Teknik Perbaikan Tanah Lunak Sebagai Lapisan Tanah Dasar (Subgrade)

(1)

TEKNIK PERBAIKAN TANAH LUNAK SEBAGAI LAPISAN

TANAH DASAR (

SUBGRADE

)

(Studi Literatur)

TUGAS AKHIR

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas - Tugas Dan Memenuhi Syarat Untuk Menempuh Ujian Sarjana Teknik Sipil

Disusun Oleh:

DINI ANITA SARAGIH

09 0424 061

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA EKSTENSION

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

TEKNIK PERBAIKAN TANAH LUNAK SEBAGAI LAPISAN

TANAH DASAR (

SUBGRADE

)

(Studi Literatur)

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat untuk Menempuh Ujian Sarjana Teknik Sipil

Dikerjakan oleh :

DINI ANITA SARAGIH

09 0424 061

Pembimbing :

Ir. Zulkarnain A.Muis, M.Eng.Sc NIP : 19560326 198103 1 003

Penguji I

Ir. Indra Jaya Pandia, MT NIP. 19560618 198601 1 001

Penguji II

Ir. Rudi Iskandar, MT NIP. 19650325 199103 1 006 Mengesahkan

Koordinator, PPSE Ketua

Departemen T. Sipil FT USU Departemen T. Sipil FT USU

Ir. Zulkarnain A.Muis, M.Eng.Sc Prof. Dr. Ing. JohannesTarigan NIP : 19560326 198103 1 003 NIP: 19561224 198103 1 002

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA EKSTENSION

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK


(3)

ABSTRAK

Masalah yang sering dijumpai pada pembangunan konstruksi diatas tanah lunak adalah masalah penurunan dan daya dukung yang rendah. Pemberian beban diatas tanah lunak akan mengakibatkan terjadinya pengaliran air dan udara dari dalam pori-pori tanah sehingga mengakibatkan menyusutnya volume tanah, peristiwa ini disebut dengan proses konsolidasi tanah. Proses konsolidasi pada tanah lunak membutuhkan waktu yang lama tergantung kepada ketebalan tanah lunak, dimana semakin tebal lapisan tanah lunak maka semakin lama proses konsolidasi terjadi. Dalam pembangunan konstruksi waktu yang diperlukan terbatas sehingga untuk mempercepat proses konsolidasi diperlukan suatu perlakuan. Ada beberapa teknik perbaikan tanah lunak, yaitu teknik perbaikan tanah secara mekanis(fisis), dengan bahan kimia, dengan bahan prkuatan dan secara hidrolis. Teknik perbaikan tanah lunak ini mempunyai keuntungan dan kekurangan masing-masing, oleh karenanya teknik perbaikan tanah lunak disesuaikan dengan kondisi tanah lunak yang ada di lapangan. Dengan mempertimbangkan efesiensi waktu, biaya dan kemudahan pengerjaan serta waktu yang dibutuhkan. Pada Tugas Akhir ini teknik perbaikan tanah yang digunakan adalah metode PVD (Prefabricated Vertical Drains). PVD adalah suatu system drainase yang mempunyai sifat permeabilitas tinggi, yang dapat mempercepat proses konsolidasi.

Pada Tugas Akhir ini akan dihitung besaranya penurunan pada tanah lunak dan waktu konsolidasi yang dibutuhkan. Dalam hal ini digunakan data dari

Runway Bandara Internasional Kuala Namu. Perhitungan besar penurunan konsolidasi dengan menggunakan metode Hansbo. Derajat konsolidasi yang ditargetkan pada tugas akhir ini adalah pada saat mencapai derajat konsolidasi 90%. Dalam tugas akhir ini teknik perbaikan tanah yang dilakukan adalah dengan PVD. PVD untuk mempercepat proses konsolidasi. Analisa jarak spasi antar PVD juga akan dihitung untuk medapatkan jarak yang paling efektif yang disesuaikan dengan waktu konsolidasi yang dibutuhkan.

Dari hasil perhitungan atau analisa yang dilakukan maka diperoleh hasilnya. Yaitu untuk mencapai konsolidasi 90%, dibutuhkan waktu selama 6,82 tahun, sedangkan penurunan yang terjadi sebesar 1,82 meter. Sedangkan waktu konsolidasi 90% dengan PVD spasi 1,2 meter adalah selama 75 hari, spasi 1,4 meter selama 105 hari dan spasi 1,6 meter selama 135 hari.

Kata kunci: penurunan, tanah lunak, konsolidai, Prefabricated Vertical Drain (PVD)


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Allah Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan berkatNya, penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas Tugas Akhir dengan baik. Adapun Tugas Akhir ini yang berjudul “Teknik Perbaikan Tanah Lunak Sebagai Lapisan Tanah Dasar (Subgrade)”.

Tugas Akhir ini disusun untuk melengkapi syarat untuk menempuh ujian sarjana pada Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan Tugas Akhir ini penulis banyak memperoleh bantuan baik moril maupun materil, secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan untuk penyelesaian Tugas Akhir ini terutama:

1. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan, selaku Ketua Jurusan Teknik Sipil. 2. Bapak Ir. Syahrizal, M.Eng, selaku Sekretaris Jurusan Teknik Sipil.

3. Bapak Ir. Zulkarnain A. Muis, M.Eng.Sc., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada saya.

4. Bapak Ir. Indra Jaya Pandia, MT., selaku dosen penguji yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada saya.

5. Bapak Ir. Rudi Iskandar, MT., selaku dosen penguji yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada saya.

6. Bapak, Mamak, Risda, Cerimita, Aceria serta keluarga yang selalu memberikan dukungan dan doa.


(5)

7. Hendra Simanjuntak yang selalu memberikan semangat, dukungan, dan doa dalam melakukan Tugas Akhir ini.

8. Juni, Irma, Vay, Tua, Arif, Bolmen, Serly dan teman-teman yang lain yang selalu memberikan semangat, dukungan, dan doa dalam melakukan Tugas Akhir ini.

9. Seluruh teman-teman kami dari Jurusan teknik Sipil yang senantiasa memberikan kritik dan sarannya.

10. Rekan-rekan Ektension 2009 yang telah memberi semangat dan dorongan dalam penyusunan Tugas Akhir ini.

Dengan terbatasnya kemampuan dan waktu yang penulis miliki untuk melaksanakan proses penulisan Laporan Tugas Akhir ini, penulis menyadari adanya kesalahan dan kekurangan baik dari segi isi maupun penyusunannya. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi rekan-rekan Jurusan Teknik Sipil.

