UPAYA INDONESIA DALAM MENANGGULANGI KERUSAKAN LINGKUNGAN DI KAWASAN SEGITIGA TERUMBU KARANG MELALUI CORAL TRIANGLE INITIATIVE

(1)

UPAYA INDONESIA DALAM MENANGGULANGI

KERUSAKAN LINGKUNGAN DI KAWASAN SEGITIGA

TERUMBU KARANG MELALUI CORAL TRIANGLE

INITIATIVE

SKRIPSI

Disusun oleh :

Puput Harti Wulandari

20120510457

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

UPAYA INDONESIA DALAM MENANGGULANGI KERUSAKAN LINGKUNGAN DI KAWASAN SEGITIGA TERUMBU KARANG MELALUI

CORAL TRIANGLE INITIATIVE SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata-1 (S1)

Pada Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

DISUSUN OLEH : PUPUT HARTI WULANDARI

20120510457

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(3)

ii LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi saya ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik sarjana baik di Universitas Muhammadiyah ataupun di Perguruan Tinggi lain.

Dalam skripsi ini tidak terdapat karya atau pendapat orang lain yang telah dituliskan atau dipublikasikan orang lain---kecuali secara tertulis jelas dengan dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama dan dicantumkan di daftar pustaka.

Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila ada ketidakbenaran dalam skripsi ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Yogyakarta, Desember 2016


(4)

iii

UCAPAN TERIMAKASIH

Saya ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan skripsi ini yang akhirnya dapat diselesaikan dengan baik. Terutama kepada :

1. Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik

2. Bapak Adde Marup Wirasenjaya, S.IP, M.Si selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan waktu dan arahan dalam proses penulisan skripsi ini 3. Bapak Sugito, S.IP, M.Si selaku dosen penguji 1 yang telah memberikan

arahan dalam menyempurnakan skripsi ini

4. Ibu Wahyuni Kartikasari, S.T, S.IP, M.Si selaku dosen penguji 2 yang telah memberikan arahan dalam menyempurnakan skripsi ini

5. Bapak Sidiq Ahmadi, S.IP, M.A selaku dosen penguji proposal yang telah memberikan arahan dalam menyempurnakan skripsi ini

6. Bapak Sugeng Riyanto, S.IP, M.Si selaku dosen penguji proposal yang telah memberikan arahan dalam menyempurnakan skripsi ini

7. Seluruh dosen jurusan Ilmu Hubungan Internasional Univesitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat sehingga membantu proses pembuatan skripsi ini

8. Seluruh karyawan Tata Usaha jurusan Hubungan Internasional dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah membantu dan memberikan pelayanan fasilitas dalam proses pembuatan skripsi ini

9. Kedua orangtua, Bapak Haryatno dan Ibu Suparti yang telah memberikan motivasi, dukungan, dan doa untuk menyelesaikan skripsi ini

10.Teman-teman HI UMY 2012, terutama Ega Ulfia Ulfah yang telah banyak membantu dan memberikan dukungannya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.


(5)

iv 11.Teman-teman alumni 2006 SD Muhammadiyah Karangploso terutama Asterina dan Heni yang telah banyak membantu dan berbagi pengalaman serta memberikan motivasi dan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini

Serta kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam proses penulisan skripsi yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih

Yogyakarta, Desember 2016


(6)

v MOTTO

“Tiada hasil yang mengkhianati usaha”

~Elvira Devinamira~


(7)

vi ABSTRAK

Dampak global warming dirasakan semua sektor kehidupan manusia tak terkecuali laut dunia. kerusakan di kawasan Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle). Diperlukan usaha bersama baik antar negara, lembaga, maupun sistem internasional dalam mengupayakan pelestarian dan penganggulangan kerusakan lingkungan yang berdampak bagi kehidupan manusia di bumi dalam bentuk kerjasama internasioanlKebutuhan untuk melindungi sumber daya laut dan pesisir di kawasan tersebut, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono mempelopori pemimpin negara di kawasan coral triangle untuk meluncurkan Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security (CTI-CFF). Terdapat tahapan-tahapan penting dalam kerjasama tersebut untuk menarik banyak aktor pendukung di luar kawasan CT sehingga proses interaksi semakin kompleks.

Kata kunci : Kerjasama internasional, Coral Triangle, Multitrack diplomacy, Coral Triangle Initiative, RPOA


(8)

vii DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN ……….. iii

DAFTAR ISI ……….. vii

BAB I ……….. 1

PENDAHULUAN ………. 1

A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Rumusan Masalah ………... 13

C. Kerangka Pemikiran ……….. 13

1. Teori Kerjasama Internasinal ……… 13

2. Konsep Rezim Internasinal ………... 18

3. Multitrack Diplomacy ………... 21

D. Hipotesa ……… 29

E. Metode Penelitian ……… 29

F. Sistematika Penelitian ………... 31

BAB II ………... 34

ISU CORAL TRIANGLE DAN ANCAMAN TERHADAP SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR ……….. 34

A. Ancaman Terhadap Sumber Daya Laut Coral Triangle ………... 34

B. Kerusakan Kawasan Hutan Mangrove dan Padang Lamun Coral Triangle ……….. 42

C. Upaya Konsevasi Laut dan Pesisir ……….. 46

BAB III ……….. 49

KONSERVASI CORAL TRIANGLE DAN KOLABORASI CTI-CFF PARTNERSHIP ……… 49


(9)

viii

A. Upaya Konservasi Laut dan Pesisir Regional ………. 50

B. Rencana Aksi Regional (Regional Plan of Action) ………. 53

C. Kolaborasi dan Koordinasi CTI ……….. 56

D. Coral Triangle Support Partnership (CTSP) ………... 61

E. Coral Triangle Initiative sebagai “Green Business” Baru ………... 69

BAB IV ………... 76

PENERAPAN DIPLOMASI INDONESIA DAAM CORAL TRINGLE INITIATIVE ……….. 76

A. Politik Luar Negeri Indoesia dalam Isu Lingkungan ………... 77

B. Peran dan Strategi Indonesia dalam Penyelamatan Lingkungan CTI ……….. 87

BAB V ………... 97

KESIMPULAN ………... 97

LAMPIRAN ……….. 101

DAFTAR PUSTAKA ……… 107

Daftar Gambar

Gambar 1.1 Diagram Multitrack System ……… Error! Bookmark not defined.


(10)

(11)

(12)

ABSTRAK

Dampak global warming dirasakan semua sektor kehidupan manusia tak terkecuali laut dunia. kerusakan di kawasan Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle). Diperlukan usaha bersama baik antar negara, lembaga, maupun sistem internasional dalam mengupayakan pelestarian dan penganggulangan kerusakan lingkungan yang berdampak bagi kehidupan manusia di bumi dalam bentuk kerjasama internasioanlKebutuhan untuk melindungi sumber daya laut dan pesisir di kawasan tersebut, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono mempelopori pemimpin negara di kawasan coral triangle untuk meluncurkan Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security (CTI-CFF). Terdapat tahapan-tahapan penting dalam kerjasama tersebut untuk menarik banyak aktor pendukung di luar kawasan CT sehingga proses interaksi semakin kompleks.

Kata kunci : Kerjasama internasional, Coral Triangle, Multitrack diplomacy, Coral Triangle Initiative, RPOA


(13)

1 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Masalah lingkungan hidup, dewasa ini telah menjadi isu sentral dalam politik dan wacana global serta menciptakan jaringan politik yang kompleks di seluruh dunia. Di Indonesia, isu-isu lingkungan telah menjadi fenomena penting dan mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Dengan posisi tersebut, lingkungan melahirkan pola-pola interaksi dengan variasi yang kompleks dan melibatkan aktor yang paling majemuk. Konflik dan kerjasama antar negara, antar daerah atau antar pemerintahan, antara pemerintah dan masyarakat, antara masyarakat dan dunia usaha, dan masih banyak lagi sudah menjadi tema penting yang menghubungkan aktor-aktor yang bervariasi. Bahkan pengembangan gagasan-gagasan konseptual seperti network governance yang merupakan konsekuensi logis dari perubahan teknologi dan pergeseran pemaknaan mengenai politik dan demokrasi, juga menemukan lingkungan sebagai titik tumpu bagi perkembangannya.Tidak ada wilayah di dunia yang bebas


(14)

2 dari masalah lingkungan. Sebagian wilayah cenderung berfokus pada isu-isu lingkungan lokal tertentu yang berdampak langsung terhadap wilayah tersebut.

Persoalan lingkungan hidup kini bukan lagi persoalan ringan karena sudah menyentuh level pengambilan keputusan baik di tingkat negara maupun sistem internasional. Oleh karena itu, sudah sepatutnya jika masuknya isu lingkungan hidup dalam ilmu Hubungan Internasional dapat memberikan kontribusi penting bagi penyelamatan dan upaya pelestarian lingkungan hidup tersebut. Dalam perspektif manusia, masalah lingkungan melibatkan kekhawatiran tentang ilmu pengetahuan, alam, kesehatan, pekerjaan, keuntungan, politik, etika, danekonomi. Kebanyakan keputusan sosial dan politik yang dibuat sehubungan dengan yurisdiksi politik tapi masalah lingkungan tidak selalu bertepatan dengan batas-batas politik buatan (Enger & Smith, 2013).

Topik lingkungan hidup muncul semakin sering dalam agenda internasional lebih dari tiga dekade terakhir. Jumlah masyarakat yang semakin meningkat, paling tidak di negara-negara barat yakin bahwa aktivitas sosial dan ekonomi manusia sedang berlangsung dengan cara yang mengancam lingkungan hidup. Dalam lima decade terakhir semakin banyaknya manusia telah memperbesar jumlah


(15)

3 penduduk dunia dibanding dalam seluruh milenia keberadaan manusia sebelumnya. Populasi global yang sangat cepat meningkat mengejar standar kehidupan yang lebih tinggi merupakan ancaman potensial terhadap lingkungan hidup (Jackson & Sorensen, 2005).

Diperlukan usaha bersama baik antar negara, lembaga, maupun sistem internasional dalam mengupayakan pelestarian dan penganggulangan kerusakan lingkungan yang berdampak bagi kehidupan manusia di bumi dalam bentuk kerjasama internasioanl. Terkait upaya pelestarian lingkungan hidup, melakukan kerjasama internasional merupakan salah satu alternatif solusi yang efektif. Hingga saat ini sudah terdapat beberapa bentuk kerjasama internasional terkait persoalan lingkungan hidup. Seperti pada tahun 1972, PBB membentuk United Nation Environment Programme (UNEP) dan Dana Lingkungan Internasional (Environment Fund) yang merupakan kerjasama internasional untuk penanganan masalah-masalah lingkungan yang konvensional (Yusran).

