Semiotik Ferdinand De Saussure Semiologi Roland Barthes

pikiran mereka hamster sebangsa dengan tikus yang ada di got. Tanda dan referen harus saling bekerja sama agar suatu tanda dapat berfungsi. Hubungan ketiga bagian ini dijelaskan dalam model yang dibuat oleh C.K ogden dan I.A Richard pada skema berikut Morissan, 2009: 45 : Gambar 2.1 Segitiga Makna Sumber: Morissan, 2009: 45, Teori Komunikasi: Tentang Komunikator, Pesan, Percakapan dan Hubungan. Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan saat berkomunikasi. Pada dasarnya, semiosis data dipandang sebagai suatu proses tanda yang dapat diberikan dalam istilah semiotika sebagai suatu hubungan antara lima istilah sebagai berikut: S s,i,e,r,c S adalah adalah untuk semiotic relationhubungan semiotik; s untuk sign tanda; i untuk interpreter penafsiran; e untuk effect pengaruh; r untuk refrence refrensi; c untuk context konteks atau condition kondisi.

2.3.2. Semiotik Ferdinand De Saussure

Saussure mendefinisikan semiotika sebagai “ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial” Trabaut, 1996: 22. Menurut Saussure tanda terdiri dari: “hamster” Kata Simbol Objek referen makna Menyenangkan, lucu Universitas Sumatera Utara 1. Bunyi-bunyi dan gambar sounds and images, disebut signifier 2. Konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar disebut signified Model semiotika dari Saussure terdiri dari Sign tanda, Composed of terdiri dari, Signifer Signifed Referent external reality Tanda sign adalah sesuatu yang berbentuk fisik any sound-image dapat dilihat dan didengar yang biasanya merujuk kepada sebuah objek atau aspek dari realitas yang ingin dikomunikasikan. Objek tersebut dikenal dengan referent. Dalam komunikasi seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain menginterpretasikan tanda tersebut. Syaratnya komunikator dan komunikan harus mempunyai bahasa atau pengetahuan yang sama terhadap sistem tanda. Sebuah tanda terdiri dari penanda signifieryang adalah gambaran fisik nyata dari tanda ketika kita menerimanya dan petanda signifiedyang adalah konsep mental yang mengacu pada gambaran fisik nyata dari tanda. Konsep mental dikenali secara luas oleh anggota dari suatu budaya yang memiliki bahasa yang sama Fiske, 2012: 73. Saussure menegaskan bahwa petanda adalah sesuatu yang bersangkut-paut dengan aktivitas mental seseorang yang menerima sebuah penanda. Menurut Saussure, tanda mengekspresikan ide-ide dan menanadaskan bahwa dia tidak sepakat dengan interpretasi Platonis atau istilah ide yaitu ide sebagai peristiwa- peristiwa mental yang jadi sasaran pikiran manusia. Dengan demikian, tanda secara implisit dipandang sebagai sarana komunikatif yang bertempat diantara dua orang manusia yang bermaksud melakukan komunikasi atau mengekspresikan sesuatu satu sama lain Eco, 2009: 20.