Medan, April 2014 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRACT ...i

KATA PENGANTAR ...ii

DAFTAR ISI ...iv

DAFTAR TABEL ...vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Permasalahan ...4

1.3 Pembatasan Masalah ...4

1.4 Tujuan Penulisan ...5

1.5 Sistematika Penulisan ...5

BAB II KARAKTERISTIK TANAH LUNAK DAN PERMASALAHANNNYA 2.1 Tinjauan Umum ...7

2.2 Karakteristik Tanah Lunak ...8

2.2.1 Pengertian Tanah Lunak ...9

2.2.2 Sifat-sifat Tanah Lunak ...10

2.2.3 Tipe Tanah Lunak ...13

2.3 Permasalahan Tanah Lunak ...15

2.3.1 Tanah Dasar ...15

2.3.2 Timbunan di atas Tanah Lunak ...20

2.4 Permasalahan yang Timbul pada Tanah Lunak ...24

2.4.1 Daya Dukung Tanah yang Rendah ...25

2.4.2 Penurunan Timbunan yang Besar ...25

2.5 Teori Penurunan Tanah ...27

2.5.1 Penurunan Elastik ...29

2.5.2 Penurunan Akibat Konsolidasi Primer ...29

2.5.3 Penurunan Akibat Konsolidasi Sekunder ...34 2.5.4 Penurunan Akibat Konsolidasi (Consolidation Settlement) 36


(7)

2.7 Contoh Permasalahan Konstruksi Jalan di atas Tanah Lunak ...44

2.8 Penanganan Tanah Lunak ...46

BAB III TEKNIK PERBAIKAN TANAH LUNAK 3.1 Tinjauan Umum ...49

3.2 Teknik Perbaikan Tanah Lunak ...49

3.2.1 Dengan Bahan Perkuatan ...49

3.2.2 Secara Mekanis (fisis) ...52

3.2.3 Dengan Bahan Kimia ...57

3.2.4 Secara Hidrolis ...59

3.2.4.1 Fungsi Drainase Vertikal ...61

3.2.4.2 Karakteristik Drainase Vertikal ...62

3.2.4.3 Pengaruh Drainase Vertikal Terhadap Konsolidasi .63 3.2.4.4 Efek Smear dan Gangguan ...64

3.2.4.5 Pemilihan Tipe Drainase Vertikal ...65

3.2.4.6 Pemasangan Drainase Vertikal ...66

3.3 Desain Drainase Vertikal ...67

3.4 Persamaan Desain Umum Untuk Drainase Vertikal ...68

3.5 Modifikasi Persamaan Desain Umum ...70

3.6 Konsolidasi Radial ...72

3.7 Kombinasi Konsolidasi Vertikal dan Konsolidasi Radial ...74

3.8 Langkah-langkah dalam Mendesain Drainase Vertikal ...76

BAB IV APLIKASI 4.1 Umum ...78

4.2 Perbaikan Tanah Lunak ...78

4.2.1 Perbaikan Tanah Lunak dengan Vertical Drain ...78

4.2.1.1 Perhitungan Waktu Konsolidasi ...79

4.2.1.2 Desain Drainase Vertikal dan Horizontal ...81

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ...97

5.2 Saran ...98 DAFTAR PUSTAKA


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Hubungan antar konsistensi dengan tekanan konus ... 11

Tabel 2.2 Hubungan antara kepadatan, relative density, nilai N, qc dan Ø ... 12

Tabel 2.3 Hubungan Antara Indeks Plastis Dengan Tingkat Plastisitas dan Jenis Tanah Menurut Atterberg ... 12

Tabel 2.4 Tipe tanah berdasarkan kadar organic ... 13

Tabel 2.5 Korelasi untuk indeks pemampatan. Cc ... 40

Tabel 2.6 Variasi nilai Tv terhadap nilai U ... 43

Tabel 2.7 Peningkatan Tanah Dasar untuk Tanah Dasar Berdaya Dukung Sedang (CBR2 s/d < 6) dan Tipikal Lapisan Penopang ... 47

Tabel 2.8 Perbaikan Tambahan untuk Tanah yang Sangat Lunak dengan CBR Lapangan Di bawah 2 ... 48

Tabel 3.1 Persyaratan sifat – sifat kapur untuk stabilisasi tanah ... 59

Tabel 4.1 Parameter tanah yang digunakan ... 78

Tabel 4.2 Hasil perhitungan waktu konsolidasi pada BH-02 (STA 0+700) ... 80

Tabel 4.3 Hasil perhitungan konsolidasi vertikal dan radial dengan spasi 1,2 meter ... 85

Tabel 4.4 Hasil analisa konsolidasi vertikal dan radial dengan spasi 1,4 meter ... 89

Tabel 4.5 Hasil analisa konsolidasi vertikal dan radial dengan spasi 1,6 meter ... 93


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Regangan lapisan tanah lempung jenuh air akibat kenaikan ... 30

tegangan Gambar 2.2 Kondisi tegangan pada saat t = 0 ... 32

Gambar 2.3 Tegangan pada saat 0< t < ∞ ... 32

Gambar 2.4 Kondisi tegangan pada saat t = ∞ ... 32

Gambar 2.5 Variasi e vs log t untuk kenaikan beban ... 35

Gambar 2.6 Lapisan tanah lempung yang mengalami konsolidasi ... 42

Gambar 3.1 Drainase vertical dibawah timbunan tanah ... 60

Gambar 3.2 Penurunan dengan dan tanpa drainase vertikal ... 62

Gambar 3.3 Pengaruh smear dan tahanan drain ... 65

Gambar 3.4 Rencana pola drainase dan zona pengaruh antar drainase ... 65

Gambar 3.5 Pemasangan PVD ... 67

Gambar 3.6 Settlement Plate ... 75

Gambar 4.1 Pemasangan Drainase Vertical di Bawah Timbunan Tanah ... 95


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Gambar dan Denah Lokasi Penyelidikan Tanah di Lapangan Lampiran 2 Gambar Stratifikasi Lapisan Tanah


(11)