Salah satu isu lingkungan yang sering dibahas yaitu pemanasan global (global warming). Global warming tersebut membawa efek domino terhadap kehidupan manusia. Global warming juga berdampak besar pada ekosistem laut dan pesisir


(16)

4 terutama di kawasan Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle) oleh pemanasan, pengasaman dan naiknya permukaan air laut. Dua kejadian terdahsyat pemutihan karang yang mengakibatkan kerusakan signifikan pada terumbu di seluruh dunia juga terkait dengan perubahan iklim, pada tahun 1998, pemutihan karang menghancurkan lebih dari 16% dari terumbu karang dunia, termasuk di wilayah Segitiga Terumbu Karang. Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, banyak bagian dari Segitiga Terumbu Karang akan hilang pada akhir abad ini. Terumbu karang adalah ekosistem di dasar laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur (CaCO3) khususnya jenis-jenis karang batu dan alga berkapur, bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar lainnya seperti jenis-jenis molusca, crustasea, echinodermata, polichaeta dan porifera serta biota lain yang hidup bebas di perairan sekitarnya termasuk plankton dan nekton.

Dalam sebuah laporan, lebih dari 85 % dari terumbu karang di Kawasan Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle) secara langsung terancam oleh aktivitas manusia, jauh melebihi rata-rata global yaitu 60 persen. Temuan dalam laporan ini menunjukkan bahwa ancaman terbesar bagi terumbu karang di negara-negara kawasan Coral Triangle adalah penangkapan ikan yang berlebihan, polusi pada


(17)

5 daerah aliran sungai, dan pembangunan kawasan pesisir. Ketika ancaman ini digabungkan dengan pemutihan terumbu karang (coral bleaching) yang didorong

oleh kenaikan suhu laut, terumbu karang yang tergolong “terancam” meningkat

menjadi 90% (WRI, 2013).

Kawasan Segitiga Terumbu Karang merupakan kawasan jantung terumbu karang dunia yang membentang sepanjang perairan laut Malaysia, Indonesia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon. Segitiga Terumbu karang membentang sepanjang wilayah ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) utuh keenam

wilayah negara tersebut. Kawasan ini juga sering disebut dengan “Amazon Laut”

yang mencakup 30% luas terumbu karang dunia(73.000 km2) dan 75% dari semua spesies karang yang dikenal, 86% dari spesies penyu laut. Kawasan ini merupakan tempat tinggal lebih dari 3000 spesies ikan (dua kali lipat dari jumlah yang ditemui di tempat lain). Terumbu karang dikawasan tersebut menghasilkan sumber daya alam yang menyangga kehidupan lebih dari 130 juta penduduk yang tinggal di kawasan tersebut (WRI, 2012).

Segitiga terumbu karang dunia memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia dan seringkali juga disebut sebagai “Pusat dari Keanekaragaman hayati dunia”


(18)

6 oleh berbagai peneliti di seluruh dunia. Tak hanya bagi mahluk air, terumbu karang pun menjadi sumber protein bagi manusia lewat ikan-ikan yang tumbuh besar di wilayah ini. Di Indonesia, sekitar 60% protein nabati diperoleh dari ikan. Artinya, sekitar 120 juta orang bergantung pada pasokan ikan di perairan sebagai sumber pangan mereka. Hal ini belum termasuk menjadi sumber pendapatan sebesar US$2.4 juta dari bisnis perikanan dan US$12 juta dari bisnis pariwisata di Asia Tenggara, termasuk Pulau Komodo dan Kepulauan Raja Ampat. Segitiga terumbu karang adalah sebuah tempat perkembangbiakan berbagai spesies perairan di wilayah ini, di Indonesiea saja ada 1650 spesies yang bergantung pada terumbu karang. Lokasi ini juga memiliki 75% dari seluruh spesies mangrove atau bakau di seluruh dunia, dan 45% spesies rumput laut (Wihardandi, Mongabay, 2012).

Kerusakan terumbu karang pada dasarnya dapat disebabkan oleh faktor fisik, biologi dan karena aktivitas manusia. Faktor fisik umumnya bersifat alami seperti perubahan suhu, dan adanya badai. Faktor biologis seperti adanya pemangsaan oleh biota yang berasosiasi dengan terumbu karang seperti Bulu Seribu, sedangkan aktivitas manusia dapat berupa sedimentasi yang berasal dari penebangan hutan, penambangan karang, penangkapan berlebihan, pembangunan fasilitas kelautan,


(19)

7 limbah industri, buangan kota dan rumah tangga, dan buangan minyak (Kementerian Lingkungan Hidup, 2008). Hal ini menyebabkan kehidupan dan pertumbuhan terumbu karang sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan dan perairan yang ada di sekitarnya. Apabila kualitas perairannya baik maka terumbu karang dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, begitupun sebaliknya jika lingkungan sekitarnya mengalami perubahan dan gangguan maka terumbu karang akan mengalami kerusakan (Triswiyana, 2014). Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita ada tindakan yang secara langsung ataupun tidak langsung ikut mencemari air laut yang berdampak pada kehidupan terumbu karang, seperti membuang sampah ke laut dan pantai, membawa pulang atau menyentuh terumbu karang saat menyelam, membuang jangkar pada pesisir pantai secara tidak sengaja akan merusak terumbu karang yang berada di bawahnya, reklamasi pantai, penangkapan ikan dengan cara yang salah seperti pemakaian bom ikan, potas atau racun.

Faktor penambangan dan sedimentasi juga ikut menyumbang kerusakan terhadap karang laut. Penambangan migas lepas pantai yang dapat berdampak pada kerusakan secara fisik, sedimentasi, dan pencemaran bahan-bahan kimia,tumpahan


(20)

8 minyak, penambangan karang illegal, penambangan pasir, serta pembuangan limbah tambang ke laut merupakan faktor lain yang menyumbang terhadap pemutihan dan kerusakan terumbu karang serta kematian biota laut.

Era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), politik luar negeri Indonesia mengalami perubahan arah dalam mengusung isu-isu ke dunia internasional. Jika pada pemerintahan presiden-presiden sebelumnya sering mengangkat isu-isu politik tradisional maka di era SBY, Indonesia tidak hanya mengangkat isu politik tradisional tetapi juga isu non tradisional seperti HAM, demokrasi, dan lingkungan hidup (Suara Pembaharuan Berita Satu, 2015). Bagi Indonesia, politik luar negeri merupakan sarana untuk memperjuangkan dan menyampaikan kepentingan politik luar negeri Indonesia terhadap dunia luar. Menurut Bantarto Bandoro, bahwa politik luar negeri itu terkait erat dengan kepentingan nasional suatu negara (Bandoro, 2007). Karena politik luar negeri suatu negara harus terlihat dalam hubungan internasional, maka isu apa saja yang menjadi perhatian publik domestik harus menjadi perhatian dalam kebijakan luar negerinya. Politik luar negeri Indonesia harus adaptatif terhadap politik dunia internasional tanpa perlu mengorbankan nilai-nilai dan kepentingan nasional Indonesia yang berarti


(21)

9 bahwa antara kepentingan publik domestik dengan isu-isu eksternal akan tetap dapat berjalan tanpa meniadakan isu dari salah satu pihak tersebut. Perlunya melakukan penyesuaian terhadap kondisi yang terjadi di dunia internasional tersebut, karena isu-isu yang muncul tentunya akan selalu mengalami perubahan seiring dengan perkembangan dunia. Karena itulah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono berupaya untuk mengakomodir setiap isu-isu domestik yang menjadi isu utama dalam kaitannya dengan kebijakan luar negeri Indonesia di dunia internasional agar tetap mendapat perhatian di dunia luar.

Sebagai negara yang dikarunia keindahan dan kekayaan alam lingkungan dan sumber daya alam yang luas dan melimpah, serta faktor lingkungan hidup yang sangat mendukung pembangunan nasional di berbagai ,Indonesia diakui sebagai salah satu pemilik keanekaragaman hayati besar di dunia (mega diverse countries). Kekayaan sumber daya alam baik di darat maupun laut juga mempengaruhi Indonesia dalam mengambil berbagai inisiatif pada tingkat regional maupun internasional baik dengan maksud melindungi, mengkonservasi maupun dalam penggunaannya yang berkelanjutan (sustainable use). Inisiatif seperti World Ocean Conference, promotor Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation in Developing


(22)

10

Countries (REDD), pemrakarsa “Forest-11” merupakan berbagai usaha yang telah dibangun diplomasi Indonesia yang membawa citra positif di tingkat internasional di era pemerintahan SBY (Kemenlu RI, 2009).

Keharusan untuk menyelamatkan laut, melindungi laut dari kerusakan penyalahgunaan, eksploitasi berlebihan manusia, dari kerusakan oleh karena polusi dan pengaruh perubahan iklim mendorong negara-negara yang termasuk dalam kawasan Segitiga Terumbu Karang menjalin kerjasama untuk menanggulangi dan melestarikan laut dan terumbu karang di kawasan tersebut. Tanpa lautan sebagai sumber protein dan gizi lainnya, setengah penduduk dunia akan kelaparan. Namun, sumberdaya- sumberdaya yang sangat berharga bagi manusia itu kini menurun karena eksploitasi kawasan pesisir dan lautan yang tidak berkesinambungan melalui praktek praktek perikanan yang merusak dan overfishing. Dalam sebuah wawancara Andrew Baird , ahli dari Pusat Studi Terumbu Karang di Australia mengemukakan bahwa banyak penelitian telah dilakukan di Laut Andaman, dari Thailand sampai Singapura, hingga ke Malaysia. Kerusakan karang meluas di bagian barat Samudra Hindia, ke segitiga terumbu karang di dekat Filipina. Di Samudra Pasifik suhu juga meningkat. Tampaknya kerusakan di kawasan tersebut setidaknya sama besar seperti


(23)

11 di tahun 1998 ketika terjadi kerusakan global (Schmidt & Linardy, 2010). Menurutnya, kerusakan terumbu karang disebabkan air yang suhunya terlalu tinggi. Air bersuhu panas mengalir ke wilayah laut Indonesia. Hal ini mengganggu hidup terumbu karang. Di Samudra Hindia ada aliran, yang membawa air bersuhu lebih tinggi, seperti halnya El Nino. Tetapi menurut Andrew Baird aliran yang menjadi siklus alamiah itu tidak menyebabkan pemanasan yang merusak terumbu karang. Pemanasan global yang diakibatkan manusia menambah tinggi suhu air.

Sepanjang wilayah segitiga terumbu karang, komunitas pesisir tergantung pada terumbu karang untuk ketersediaan pangan, kehidupan dan perlindungan pada saat badai melanda, namun ironisnya ancaman di wilayah-wilayah ini justru sangat tinggi. Lebih dari 130 juta orang hidup bergantung pada ekosistem pesisir untuk mendapatkan pangan, pekerjaan, dan keuntungan dari pariwisata laut (Wihardandi, Mongabay, 2012).

Indonesia sadar akan ketergantungan yang tinggi pada sektor kelautan tersebut tetapi memiliki daya adaptasi rendah terhadap lingkungan. Overfishing dan pengrusakan karang serta pembangunan wilayah pesisir yang tidak berkelanjutan merupakan penyebab utama dari kerusakan di wilayah kelautan. Presentase terumbu


(24)

12 karang yang tinggi tidak membuat Indonesia memiliki pengelolaan konservasi alam yang baik serta mampu mengembalikan kelestarian sumber daya alam. Peraturan Perundangan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) yang telah disahkanpun juga tidak mampu mencegah degradasi ekosistem kelautan dan kawasan pesisir laut Indonesia.

