Ancaman Terhadap Sumber Daya Laut Coral Triangle

39 terjadi secara berkepanjangan akan menyebabkan kematian pada binatang karang dan lingkungan terumbu karang akan hancur. Kerusakan terumbu karang, seperti telah dijelaskan sebelumnya akan mempengaruhi kehidupan dan penyediaan sumberdaya bagi masyarakat pesisir Tahun 1998, Konferensi CBD ke-4 menyatakan keprihatinan yang mendalam terhadap peristiwa pemutihan karang yang meningkat tajam dan ekstensif dengan hubungannya kepada perubahan iklim dunia. Sebagai jawabannya, Sekretaris Eksekutif CBD menyelenggarakan Konsultasi Ahli untuk Pemutihan Terumbu Karang bulan Oktober 1999. Mereka menghasilkan suatu laporan dan seperangkat usulan bagi daerah-daerah prioritas untuk ditindak. Laporan ini disajikan pada Badan Tambahan CBD untuk Usulan Ilmiah, Tehnik dan Teknologi CBD’s Subsidiary Body on Scientific, Technical and Technological Advice SBSTTA-5 yang selanjutnya berkembang menjadi rancangan tindakan. SBSTTA kemudian menyampaikan usulan mereka kepada Konferensi Kelima Pihak-Pihak dalam CBD COP-5 Westmacott, Teleki, Wells, West, 2000 Pemutihan akibat perubahan iklim bukanlah satu-satunya ancaman bagi terumbu karang. Meningkatnya kegiatan manusia juga memberikan dampak besar 40 sehingga menurunkan kondisi terumbu karang dunia. Kegiatan manusia tersebut sebagian besar merupakan kegiatan penggunaan sumber daya laut dan pesisir yang berlebihan serta ditunjang oleh perencanaan dan pengelolaan yang kurang tepat. Di negara kepulauan berkembang seperti Komoro, Fiji, Grenada, Haiti, Indonesia, Kiribati, Filipina, Tanzania, dan Vanuatu paling rentan terhadap pengaruh kerusakan terumbu karang. Di negara tersebut, terumbu karang menghadapi ancaman tingkat tinggi, penduduk sangat tergantung pada terumbu karang tetapi kemampuan penduduknya terbatas dalam beradaptasi terhadap kematian terumbu karang. Pembangunan di wilayah pesisir biasanya terkait dengan proyek reklamasi, permukiman penduduk, industri, budidaya perikanan, prasarana pariwisata dan penambangan karang dapat memberikan pengaruh sangat besar terhadap ekosistem di sekitar pantai. Penambangan karang seperti di Nusa Tenggara Timur, Wakatobi dan sebagian wilayah Papua masih melakukan pengambilan terumbu karang untuk tujuan yang beragam. Penambangan karang yang resmi tersebut secara terbatas dengan ijin pemerintah untuk beberapa perusahaan yang melakukan pengambilan terumbu karang. Jumlah pengambilan ditentukan berdasarkan kuota per wilayah. Meskipun ada pembatasan kuota tetapi pada kenyataannnya penambangan karang dilakukan 41 secara besar-besaran dan eksploitatif. Dampak dari pembangunan pesisir ini telah mengancam lebih dari 30 terumbu karang. Pencemaran laut baik dari aktivitas di laut maupun darat menyumbang kerusakan 25 terumbu karang. Pencemaran yang berasal dari DAS biasanya bersumber dari kegiatan pertanian yang menggunakan bahan-bahan kimia sebagai pupuk atau anti hama yang larut dalam air sehingga terbawa aliran air. Penggunaan tata guna lahan darat dan sistem pertanian yang tidak berkelanjutan di wilayah DAS berdampak pada pencemaran dan proses sedimentasi hingga ke muara sungai dan pantai. Pencemaran ini terjadi terutama di banyak daerah di Filipina, Indonesia bagian tengah, Timor-Leste, dan sebagian Kepulauan Solomon Burke, Reytar, Spalding, Perry, 2012. Pembuangan limbah baik dari limbah rumah tangga maupun industri juga turut menyumbang pencemaran laut. Di Kepulauan Seribu misalnya, hasil kajian dari Walhi tahun 2014 menjelaskan bahwa kerusakan terumbu karang sudah mencapai tahap yang mengkhawatirkan sebagai akibat pembuangan berton-ton limbah dan sampah yang mengalir ke Teluk Jakarta, 80 lingkungan di perairan Teluk Jakarta tercemar berat karena karena limbah industry dan rumah tangga Nasrul, 2014. Pencemaran dari aktivitas laut biasanya dari aktivitas 42 transportasi dan industri yang berada di laut seperti lambung kapal yang tercemar, kebocoran bahan bakar, limbah cair yang tidak diolah terlebih dahulu, limbah padat, dan tumpahan minyak. Overfishing dan destructivefishing adalah kegiatan penangkapan ikan berlebihan dan penangkapan tidak ramah lingkungan yang merupakan ancaman yang paling besar dan merusak yang mempengaruhi hampir 85 terumbu karang. Penangkapan yang merusak, penggunaan bahan peledak dan racun untuk membunuh atau menangkap ikan merupakan lazim di banyak bagian dari kawasan CT, khususnya di Malaysia Timur, Filipina, dan Indonesia sehingga mengancam hampir 60 terumbu karang di kawasan CT Burke, Reytar, Spalding, Perry, 2012. Pertambahan penduduk dan permintaan konsumen atas produk hasil laut mendorong nelayan untuk menggunakan jalan pintas agar memperoleh hasil tangkapan yang lebih banyak dan dalam waktu yang relative cepat. Hampir semua terumbu karang di Filipina, Malaysia, dan Timor Leste dinilai terancam oleh penangkapan yang tidak lestari. Hanya Papua Nugini dan Kepulauan Solomon memiliki terumbu karang luas dengan ancaman tingkat rendah dari penangkapan yang tidak lestari karena letak 43 terumbu karang yang jauh dari pusat permukiman berpenduduk banyak Burke, Reytar, Spalding, Perry, 2012. Coral Triangle yang mencakup sebagian Asia Tenggara dan Pasifik Barat merupakan pusat keanekaragaman hayati laut dunia. kawasan ini mempunyai kekayaan spesies karang dan ikan karang yang lebih besar dibandingkan dengan tempat lain mana pun di muka bumi ini. Alasan kekayaan yang luar biasa dari Segitiga Karang mencakup keadaan geologi, lingkungan fisik dan berbagai proses ekologi. Temuan ini didukung oleh penyebaran paralel ikan karang dan biota laut lainnya, hal memberikan pembenaran ilmiah yang jelas untuk Coral Triangle Initiative yang dapat dikatakan salah satu usaha konservasi terumbu karang yang paling signifikan di dunia Veron, et al., 2009.