ABSTRAK

Masalah yang sering dijumpai pada pembangunan konstruksi diatas tanah lunak adalah masalah penurunan dan daya dukung yang rendah. Pemberian beban diatas tanah lunak akan mengakibatkan terjadinya pengaliran air dan udara dari dalam pori-pori tanah sehingga mengakibatkan menyusutnya volume tanah, peristiwa ini disebut dengan proses konsolidasi tanah. Proses konsolidasi pada tanah lunak membutuhkan waktu yang lama tergantung kepada ketebalan tanah lunak, dimana semakin tebal lapisan tanah lunak maka semakin lama proses konsolidasi terjadi. Dalam pembangunan konstruksi waktu yang diperlukan terbatas sehingga untuk mempercepat proses konsolidasi diperlukan suatu perlakuan. Ada beberapa teknik perbaikan tanah lunak, yaitu teknik perbaikan tanah secara mekanis(fisis), dengan bahan kimia, dengan bahan prkuatan dan secara hidrolis. Teknik perbaikan tanah lunak ini mempunyai keuntungan dan kekurangan masing-masing, oleh karenanya teknik perbaikan tanah lunak disesuaikan dengan kondisi tanah lunak yang ada di lapangan. Dengan mempertimbangkan efesiensi waktu, biaya dan kemudahan pengerjaan serta waktu yang dibutuhkan. Pada Tugas Akhir ini teknik perbaikan tanah yang digunakan adalah metode PVD (Prefabricated Vertical Drains). PVD adalah suatu system drainase yang mempunyai sifat permeabilitas tinggi, yang dapat mempercepat proses konsolidasi.

Pada Tugas Akhir ini akan dihitung besaranya penurunan pada tanah lunak dan waktu konsolidasi yang dibutuhkan. Dalam hal ini digunakan data dari

Runway Bandara Internasional Kuala Namu. Perhitungan besar penurunan konsolidasi dengan menggunakan metode Hansbo. Derajat konsolidasi yang ditargetkan pada tugas akhir ini adalah pada saat mencapai derajat konsolidasi 90%. Dalam tugas akhir ini teknik perbaikan tanah yang dilakukan adalah dengan PVD. PVD untuk mempercepat proses konsolidasi. Analisa jarak spasi antar PVD juga akan dihitung untuk medapatkan jarak yang paling efektif yang disesuaikan dengan waktu konsolidasi yang dibutuhkan.

Dari hasil perhitungan atau analisa yang dilakukan maka diperoleh hasilnya. Yaitu untuk mencapai konsolidasi 90%, dibutuhkan waktu selama 6,82 tahun, sedangkan penurunan yang terjadi sebesar 1,82 meter. Sedangkan waktu konsolidasi 90% dengan PVD spasi 1,2 meter adalah selama 75 hari, spasi 1,4 meter selama 105 hari dan spasi 1,6 meter selama 135 hari.

Kata kunci: penurunan, tanah lunak, konsolidai, Prefabricated Vertical Drain (PVD)


(12)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sebagian besar deposit tanah yang ada di Indonesia merupakan tanah lunak. Tanah jenis ini umumnya dapat ditemui di wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya. Ketebalan tanah lunak pada ketiga wilayah yang telah disebutkan di atas dapat mencapai lebih dari 30 m. Tanah lunak juga tersebar di kawasan Indonesia lainnya walaupun dalam jumlah yang relatif lebih sedikit (Panduan Geoteknik 1, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah).

Tanah lunak merupakan tanah yang berkarakteristik buruk. Hal ini karena tanah lunak memiliki sifat kompresibilitas yang sangat tinggi. Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya tingkat kompresibilitas pada tanah lunak adalah karena tanah jenis ini memiliki angka pori yang tinggi. Selain itu tanah jenis ini juga memiliki kadar air yang tinggi sehingga menyebabkan tanah lunak memiliki daya dukung yang sangat rendah dan memiliki penurunan yang besar selama dan setelah konstruksi dibangun. Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat ditentukan oleh sifat-sifat daya dukung tanah dasar (Sukirman, 1999).

Tanah merupakan bagian penting dari sistem konstruksi jalan raya, sebagai bagian dari sistem, kekuatan dan stabilitas tanah sangatlah diperlukan untuk mendukung beban jalan raya tersebut. Hal di atas ditegaskan Bowles (1986) yang menyatakan bahwa tanah merupakan salah satu bahan konstruksi yang langsung tersedia di lapangan, dan apabila tanah dapat dipergunakan secara langsung akan menjadi sangat ekonomis. Akan tetapi dalam penggunaan tanah sebagai bahan


(13)

tanah ditimbun secara sembarangan, hasilnya akan merupakan tanah timbunan dengan berat satuan yang rendah dan mengakibatkan stabilitas yang rendah dan penurunan tanah yang besar. Tanah di satu lokasi mempunyai karakteristik yang berbeda dengan tanah di lokasi yang lain. Hal inilah yang menjadikan kekuatan daya dukung tanah sebagai bagian dari sistem konstruksi jalan raya berbeda di satu lokasi dengan lokasi yang lain. Karakteristik tanah sangat mempengaruhi besarnya daya dukung tanah terhadap beban di atasnya. Jika karakteristik tanah dengan kandungan mineral yang tidak kuat untuk mendukung beban di atasnya, maka akan dapat mengakibatkan kerusakan konstruksi yang didukungnya. Jika tanah dasar yang ada berupa tanah lunak yang mempunyai daya dukung rendah, maka dapat mengakibatkan kerusakan bangunan atau konstruksi diatasnya. Selain itu penyebab kerusakan bangunan adalah kembang susut yang tinggi. Tanah dengan nilai kembang susut yang tinggi dan air sangat berpengaruh sekali terhadap perilaku fisis dan mekanis tanah (Das, 1994).

Tanah yang tidak memenuhi persyaratan untuk dijadikan tanah dasar adalah tanah lunak, yaitu tanah yang mempunyai CBR lapangan kurang dari 2% (Bina Marga, 2010). Tanah lunak dapat didefinisikan sebagai tanah yang mempunyai sebagian besar ukuran butirnya sangat halus atau lolos ayakan No. 200 (Holtz dan Kovacs, 1981). Sifat tanah dasar lunak adalah gaya gesernya yang kecil, daya dukung rendah, penurunana besar, kemampatan yang besar dan koefisien permeabilitasnya kecil. Bilamana pembebanan konstruksi melampaui daya dukung kritis maka akan terjadi kerusakan tanah, khususnya tanah pondasi. Salah satu cara yang terbaik adalah mengganti tanah dasar tersebut dengan tanah yang cukup baik, tetapi hal ini biasanya membutuhkan biaya yang cukup besar.


(14)

Para ahli geoteknik mencoba mengatasi dengan cara merubah sifat-sifat fisik tanahnya untuk menekan biaya. Perbaikan sifat-sifat fisik dan tanah kurang baik menjadi tanah yang baik dibidang rekayasa Teknik Sipil disebut sebagai stabilisasi tanah.