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar berperan besar dalam menyuarakan dan memberikan solusi untuk memperkuat inisiatif regional dan global demi pengelolaan sumber daya laut yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Di Asia Tenggara, secara politis dan geografis Indonesia memiliki posisi tawar strategis untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya perikanan serta memimpin perubahan untuk membangun dan memberdayakan inisiatif regional dan global. Peran proaktif Indonesia dalam mempromosikan dan memperkuat solusi untuk mengatasi degradasi ekosistem kelautan, sejalan dengan semangat konstitusional Indonesia yang mengambil partisipasi aktif dalam menciptakan tatanan dunia.


(25)

13 B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang maka rumusan masalah dalam tulisan ini adalah : Bagaimana upaya Indonesia dalam menanggulangi kerusakan lingkungan di kawasan Segitiga Terumbu Karang ?

C. Kerangka Pemikiran

Untuk membantu mendeskripsikan dan memahami mengenai upaya Indonesia dalam menangguangi kerusakan lingkungan di kawasan Segitiga Terumbu Karang melalui Coral Triangle Initiative digunakan suatu alat analisa berupa kerangka pemikiran sebagai landasan teori yang relevan dengan permasalahan yang diangkat yaitu Kerjasama Internasional, Rezim Internasional, dan Multitrack Diplomacy

1. Teori kerjasama internasional

Sebagian besar transaksi dan interaksi di antara negara-negara dalam sistem internasional dewasa ini adalah bersifat rutin dan hampir bebas konflik sebagai akibat timbulnya berbagai permasalahan nasional,regional, atau global. Dalam kebanyakan kasus, sejumlah pemerintah saling mendekati dengan penyelesaian yang diusulkan,


(26)

14 merundingkan, atau membahas masalah , mengemukakan bukti teknis untuk menyetujui satu penyelesaian atau lainnya dan mengakhiri perundingan dengan perjanjian atau pengertian tertentu yang memuaskan kedua belah pihak. Proses ini disebut kolaborasi atau kerjasama.

Meningkatnya hubungan antar negara pada masa ini, maka dalam penelitian ini menggunakan teori kerjasama internasional karena semua segara tidak dapat memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi sendiri dalam meningkatkan perkembangan dan memajukan negaranya. Diperlukan kerjasama internasional dengan negara lain karena adanya saling ketergantungan sesuai dengan kebutuhan negara masing-masing. Perkembangan situasi hubungan internasional ditandai dengan adanya berbagai kerjasama internasional dann berkembangnya aspek diantara isu krisis lingkungan di berbagi kawasan yang telah membawa pengaruh semakin besarnya persoalan lingkungan yang lebih menyita perhatian negara-negara di dunia melalui serangkaian hubungan kerjasama internasional. Demikian halnya Negara di dunia semakin memperkuat posisi saling ketergantungan secara global yang tampak semakin nyata dan titik beratnya adalah membentuk upaya bersama dalam meningkatkan kesejahteraan bersama yang


(27)

15 dilandasi prinsip saling percaya,menghargai, dan menghormati. Dalam kerjasama internasional yang mencakup bidang ataupun aspek social,politik,ekonomi, maupun pertahanan dan keamanan dapat dilakukan lebih dari dua Negara maupun lembaga yang terlibat.

Menurut K.J Holsti, istilah kerjasama internasional berarti (Holsti, 1988) :

“Pandangan bahwa dua atau lebih kepentingan, nilai, atau tujuan saling

bertemu dan saling menghasilkan sesuatu , dipromosikan, atau dipenuhi oleh

semua pihak sekaligus”

Kerjasama internasional bukan saja dilakukan antar negara secara individual tetapi juga dilakukan antar negara yang bernaung dibawah organisasi atau lembaga internasional. Mengenai kerjasama internasional, Koesnadi Kartasasmita mengemukakan bahwa kerjasama internasional merupakan suatu keharusan sebagai akibat adanya hubungan interdependensi dan bertambahnya kompleksitas kehidupan manusia dan masyarakat internasional (Kartasasmita, 1977:19). Mencermati tujuan utama suatu Negara dalam melakukan kerjasama internasional adalah untuk memenuhi kepentingan nasionalnya, yang tidak dimiliki di dalam negeri. Untuk itu, negara perlu memperjuangkan kepentingan nasionalnya di luar negeri. Dalam


(28)

16 kaitannya itu, diperlukan suatu kerjasama untuk mempertemukan kepentingan nasional antar Negara (Dam & Riswandi, 1955:15). Kerjasama internasional dilakukan sekurang-kurangnya harus memiliki dua syarat utama, yaitu pertama, adanya keharusan untuk menghargai kepentingan nasional masing-masing pihak yang terlibat. Tanpa adanya penghargaan, tidak mungkin dapat dicapai suatu kerjasama yang diharapkan. Kedua, adanya kepentingan bersama dalam mengatasi setiap persoalan yang timbul. Untuk mencapai keputusan bersama diperlukan komunikasi dan konsultasi secara berkesinambungan (Dam & Riswandi, 1955:16).

Kerjasama dapat terjadi dalam konteks yang berbeda. Kebanyakan transaksi dan interaksi kerja sama terjadi secara langsung di antara dua negara yang menghadapi masalah atau hal tertentu yang mengandung kepentingan bersama. Usaha kerjasama lain juaga dijalankan dalam berbagai organisasi dan lembaga internasional. Beberapa organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, didasarkan ats kedaulatan setiap anggota ; mereka tidak dapat bertindak tanpa izin pihak-pihak yang terlibat dalam suatu isu dan perjanjian untuk bekerja sama biasanya hanya dibuat sesuai dengan keinginan anggota yang paling sedikit bekerja sama. Disamping kerjasama sederhana bilateralyang berifat incidental diantara dua negara dan


(29)

17 koordinasi multilateral kebiakan nasional atau pembentukan peraturan dalam lembaga-lembaga internasional aatau supranasional, ada kerja sama yang tidak

dilembagakan yang disebut oleh Karl Deutch sebagai “masalah keamanan

pluralistik”. Dalam masyarakat keamanan pluralistik, dua negara atau lebih mempunyai banyak transaksi dan interaksi yang hampir terus-menerus, tetapi tidak perlu organisasi resmi untuk kerjasama (Holsti, 1988:210-211)

Seiring dengan berjalannya waktu, kerjasama di antara negara-negara intensitasnya semakin tiggi dan cakupannya semakin luas. Kerjasama multilateral tak terhindarkan lagi, sehingga ide pembentukan organisasi interasional (Inter-Govermental Organization/IGO) dirasakan perlu untuk dibentuk (Widjajanto, Monika, & Kusumastuti, 2007). Menurut Imber terdapat 5 tujuan ideal negara mendirikan institusi internasional , yaitu (Imber, 1992) : a) menyediakan informasi bagi anggota-anggotanya, b) menciptakan norma atau aturan yang mengatur tingkah laku anggotanya, c) menciptakan aturan yang mengekang anggotanya sebab kerap sekali tak dihiraukan, d) Organisasi internasional dapat meninjau aturan-aturan yang mereka buat, e) dan organisasi internasional memberikan program atau pelayanan bagi anggota atau bagi komunitas yang lebih luas.


(30)

18 Kerusakan lingkungan hidup menjadi perhatian di lingkungan global,dimana aktor-aktor non negara memainkan peranan penting dalammerespon permasalahan lingkungan hidup internasional. Respon terhadappermasalahan lingkungan globalberfokus pada perkembangan danimplementasi dari rezim lingkunganhidup internasional (Greene, 1996:202). Secara khusus makna lingkungan hidup itu sendiri yaitu seluruh kondisi eksternal yang mempengaruhi kehidupan dan peranan organisme. Kerjasama internasional dalam menagani isu lingkungan hidup global diarahkan untuk mencari kesepakatan ukuran-ukuran, patokan-patokan dan norma-norma internasional yang sah serta cara penerapannya. Berkaitan dengan masalah di kawasan Coral Triangle, Indonesia sebagai kawasan yang memiliki bentang terluas dalam kawasan tersebut berinisiatif dan mendorong negara-negara yang meliputi kawasan untuk bersama-sama menemukan solusi untuk memecahkan persoalan dalam kawasan tersebut.

2. Konsep rezim internasional

Rezim berasal dari bahasa latinregimen (sebuah aturan) atau regere (untuk mengatur) (Aggarwal, 1985). Dalam sistem Internasional, Intergovernmental Organizations (IGOs) mempunyai konstribusi untuk mengatur kerja sama. Secara


(31)

19 umum fungsi Organisasi Internasional dalam dunia Internasional menurut Karent Mingst adalah mempunyai kontribusi untuk mengatur kerjasama membantu menyelesaikan perselisihan, memfasilitasi pembentukan jaringan antar pemerintah dan antar bangsa, sebagai arena perundingan Internasional, sebagai tempat penciptaan rezim internasional. Menurut Stephen D. Krasner yang dimaksud rezim adalah

principle,norms, rules, and decisión-making procedures around which actor„s expectation converge in a given issue areal”

yang berarti suatu tatanan yang berisi kumpulan prinsip, norma, aturan, proses pembuatan keputusan, yang bersifat eksplisit maupun implisit, dan saling berkaitan dengan ekspektasi atau pengharapan aktor-aktor dan memuat kepentingan aktor tersebut dalam Hubungan Internasional (Mingst, 1998). Menurut definisi ini, rezim memuat peran dan pedoman tingkah laku sehingga rezim dapat meningkatkan keakuratan tindakan dan rasa aman antar aktor internasional, hal ini membuat rezim dapat dipandang sebagai institusi (Widjajanto, Monika, & Kusumastuti, 2007). Krasner meletakan perkembangan rezim sebagai sebuah variabel yang dependen sedangkan variabel awal yang mempengaruhi dan dapat menjelaskan perkembangan rezim dibagi kedalam 5 poin yang paling utama, yaitu:


(32)

20 a. Kepentingan sikap aktor menyatu pada hasrat bersama untuk memaksimalisasi fungsi kegunaannya masing-masing, dimana ini tidak termasuk fungsi kegunaannya bagi negara lain. Variable ini hanya prihatin pada prilaku negara anggota lain apabila prilaku tersebut mempengaruhi kepentingan mereka(Egoistic self-interest).

b. Keputusan politik merupakan variabel kedua yang mempunyai dua macam orientasi terhadap penggunaan power, yaitu kekuasaan terhadap kepentingan umum (power in service of the common good) dan Kekuasaan terhadap kepentingan tertentu (power in the service of particular interest).

c. Norma-norma dan prinsip merupakan dua komponen kritis yang dapat mencerminkan karakteristik dari suatu rezim.

d. Pemanfaatan dan kebiasaan Pemanfaatan menyatu pada prilaku dasar berdasarkan kegiatan aktual sedangkan kebiasaan merupakan kegiatan yang telah berlangsung lama.

e. Pengetahuan merupakan landasan untuk kerjasama dengan menjelaskan interkoneksi yang kompleks yang sebelumnya tidak dimengerti


(33)

21 Masalah lingkungan hidup bisa memberikan tekanan pada negara untuk terlibat dalam kerjasama internasional yang lebih besar. Pengaplikasian keefektivitasan rezim dapat dilihat melalui rezim lingkungan internasional. Hurrel dan Kingbury menjelaskan adanya kebutuhan rezim lingkungan internasional seiring dengan meningkatnya skala permasalahan lingkungan dari lokal dan regional menuju global. Untuk menangani hal tersebut, maka dibutuhkan seperangkat aturan yang mampu disediakan oleh rezim dan institusi. Aturan-aturan yang dimaksud adalah seperti penciptaan hukum rezim lingkungan untuk menurunkan tingkat ketidakpastian permasalahan yang akan berujung pada ketidakefektifan rezim (Rahmadhani, 2013).

