Pemberian Obat yang Salah

61 tingkatan biomarker biokimia dan molekuler dan perubahan-perubahan patologis yang lebih drastis pada tikus. Multidrug and toxin extrusion proteins MATEs manusia, termasuk MATE1 dan MATE2-K, dan MATE1 tikus, dan OCT2 manusia dan tikus adalah subjek inhibisi ondansetron, dengan potensi-potensi yang lebih besar pada MATEs manusia Li, 2013. Interaksi antara sisplatin dengan ondansetron terjadi pada tingkat sekresi renal tubular. Untuk menghindari kejadian interaksi antara sisplatin dengan ondansetron, ondansetron dapat diganti dengan metoklopramid. Menurut Albariyah 2009, metoklopramid tidak menyebabkan interaksi apabila dikombinasi dengan sisplatin. Atau, dapat juga diganti dengan palonosetron. Palonosetron merupakan antiemetik generasi kedua dari antagonis reseptor 5-HT 3 , yaitu dari kekuatan ikatannya terhadap reseptor dan mempunyai waktu paruh yang panjang. Selain mencegah chemotherapy-induced nausea and vomiting CINV pada fase akut 24 jam pertama setelah pemberian kemoterapi, palonosetron juga efektif mencegah CINV pada fase lambat hari ke-2 hingga hari ke-5 setelah kemoterapi delayed emesis Albariyah, 2009.