Tanah merupakan komponen utama subgrade yang memiliki karakteristik, macam, dan keadaan yang berbeda-beda, sehingga setiap jenis tanah memiliki kekhasan perilaku. Sifat tanah dasar mempengaruhi ketahanan lapisan diatasnya (Sukirman, 1999). Bentang jalan raya yang panjang menunjukkan hamparan karakteristik tanah yang berbeda pula, apabila suatu tanah yang terdapat di lapangan bersifat sangat lepas atau sangat mudah tertekan, atau apabila ia mempunyai indeks konsistensi yang tidak sesuai, mempunyai permeabilitas yang terlalu tinggi atau tidak memiliki persyaratan CBR (California Bearing Ratio) yang dibutuhkan untuk subgrade pada jalan raya, maka tanah tersebut harus di stabilisasi dengan tindakan-tindakan menambah kerapatan tanah, menambah material yang tidak aktif sehinga mempertinggi kohesi dan atau tahanan geser yang timbul, merendahkan muka air dengan membuat drainase tanah hingga mengganti tanah-tanah yang jelek.

Tanah berbutir halus pada umumnya mempunyai kekuatan geser lebih rendah dari tanah berbutir kasar. Kondisi seperti ini sangat tidak menguntungkan bila tanah lempung digunakan sebagai pendukung pondasi dan bangunan. Banyak kerugian-kerugian yang akan ditimbulkan antara lain kerusakan pada tanah maupun konstruksi bangunan itu sendiri. Meskipun kerusakan yang diakibatkan tidak bersifat mendadak dan langsung namun kerugian secara materi yang


(15)

ataupun stabilisasi. Metode perbaikan tanah yang dilakukan dalam Tugas Akhir ini adalah vertical drain.

1.2 Permasalahan

Dalam penyusunan tugas akhir ini terdapat masalah pokok yaitu stabilisasi tanah lunak untuk lapis sub grade pada perkerasan. Masalah pokok tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Masalah yang timbul pada pembuatan jalan di atas tanah lunak.

2. Menghitung besar penurunan tanah akibat timbunan(settlement) yang terjadi dan timbunan yang dianalisa diwakili oleh satu titik stasioning yang dianggap paling kritis.

3. Teknik perbaikan tanah yang dilakukan pada Tugas Akhir ini adalah

Pabricated Vertical Drain (PVD). 4. Timbunan pada preloading. 1.3 Pembatasan masalah

Adapun batasan masalah dalam penyusunan Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut:

1. Aspek hidrologi tidak dibahas.

2. Penurunan yang ditinjau hanya penurunan konsolidasi.

3. Teknik Perbaikan Tanah Lunak yang dilakukan pada Tugas Akhir ini hanya

PabricatedVertical Drain.

4. Konstruksi perkerasan jalan hanya pada lapisan perkerasan tanah dasar (subgrade)


(16)

5. Data tanah menggunakan data sekunder. 6. Perhitungan tebal perkerasan tidak dilakukan. 1.4 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui teknik perbaikan tanah lunak guna mencegah terjadinya penurunan setempat pada permukaan tanah akibat beban konstruksi diatasnya agar layak dijadikan lapisan tanah dasar (subgrade) dan untuk mengetahui masalah yang terjadi jika jalan raya akan dibangun di atas tanah lunak.

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang dibuat dalam Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Berisikan latar belakang pemilihan topik penelitian, permasalahan yang ada, pembatasan masalah, tujuan penelitian yang ingin dicapai, serta sistematika pembahasannya.

BAB II KARAKTERISTIK TANAH LUNAK DAN

PERMASALAHANNYA

Berisikan uraian mengenai karakteristik tanah lunak dan teori dasar tentang permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan jalan di atas tanah lunak.

BAB III TEKNIK PERBAIKAN TANAH LUNAK

Berisikan tentang beberapa metode penyelesaian konstruksi di tanah lunak. Teknik perbaikan tanah lunak yang sesuai digunakan yang dapat mendukung


(17)

BAB IV APLIKASI LAPANGAN

Berisikan tentang aplikasi dari hasil penelitian. Penggunaan dan pelaksanaan dilapangan , sehingga diharapkan hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai panduan dalam pelaksanaan pembangunan jalan raya pada tanah lunak.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

Berisikan penutup dari penelitian, yang terdiri dari kesimpulan dari hasil penelitian yang dilaksanakan, serta saran-saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penulisan yang telah dilakukan.


(18)

BAB II

KARAKTERISTIK TANAH LUNAK DAN PERMASALAHANNYA

2.1 Tinjauan Umum

Tanah dalam pandangan teknik sipil adalah himpunan mineral, bahan organik dan endapan – endapan yang relatif lepas (loose) yang terletak di atas batu dasar (bedrock) (Hardiyatmo, 2006). Tanah merupakan material yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan – bahan organik yang telah melapuk (yang berpartikel padat) disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang – ruang kosong diantara partikel – pertikel padat tersebut (Das, 1988).

Tanah menduduki peran yang sangat vital dalam sebuah konstruksi bangunan. Tanah berguna sebagai bahan bangunan dalam berbagai macam pekerjaan teknik sipil. Fungsi paling utama dari tanah adalah sebagai pendukung pondasi dari sebuah bangunan. Fungsi tanah sebagai pendukung pondasi bangunan memerlukan kondisi tanah yang stabil, sehingga apabila ada sifat tanah yang kurang mampu mendukung bangunan harus diperbaiki terlebih dahulu agar mencapai daya dukung tanah yang diperlukan. Salah satu jenis tanah yang mempunyai daya dukung rendah adalah jenis tanah lunak.

Tanah lunak mengandung mineral-mineral lempung dan mengandung kadar air yang tinggi. Indonesia tidak lepas dari tanah lunak karena tanah lunak di Indonesia menempati area > 20 juta hektar atau > 10% dari tanah daratan di Indonesia. Dan itupun tersebar di daerah kota besar dan pusat pertumbuhan


(19)

Bila suatu konstruksi dibangun diatas tanah lunak maka kerusakan-kerusakan yang dapat terjadi antara lain retakan (cracking) pada perkerasan jalan dan jembatan, terangkatnya struktur plat, kerusakan jaringan pipa, jembulan tanah (soil heaving), longsoran, dan sebagainya. Sehingga dalam hal ini perlu untuk mengetahui sifat-sifat dasar tanah, kemampuan mengalirkan air, sifat pemampatan bila dibebani (compressibility), kekuatan geser, kapasitas daya dukung tanah terhadap beban dan lain-lain.