3. Multitrack diplomacy

Diplomasi merupakan agenda rutin sebuah negara untuk menjalin kerja sama dengan negara lain. Dewasa ini, aktivitas diplomasi menunjukkan peningkatan peran yang sangat signifikan seiring dengan semakin kompleksnya isu-isu dalam hubungan internasional. Hubungan internasional pun tidak lagi semata-mata dipandang sebagai hubungan antar negara namun juga meliputi hubungan antar masyarakat internasional. Dengan demikian, diplomasi tradisional atau yang dikenal dengan istilah first track diplomacy yang hanya melibatkan peran pemerintah dalam


(34)

22 menjalankan misi diplomasi, tentu saja tidak akan efektif dalam rangka menyampaikan pesan-pesan diplomasi terhadap suatu negara. Oleh karena itu, aktivitas diplomasi publik yang melibatkan peran serta publik akan sangat dibutuhkan dalam rangka melengkapi aktivitas diplomasi tradisional.

Globalisasi membuka ruang keterlibatan publik dalam diplomasi. Diplomasi bukan lagi melulu urusan Pemerintah. Hubungan internasional tidak lagi semata-mata dipandang sebagai hubungan antarnegara, tapi juga meliputi hubungan antarmasyarakat internasional. Multi-track diplomacy merupakan suatu perluasan dan pembedaan antara first track diplomacy dan second track diplomacy yang dibuat oleh Joseph Montville di tahun 1982. Menurut Louis Diamond,multi-track diplomacy dinyatakan sebagai hubungan diplomasi antar bangsa yang dapat dikategorikan dengan diplomasi masyarakat atau diplomasi publik yang merupakan sistem dari beberapa komponen proses dari suatu tindak diplomasi (Diamond & McDonald, 1991). Louise Diamond dan McDonald mengembangkan kedua jalur tersebut menjadi sembilan jalur yakni: Pemerintah, conflict resolution professionals, bisnis, warga negara, penelitian, pelatihan dan pendidikan, aktivisme, agama, pendana atau pemberi dana dan media.


(35)

23 Diagram Multitrack System

Track one diplomacy adalah diplomasi yang dilakukan oleh aktor negara yakni pemerintah (government-to-government) dan merupakan elemen penting dalam diplomasi. Track one diplomacy dilakukan dengan mempertimbangkan aspek formal dalam proses pemerintahan karena dilakukan oleh kepala negara ataupun diplomat professional serta wakil-wakil yang telah diberi instruksi oleh negara yang berdaulat.

Track two diplomacy adalah bentuk diplomasi yang dilakukan oleh aktor-aktor non-negara dalam situasi informal untuk dapat menangani konflik-konflik antar kelompok masyarakat yang tujuannya menurunkan ketegangan dengan cara meningkatkan komunikasi dan saling pengertian untuk menciptakan perdamaian


(36)

24 dunia. Menurut McDonald, diplomasi jalur kedua ini adalah sebagai pendukung diplomasi jalur pertama dalam membuka jalan bagi negosiasi-negosiasi dan kesepakatan yang dilakukan oleh Pemerintah.

Track three diplomacy adalah diplomasi bisnis yang melibatkan peran para pelaku bisnis melalui peluang kegiatan kerjasama internasional di bidang ekonomi guna menjalin relasi dengan negara-negara lain melalui komunikasi ataupun jaringan bisnis untuk membantu menciptakan perdamaian dan memperkokoh interaksi kerjasama bisnis dan perekonomian antarnegara.

Track four diplomacy menggambarkan keikutsertaan masyarakat dalam diplomasi yang disebut citizen diplomacy. Peran seluruh lapisan masyarakat akan lebih mudah dan jangkauannya luas dalam menjalin relasi untuk mewujudkan perdamaian dan kerjasama baik itu melalui kegiatan pertukaran, organisasi sukarela dan organisasi non-Pemerintah lainnya, special-interest groups hingga para selebritis dinyatakan sebagai aktor baru dalam dunia perpolitikan global. Keterlibatan masyarakat luas dalam diplomasi multi jalur merupakan sebuah kecenderungan baru di era globalisasi sebagai ungkapan kepedulian dan tanggung jawab terhadap masalah-masalah yang terkait kebijakan luar negeri dan perdamaian dunia.


(37)

25 Track five diplomacy merupakan media yang dirancang untuk menghasilkan dan mentransfer informasi yang relevan dalam suatu konflik atau pilihan kebijakan yang direkomendasikan.

Track six diplomacy melibatkan aktivis perdamaian,lingkungan, HAM dan isu-isu sosial lainnya. Dalam track ini,aktivis mencoba mengubah sikap, kebijakan, atau lembaga atau dalam pihak oposisi.

Track seven diplomacy merupakan upaya masyarakat agama untuk terlibat dalam upaya rekonsiliasi pihak yang berkonflik.

Track eight diplomacy terdapat organisasi maupun pihak yang memberi dukungan finansial dalam kegiatan yang berlansung di track lainnya yang memiliki masalah yang terus-menerus.

Track nine diplomacy yang memainkan peran media tentunya dapat memberikan pengaruh yang signifikan dalam menyampaikan informasi dan aspirasi rakyat hingga menciptakan opini publik guna menjaga perdamaian dan meningkatkan kerjasama. Track nine diplomacy adalah bentuk diplomasi bagaimana opini publik dibentuk dan diekspresikan oleh berbagai elemen media. Di era globalisasi kini, media semakin berperan penting karena dengan mudah menyebarkan informasi


(38)

26 maupun peristiwa teraktual dari seluruh belahan dunia melalui televisi ataupun jaringan internet, sehingga sangat membantu dalam proses penyelenggaran diplomasi suatu negara. Media bertindak sebagai messenger dan berada dalam lingkaran sentris untuk menghubungkan peran para aktor multi-track diplomacy yang berperan aktif dalam membangun saling pengertian dan toleransi antarnegara, antar budaya ataupun antar agama.

Pelaksanaan multi-track diplomacy didasarkan pada kesadaran dan keinginan aktor non-negara secara umum dari berbagai kalangan yang memiliki latar belakang dan kemampuan yang berbeda-beda untuk melakukan usaha menciptakan peacemaking dan peacebuilding(Diamond & McDonald, 1991). Di dalam konsep multi-track diplomacy, sebuah negara memiliki beberapa pilihan track untuk menjalankan diplomasinya.Dirintis dari tahun 1960-anoleh Herbert Kelman, Edward Azar, John McDonald, John Burton, Johan Galtung, Joseph Montville, Harold Sanders dan lainnya, second track diplomacy semakin diakui sebagai komponen penting dalam proses multi-layered diplomatic yang bertujuan mengubah kekuatan dinamis kompleks, konflik berkepanjangan dalam proses keterlibatan yang konstruktif dan penggabungan pemecahan masalah (Davies & Kaufman, 2003).


(39)

27 Sebagai instrument soft power, perkembangan multitrack diplomacy tergolong pesat. Pesatnya perkembangan ini dipicu oleh kenyataan bahwa upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam diplomasi jalur pertama dianggap telah gagal mengatasi konflik-konflik antarnegara. Kegagalan diplomasi jalur pertama telah mengembangkan pemikiran untuk meningkatkan diplomasi publik sebagai cara alternatif untuk menyelesaikan konflik-konflik antarnegara (Diamond & McDonald, 1991).

Penerapan multi-track diplomacy akan semakin mendorong jaringan kerjasama suatu negara dengan negara lain karena komponen para aktor dalam multi-track diplomacy menempati posisi berbeda tetapi terkait satu sama lain dan saling berinteraksi untuk membangun kerjasama yang strategis, terlebih lagi media semakin bisa membentuk opini publik secara efektif yang dapat mempengaruhi tindakan pemerintah mengambil kebijakan melalui apa yang ditampilkan dalam berita melalui media cetak, media elektronik dan tentunya media online (internet)

Diplomasi sebagai proses kunci melaksanakan komunikasi dan negosiasi bangsa Indonesia dengan bangsa lain untuk memperoleh bantuan internasional memerlukan keterlibatan seluruh komponen bangsa dalam berdiplomasi yang tidak


(40)

28 hanya melibatkan pemerintah satu dengan pemerintah lainnya tetapi juga masyaarkat seperti organisasi non pemerintah (NGO) ikut ambil bagian dalam proses kerjasama antar bangsa tersebut (Saefudin, 2008).

Menurut SBY, Indonesia tetap menjalankan politik bebas aktif namun kali ini dengan sistem diplomasi segala arah yang memungkinkan menjalin kemitraan dengan berbagai negara di dunia. Dalam pernyataannya yang dikutip dari ANTARA News, mengatakan bahwa Indonesia menjalin kemitraan dan bersahabat dengan berbagai negara sepanjang menguntungkan kepentingan bangsa dan negara (Yudhoyono, 2008). Diplomasi Soft Power dengan menggunakan Diplomasi Multijalur (Multi-track diplomacy) yang diterapkan oleh pemerintahan SBY dalam kebijakan PLNRI adalah merupakan reaksi dan adaptasi pemerintahan SBY atas globalisasi. Dampak dari globalisasi mensyaratkan pentingnya kerjasama antar negara-negara dalam tata hubungan internasional dengan penekanan pada aspek soft power, mengingat dewasa ini tata hubungan internasional telah meninggalkan iklim persaingan idiologi maupun militer.


(41)

29 D. Hipotesa

Berdasarkan pada asumsi – asumsi yang sesusai dengan kerangka pemikiran, penulis menduga bahwa :

Upaya Indonesia dalam menanggulangi kerusakan lingkungan di kawasan Coral Triangle dilakukan melalui 2 cara :

-Pertama, pada level rezim internasional Indonesia mempelopori kerjasama internasional dengan membentuk Coral Triangle Initiative serta membuat berbagai kebijakan lingkungan kelautan untuk menanggulangi dan memberdayakan ekosistem kelautan demi kelangsungan hidup manusia.

-Kedua, Indonesia mengajak peran serta dan dukunganberbagai stakeholder yang bukan hanya negara dalam kawasan melainkan juga negara luar kawasan, NGO lingkungan, IGO, media massa, aktivis, korporasi internasional maupun civil society ntuk berpartisipasi dalam melakukan upaya-upaya penyelamatan,pemberdayaan, dan pengelolaan kawasan secara berkelanjutan melalui implementasi kebijakan dalam regional plan of action.