2.3.3. Semiologi Roland Barthes

Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi makna sebenarnya sesuai kamus dan konotasi makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal. Menurut Berger dan Keraf, di sinilah titik perbedaan Universitas Sumatera Utara Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah penanda- petanda yang diusung Saussure Sobur, 2004: 58. Dalam semiologi Roland Barthes, bahasa diartikan sebagai sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Dalam hal ini, denotasi lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Dan konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai ‘mitos’ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberi pembenaran bagi nilai- nilai dominan yang berlaku dalam periode tertentu Sobur, 2004: 70. Menurut Barthes, ekspresi dapat berkembang dan membentuk tanda baru, sehingga ada lebih dari satu dengan isi yang sama. Pengembangan ini disebut sebagai gejala metabahasa dan membentuk apa yang disebut dengan kesinoniman synonymy. Setiap tanda selalu memperoleh pemaknaan awal yang dikenal dengan istilah denotasi oleh Barthes disebut sistem primer, kemudian pengembangannya disebut skunder. Konsep konotasi ini tentunya didasari tidak hanya oleh paham kognisi, melainkan juga oleh paham pragmatik yakni pemakai tanda dan situasi pemahamannya Wibowo, 2011: 17. Aliran semiotik yang diusung oleh Barthes adalah aliran semiotika konotasi. Para ahli semiotika aliran konotasi pada waktu menelaah tanda tidak bepegang pada makna primer, tetapi mereka berusaha mendapatkannya melalui konotasi Pateda, 2001: 53. Fokus perhatian Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap two order of significations. Signifikasi tahap pertama merupakan gabungan antara penanda dan petanda makna denotasi. Pada tatanan ini menggambarkan relasi antara penanda objek dan petanda makna di dalam tanda, dan antara tanda dengan referannya dalam realitasnya eksternal. Hal ini mengacu pada makna sebenarnya nyata dari penanda objek. Dan signifikasi tahap kedua adalah interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu makna konotasi. Dalam istilah yang digunakan Barthes, konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda konotasi, mitos dan simbol dalam tatanan pertanda kedua signifikasi tahap kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung saat bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Bagi Barthes, faktor penting Universitas Sumatera Utara dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama dalam peta Roland Barthes. Gambar 2.2 Peta tanda Roland Barthes 1. signifier penanda 2. signified petanda 3. denotative sign tanda denotatif 4. connotative signifier penanda konotatif 5. connotative signified petanda konotatif 6. connotative sign tanda konotatif Sumber: Sobur, Alex, 2004: 69, Semiotika Komunikasi Dari tabel Barthes diatas, akan terlihat tanda denotatif 3 yang terdiri dari penanda 1 dan petanda 2. Pada bersamaan juga, denotatif adalah penanda konotatif 4. Jadi menurut konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci dari analisisnya, Barthes menggunakan versi yang jauh lebih sederhana membahas model ‘glossematic sign’tanda-tanda glossemetic. Mengabaikan dimensi dari bentuk dan substansi, dan fokus pada makna konotasi. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Pada level ini, keseluruhan tanda yang diciptakan dalam denotasi menjadi penanda bagi babak kedua pemunculan makna. Petanda pada level ini adalah konteks, baik personal maupun budaya, yang didalamnya pembaca pendengar, atau pengamat tanda memahami dan menafsirkannya Barton, 2010: 108. hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaan. Selain itu, Roland Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatannya, tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna-makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos dalam pemahaman semiotika Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial yang sebetulnya arbiter atau konotatif sebagai sesuatu yang dianggap alamiah. Universitas Sumatera Utara Mitos merupakan perkembangan dari konotasi. Konotasi yang menetap pada suatu komunitas berakhir menjadi mitos. Pemaknaan tersebut terbentuk oleh kekuatan mayoritas yang memberi konotasi tertentu kepada suatu hal secara tetap sehingga lama-kelamaan menjadi mitos: makna yang membudaya. Barthes membuktikannya dengan melakukan pembongkaran makna Barthes, 2007: 82. Sedangkan Van Zoest menegaskan, siapapun bisa menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti konotasi-konotasi yang terdapat didalamnya. Dalam perspektif semiotika, mitos dapat dikaji atau ditemukan jejaknya dengan mencari indikasi fiksional dalam teks, yang secara keseluruhan disajikan sebagai nonfiksional melalui indikasi nonfiksional dengan sifat ferensial: nama- nama orang yang kita kenal secara nonfiktif. Kelompok indikasi nonfiksional yang paling penting mungkin ialah indikasi peristiwa. Peristiwa yang terjadi boleh jadi sedemikian klise atau begitu tak bisa dipercaya sehingga dunia yang digambarkan, yang pada dasarnya nyata, memperlihatkan tanda-tanda dunia fiktif seperti yang kita kenal dalam dongeng dan sebagainya Sobur, 2004: 210. Ciri-ciri mitos menurut Barthes dalam buku Adhithia 2010: 38 1. Deformatif Barthes menerapkan unsur-unsur Saussure menjadi form signifier, concept signified. Ia menambahkan sigification yang merupakan hasil dari hubungan kedua unsur tadi. Significationinilah yang menjadi mitos yang mendistorsi makna sehingga tidak lagi mengacu pada realita yang sebenarnya: The relation which unites the concept of the myth to its meaning is essentially a relation of deformation. Pada mitos, formdan concept harus dinyatakan. Mitos tidak disembunyikan, mitos berfungsi mendistorsi, bukan untuk menghilangkan. Dengan demikian, formdikembangkan melalui konteks linear pada bahasa atau multidimensi pada gambar. Distorsi hanya mungkin terjadi apabila makna mitos sudah terkandung di dalam form. 2. Intensional Mitos merupakan salah satu jenis wacana yang dinyatakan secara intensional. Mitos berakar dari konsep histori. Pembacalah yang harus menemukan mitos tersebut. Contoh: ketika ia berjalan-jalan di Spanyol, ia Universitas Sumatera Utara melihat kesamaan arsitektur rumah-rumah di sana dan ia mengenali arsitektur itu sebagai produk etnik: gaya basque. Secara pribadi, ia tidak merasa terdorong untuk menyebutnya dengan sebuah istilah. Namun, ketika ia berjalan-jalan di Paris dan ia melihat sebuah rumah yang berbeda dengan sekitarnya, berbentuk villa kecil, rapi bergenting merah, berdinding setengah kayu berwarna coklat tua, beratap asimetris, secara spontan, ia menyebutnya sebagai villa bergaya basque. 3. Motivasi Bahasa bersifat arbiter, tetapi kearbiteran itu mempunyai batas. Misalnya melalui afiksasi, terbentuklah kata-kata turunan: baca-membaca-dibaca- terbaca-pembacaan. Sebaliknya, makna mitos tidak arbiter, selalu ada motivasi dan analogi. Penafsir dapat menyeleksi motivasi dari beberapa kemungkinan motivasi. Mitos bermain atas analogi antara makna dan bentuk. Analogi ini bukan sesuatu yang alami, tetapi berrsifat historis. Minuman anggur adalah salah satu contoh penerapan mitos. Denotasi dari minuman anggur adalah minuman beralkohol yang bisa memabukkan, namun Barthes mengamatinya lebih dalam. Orang sangat menikmati anggur yang diminumnya bukan sekedar untuk mabuk-mabukan, hal itu ditunjukkan pula dengan adanya pelabelan tahun pada minuman tersebut. Anggur dengan merk tertentu dengan usia yang semakin tua semakin mahal harganya. Di dalam menu makan anggur mengambil bagian sintagmatik, yaitu anggur putih menyertai makanan dengan ikan, anggur merah dengan daging, dan sebagainya. Dengan demikian, konotasi anggur, yaitu kenikmatan tertanam di dalam praktik kehidupan sehari-hari, memegang peranan dalam menu dan pada akhirnya menjadi mitos. Sebuah teks, Aart van Zoest tidak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi. Sedangkan Eriyanto 2001: 146 menempatkan ideologi sebagai konsep sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini menurutnya karena teks, perckapan dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Secara etimologis ideologi berasal dari bahasa Greek, terdiri atas kata idea dan logos. Idea berasal dari kata ideinyang berarti melihat, sedangkan kata Universitas Sumatera Utara logia berasal dari kata logosyang berarti kata-kata, dan arti kata logiaberarti sciencepengetahuan atau teori. Kita bisa menemukan ideologi dalam teks dengan cara meneliti pelbagai konotasi di dalamnya. Salah satu cara adalah mencari mitologi dalam teks. Ideologi adalah sesuatu yang abstrak, sementara mitologi kesatuan-kesatuan mitos yang koheren adalah makna-makna yang memiliki wadah dalam ideologi. Ideologi harus dapat diceritakan. Dan cerita itu adalah mitos. Setiap bangsa memiliki cerita-cerita kunonya dan cerita turun-temurun yang disebut mitos mengenai bangsanya. Mitos adalah uraian naratif ataupun penuturan sesuatu yang suci, yaitu kejadian-kejadian luar biasa, di luar pengalaman manusia sehari- hari Sobur, 2004: 209. Misalnya: Rumah yang tua dan tidak dipakai lagi menimbulkan konotasi “angker” karena dianggap sebagai hunian makhluk halus. Konotasi “angker” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol rumah tua, sehingga rumah tua yang angker bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini “rumah tua yang angker” akhirnya dianggap sebagai sebuah mitos.