2.2 Karakteristik Tanah Lunak

Tanah merupakan partikel padat, terdiri dari berbagai ukuran dari kecil hingga besar, yang menurut standart US, berdasarkan besar butirannya dikelompokan menjadi :

1. Kerikil dengan ukuran diameter 4,750mm – 50,00mm 2. Pasir dengan ukuran diameter 0,075mm – 4,75mm 3. Lanau dengan ukuran diameter 0,002mm – 0,075mm

4. Lempung dengan ukuran diameter <0.002mm

Pada umumnya tipe dan jenis tanah lunak ditentukan oleh sifat dan karakteristik tanah, yang meliputi: perubahan volume, jumlah dan jenis kandungan mineral, berat isi asli, perubahan kadar air, kepadatan tanah, kondisi pembebanan, struktur tanah dan waktu (Soetjiono, 2008).

Das (1993) menyatakan nilai hasil pengujian di lapangan dan di laboratorium, akan menunjukan bahwa tanah tersebut lunak apabila: Koefisien rembesan (k) sangat rendah ≤0.0000001 cm/dt, Batas cair (LL) ≥ 50%, Angka pori (e) antara 2,5 – 3,2, Kadar air dalam keadan jenuh antara 90% - 120%, dan Berat spesifik (Gs) berkisar antara 2,6 – 2,9.


(20)

2.2.1 Pengertian Tanah Lunak

Dalam Panduan Geoteknik penggunaan istilah “tanah lunak” berkaitan dengan tanah-tanah yang jika tidak dikenali dan diselidiki secara berhati-hati dapat menyebabkan masalah ketidakstabilan dan penurunan jangka panjang yang tidak dapat ditolerir, tanah tersebut mempunyai kuat geser yang rendah dan kompresibilitas yang tinggi.

Pengertian tanah lunak menurut Rachlan (1986) dan Bina Marga (1999) adalah tanah yang umumnya terdiri dari tanah lempung termasuk material pondasi yang sangat jelek karena kadar airnya yang tinggi, permeabilitas rendah dan sangat compressible dan tanah yang secara visual dapat ditembus dengan ibu jari minimum sedalam ± 25 mm, atau mempunyai kuat geser 40 kpa berdasakan uji geser baling lapangan. Sedangkan menurut Pedoman Konstruksi dan Bangunan (2005) dan dua orang peneliti yaitu: Soetjiono (2008) dan Pasaribu (2008) tanah lunak adalah tanah yang bersifat lemah, secara alamiah terbentuk dari proses pengendapan sebagai lapisan aluvial, biasanya terdapat di dataran aluvial, rawa dan danau; dan ditinjau secara mekanisme kejadian adalah tanah deposit yang sangat kompresif dan kuat gesernya rendah, yang mana kuat geser undrained lapangan kurang dari 40 kPa dan kompresibilitas tinggi.

Berbeda pula dengan Holtz dan Kovacs (1981), mereka mendefinisikan tanah lunak adalah sebagai tanah yang mempunyai sebagian besar ukuran butirnya sangat halus atau lolos ayakan No. 200. Sedangkan Bina Marga (2010) mendefenisikan tanah lunak dari sisi kekuatan tanah yaitu sebagai setiap jenis tanah yang mempunyai CBR lapangan kurang dari 2%.


(21)

Dari pendapat beberapa orang peneliti dan Bina Marga, pada dasarnya yang disebut tanah lunak adalah tanah yang mempunyai karakteristik buruk untuk dijadikan material pondasi. Tanah lunak mempunyai daya dukung yang rendah dan penurunan yang tinggi. Sehingga jika dijadikan sebagai pondasi bangunan atau jalan, maka harus dilakukan terlebih dahulu stabilisasi atau perbaikan tanah lunak tersebut sehingga layak dan memenuhi persyaratan sebagai lapis pondasi atau lapisan tanah dasar untuk pembuatan jalan raya. Tanah lunak juga dapat diartikan sebagai tanah lempung (clay) atau lanau (silt) yang mempunyai harga pengujian standar (Standart Penetration Test) N yang lebih kecil dari 4 atau tanah organis seperti gambut yang mempunyai kadar air alamiah yang sangat tinggi. Demikian pula lapisan tanah berpasir dalam keadaan lepas yang mempunyai harga N kurang dari 10, diklasifikasikan sebagai tanah lunak. Tanah lunak umumnya terdiri dari tanah yang sebagian besar terdiri dari butir-butir yang sangat kecil seperti lempung atau lanau.

2.2.2 Sifat-sifat Tanah Lunak

Sifat-sifat tanah lunak kurang menguntungkan untuk dijadikan lapisan tanah dasar. Dimana tanah lunak banyak dipengaruhi oleh air. Semakin rendah kadar air maka daya dukung tanah semakin besar (Sepriawan, 2012). Dengan demikian, salah satu cara untuk menstabilisasi tanah lunak adalah mengeluarkan air pori dari tanah tersebut.

Menurut Suyono (1986); Yelvi dan Adibroto (2007), berikut ini beberapa sifat tanah lunak adalah:

1. Gaya gesernya kecil 2. Kemampatan yang besar


(22)

3. Permeabilitas tinggi

4. Tanah lunak memiliki sifat kompresibilitas yang sangat tinggi. Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya tingkat kompresibilitas pada tanah lunak adalah karena tanah jenis ini memiliki angka pori yang tinggi.

5. Memiliki kadar air yang tinggi sehingga menyebabkan tanah lunak memiliki daya dukung yang sangat rendah dan memiliki masalah penurunan yang besar selama dan setelah konstruksi dibangun.

Kadar air tanah lempung bervariasi tergantung pada kenaikan dari tingkat plastisitas lempung dan struktur tanah lempung. Tanah lempung lunak dipengaruhi oleh prosentase kadar air (Holtz, 2000).

Berikut ini adalah tabel hubungan antar konsistensi dengan tekanan konus, Hubungan antara kepadatan, relative density, nilai N, qc dan Ø dan tabel dan Hubungan Antara Indeks Plastis Dengan Tingkat Plastisitas dan Jenis Tanah Menurut Atterberg.