(42)

30 E. Metode Penelitian

1. Tipe penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah deskriptif, dimana metode deskriptif bertujuan untuk menjelaskan dan menggambarkan upaya kerjasama interasional dalam menangani kerusakan lingkungan di kawasan Segitiga Terumbu Karang serta penanggulangan dampak kerusakan yang ditimbulkan.

2. Teknik pengumpulan data

Dalam tulisan ini penulis menggunakan metode telaah pustaka (Library Search) yaitu dengan mengumpulkan data dari literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas, dan kemudian menganalisanya. Literatur ini berupa buku-buku, dokumen, jurnal-jurnal, majalah, surat kabar, dan situs-situs internet ataupun laporan-laporan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan penulis teliti.

3. Jenis data

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah sekunder. Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui berbagai literatur yang menyangkut dan sesuai dengan objek penelitian. Data sekunder yang dibutuhkan adalah data yang diperoleh dari


(43)

31 beberapa sumber sumber ,baik berupa buku, jurnal, surat kabar, dan dokumen-dokumen yang terkait objek yang diteliti

4. Analisa data

Dalam mengkaji masalah ini penulis menggunakan analisa data kualitatif karena data yang diperoleh tidak bisa diukur secara statistik-matematis. Dalam penulisan ini, data sekunder yang dipakai mayoritas berupa pendapat orang dan data pendukung kualitatif lain yang mencerminkan sikap, perilaku, pandangan dan ideologi seseorang yang tercermin dalam berbagai bentuk publikasi, baik cetak maupun elektronik.

5. Jangkauan penulisan

Untuk memudahkan penulis di dalam menganalisis bahan, maka penelitian ini memerlukan batasan. Penelitian ini memfokuskan kerjasama negara-negara kawasan Segitiga Terumbu Karang daam Coral Triangle Initiative mulai kurun waktu 2007 hingga 2015. Namun ada kemungkinan penulis akan sedikit menyinggung masalah di luar tersebut, jika dianggap perlu dan relevan dengan penelitian ini.


(44)

32 F. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan hasil karya tulis yang teratur dan sistematis, maka secara keseluruhan penulis membagi karya tulis ini ke dalam 5 (lima) bab sebagai berikut :

BAB I. Pendahuluan

Pendahuluan merupakan bab yang memuat latar belakang masalah, rumusan permasalahan, kerangka dasar pemikiran, hipotesa, tujuan penelitian, metodologi dan pengumpulan data, jangkauan penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II. Isu Coral Triangle dan Ancaman Terhadap Sumber Daya Laut dan Pesisir

Bab ini akan menguraikan segala permasalahan yang ada di kawasan Coral Triangle dan isu kelautan di Coral Triangle sebagai isu global

BAB III. Konservasi Coral Triangle dan Kolaborasi CTI-CFF Partnership

Bab ini akan menguraikan proses pembentukan inisiasi kerjasama konservasi terhadap Coral Triangle, tugas kelompok kerja dalam CTI serta pihak-pihak pendukung dalam kerjasama


(45)

33 Bab ini menjabarkan perubahan politik luar negeri dan diplomasi Indonesia dalam isu lingkungan dan penerapannya untuk menangani permasalahan kelautan di kawasan Coral Triangle.

BAB V. Kesimpulan

Bab ini merupakan bab akhir yang akan menutup karya tulis ini, berisikan kesimpulan yang lebih ringkas dan tegas daripada bab sebelumnya, dan juga saran untuk penulis secara pribadi bagaimana menyikapi kerjasama dalam menanggulangi masalah degradasi lingkungan di wilayah Coral Triangle.


(46)

36 BAB II

ISU CORAL TRIANGLE DAN ANCAMAN TERHADAP SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR

Terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang sangat terancam didunia. Sebanding dengan hutan hujan dalam keanekaragaman hayatinya dan merupakan sumber keuntungan ekonomi yang besar dari sektor perikanan dan pariwisata, ekosistem terumbu karang adalah salah satu kepentingan dunia. Selain itu, karang memegang fungsi penting di negara-negara berkembang, khususnya di negara-negara kepulauan berkembang. Hingga kini, tekanan yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti pencemaran dari daratan dan praktek perikanan yang merusak telah dianggap sebagai bahaya utama untuk terumbu karang. Sementara masalah-masalah ini belum hilang, selama dua dekade terakhir telah muncul ancaman lain yang lebih potensial. Kawasan Segitiga Terumbu Karang Dunia atau Coral Triangle tidak dapat menghindari dampak dari perubahan global yang berakibat pada rusaknya lingkungan dan habitat laut maupun pesisir.

Kombinasi tekanan lokal dan global menempatkan tekanan besar pada ekosistem pesisir di seluruh Segitiga Karang. Terumbu karang di Asia Tenggara


(47)

37 merupakan kawasan yang terancam paling serius dengan 40% terumbu karang telah kehilangan manfaatnya, 45% di bawah ancaman, dan 15% dalam ancaman rendah. Sebaliknya, terumbu karang di Kepulauan Pasifik dan sekitar Australia, termasuk Melanesia, berada dalam kondisi yang lebih baik dengan 2-8% terumbu karang mati, 2-35% di bawah ancaman, dan 44-90% pada ancaman rendah. Presentase tersebut juga termasuk proporsi untuk mangrove dan padang lamun di CT sebagai habitat utama untuk ribuan spesies laut. Hal yang paling penting, perubahan ini telah mengakibatkan pengurangan kemampuan ekosistem pesisir untuk menyediakan makanan dan manfaat untuk masyarakat pesisir.

A. Ancaman Terhadap Sumber Daya Laut Coral Triangle

Ekosistem terumbu karang merupakan habitat bagi biota laut. Global warming telah membawa dampak penurunan kondisi dan kerusakan terumbu karang sehingga memiliki efek domino terhadap ekosistem biota laut. Salah satu kerusakan terumbu karang yang banyak terjadi akibat efek global warming adalah pemutihan karang (coral bleaching). Terumbu karang telah terpengaruh dengan naiknya tingkat kemunculan dan kerusakan karena pemutihan karang (Coral Bleaching), yaitu suatu fenomena pigmen karang yang semakin memudar akibat kurangnya asupan makanan


(48)

38 karena tidak adanya prses ftosinyesis. Hal ini berhubungan dengan adanya buangan gas rumah kaca di atmosfer sehingga meningkatkan suhu bumi, khususnya kenaikan suhu air laut.

Pemutihan yang parah dan lama dapat memperluasan kematian karang dan peristiwa kematian dan pemutihan terumbu di tahun 1998 telah mempengaruhi sebagian besar daerah terumbu karang di kawasan Indo-Pasifik (Westmacott, Teleki, Wells, & West, 2000). Tahun 1998 merupakan terjadinya kasus coral bleaching terparah akibat kombinasi badai El Nino dengan perubahan iklim yang dibarengi dengan kenaikan suhu air laut, setidaknya 15% terumbu karang di dunia mati (Novina, 2014). Penelitian menunjukkan coral bleaching secara keseluruhan ditandai kematian massal terumbu karang pada skala global, hal ini terjadi karena sebagai respon perlindungan karang dari penurunan suhu, salinitas air laut, peningkatan sedimentasi atau turdibitas, infeksi bakteri, infeksi protozoa dan paparan sinar UV dan pencemaran logam logam berat (Riegl, 2002).

Bleaching yang terjadi dalam waktu pendek umumnya tidak menyebabkan kematian pada binatang karang. Namun paling tidak hal ini sudah menyebabkan lambatnya kemampuan pembentukan kerangka kapur. Sedangkan jika bleaching


(49)

39 terjadi secara berkepanjangan akan menyebabkan kematian pada binatang karang dan lingkungan terumbu karang akan hancur. Kerusakan terumbu karang, seperti telah dijelaskan sebelumnya akan mempengaruhi kehidupan dan penyediaan sumberdaya bagi masyarakat pesisir

Tahun 1998, Konferensi CBD ke-4 menyatakan keprihatinan yang mendalam terhadap peristiwa pemutihan karang yang meningkat tajam dan ekstensif dengan hubungannya kepada perubahan iklim dunia. Sebagai jawabannya, Sekretaris Eksekutif CBD menyelenggarakan Konsultasi Ahli untuk Pemutihan Terumbu Karang bulan Oktober 1999. Mereka menghasilkan suatu laporan dan seperangkat usulan bagi daerah-daerah prioritas untuk ditindak. Laporan ini disajikan pada Badan

Tambahan CBD untuk Usulan Ilmiah, Tehnik dan Teknologi/ CBD’s Subsidiary

Body on Scientific, Technical and Technological Advice (SBSTTA-5) yang selanjutnya berkembang menjadi rancangan tindakan. SBSTTA kemudian menyampaikan usulan mereka kepada Konferensi Kelima Pihak-Pihak dalam CBD (COP-5) (Westmacott, Teleki, Wells, & West, 2000)

Pemutihan akibat perubahan iklim bukanlah satu-satunya ancaman bagi terumbu karang. Meningkatnya kegiatan manusia juga memberikan dampak besar


(50)

40 sehingga menurunkan kondisi terumbu karang dunia. Kegiatan manusia tersebut sebagian besar merupakan kegiatan penggunaan sumber daya laut dan pesisir yang berlebihan serta ditunjang oleh perencanaan dan pengelolaan yang kurang tepat. Di negara kepulauan berkembang seperti Komoro, Fiji, Grenada, Haiti, Indonesia, Kiribati, Filipina, Tanzania, dan Vanuatu paling rentan terhadap pengaruh kerusakan terumbu karang. Di negara tersebut, terumbu karang menghadapi ancaman tingkat tinggi, penduduk sangat tergantung pada terumbu karang tetapi kemampuan penduduknya terbatas dalam beradaptasi terhadap kematian terumbu karang.

Pembangunan di wilayah pesisir biasanya terkait dengan proyek reklamasi, permukiman penduduk, industri, budidaya perikanan, prasarana pariwisata dan penambangan karang dapat memberikan pengaruh sangat besar terhadap ekosistem di sekitar pantai. Penambangan karang seperti di Nusa Tenggara Timur, Wakatobi dan sebagian wilayah Papua masih melakukan pengambilan terumbu karang untuk tujuan yang beragam. Penambangan karang yang resmi tersebut secara terbatas dengan ijin pemerintah untuk beberapa perusahaan yang melakukan pengambilan terumbu karang. Jumlah pengambilan ditentukan berdasarkan kuota per wilayah. Meskipun ada pembatasan kuota tetapi pada kenyataannnya penambangan karang dilakukan


(51)

41 secara besar-besaran dan eksploitatif. Dampak dari pembangunan pesisir ini telah mengancam lebih dari 30% terumbu karang.