2.4 Representasi

Dokumen yang terkait

Analisis Perbandingan Pendapatan Petani Kopi Ateng yang Menjual dalam Bentuk Gelondong Merah (Cherry red) dengan Kopi Biji di Desa Bangun Das Mariah, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun)

18 221 63

Campur Kode pada Lirik Lagu Pop Indonesia (Kajian Sosiolinguistik)

32 213 66

Pesan Moral dalam Lirik Lagu Album untuk Kita Renungkan Karya Ebiet G. Ade Analisis Estetika Resepsi

32 581 81

Struktur Dan Pemarkah Kalimat Imperatif Dalam Lirik Lagu Ebiet G Ade Tahun 1980-An (Kajian Sintaksis)

4 57 84

Representasi Citra Budaya Dalam Iklan (Studi Analisis Semiotika Representasi Citra Budaya Indonesia Dalam Iklan Maskapai Penerbangan Garuda Indonesia)

4 101 145

Representasi Feminisme Dalam Film (Analisis Semiotika Representasi Feminisme Dalam Film “Sex And The City 2 (2010)”)

36 244 145

Analisis Dampak Sosial Ekonomi Hutan Mangrove Yang Dikelola Kelompok Informal Terhadap Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Di Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara

2 69 123

2.1. Pengertian Komunikasi - Representasi Kehidupan Sosial Masyarakat Indonesia dalam Lirik Lagu Iwan Fals (Analisis Semiotika Lirik Lagu Iwan Fals yang Berjudul ‘Ujung Aspal Pondok Gede’)

1 2 20

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah - Representasi Kehidupan Sosial Masyarakat Indonesia dalam Lirik Lagu Iwan Fals (Analisis Semiotika Lirik Lagu Iwan Fals yang Berjudul ‘Ujung Aspal Pondok Gede’)

1 1 6

REPRESENTASI KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT INDONESIA DALAM LIRIK LAGU IWAN FALS (Analisis Semiotika Lirik Lagu Iwan Fals yang Berjudul ‘Ujung Aspal Pondok Gede’ )

0 5 12