Tabel 2.1. Hubungan antar konsistensi dengan tekanan konus Konsistensi tanah Tekanan Konus qc

(kg/cm2)

Undrained Cohesion

(T/m2)

Very Soft < 2,50 < 1,25

Soft 2,50 – 5,0 1,25 – 2,50

Medium Stiff 5,0 – 10,0 2,50 - 5,0

Stiff 10,0 – 20,0 5,0 – 10,0

Very Stiff 20,0 – 40,0 10,0 – 20,0

Hard >40,0 >20,0 (Sumber : Begemann, 1965)


(23)

Tabel 2.2. Hubungan antara kepadatan, relative density, nilai N, qc dan Ø Kepadatan Relatife

Density (Dr)

Nilai N Tekanan konus qc (kg/cm2)

Sudut geser dalam (Ø0)

Very loose < 0,2 < 4 < 20 < 30

Loose 0,2 – 0,4 4 – 10 20 – 40 30 – 35

Medium dense 0,4 – 0,6 10 – 30 40 – 120 35 – 40

Dense 0,6 - 0,8 30 – 50 120 – 200 40 - 45

Very dense 0,8 – 1,0 >50 >200 >45 (Sumber : Begemann, 1965)

Tabel 2.3. Hubungan Antara Indeks Plastis Dengan Tingkat Plastisitas dan Jenis Tanah Menurut Atterberg

PI TINGKAT PLASTISITAS JENIS TANAH

0 Tidak plastis / Non PI Pasir

0 < PI < 7 Plastisitas rendah Lanau (Silt)

7 – 17 Plastisitas sedang Silty – Clay

>17 Plastisitas tinggi Lempung (Clay)


(24)

2.2.3 Tipe Tanah Lunak

Menurut Pusat Litbang Prasarana Transportasi Bandung (2011), tanah-tanah lunak dibagi dalam dua tipe: lempung lunak, dan gambut.

1. Lempung Lunak

Tanah ini mengandung mineral-mineral lempung dan memiliki kadar air yang tinggi, yang menyebabkan kuat geser yang rendah.

2. Gambut

Suatu tanah yang pembentuk utamanya terdiri dari sisa-sisa tumbuhan. Tipe tanah yang ketiga yaitu, lempung organik, adalah suatu material transisi antara lempung dan gambut, tergantung pada jenis dan kuantitas sisa-sisa tumbuhan mungkin berperilaku seperti lempung atau gambut.

Dalam rekayasa geoteknik,klasifikasi ketiga tipe tanah tersebut dibedakan berdasarkan kadar organiknya, sebagai berikut:

Tabel 2.4 Tipe tanah berdasarkan kadar organic Jenis Tanah Kadar Organik %

Lempung < 25

Lempung Organik 25 – 75

Gambut >75

Sumber: Bandung, Litbang Prasarana Transportasi (Nopember, 2011) Sedangkan menurut Soetjiono (2008), pada umumnya tipe dan jenis tanah lunak ditentukan oleh sifat dan karakteristik tanah, yang meliputi: perubahan volume, jumlah dan jenis kandungan mineral, berat isi asli, perubahan kadar air, kepadatan tanah, kondisi pembebanan, struktur tanah dan waktu.


(25)

Tipe dan jenis tanah lunak yang biasa dikenal antara lain: tanah ekspansif, tanah residual, tanah sedimen, dan tanah gambut.

1. Tanah ekspansif, sifat fisiknya sangat dipengaruhi oleh kadar air, berat isi kering, parameter indeks, dan pengaruh beban di atas tanah lunak. Kadar air dapat mempengaruhi perubahan volume tanah ke arah vertikal dan horisontal, dan menimbulkan pengangkatan (heaving) dan penurunan tanah. Bila kadar air tanah asli, wn < 15% akan berbahaya, karena memudahkan penyerapan air

dan menimbulkan kerusakan bangunan akibat pengembangan. Jika berat isi kering berlebihan akan memperlihatkan potensi pengembangan yang tinggi, dan jika nilai SPT > 15 tumbukan potensi pengembangannya kecil.

2. Tanah residual berbeda dengan tanah sedimen, karena proses pembentukannya disebabkan oleh pelapukan batuan dasar secara fisis, kimia dan biologis di lapangan (in-situ), tanpa mengalami proses erosi dan transportasi. Tanah ini banyak terdapat didaerah tropis, yang faktor iklim (suhu dan kelembapan) dan topograpinya sangat menentukan laju pelapukan dan ketebalan tanah residual.

3. Tanah sedimen terbentuk oleh proses pelapukan, erosi dan transportasi yang diikuti dengan sedimentasi dan konsolidasi akibat berat sendiri. Sifat teknik tanah ini bergantung pada sejarah tegangan, struktur awal dan porositas selama sedimentasi, khususnya untuk kondisi terkonsolidasi normal dan

overconsolidation akibat beban vertikal, serta tanpa beban dan regangan horisontal.

4. Tanah lunak yang bersifat gambut dapat diidentifikasi dengan mempertimbangkan sifat dan kadar bahan organik. Sifat dan ciri-ciri tanah


(26)

gambut adalah: mengandung bahan organik, daya dukung rendah dan kadar air tinggi, butirannya tidak berbentuk (amorphous granular), berserat kasar dan halus, bersifat asam dengan nilai pH bervariasi antara 5,5 – 6,5 dan kadang-kadang netral atau alkali.

2.3 Permasalahan Tanah Lunak 2.3.1 Tanah Dasar

Tanah dasar adalah permukaan tanah semula atau permukaan tanah galian atau tanah permukaan timbunan yang dipadatkan dan merupakan permukaan dasar untuk perletakan bagian-bagian perkerasan yang lainya. Menurut Sukirman (1995), tanah dasar adalah lapisan tanah setebal 50 – 100 cm di atas mana akan diletakkan lapis pondasi bawah konstruksi jalan raya. Tanah dasar yang baik untuk konstruksi perkerasan adalah tanah dasar yang berasal dari lokasi setempat atau dengan tambahan timbunan dari lokasi lain yang telah dipadatkan dengan tingkat kepadatan tertentu, sehingga mempunyai daya dukung yang mampu mempertahankan perubahan volume selama masa pelayanan walaupun terdapat perbedaan kondisi lingkungan dan jenis tanah setempat. Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan tergantung dari sifatsifat daya dukung tanah. Secara geoteknis, daya dukung tanah ditentukan oleh banyak hal. Pentingnya kekuatan dari tanah dasar menjadi point utama dalam ukuran kekuatan dan keawetan struktur perkerasan selama umur layanan. Umumnya permasalahan yang terjadi menyangkut tanah dasar berupa perubahan bentuk tetap, sifat mengembang dan daya dukung tidak merata. Bahan subgrade akan berpengaruh terhadap daya dukung tanah dasar tersebut. Semakin bagus spek tanah untuk subgrade maka


(27)

akan semakin besar daya dukung tanah tersebut. Terutama untuk tanah dasar berupa tanah timbunan. Kekuatan tanah dasar biasanya dinyatakan dengan CBR.