Pencemaran laut baik dari aktivitas di laut maupun darat menyumbang kerusakan 25% terumbu karang. Pencemaran yang berasal dari DAS biasanya bersumber dari kegiatan pertanian yang menggunakan bahan-bahan kimia sebagai pupuk atau anti hama yang larut dalam air sehingga terbawa aliran air. Penggunaan tata guna lahan darat dan sistem pertanian yang tidak berkelanjutan di wilayah DAS berdampak pada pencemaran dan proses sedimentasi hingga ke muara sungai dan pantai. Pencemaran ini terjadi terutama di banyak daerah di Filipina, Indonesia bagian tengah, Timor-Leste, dan sebagian Kepulauan Solomon (Burke, Reytar, Spalding, & Perry, 2012). Pembuangan limbah baik dari limbah rumah tangga maupun industri juga turut menyumbang pencemaran laut. Di Kepulauan Seribu misalnya, hasil kajian dari Walhi tahun 2014 menjelaskan bahwa kerusakan terumbu karang sudah mencapai tahap yang mengkhawatirkan sebagai akibat pembuangan berton-ton limbah dan sampah yang mengalir ke Teluk Jakarta, 80% lingkungan di perairan Teluk Jakarta tercemar berat karena karena limbah industry dan rumah tangga (Nasrul, 2014). Pencemaran dari aktivitas laut biasanya dari aktivitas


(52)

42 transportasi dan industri yang berada di laut seperti lambung kapal yang tercemar, kebocoran bahan bakar, limbah cair yang tidak diolah terlebih dahulu, limbah padat, dan tumpahan minyak.

Overfishing dan destructivefishing adalah kegiatan penangkapan ikan berlebihan dan penangkapan tidak ramah lingkungan yang merupakan ancaman yang paling besar dan merusak yang mempengaruhi hampir 85% terumbu karang. Penangkapan yang merusak, penggunaan bahan peledak dan racun untuk membunuh atau menangkap ikan merupakan lazim di banyak bagian dari kawasan CT, khususnya di Malaysia Timur, Filipina, dan Indonesia sehingga mengancam hampir 60% terumbu karang di kawasan CT (Burke, Reytar, Spalding, & Perry, 2012). Pertambahan penduduk dan permintaan konsumen atas produk hasil laut mendorong nelayan untuk menggunakan jalan pintas agar memperoleh hasil tangkapan yang lebih banyak dan dalam waktu yang relative cepat. Hampir semua terumbu karang di Filipina, Malaysia, dan Timor Leste dinilai terancam oleh penangkapan yang tidak lestari. Hanya Papua Nugini dan Kepulauan Solomon memiliki terumbu karang luas dengan ancaman tingkat rendah dari penangkapan yang tidak lestari karena letak


(53)

43 terumbu karang yang jauh dari pusat permukiman berpenduduk banyak (Burke, Reytar, Spalding, & Perry, 2012).

Coral Triangle yang mencakup sebagian Asia Tenggara dan Pasifik Barat merupakan pusat keanekaragaman hayati laut dunia. kawasan ini mempunyai kekayaan spesies karang dan ikan karang yang lebih besar dibandingkan dengan tempat lain mana pun di muka bumi ini. Alasan kekayaan yang luar biasa dari Segitiga Karang mencakup keadaan geologi, lingkungan fisik dan berbagai proses ekologi. Temuan ini didukung oleh penyebaran paralel ikan karang dan biota laut lainnya, hal memberikan pembenaran ilmiah yang jelas untuk Coral Triangle Initiative yang dapat dikatakan salah satu usaha konservasi terumbu karang yang paling signifikan di dunia (Veron, et al., 2009).

B. Kerusakan Kawasan Hutan Magrove dan Padang Lamun Coral Triangle

Di sepanjang pesisir dan lautan Indonesia terdapat kawasan yang sangat “unik”

dimana terdapat 5 (lima) macam ekosistem yang sangat produktif seperti ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, ekosistem muara, ekosistem rumput laut dan


(54)

44 ekosistem padang lamun yang dapat memberikan kontribusi sebagai areal penghasil sumber protein dan dapat meningkatkan pendapatan nelayan serta pendapatan daerah (Damanhuri, 2003).

Pada umumnya, daerah dataran rendah di kawasan CT sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, khususnya terhadap peningkatan intensitas badai dan banjir akibat kenaikan permukaan air laut. Para ilmuwan memprediksi bahwa pada akhir abad ini sebagian besar kawasan CT tidak dapat dihuni lagi, bila pelepasan emisi gas rumah kaca tidak dapat diperlambat. Perubahan iklim telah membawa dampak yang nyata dan mahal terhadap ekosistem pesisir di kawasan CT melalui pemanasan global, pengasaman dan naiknya permukaan laut. Naiknya suhu mengakibatkan pemutihan dan kematian karang secara massal. Hal ini akan mempercepat rusaknya ekosistem terumbu karang apabila hal tersebut terus berlangsung dengan disertai peningkatan intensitas dan frekuensinya (Lawrence, 2012)

Ekosistem pesisir dalam kawasan CT sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan sekitar, perubahan iklim memiliki dampak besar pada ekosistem pesisir. Pemanasan global dalam seabad terakhir ini mengakibatkan ekosistem laut seperti terumbu karang mendekati ambang batas penyesuiaan diri terhadap lingkungan


(55)

45 dengan efek variabilitas alam (misalnya air laut lebih hangat dari rata-rata tahunan). Ketika dikombinasikan dengan tekanan lingkungan seperti kualitas air yang buruk, polusi atau over fishing, perubahan ini akan menghilangkan fungsional terumbu karang dan ekosistem lainnya seperti mangrove di garis pantai dari CT. Dampak dari perubahan ini akan membawa pengaruh terhadap kehidupan masyarakat pesisir yang sangat serius terutama dalam aspek perekonomian.

Kerusakan di CT tidak hanya berkaitan dengan terumbu karang dan biota laut tetapi juga meliputi ekosistem pesisir seperti hutan mangrove dan padang lamun. Mangrove memiliki manfaat sebagai tanggul pencegah abrasi atau pengikisan pantai oleh gelombang air laut. Mangrove juga mampu menyimpan karbon dalam kuantitas tinggi, bahkan lebih tinggi dibanding hutan di daratan. Luasan satu hektar hutan mangrove mampu menyimpan 1,5 metrik ton karbon per tahun serta tempat tinggal, tempat mencari makan, dan tempat berpijah bagi banyak spesies (Agnika, 2015). Lamun adalah tumbuhan berbunga yang hidup terbenam di dalam laut dangkal. Lamun berbeda dengan rumput laut. Lamun mempunyai akar dan rimpang yang mencengkeram dasar laut sehingga dapat membantu pertahanan pantai dari gerusan ombak dan gelombang. Padang lamun merupakan tempat berbagai jenis ikan


(56)

46 berlindung, mencari makan, bertelur, dan membesarkan anaknya. Ikan baronang, misalnya, adalah salah satu jenis ikan yang hidup di padang lamun (Nontji, 2010). Padang lamun biasanya tumbuh tumpah tindih dengan ekosistem hutan mangrove di sekitar wilayah pesisir. Fungsi padang lamun yang tidak banyak diketahui masyarakat menyebabkan pengrusakan terhadap ekosistem tersebut beresiko kehilangan habitatnya yang juga akan mempengaruhi ekosistem biota laut lainnya yang menggantugkan hidup pada ekosistem padang lamun.

Hutan mangrove dan padang lamun merupakan komponen penting dan sering kurang dihargai dari wilayah konservasi ekosistem pesisir dalam CT padahal ekosistem tersebut menempati besar bagian dari wilayah pesisir dalam CT, dua ekosistem ini juga menyediakan habitat penting dan memiliki jasa ekologi di seluruh wilayah. Mangrove dan padang lamun memberikan perlindungan untuk banyaknya spesies, dan sumber daya yang sangat penting untuk perikanan, dan penghalang proses abrasi pantai. Banyak spesies ikan penting menghabiskan siklus hidup mereka dalam padang lamun dan mangrove. Fauna seperti duyung dan penyu sepenuhnya tergantung pada keberadaan padang lamun yang sehat untuk kelangsungan hidup mereka.


(57)

47 Seluruh negara di kawasan CT mengalami kehilangan ekosistem pesisir secara nyata. Misalnya Indonesia yang memiliki hampir seperempat luas hutan bakau dunia, telah kehilangan lebih dari seperempat luas hutan bakau dalam tiga dekade terakhir dari 4,20 juta hektar pada tahun 1982 menjadi 3,11 juta hektar pada tahun 2011 . Sama halnya dengan Filipina yang memiliki 450.000 hektar bakau pada tahun 1918 , dan diperkirakan saat ini tersisa 263.137 hektar. Pada kedua kasus tersebut, hamparan hutan bakau telah diubah menjadi tambak ikan dan udang (Filipina 232.000 ha dan Indonesia 211.000 ha)

Ekosistem pesisir sangat penting untuk kelangsungan hidup penduduk di wilayah CT. Secara global, nilai ekonomi ekosistem pesisir diperkirakan sebesar US$25.783 milyar. Selain menyediakan sumber makanan dan pendapatan kepada jutaan penduduk yang mencari makan di sepanjang garis pantai untuk mendukung kehidupan mereka, ekosistem pesisir menyediakan berbagai besar layanan lainnya. Perikanan komersial memberikan penghasilan penting bagi individu dan untuk pemerintah daerah. Peran ekosistem pesisir jauh melampaui manfaat ekonomi langsung. Terumbu karang memberikan hambatan pesisir yang melindungi manusia, infrastruktur dan kota terhadap gelombang dan kerusakan akibat badai. Mangrove dan


(58)

48 padang lamun menstabilkan sedimen, dan perikanan dukungan dengan menyediakan habitat bagi bermacam benih ikan dan invertebrata. ekosistem ini sangat penting sebagai filter pesisir, menjebak sedimen dan nutrisi, serta menyerap polutan yang mengalir dari tanah ke laut. Bersama dengan terumbu karang, ekosistem ini sangat penting untuk stabilitas dan kesehatan lingkungan pesisir.

C. Upaya Konservasi Laut dan Pesisir

Sebagian besar wilayah Indonesia terletak pada wilayah CT yang merupakan pusat dari keanekaragaman sumberdaya hayati laut tertinggi di dunia. Perairan laut Indonesia menjadi wilayah yang sangat kaya dan subur serta mampu menciptakan dan menumbuhkan sektor ekonomi baru dari pariwisata pesisir dan laut. Sumberdaya pesisir dan laut Indonesia telah mengalami degradasi karena dua faktor utama, yaitu pengambilan secara tidak ramah lingkungan (destructive fishing) dan pengambilan secara berlebihan (over fishing) (Muhammad, Wiadnya, & Sutjipto, 2009). Ancaman dari perubahan iklim secara bersama akan membuat kondisi pesisir dan laut Indonesia semakin parah. Mengingat pentingnya pesisir dan laut sebagai sumber mata pencaharian masyarakat, maka harus segera melakukan adaptasi dalam pembangunan pesisir dan lautan.


(59)

49 Sejarah kerjasama multilateral dalam kawasan sebagian besar biasanya merupakan kerjasama multilateral yang diciptakan untuk tujuan ekonomi, seperti ASEAN, APEC, BIMP-EAGA, dan (MSG). Beberapa kerjasama multilateral yang ada hanya secara eksplisit berfokus pada aspek-aspek tertentu dari sumber daya kelautan dan pesisir seperti South Pacific Regional Environment Program (SPREP), Forum Fisheries Agency (FFA), dan Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs).

