Siklofosfamid dengan Doksorubisin Interaksi Obat

43 Tabel 4.5 Lanjutan 1 2 3 4 5 6 7 10 R 42 No. RM: 116590 249 239 hari kemo- terapi oral Doksorubisin Siklofosfamid 5-Fluorourasil Paklitaksel Tamoksifen Ondansetron Deksametason Metoklopramid-HCl Parasetamol Ranitidin Vit. B kompleks Doksorubisin Siklofosfamid 4 1,606 Siklofosfamid Ondansetron 4 1,606 Siklofosfamid Deksametason 4 1,606 Pada Tabel 4.5 ditunjukkan bahwa interaksi obat yang terjadi pada pasien kanker payudara antara obat kemoterapi dengan obat kemoterapi, yaitu antara siklofosfamid dengan doksorubisin dan antara kapesitabin dengan tamoksifen, dan antara obat kemoterapi dengan obat penunjang, yaitu antara siklofosfamid dengan deksametason, antara siklofosfamid dengan ondansetron dan antara sisplatin dengan ondansetron. Interaksi-interaksi tersebut adalah interaksi obat level moderate , yang artinya tindakan diperlukan untuk mengurangi risiko interaksi berbahaya yang tidak diinginkan. Monitor terapi obat perlu dilakukan untuk mengetahui perubahan efek terapi yang mungkin terjadi. Dapat juga dilakukan penggantian obat untuk mencegah terjadinya interaksi.

4.5.1.1 Siklofosfamid dengan Doksorubisin

Gambaran kejadian interaksi obat secara farmakologi antara siklofosfamid dengan doksorubisin pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung ditunjukkan pada Tabel 4.6, 4.7, 4.8 dan 4.9. 44 Tabel 4.6 Terjadi interaksi obat secara farmakologi antara siklofosfamid dengan doksorubisin kasus I pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung Subjektif: Nama Inisial: G Usia: 60 tahun No. Rekam Medis: 119864 Diagnosis: Ca Mammae Dextra Dirawat tanggal 17-19 Maret 2011 untuk kemoterapi pada tanggal 18 Maret 2011. Setelah kemoterapi mengeluh mual dan muntah. Objektif: Parameter Hasil pemeriksaan 1932011 Nilai normal Hb 12,8 gdl 12 – 18 gdl Leukosit 8400 selmm 3 4500 – 10000 selmm 3 Trombosit 467000 selmm 3 150000 – 400000 selmm 3 Suhu tubuh 36,2°C Tekanan darah 11080 mmHg Nadi 70 kali per menit Frekuensi pernapasan 20 kali per menit Penatalaksanaan: Sebelum kemoterapi mendapat infus NaCl 0,9, ondansetron 8 mg iv dan deksametason 5 mg iv. Untuk kemoterapi mendapat doksorubisin 80 mg iv dan siklofosfamid 800 mg iv. Setelah kemoterapi mendapat metoklopramid-HCl 3 x 10 mg, parasetamol 3 x 500 mg dan ranitidin 2 x 150 mg. 45 Tabel 4.7 Terjadi interaksi obat secara farmakologi antara siklofosfamid dengan doksorubisin kasus II pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung Subjektif: Nama Inisial: R Usia: 44 tahun No. Rekam Medis: 133406 Diagnosis: Tumor Mammae Dirawat tanggal 23-25 Maret 2011 untuk kemoterapi pada tanggal 24 Maret 2011. Pada saat keluar rumah sakit, pasien mengeluh nyeri kadang berdenyut pada payudara kanan. Objektif: Parameter Hasil pemeriksaan 2532011 Nilai normal Hb Normal 12 – 18 gdl Leukosit 11000 selmm 3 4500 – 10000 selmm 3 Trombosit 7000 selmm 3 150000 – 400000 selmm 3 Suhu tubuh 36,6°C Tekanan darah 12090 mmHg Nadi 82 kali per menit Frekuensi pernapasan 22 kali per menit Penatalaksanaan: Sebelum kemoterapi mendapat infus NaCl 0,9, ondansetron 8 mg iv, deksametason 5 mg iv dan metilprednisolon 3 x 4 mg. Untuk kemoterapi mendapat doksorubisin 80 mg iv, siklofosfamid 800 mg iv dan 5-fluorourasil 750 mg iv. Setelah kemoterapi mendapat metoklopramid-HCl 3 x 10 mg, parasetamol 3 x 500 mg dan ranitidin 2 x 150 mg. 46 Tabel 4.8 Terjadi interaksi obat secara farmakologi antara siklofosfamid dengan doksorubisin kasus III pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung Subjektif: Nama Inisial: T Usia: 45 tahun No. Rekam Medis: 145011 Dirawat tanggal 7-12 Mei 2011 untuk kemoterapi pada tanggal 9 10 Mei 2011. Mengeluh nyeri pada payudara kiri. Diagnosis sebelum kemoterapi: Ca Mammae Sinistra , ada luka pada payudara kiri. Diagnosis setelah kemoterapi: Ca Mammae Sinistra , susp. metastasi subpleural sinistra dengan ulkus. Objektif: Parameter Hasil pemeriksaan 752011 1252011 Tekanan darah 13080 mmHg 13080 mmHg Nadi 78 kali per menit 100 kali per menit Frekuensi pernapasan 20 kali per menit 22 kali per menit Penatalaksanaan: Pada saat masuk RS mendapat tramadol-HCl 3 x 50 mg dan parasetamol 3 x 250 mg. Sebelum kemoterapi mendapat deksametason 1 ampul 5 mg, ondansetron 1 ampul 8 mg, infus NaCl 0,9 dan difenhidramin-HCl. Untuk kemoterapi mendapat paklitaksel 210 mg iv 9 Mei 2011, doksorubisin 70 mg iv dan siklofosfamid 800 mg iv 10 Mei 2011. Setelah kemoterapi mendapat seftriakson 1 g, metoklopramid-HCl 3 x 10 mg, ranitidin 2 x 150 mg dan parasetamol 3 x 500 mg. 47 Tabel 4.9 Terjadi interaksi obat secara farmakologi antara siklofosfamid dengan doksorubisin kasus IV pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung Subjektif: Nama Inisial: G Usia: 60 No. Rekam Medis: 119864 Dirawat tanggal 19-22 Mei 2011 untuk mendapat kemoterapi pada tanggal 20 Mei 2011. Diagnosis sebelum kemoterapi: Ca Mammae Dekstra. Diagnosis setelah kemoterapi: Ca Mammae Dextra dan anemia. Objektif: Parameter Hasil pemeriksaan 2252011 Nilai normal Hb 8,8 gdl 12 – 18 gdl Suhu tubuh 36,4° Tekanan darah 12080 mmHg Nadi 80 kali per menit Frekuensi pernapasan 18 kali per menit Penatalaksanaan: Sebelum kemoterapi mendapat infus NaCl 0,9, ondansetron 8 mg iv, deksametason 5 mg iv, dan ranitidin 25 mg iv. Untuk kemoterapi mendapat doksorubisin 80 mg iv dan siklofosfamid 800 mg iv. Setelah kemoterapi mendapat metoklopramid-HCl 3 x 10 mg, parasetamol 3 x 500 mg dan ranitidin 2 x 150 mg. Berdasarkan Tabel 4.6, 4.7, 4.8 dan 4.9, dapat diketahui bahwa doksorubisin dan siklofosfamid digunakan secara bersamaan. Menurut Albariyah 2009, jenis interaksi yang terjadi antara kedua obat tersebut adalah interaksi farmakodinamik yang sinergis additive. Doksorubisin dan siklofosfamid sama- sama mempunyai efek samping kardiotoksik sehingga jika kedua jenis obat ini dikombinasi, efek kardiotoksik dari doksorubisin akan meningkat dengan adanya siklofosfamid. Doksorubisin dikenal sebagai salah satu obat yang aktif untuk kanker payudara, tetapi kegunaan klinisnya terbatas karena miopati kardiak yang bergantung terhadap dosis kumulatifnya yang dapat mengarah ke gagal jantung kongestif fatal secara potensial. Mekanisme kardiotoksisitas doksorubisin melibatkan formasi kompleks stabil obat dengan logam besi yang bereaksi dengan 48 oksigen, membentuk anion superoksida, hidrogen peroksida dan radikal hidroksil. Disfungsi kardiak yang terjadi adalah berupa kerusakan miosit yang bersifat cumulative dose – dependent . Hal ini terjadi selama terapi dan beberapa bulan setelah terapi. Pasien yang sebelumnya mendapat radiasi yang meliputi jantung misalnya iradiasi mediastenal atau yang sebelumnya mendapat terapi antrasiklin ajuvan adalah pasien yang beresiko terhadap toksisitas kardiak doksorubisin, selain pasien yang lanjut usia atau pasien yang memiliki riwayat penyakit jantung Batist, et al., 2001. Doksorubisin merupakan agen kemoterapi utama drug of choice pada kasus kanker terutama pada kanker payudara, sehingga dalam penggunaannya dilakukan upaya untuk mengurangi toksisitasnya, misalnya dengan mengkombinasikan obat ini dengan bahan alam atau dengan agen pengkelat besi yaitu deksrazoksan. Deksrazoksan menunjukkan kemampuan untuk mengurangi toksisitas kardiak yang terkait dengan doksorubisin; akan tetapi perlindungannya tidak sempurna, dan pemakaian deksrazoksan berkaitan dengan peningkatan mielotoksisitas yang dapat menjadi parah. Selain itu, pemberian doksorubisin dalam bentuk infus dosis kecil terus menerus selama 96 jam telah dilaporkan memiliki kardiotoksisitas yang lebih kecil, walaupun keamanan dan efikasinya belum ditetapkan dalam pengobatan kanker payudara. Sebagai tambahan, jadwal ini tidak disetujui secara luas karena membutuhkan 1 kateter vena sentral, yang mana meningkatkan resiko komplikasi meliputi trombosis, ekstravasasi, dan infeksi; dan 2 pompa, yang mana sangat tidak nyaman untuk pasien Batist, et al., 2001. 