California Bearing Ratio , yaitu perbandingan antara beban penetrasi suatu bahan dengan bahan penetrasi bahan standar, pada tingkat penetrasi dan kecepatan penetrasi yang sama. Cara ini biasa distandarkan olehAASTHO dan Bina Marga di Indonesia. Daya dukung yang lain kemudian dikorelasikan dengan nilai CBR.

Di Indonesia daya untuk dukung tanah dasar (DDT) pada perencanaan perkerasan lentur dinyatakan dengan nilai CBR (California Bearing Ratio), yaitu nilai yang menyatakan kualitas tanah dasar dibandingkan dengan bahan standar berupa batu pecah yang mempunyai nilai CBR sebesar 100% dalam memikul beban lalu lintas. Nilai daya dukung tanah dasar (DDT) pada proses perhitungan perencanaan tebal perkerasan lentur jalan raya dengan metode analisa komponen sesuai dengan SKBI-2.3.26.1987 dapat diperoleh dengan menggunakan rumus konversi nilai CBR tanah dasar.

Nilai daya dukung tanah untuk perencanaan konstruksi perkerasan jalan raya dapat ditentukan antara lain dengan metode California BearingRatio (CBR).

Nilai CBR adalah bilangan perbandingan antara tekanan yang diperlukan untuk menembus tanah dengan piston berpenampang bulat seluas 3 inch2 (19,35 cm2) dengan kecepatan penetrasi 0,05 inch / menit terhadap tekanan yang diperlukan untuk menembus suatu bahan standar tertentu. Nilai CBR dinyatakan dalam persen.Nilai CBR merupakan salah satu parameter yang digunakan dalam perhitungan struktur perkerasan jalan raya. Semakin besar nilai CBR, semakin besar pula daya dukung tanah dasar sehingga untuk beban lalu lintas yang sama akan membutuhan ketebalan perkerasan yang lebih tipis. Ditinjau dari sisi


(28)

finansial, pengurangan ketebalan perkerasan akan berdampak pada penghematan biaya konstruksi jalan.

Karakteristik Daya Dukung yaitu hasil-hasil pengujian DCP hanya dapat digunakan secara langsung untuk memperkirakan nilai CBR bila saat pengujian kadar air tanah mendekati kadar air maksimum. Karena tidak selalu memungkinkan untuk merencanakan program pengujian selama musim hujan, maka untuk menentukan nilai CBR sebaiknya digunakan hasil uji CBR laboratorium rendaman dari contoh lapangan. Kecuali untuk tanah dengan kondisi berikut:

a) Tanah rawa jenuh yang mempunyai sifat sulit untuk dipadatkan di lapangan. Untuk kasus ini CBR hasil laboratorium tidak relevan untuk digunakan. Pengukuran dengan DCP harus digunakan untuk mendapatkan nilai CBR. b) Lapisan lunak yang terletak lebih dari 200 mm di bawah muka tanah dasar

desain. Kondisi ini sering terjadi pada daerah aluvial kering musiman. Kondisi ini harus diidentifikasi dengan pengujian DCP dan harus diperhitungkan dalam penentuan desain.

Bila data tidak cukup tersedia, penentuan segmen seragam dilakukan melalui gabungan data DCP dan penilaian visual. Nilai CBR karakteristik adalah nilai minimum dari:

• data CBR laboratorium rendaman 4 hari, atau • data DCP, atau


(29)

Jika tanah dasar langsung diatas tanah asli jenuh atau menjadi jenuh selama pelaksanaan dan tidak dapat dikeringkan sampai cukup untuk dapat dilakukan pemadatan secara mekanis, maka:

• nilai CBR laboratorium tidak boleh digunakan untuk desain; • pondasi jalan harus termasuk lapisan penopang;

• harus disiapkan separator geotekstil diantara tanah asli dan lapis penopang; • bila dilakukan desain secara mekanistis, lapis penopang (capping layer)

dianggap mempunyai Modulus Resilien 30 MPa (CBR 3%) dan tanah asli di bawah lapis penopang tersebut harus diperhitungkan mempunyai nilai modulus resilien 20 MPa.

Geotekstil harus dipasang di bawah lapis penopang (capping layer) langsung pada tanah yang jenuh. Penggunaan geotekstil/geogrid dapat digunakan bila terbukti mengakibatkan penghematan biaya atau keuntungan lain.

Dalam SKBI-2.3.26.1987, berdasarkan cara mendapatkan contoh tanahnya,CBR dapat dibagi atas:

1. CBR lapangan, disebut juga CBR

inplace atau field CBR.

Gunanya untuk mendapatkan nilai CBR asli di lapangan sesuai dengan kondisi tanah saat itu dimana tanah dasarnya sudah tidak akan dipadatkan lagi. Pemeriksaan dilakukan saat kadar air tanah tinggi atau dalam kondisi terburuk yang mungkin terjadi.


(30)

2. CBR lapangan rendaman / Undisturb saoked CBR

Gunanya untuk mendapatkan besarnya nilai CBR asli di lapngan pada keadaan jenuh air, dan tanah mengalami pengembangan maksimum.

Pemeriksanaan dilaksanakan pada kondisi tanah dasar tidak dalam keadaan jenuh air. Hal ini sering digunakan untuk menentukan daya dukung tanah di daerah yang lapisan tanah dasarnya sudah tidak akan dipadatkan lagi, terletak di daerah yang badan jalanya sering terendam air pada musim hujan dan kering pada musim kemarau. se-dangkan pemeriksaan dilakukan di musim kemarau. 3. CBR rencana titik / CBR laboratorium / design CBR

Data CBR yang digunakan adalah harga-harga CBR dari pemeriksaan lapangan dan uji laboratorium. Dari data CBR ditentukan nilai CBR terendah, kemudian ditentukan harga CBR yang mewakili atau CBR segmen.

Selain daya dukung tanah hal yang mempengaruhi tanah dasar adalah kadar air. Semakin tinggi kadar air maka daya dukung tanah itu akan semakin jelek.