Dalam beberapa tahun terakhir, kesadaran akan masalah kemaritian tersebut telah meningkat, pemerintah kawasan tersebut menetapkan seperangkat mekanisme kerjasama multilateral baru yang lebih fokus pada sumber daya laut dan pesisir, seperti Tri-national agreements on the Sulu-Sulawesi Seas Marine Ecoregion and the Bismarck Solomon Seas Marine Ecoregion, dan Arafura and Timor Seas Experts Forum (ATSEF). Namun dengan lahirnya berbagai forum, organisasi dan banyak perjanjian, belum cukup untuk mengembalikan kelestarian lingkungan laut dan pesisir dalam kawasan. Pengelolaan isu terumbu karang selama ini hanya fokus pada ekologi saja tanpa memikirkan kelangsunga hidup masyarakat yang bergantung pada sumber daya laut tersebut.


(60)

50 BAB III

KONSERVASI CORAL TRIANGLE DAN KOLABORASI CTI-CFF PARTNERSHIP

Keruasakan laut dan pesisir di kawasan coral triangle membawa kesadaran bagi Indonesia untuk melakukan kerjasama antar negara di kawasan Coral Triangle. Negara CT6 melewati serangkaian proses penting menuju perubahan dari inisiasi ke kerjasama multilateral yang dapat mengukuhkan komitmen bersama untuk menganggulangi, memkonservasi, dan memberdayakan lingkungan dan masyarakat CT agar tercipta lingkungan yang dapat mendukung kehidupan bernegara.

Kemajuan dan implementasi program kerjasama dari waktu ke waktu semakin berkembang akibat perubahan ancaman yang semakin kompleks. CT6 telah berkomitmen penuh untuk mengambil tindakan lebih lanjut akan tetapi dalam pengambilan tindakan lanjutan tersebut membutuhkan dukungan khususnya masyarakat internasional untuk mencapai perubahan yang berkelanjutan. Sebagai forum kemitraan internasinal, Kerjasama yang dibentuk akan membuka dan


(61)

51 menawarkan kemitraan diluar negara anggota sebagai mitra financial maupun mitra pembangunan.

A. Upaya Konservasi Laut dan Pesisir Regional

Dalam beberapa tahun terakhir, kesadaran akan masalah kemaritian tersebut telah meningkat, pemerintah kawasan tersebut menetapkan seperangkat mekanisme kerjasama multilateral baru yang lebih fokus pada sumber daya laut dan pesisir, seperti Tri-national agreements on the Sulu-Sulawesi Seas Marine Ecoregion and the Bismarck Solomon Seas Marine Ecoregion, dan Arafura and Timor Seas Experts Forum (ATSEF). Namun dengan lahirnya berbagai forum, organisasi dan banyak perjanjian, belum cukup untuk mengembalikan kelestarian lingkungan laut dan pesisir dalam kawasan. Pengelolaan isu terumbu karang selama ini hanya fokus pada ekologi saja tanpa memikirkan kelangsunga hidup masyarakat yang bergantung pada sumber daya laut tersebut. Maka dibentuklah kemitraan multilateral CTI yang tidak hanya fokus dalam program pelestarian alam tetapi juga konservasi, pemberdayaan masyarakat dan gender serta ketahanan pangan kelautan. CT6 menyadari bahwa ancaman-ancaman terhadap sumber daya laut dan pesisir dapat berlanjut keada ancaman kesejahteraan dan keamanan kawasan.


(62)

52 Keenam kepala negara CT6 berpendapat bahwa kekayaan laut dan ekosistem yang terdapat di wilayah segitiga karang Indo Pasifik mampu menunjang kebutuhan pangan bagi masyarakat luas. Namun, disadari pula, ekosistem laut, pantai dan kepulauan kecil di wilayah segitiga karang saat ini berada di bawah ancaman kerusakan. Cara yang paling efektif untuk mengurangi dan menghindari ancaman-ancaman tersebut harus melalui kemitraan dan kesepakatan global yang komprehensif berdasarkan dasar hukum internasional yang telah ada. Melalui pembentukan CTI-CFF ini dimaksudkan untuk mengatasi ancaman terhadap ekosistem laut, pantai, dan kepulauan kecil di dalam wilayah segitiga karang, melalui tindakan kolaborasi dan akselerasi, yang melibatkan partisipasi multistakeholder dari enam negara.

Dalam pembentukan Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF) tidak terlepas dari tahapan-tahapan penting untuk memperoleh dukungan dari berbagai pihak, pertama saat penyelenggaraan APEC Summit pada September 2007, 21 kepala negara Asia Pasifik menyambut baik gagasan pembentukan CTI oleh Indonesia. Ke-21 kepala Negara secara resmi memasukkan CTI di dalam APEC Leader Declaration. Sebelum masuk kedalam APEC Leader Declaration, Presiden SBY telah melakukan pertemuan bilateral


(63)

53 dengan Presiden Bush (Amerika Serikat), Perdana Menteri John Howard (Australia) dan Perdana Menteri Somare (PNG) kemudian disahkan oleh para kepala negara ASEAN dan BIMPEAGA pada November 2007. 1st CTI Senior Officials Meeting (SOM-1) merupakan pertemuan resmi pertama CT6 pada Desember 2007 di Bali yang juga turut dihadari oleh Amerika Serikat dan Australia serta 3 NGO Internasional yang focus pada kajian CT.

Sebagai institusi konservasi laut kawasan, tidak terlepas dari kebutuhan dana untuk melancarkan pelaksaan program konservasi dan pemberdayaan masyarakat pesisir. CTI telah menarik investasi dari berbagai pihak seperti negara, organisasi lingkungan, maupun donatur lainnya. Pada April 2008, Global Environment Facility Funding bersama ADB sebagai badan pelaksananya, menyetujui untuk memberikan dana US$ 72 juta dan medukung program-program CTI selama 5 tahun awal dengan bantuan US$300 juta sebagai pinjaman dan hibah. Pemerintah AS juga turut membantu sebagai negara partnership dengan mendanai US$40 juta selama 5 tahun untuk mendukung CTI dengan dana yang disalurkan melalui konsorsium NGO (CTI-CFF, Regional Plan of Action Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security, 2011).


(64)

54 Pemerintah Australia yang juga sebagai negara partnership turut ambil bagian dalam memberikan fasilitas forum lokakarya. Townsville Workshop oleh pemerintah Australia pada November 2008 merupakan forum diskusi antar pemerintah dan NGO dalam menemukan permasalahan, kendala utama, kesenjangan, dan peluang di sekitar pelaksanaan tujuan CTI. Hasil dari lokakarya tersebut berlanjut ke 3rd CTI Senior Officials Meeting (SOM-3) dan 1st Ministerial Meeting (MM-1) pada Maret 2009 yang menghasilkan draf akhir CTI RPoA dan para Menteri Negara CT6 sepakat untuk menerima Joint Ministerial Statement.

Puncak dari serangkaian pertemuan-pertemuan tersebut, dilaksanakannya CTI-CFF Summit pada Mei 2009 di Bali. Pertemuan tingkat tinggi CT6 mendeklarasikan CTI Leaders Declaration yang berisi kesepakatan untuk mengadopsi CTI RPoA ke dalam undang-undang negara masing-masing. Dalam deklarasi tersebut dinyatakan bahwa, CTI RPoA merupakan dokumen yang dapat diperbaharui dan tidak mengikat secara hukum untuk mengkonservasi dan mengelola secara berkelanjutan sumber daya pesisir dan laut di kawasan CT dengan mempertimbangkan peraturan dan kebijakan yang berlaku di masing-masing negara (CTI-CFF, 2015).


(65)

55 B. Rencana Aksi Nasional (Regional Plan of Action)

Kerjasama CTI memiliki kebutuhan untuk bergerak melalui serangkaian tindakan yang dibutuhkan dalam waktu jangka panjang untuk memastikan keberkelanjutan dari pemanfaatan dari sumber daya kelautan dan pesisir untuk saat ini dan untuk masa mendatang. Keenam negara di wilayah CT saat ini telah mempersiapkan rencana kerja dengan tema perlindungan terumbu karang, perikanan dan ketersediaan pangan. Rencana Kerja Nasional (National Plan Of Action: NPOA) dari masing-masing negara dibahas pada tingkat Senior Official dan dicetuskan pada World Ocean Conference (WOC) pada bulan Mei 2009 di Manado, Indonesia. Dalam CTI-CFF, enam negara di Segitiga Terumbu Karang secara bersama-sama menyusun Rencana Aksi Regional, yang segera dilanjutkan dengan penyusunan Rencana Aksi Nasional CTI-CFF oleh setiap negara yang selaras dengan sasaran rencana regional tersebut. Rencana adaptasi pembangunan wilayah pesisir dan kelautan/Rencana Aksi Regional terhadap dampak perubahan iklim global memiliki 5 sasaran utama yaitu pengelolaan bentang laut (sea scape management), pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan, penerapan resilient principles dalam pembangunan jejaring


(66)

56 kawasan konservasi laut, mitigasi bencana, rehabilitasi pesisir dan perlindungan spesies yang terancam punah, dan status spesies ikan yang terancam punah membaik.

Semua komponen sasaran dalam rencana kerja ditujukan untuk melindungi ketersedian sumberdaya hayati laut dan mengurangi dampak kerusakan dari pengaruh perubahan iklim global (Muhammad, Wiadnya, & Sutjipto, 2009). Rencana Aksi CTI dilaksanakan di bawah yurisdiksi nasional dari masing-masing pemerintah negara CT sesuai dengan hak dan kewajiban berdasarkan hukum internasional, hukum yang berlaku, aturan dan peraturan masing-masing negara. Ruang lingkup penerapan CTI tidak mengurangi hak berdaulat pihak atas sumber daya kelautan dan batas maritim dalam yurisdiksi nasional.

CT6 telah mulai mengembangkan rencana 10 tahun RPoA untuk masa mendatang dari prioritas komitmen bersama. Pada pertemuan CBD (COP7) 2004, negara-negara penandatangan konvensi telah menetapkan target untuk COP8 yang mengharuskan adanya konservasi efektif minimal 10% dari masing-masing kawasan ekologi pada tahun 2006. Tahun 2010, CBD menyepakati target 10 % dari wilayah laut yang harus dilindungi secara efektif dalam jaringan KKL untuk tahun 2020 ( CBD 2010). Sekarang, CT6 telah mendukung CTMPAs Framework & Action Plan


(67)

57 yang menetapkan target ( 10 % dari habitat laut kritis dilarang untuk megadakan aktivitas penangkapan laut pada tahun 2020 dan 20 % dari habitat laut kritis dalam beberapa bentuk MPA 2020. Dalam kawasan CT, Indonesia , Malaysia, dan Filipina memiliki perjanjian formal dan rencana yang telah disetujui untuk menerapkan manajemen Sulu Sulawesi Marine Eco - Region ( SSME ) & Seascape (Alan T. White, 2014). Dari CTMPAs tersebut diharapkan memberi rangsangan kepada setiap negara anggota untuk menaikan standard pengelolaan KKP sehingga memenuhi syarat sistem yang berlaku.