B. Kerusakan Kawasan Hutan Magrove dan Padang Lamun Coral Triangle

Di sepanjang pesisir dan lautan Indonesia terdapat kawasan yang sangat “unik” dimana terdapat 5 lima macam ekosistem yang sangat produktif seperti ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, ekosistem muara, ekosistem rumput laut dan 44 ekosistem padang lamun yang dapat memberikan kontribusi sebagai areal penghasil sumber protein dan dapat meningkatkan pendapatan nelayan serta pendapatan daerah Damanhuri, 2003. Pada umumnya, daerah dataran rendah di kawasan CT sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, khususnya terhadap peningkatan intensitas badai dan banjir akibat kenaikan permukaan air laut. Para ilmuwan memprediksi bahwa pada akhir abad ini sebagian besar kawasan CT tidak dapat dihuni lagi, bila pelepasan emisi gas rumah kaca tidak dapat diperlambat. Perubahan iklim telah membawa dampak yang nyata dan mahal terhadap ekosistem pesisir di kawasan CT melalui pemanasan global, pengasaman dan naiknya permukaan laut. Naiknya suhu mengakibatkan pemutihan dan kematian karang secara massal. Hal ini akan mempercepat rusaknya ekosistem terumbu karang apabila hal tersebut terus berlangsung dengan disertai peningkatan intensitas dan frekuensinya Lawrence, 2012 Ekosistem pesisir dalam kawasan CT sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan sekitar, perubahan iklim memiliki dampak besar pada ekosistem pesisir. Pemanasan global dalam seabad terakhir ini mengakibatkan ekosistem laut seperti terumbu karang mendekati ambang batas penyesuiaan diri terhadap lingkungan 45 dengan efek variabilitas alam misalnya air laut lebih hangat dari rata-rata tahunan. Ketika dikombinasikan dengan tekanan lingkungan seperti kualitas air yang buruk, polusi atau over fishing, perubahan ini akan menghilangkan fungsional terumbu karang dan ekosistem lainnya seperti mangrove di garis pantai dari CT. Dampak dari perubahan ini akan membawa pengaruh terhadap kehidupan masyarakat pesisir yang sangat serius terutama dalam aspek perekonomian. Kerusakan di CT tidak hanya berkaitan dengan terumbu karang dan biota laut tetapi juga meliputi ekosistem pesisir seperti hutan mangrove dan padang lamun. Mangrove memiliki manfaat sebagai tanggul pencegah abrasi atau pengikisan pantai oleh gelombang air laut. Mangrove juga mampu menyimpan karbon dalam kuantitas tinggi, bahkan lebih tinggi dibanding hutan di daratan. Luasan satu hektar hutan mangrove mampu menyimpan 1,5 metrik ton karbon per tahun serta tempat tinggal, tempat mencari makan, dan tempat berpijah bagi banyak spesies Agnika, 2015. Lamun adalah tumbuhan berbunga yang hidup terbenam di dalam laut dangkal. Lamun berbeda dengan rumput laut. Lamun mempunyai akar dan rimpang yang mencengkeram dasar laut sehingga dapat membantu pertahanan pantai dari gerusan ombak dan gelombang. Padang lamun merupakan tempat berbagai jenis ikan