49 Upaya lain untuk mengurangi toksisitas doksorubisin adalah dengan memformulasikannya dalam bentuk liposom, contohnya Myocet®. Alasan dari rancangan tersebut adalah liposom yang terinjeksi secara intravena tidak dapat lolos dari jarak vaskular dalam tempat-tempat yang memiliki persimpangan kapiler yang sempit, seperti otot jantung dan saluran cerna. Liposom secara umum keluar dari sirkulasi dalam jaringan dan organ yang memiliki lapisan dengan sel- sel yang tidak bergabung secara rapat memiliki rongga atau area di mana kapiler dirusak oleh inflamasi atau pertumbuhan tumor. Dengan demikian, Myocet® lebih utama mengarahkan doksorubisin jauh dari tempat-tempat toksisitas potensial. Studi preklinis telah menunjukkan bahwa Myocet® mengurangi distribusi tertinggi doksorubisin ke jantung dan mukosa saluran cerna, tetapi menyampaikan doksorubisin secara efektif ke tumor. Pada penelitian menggunakan hewan, perbandingan dosis yang sama antara Myocet® dan doksorubisin konvensional menunjukkan bahwa Myocet® memiliki toksisitas kardiak lebih kecil daripada doksorubisin konvensional. Epirubisin, analog doksorubisin ketika digunakan pada basis miligram-per-miligram, berkaitan dengan toksisitas kardiak yang lebih kecil. Dalam studi terbaru, penggunaan dosis epirubisin yang lebih tinggi mencegah efek kardiotoksisitasnya Batist, et al., 2001. Metabolit-metabolit siklofosfamid dipercaya menyebabkan stres oksidatif dan kerusakan kapiler endotelial secara langsung dengan ekstravasasi protein, eritrosit dan metabolit-metabolit toksik. Kerusakan sel-sel endotelial yang diakibatkan keberadaan metabolit-metabolit tersebut menyebabkan kerusakan secara langsung pada miokardium dan pembuluh-pembuluh darah kapiler yang 50 mengakibatkan edema, perdarahan interstisial perdarahan pada celah antar jaringan dan pembentukan mikrotrombi trombus kecil pada pembuluh darah kapiler atau pembuluh darah kecil lainnya. Gangguan-gangguan tersebut nyata secara klinis sebagai gagal jantung akut dan aritmia. Mempertimbangkan potensi untuk toksisitas kardiak letal progresif yang berlangsung cepat, deteksi dini gangguan kardiak terkait siklofosfamid merupakan perhatian utama Dhesi, et al., 2013. Metode non-invasif yang paling umum dipakai untuk memantau toksisitas kardiak dari agen-agen kemoterapi adalah ekokardiografi. Perubahan-perubahan paling awal dari kerusakan akibat siklofosfamid adalah disfungsi diastolik termasuk perubahan dalam rasio EA, ketebalan septum intraventrikular dalam diastol, diameter diastoliksistolik ventrikel kiri yang meningkat, dan regurgitasi mitral fungsional dini. Parameter-parameter sistolik termasuk pemendekan fraksional dan fraksi ejeksi mungkin beberapa kali berkurang dan dapat menjadi indikasi disfungsi ventrikel kiri yang parah. Walaupun demikian, keduanya bergantung pada preload dan afterload, yang mana dapat bervariasi dalam setiap pasien. Miokarditis hemoragik yang terinduksi oleh siklofosfamid berkaitan dengan hipertrofi, peningkatan ekogenisitas miokardial, pengurangan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan ukuran ruangan normal. Elektrokardiogram mungkin berguna dalam memprediksi gagal jantung akut. Corrected QT QTc yang diperpanjang dan dispersi QTc yang meningkat, perbedaan antara range maksimum dan minimum QTc pada 12-lead ECG, adalah sebagian dari perubahan-perubahan dini dalam gagal jantung akut dari kemoterapi yang mengandung siklofosfamid dosis tinggi. Dispersi QTc dan QTc yang diperpanjang mungkin lebih efektif 51 dibandingkan dengan ekokardiografi. Penemuan nonspesifik umum lainnya untuk toksisitas kardiak siklofosfamid pada EKG meliputi reduksi dalam voltase QRS dan segmen ST atau perubahan-perubahan gelombang T Dhesi, et al., 2013.

4.5.1.2 Kapesitabin dengan Tamoksifen