Keberhasilan pelaksanaan RPoA dalam ruang lingkup yang luas membutuhkan satu set mekanisme koordinasi yang terstruktur dan sangat efektif di berbagai tingkat organisasi. Selain itu, pelaksanaan program membutuhkan kelompok besar dan beragam kemitraan yang diimplementasikan dari dalam dan luar daerah termasuk pemerintah daerah, masyarakat lokal, LSM, lembaga pendanaan utama, organisasi multilateral dan bilateral, perusahaan swasta, dan lain-lain.


(68)

58 Elemen kunci keberhasilan program CTI yaitu 5 sasaran utama konservasi yang dilakukan oleh negara anggota. 5 sasaran utama tersebut dimuat dalam RPOA yang mengatur tujuan dan komitmen bersama dalam menghadapi ancaman di kawasan CT serta penanggulangannya. Untuk melaksanakan tujuan tersebut, CTI membentuk badan kerja yang masing-masing memiliki tugas sesuai 5 sasaran utama RPOA yaitu Kelompok Kolaborasi dan pelaksana. Kelompok koordinasi dan pelaksana terdiri dari kelompok praktisi, ahli geografis dan teknologi serta bisnis yang berbagi dan bekerja sama untuk mencapai sasaran utama/target dari CTI-CFF. Masing-masing target/goals membentuk kelompok kerja dan berkolaborasi bersama berdasarkan sasaran yang akan dicapai.

Seacapes goals/bentang laut memiliki target untuk membangun koalisi antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat sipil untuk meningkatkan tata kelola laut dan menyoroti pentingnya mencapai pemerintahan yang efektif di seluruh sektor dan pada semua tingkatan. Seacapes juga mempromosikan peningkatan konvergensi konservasi dan pembangunan dengan menghubungkan kelangsungan hidup penduduk dan profitabilitas kegiatan ekonomi utama dengan manajemen berkelanjutan dari suatu ekosistem. Selain itu, mereka juga memiliki tugas untuk mengembangkan


(69)

59 rencana investasi untuk prioritas semua bentang laut yang teridentifikasi, termasuk rencana joint investment untuk bentang laut yang melibatkan dua negara atau lebih.

Ecosystems Approach to Fisheries Management group/ Pendekatan Ekosistem Manajemen Perikanan memastikan untuk pengelolaan perikanan dan sumber daya laut lainnya menerapkan kebijakan dan regulasi berdasarkan RPOA. EAFM berkolaborasi untuk menghasilkan kerangka regional agar dapat diadopsikan kedalam undang-undang atau kebijakan nasional terkait perikanan. Marine Protected Areas/MPAs menetapkan tujuan, prinsip, dan elemen desain operasional untuk CTMPAS, melengkapi peta jaringan komprehensif MPA untuk masuk dalam peta prioritas CTMAPS, dan membangun manajemen CTMPAS yang efektif. EAFM juga membangun public private partnership untuk terlibat dalam industri terkait untuk mendukung CTMPAS.

Climate Change Adaptation/Adaptasi Perubahan Iklim melakukan identifikasi dan mengambil langkah penting dalam proses adaptasi perubahan iklim bagi penduduk dan mata pencahariannya di wilayah laut dan pesisir serta mengimplimentasikan Region-wide Early Action Plan for Climate Change


(1)

101 LAMPIRAN

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

BAHAN KULTWIT NCC CTI CFF

1. Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security (CTI-CFF) merupakan prakarsa enam Kepala Negara untuk meningkatkan kerjasama multilateral antar enam (6) negara meliputi Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Nuigini, Timor Leste, dan Kepulauan Solomon (CT6) dalam pengelolaan kawasan dan sumber daya alam secara berkelanjutan di dalam kawasan Segitiga Karang (Coral Triangle area) yang pusat kehidupan dan keanekaragaman kelautan dunia.

2. Tujuan CTI CFF meliputi :

a. Ditetapkannya beberapa kawasan prioritas “bentang laut” (seascape) yang dikelola efektif (Designate and manage seascapes/large-scale geographies that are prioritised for investments and action, where best practices are demonstrated and expanded).

b. Diterapkannya “pendekatan ekosistem” pada pengelolaan perikanan dan sumber daya laut lainnya (Apply an ecosystem approach to management of fisheries and other marine resources):

c. Penetapan beberapa Kawasan Konservasi Laut dan dikelola secara efektif (Establish and to manage Marine Protected Areas (MPAs), including ccommunity-base resource utilization and management);

d. Tersusunnya tata cara dan metode penanganan adaptasi terhadap perubahan iklim (Achieve climate change adaptation measures for marine and coastal resources);


(2)

102 e. Tercapainya perbaikan status dan kondisi berbagai spesies yang terancam

punah di laut (Improve the status of threatened species).

3. Kontribusi utama Indonesia dalam CTI CFF adalah fasilitasi pembentukan Sekretariat Regional (ratifikasi Perjanjian Pendirian, Sekretariat Regional Interim dan perjanjian fasilitas Indonesia selaku Host Country), pembangunan Gedung Regional Sekretariat di Manado, pemilihan Direktur Eksekutif, fasilitasi dan penyelenggaraan berbagai pertemuan startegis regional..

4. CTI-CFF adalah wahana untuk meningkatkan profil diplomasi Indonesia di bidang konservasi sumber daya laut sebagai bentuk multi-layer diplomacy, yang relatif belum tersentuh. CTI-CFF memberikan peluang berinteraksi dan saling melengkapi serta mendukung mekanisme kebijakan luar negeri bilateral dengan negara-negara anggotanya khususnya di bidang kelautan.

5. CTI-CFF di bawah kepemimpinan Indonesia dapat menjadi forum yang efektif dalam memperkuat upaya pembenahan pengelolaan sumber daya laut. Berbagai upaya KKP saat ini seperti pemberantasan Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing, pelarangan penggunaan alat dan cara tangkap ikan yang merusak ekosistem, penegakan peraturan zonasi dan tata ruang kawasan konservasi laut yang tegas dan perlindungan terhadap spesies laut yang terancam punah dapat direplikasi ke skala regional melalui CTI-CFF. Replikasi tersebut sejalan dengan Goals CTI-CFF, terutama Ecosystem Approach to Management of Fisheries Fully Applied, Marine Protected Areas Established and Effectively Managed dan Threatened Species Status Improved.

6. Sebagai penggagas CTI-CFF, Indonesia dapat lebih berperan untuk menentukan arahan masa depan organisasi yang dapat disesuaikan dengan kepentingan


(3)

103 nasional serta disinergikan dengan kebijakan Indonesia di kawasan. Kepemimpinan dan peran strategis Indonesia dalam CTI CFF sangat sejalan dengan visi KKP yang mengandung tiga (3) esensi utama yaitu kedaulatan (sovereignty), keberlanjutan (sustainability) dan kemakmuran (prosperity) dan misi KKP untuk memperkuat jati diri sebagai negara maritim/kepulauan.

7. Indonesia dapat mengambil berbagai manfaat sebagai berikut :

a. Anggota CI-CFF yang meliputi negara-negara Kawasan Pasifik yang memiliki cadangan sumber daya laut yang besar, dan CTI dapat menjadi sarana tambahan yang melengkapi upaya untuk mendukung ketahanan pangan Indonesia.

b. Indonesia dapat mengembangkan kapasitas konservasi sumber daya laut, perlindungan dan pelestarian sumber-sumber perikanan yang bermigrasi secara lintas batas negara

c. Keanggotaan Indonesia dalam CTI-CFF dapat mendukung upaya diplomasi Indonesia di dalam organisasi regional yang bergerak dibidang sumber daya laut seperti Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) yang telah diratifikasi dengan Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2007, Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) yang diratifikasi dengan Peraturan Presiden No. 109 Tahun 2007 dan Western-Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) dimana Indonesia telah menjadi “cooperating non-member” dan sedang dalam proses menjadi anggota penuh; d. Terangkatnya profil dan reputasi Indonesia di dunia internasional sebagai tuan

rumah dari sekretariat sebuah kerjasama regional;

e. Dampak positif dari segi pembangunan ekonomi lokal dapat diharapkan sejalan dengan didirikan dan beroperasinya sebuah organisasi regional bagi Kota Manado dan Provinsi Sulawesi Utara.


(4)

104 8. Inisiatif dan keikutsertaan Indonesia dalam CTI-CFF merupakan bagian dari upaya Indonesia untuk mentaati (“comply with”) dengan berbagai ketentuan internasional baik berupa perjanjian internasional yang telah diratifikasi maupun international guidelines meliputi :

a. United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (1982 UNCLOS)

b. Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea on 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (United Nations Implementing Agreement/UNIA) 1995

c. Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) 1995

d. United Nations Convention on Biological Diversity (UNCBD) 1992

e. United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) 1992 dan Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change 1997

f. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and

Flora (CITES) 1973

9. Melalui CTI CFF, Indonesia bisa menerapkan pendekatan ekosistem dan pengelolaan bersama untuk perikanan yang berkelanjutan dan penguatan jejaring Coral Triangle Marine Protected Area (CTMPA) untuk melindungi ikan tuna, ikan karang dan ikan ekonomis penting lainnya pada masa/proses pemijahan di kawasan daerah perlindungan laut (marine protected area/MPA). Indonesia bisa melakukan kolaborasi dan kerja sama yang berkelanjutan untuk mencegah kegiatan IUU Fishing lintas batas/negara dan kegiatan perdagangan ikan karang hidup illegal.

10.Indonesia bisa mengedepankan pentingnya penyusunan kerangka kebijakan regional untuk dapat dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat pada perdagangan ikan karang hidup, termasuk eksportir dan importer seperti pengembangkan Cyanide Detection Test (CDT) yang akurat, pembentukan fasilitas laboratorium pada titik-titik pengumpulan ikan karang utama, pembentukan sistem monitoring dan pengumpulan data regional yang dapat memberikan data yang bermanfaat,


(5)

105 akurat dan tepat, pelarangan atau pembatasan perdagangan, khususnya bagi spesies ikan karang yang sudah hampir punah seperti Napoleon wrasse (Cheilinus undulates).

11.Indonesia bisa mengambil peran strategis wadah yang dibangun CTI CFF yaitu Live Reef Fish Food Trade Inter-Governmental Forum (LRFFT). Upaya reformasi dan diplomasi perikanan Indonesia khususnya untuk perdagangan ikan karang hidup bisa difasilitasi melalui wadah ini dengan mendorong penguatan dalam negeri dan sinergi dengan negara-negara CTI dan Asia Tenggara yang menjadi pemasok sekaligus ekportir utama ikan karang hidup khususnya untuk dua tempat tujuan ekspor utama, China, Hong Kong dan Taiwan.

12.Hingga saat ini telah terbentuk 9 (Sembilan) Kelompok Kerja yang masing-masing menangani Kawasan Perlindungan Laut, Bentang Laut, Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem, Adaptasi Perubahan Iklim, Spesies Laut Terancam Punah, Mekanisme Koordinasi, Sumberdaya Keuangan dan Monitoring dan Evaluasi. Kelompok Kerja tersebut telah menghasilkan berbagai produk berupa sistem, panduan dan kerangka kerja untuk memastikan bahwa kegiatan dilakukan dengan metode yang tepat, memiliki ukuran yang disepakati bersama dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.


(6)