional ke model bisnis hijau, membuat keterlibatan bisnis kedalam kemitraan regional dalam isu lingkungan semakin besar. Melalui RBF ini CTI mengembangkan skema program insentif, menarik investasi baru bagi kawasan, pelatihan dan peningkatan kapasitas, menilai dan monitoring, dan menerjemahkan hasil dari investasi bisnis dan program CSR swasta sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat yang bergantung pada sumber daya laut dan pesisir segitiga karang. Dukungan dari sektor bisnis untuk pengelolaan berkelanjutan Segitiga Karang merupakan hal yang sangat baik yang tidak hanya membantu bumi ini tetapi juga membuka jalan bagi pembangunan ekonomi yang solid dan berkelanjutan. 76 BAB IV PENERAPAN DIPLOMASI INDONESIA DALAM CORAL TRIANGLE INITIATIVE Perubahan peta politik, struktur dan sistem internasional saat ini memunculkan aktor-aktor politik baru. Aktor-aktor politik dalam hubungan internasional tersebut kini tidak hanya diisi oleh negara tetapi juga aktor non negara seperti NGO, IGO, lembaga riset, perusahaan multinasional-transnasional, organisasi keagamaan, akademisi, bahkan individu. Keragaman aktor-aktor tersebut membawa perubahan pada agenda internasional. Isu-isu yang dihadapi masyarakat global juga beragam mulai dari isu perbatasan wilayah, HAM dan demokrasi, energi dan sumberdaya, perubahan iklim, dan lainnya. Untuk menghadapi isu-isu tersebut diperlukan penyelesaian secara multilateral ditengah kompleksitas lingkungan regional dan global. Permasalahan lingkungan regional seperti pencemaran dan pengrusakan lingkungan laut di kawasan Indo-Pasifik menjadi sorotan global karena berdampak pada ekosistem dan sumber makanan dunia. Indonesia sebagai negara dengan 77 kawasan laut terluas di kawasan CT memiliki peran yang pennting untuk perbaikan dan kelestarian kawasan maritim.

A. Politik Luar Negeri Indonesia dalam Isu Lingkungan

Perubahan peta politik dunia serta beberapa isu baru yang dihadapi masyarakat global turut mempengaruhi pola politik luar negeri suatu negara. Isu lingkungan hidup mulai menjadi agenda internasional sekitar 1970an meskipun telah ada konvensi atau perjanjian mengenai lingkungan sebelumnya. Indonesia yang mengusung prinsip politik luar negeri bebas aktif sejak era kepemimpinan Soekarno hingga saat ini tidak terlepas dalam perubahan fokus pelaksanaan politik luar negerinya khususnya terkait isu lingkungan hidup. Di awal kemerdekaan RI, Indonesia fokus terhadap mempertahankan kedaulatan dan menyuarakan antikolonialisme ditambah isu lingkungan belum menjadi isu global. Memasuki orde baru, Indonesia memaksimalkan pembangunan nasional salah satunya melalui industrialisasi yang menimbulkan efek negative bagi lingkungan dan ketersediaan sumber daya alam. Keikutsertaan dan komitmen Indonesia dalam kelestarian lingkungan hidup di dunia internasional tidak sejalan dengan kenyataan yang ada didlam negeri. Industrialisasi yang merusak lingkungan 78 terutama pembakaran lahan dan pembuangan limbah merupakan isu lingkungan domestik yang mendominasi di era kepemimpinan Soeharto Alami, 2015. Tahun 1972 diselenggarakan Konferensi Stockholm sebagai titik awal pertemuan yang membicarakan masalah pembangunan dan lingkungan hidup. Konferensi Stockholm mengkaji ulang pola pembangunan konvensional yang selama ini cenderung merusak bumi yang berkaitan erat dengan masalah kemiskinan, tingkat pertumbuhan ekonomi, tekanan kependudukan di negara berkembang, pola konsumsi yang berlebihan di negara maju, serta ketimpangan tata ekonomi internasional. Indonesia hadir sebagai peserta konferensi tersebut dan turut menandatangani kesepakatan untuk memperhatikan segi-segi lingkungan dalam pembangunan. Indonesia menerima hasil konferensi stocklhom pada sidang kabinet pimpinan presiden Soeharto pada Juni 1972. Sebagai tindak lanjutnya, berdasarkan Keppres No. 16 Tahun 1972 Indonesia membentuk panitia interdepartemental yang disebut dengan Panitia Perumus dan Rencana Kerja Bagi Pemerintah di Bidang Lingkungan Hidup guna merumuskan dan mengembangkan rencana kerja di bidang lingkungan hidup. Panitia tersebut berhasil merumuskan program kebijaksanaan lingkungan 79 hidup sebagaimana tertuang dalam Butir 10 Bab II GBHN 1973-1978 dan Bab 4 Repelita II Kementerian Lingkungan Hidup, 2010. Keberadaan lembaga yang khusus mengelola lingkungan hidup dirasakan mendesak agar pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup baik di tingkat pusat maupun di daerah lebih terjamin. Untuk merealisasikan komitmen Indonesia tersebut dibentuklah badan-badan yang bertugas untuk merumuskan kebijakan dan pengembangan lingkungan hidup yaitu LIPI dan Badan Perencanaan Pembangunan Indonesia walaupun pembentukan kedua lembaga tersebut dianggap hanya sebagai formalitas implementasi Indonesia atas keikutsertaannya dalam konferensi lingkungan hidup. Memasuki era reformasi kebijakan luar negeri Indonesia mengalami perubahan dari era sebelumnya. Kondisi politik domestik yang tidak stabil pasca reformasi 1998 di masa kepemimpinan B.J Habibie, Abdurahman Wahid dan Megawati, kebijakan politik luar negeri Indonesia tidak terlalu menonjol mengingat pemerintah fokus untuk mengembalikan kestabilan politik dalam negeri. Seiring perubahan politik domestik yang mendasar, kebijakan politik luar negeri Indonesia dihadapkan dengan kondisi politik global dengan isu-isu dan tantangan yang semakin kompleks. Masalah lingkungan yang dihadapi masih berkisar pada sumber daya alam,