4.5.2 Pemberian Obat yang Salah

Gambaran kejadian pemberian obat yang salah pada pasien kemoterapi kanker payudara di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada tahun 2011 – 2012 ditunjukkan pada Tabel 4.17. 62 Tabel 4.17 Gambaran kejadian pemberian obat yang salah pada pasien kemoterapi kanker payudara di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada tahun 2011 – 2012 No. Data Pasien Jumlah Kemoterapi hari Obat yang Salah Frekuensi Pemberian Obat yang Salah Persentase Pemberian Obat yang Salah 1 L 55 No. RM: 132007 4 - - - 2 T 45 No. RM: 145011 3 - - - 3 R 44 No. RM: 133406 219 214 hari kemoterapi oral - - - 4 KC 41 No. RM: 147018 40 29 hari kemoterapi oral - - - 5 J 44 No. RM: 033279 164 155 hari kemoterapi oral - - - 6 R 65 No. RM: 123178 5 - - - 7 A 53 No. RM: 127462 6 - - - 8 A 53 No. RM: 067892 524 519 hari kemoterapi oral - - - 9 G 60 No. RM: 119864 547 540 hari kemoterapi oral Asam mefenamat 1 0,183 10 R 42 No. RM: 116590 249 239 hari kemoterapi oral - - - Berdasarkan Tabel 4.17, dapat diketahui bahwa pada penelitian ini ditemukan pemberian obat yang salah, yaitu pemberian asam mefenamat. Untuk lebih jelas, kejadian pemberian obat yang salah pada pasien kanker payudara di 63 instalasi rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung dapat dilihat pada Tabel 4.18. Tabel 4.18 Terjadi pemberian obat yang salah pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung Subjektif: Nama Inisial: G Usia: 60 tahun No. Rekam Medis: 119864 Diagnosis: Ca Mammae Dextra Dirawat tanggal 23-26 Februari 2011 untuk mendapat kemoterapi tanggal 25 Februari 2011. Pada tanggal 8 Maret 2011, pasien mengeluh nyeri perut di epigastrum, panas seperti ditusuk-tusuk. Objektif: Parameter Hasil pemeriksaan 2422011 Nilai normal Hb 13,1 gdl 12 – 18 gdl Hasil pemeriksaan 2422011 2522011 2622011 Tekanan darah 11070 mmHg 13080 mmHg 13090 mmHg Nadi - 74 kalimenit 80 kalimenit Frekuensi pernapasan - 20 kalimenit 20 kalimenit Penatalaksanaan: Sebelum kemoterapi mendapat infus NaCl 0,9, ondansetron 8 mg iv dan deksametason 5 mg iv. Untuk kemoterapi mendapat doksorubisin 80 mg iv dan siklofosfamid 800 mg iv. Setelah kemoterapi mendapat kaptopril 12,5 mg, diazepam 2 mg, metoklopramid-HCl 3 x 10 mg, asam mefenamat 3 x 500 mg dan ranitidin 2 x 150 mg. Berdasarkan Tabel 4.18, dapat diketahui bahwa asam mefenamat diberikan sehari setelah kemoterapi menggunakan doksorubisin dan siklofosfamid. Rumah Sakit Kanker Dharmais, dalam situsnya http:www.dharmais.co.id Anonim a , 2009, memberikan informasi bahwa salah satu efek samping kemoterapi adalah mukositis yang ditandai dengan perlukaan pada dinding rongga saluran cerna, sedangkan menurut Silbernagl dan Lang 2000, efek yang tidak diinginkan pada penggunaan non-steroidal anti-inflammatory drugs NSAID adalah penghambatan sintesis prostaglandin secara sistemik terutama pada epitel lambung dan duodenum sehingga melemahkan proteksi mukosa. 64 Doksorubisin termasuk grup antibiotik antikanker. Obat sitostatik ini memiliki kardiotoksisitas dan toksisitas pada saluran cerna. Toksisitas terapi dengan doksorubisin dan siklofosfamid dibarengi dengan neutropenia sedang dan tanda-tanda klinis seperti letargi, anoreksia, muntah, diare dan demam. Masalah- masalah paling umum adalah tanda-tanda pada saluran cerna, supresi sumsum tulang dan imunosupresi. Muntah dan anoreksia dapat terjadi karena kerusakan epitel saluran cerna atau efek sistem saraf pusat Todorova, et al., 2005. Usia lanjut telah didapatkan secara konsisten menjadi faktor resiko primer untuk kejadian-kejadian yang tidak diinginkan pada saluran cerna. Resiko meningkat secara linier dengan usia. Walaupun pada laporan sebelumnya, diusulkan bahwa resiko berkurang seiring waktu, studi yang lebih baru menandakan bahwa resiko perdarahan saluran cerna yang dikaitkan dengan NSAID tetap konstan selama periode panjang observasi. Efek-efek sistemik sebagian besar menghasilkan inhibisi sintesis prostaglandin endogen. Inhibisi prostaglandin, satu per satu, mengarah ke penurunan mukus epitelial, sekresi bikarbonat, aliran darah mukosal, proliferasi epitelial, dan resistensi mukosa terhadap cedera. Secara umum, jika terjadi luka pada saluran cerna, maka penggunaan NSAID perlu dihentikan dan diganti dengan asetaminofen atau salisilat tak terasetilasi. Jika pengobatan dengan NSAID harus dilanjutkan, inhibitor pompa proton harus digunakan karena inhibitor pompa proton mengobati luka pada laju yang sama saat terapi NSAID dilanjutkan ataupun tidak. Setelah luka sembuh dan telah ditentukan bahwa terapi NSAID harus dilanjutkan, profilaksis yang paling efektif melawan terjadinya kembali luka adalah pemberian 65 secara bersamaan misoprostol setidaknya 200 μg diberikan sehari tiga kali atau inhibitor pompa proton Wolfe, et al., 1999. Menurut Krötz 2005, NSAID yang bersifat selektif menghambat siklooksigenase-2 ternyata mempengaruhi keseimbangan vaskular prostanoid dan aktivitas platelet sehingga menyebabkan terjadinya trombosis. Dalam kondisi fisiologis, prostanoid terdiri dari prostaglandin, tromboksan dan prostasiklin mempengaruhi platelet melalui reseptor G-protein-coupled prostanoid. Prostasiklin yang dirilis dari endotelium vaskular mengaktivasi reseptor prostasiklin, akibatnya menghambat aktivasi platelet dengan cara meningkatkan cAMP level , yang mana mencegah rilis kalsium intraselular dan menurunkan sekresi granul dan aktivasi GPIIbIIIa reseptor fibrinogen. Tromboksan A 2 dirilis sebagian besar oleh platelet-platelet teraktivasi dan selanjutnya menambah tingkatan kalsium platelet, sekresi granul dan aktivasi GPIIbIIIa melalui reseptor TP prostaglandin T 2 receptor . Penelitian menunjukkan bahwa siklooksigenase-2 secara konstitutif terekspresikan di dalam endotelium dan ginjal, dan secara signifikan mengakibatkan terjadinya formasi prostasiklin bahkan pada individu yang sehat. Inhibitor selektif siklooksigenase-2 menurunkan tingkatan sistemik prostasiklin tanpa mengubah tromboksan A 2 sehingga tingkatan sistemik tromboksan A 2 lebih tinggi dibandingkan dengan tingkatan sistemik prostasiklin, mengakibatkan aktivasi platelet meningkat dan terjadinya trombosis.

4.5.3 Ketiadaan Terapi Tambahan