Persyaratan material tanah dasar yang digunakan untuk tanah dasar harus memenuhi ketentuan sesuai dengan spesifikasi. Material berplastisitas tinggi golongan A-7-6 tidak boleh digunakan sebagai lapisan tanah dasar (Pengendalian Mutu Pekerjaan Tanah, Balai Geoteknik Jalan, hal 37). Menurut AASHTO, tanah berplastisitas tinggi termasuk golongan A-7-6. Kelas A-7-6 adalah jenis tanah kelempungan berplastisitas tinggi dengan tingkatan umum “sedang sampai jelek”. Batasan kelas A-7-6 antara lain :


(31)

3. Indeks plastisitas > LL-30

Apabila material tanah dasar tidak memenuhi spesifikasi di atas, maka tanah tersebut terlebih dahulu harus distabilisasi sebelum dilakukan proses pekerjaan berikutnya.

Masalah-masalah yang dihadapi dalam tanah dasar merupakan masalah yang sudah umum dijumpai selama proses pekerjaannya. Adapun masalah-masalah yang sering dijumpai pada pekerjaan tanah dasar (Sukirman, 1992) adalah sebagai berikut:

1. Perubahan bentuk tetap, yaitu perubahan bentuk akibat beban lalu lintas. Perubahan bentuk yang besar akan mengakibatkan jalan tersebut rusak. 2. Sifat mengambang dan menyusut dari tanah, yaitu perubahan yang terjadi

akibat perubahan kadar air yang didukung tanah tersebut.

3. Perubahan bentuk karena daya dukung tanah yang tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti pada daerah dan macam tanah yang mempunyai sifat dan kedudukan yang berbeda.

4. Perubahan bentuk akibat terjadinya lendutan dan pengembangan kenyal yang besar selama dan sesudah pembebanan lalu lintas dari macam tanah tertentu. 5. Perubahan bentuk akibat dilakukannya tambahan pemadatan, karena

terjadinya penurunan oleh beban tanah dasar tidak dipadatkan secara baik, dimana daya dukung tidak optimal.

2.3.2 Timbunan di atas Tanah Lunak

Pekerjaan timbunan mencakup pengadaan, pengangkutan, penghamparan dan pemadatan tanah atau bahan berbutir yang disetujui untuk pembuatan timbunan. Timbunan dalam Spesifikasi Bina Marga 2010, tentang Dokumen


(32)

Pelelangan Nasional dibagi menjadi tiga jenis, yaitu Timbunan Biasa, Timbunan Pilihan, dan timbunan Berbutir di atas Tanah Rawa.

Timbunan pilihan harus digunakan untuk meningkatkan kapasitas daya dukung tanah dasar pada lapisan penopang (capping layer) dan jika diperlukan di daerah galian. Timbunan pilihan dapat juga digunakan untuk stabilisasi lereng atau pekerjaan pelebaran timbunan jika diperlukan lereng yang lebih curam karena keterbatasan ruangan, dan untuk pekerjaan timbunan lainnya dimana kekuatan timbunan adalah faktor yang kritis.

Timbunan Pilihan Berbutir harus digunakan sebagai lapisan penopang (capping layer) pada tanah lunak yang mempunyai CBR lapangan kurang dari 2% yang tidak dapat ditingkatkan dengan pemadatan atau stabilisasi, dan diatas tanah rawa, daerah berair dan lokasi-lokasi serupa dimana bahan Timbunan Pilihan dan Biasa tidak dapat dipadatkan dengan baik. Berikut ini bahan Timbunan yang digunakan untuk pembuatan lapisan perkerasan jalan raya.

1. Timbunan Biasa

a) Timbunan yang diklasifikasikan sebagai bahan timbuan biasa harus terdiri dari bahan galian tanah atau bahan galian batu yang disetujui oleh Direksi Pekerjaan sebagai bahan yang memenuhi syarat untuk digunakan dalam pekerjaan permanen.

b) Bahan yang dipilih sebaiknya tidak termasuk tanah yang berplastisitas tinggi. Bila penggunaan tanah yang berplastisitas tinggi tidak dapat dihindarkan, bahan tersebut harus digunakan hanya pada bagian dasar dari timbunan atau pada penimbunan kembali yang tidak memerlukan daya


(33)

sekali tidak boleh digunakan pada 30 cm lapisan langsung di bawah bagian dasar perkerasan atau bahu jalan atau tanah dasar bahu jalan. Sebagai tambahan, timbunan untuk lapisan ini diuji dengan SNI 03-1744-1989, harus memiliki nilai CBR tidak kurang dari karakteristik daya dukung tanah dasar yang diambil untuk rancangan dan ditujukan dalam gambar atau tidak kurang dari 6%.

c) Tanah sangat expasive yang memiliki nilai aktif lebih besar dari 1,25, atau derajat pengembangan yang diklasifikasikan oleh AASHTO T258 sebagai “very high” atau “extra high” tidak boleh digunakan sebagai bahan timbunan. Nilai aktif adalah pebandingan antara Indeks Plastisitas / PI – (SNI 03-1966-1989) dan persentase kadar lempung (SNI 03-3422-1994). d) Bahan untuk timbunan biasa tidak boleh dari bahan galian tanah yang

mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:

Tanah yang mengandung organik seperti jenis tanah OL, OH dan Pt dalam sistem USCS serta tanah yang mengandung daun-daunan, rumput-rumputan, akar, dan sampah.

(i) Tanah dengan kadar air alamiah sangat tinggi yang tidak praktis dikeringkan untuk memenuhi toleransi kadar air pada pemadatan (>Kadar Air Optimum + 1%)

(ii) Tanah yang mempunyai sifat kembang susut tinggi dan sangat tinggi dalam klasifikasi Van Der Merwe dengan ciri-ciri adanya retak memanjang sejajar tepi perkerasan jalan.


(34)

2. Timbunan Pilihan

a). Timbunan hanya boleh diklasifikasikan sebagai Timbunan Pilihan atau Timbunan Pilihan Berbutir bila digunakan pada lokasi atau untuk maksud dimana bahan-bahan ini telah ditentukan pada lokasi atau untuk maksud dimana bahan-bahan ini telah ditentukan atau disetujui secara tertulis oleh Direksi Pekerjaan.

b). Timbunan yang diklasifikasikan sebagai timbunan pilihan harus terdiri dari bahan tanah atau batu yang memenuhi semua ketentuan di atas untuk timbunan biasa dan sebagai tambahan harus memiliki sifat-sifat tertentu yang tergantung dari maksud penggunaannya. Seluruh timbunan pilihan harus sesuai dengan SNI 03-1744-1989, memiliki CBR paling sedikit 10% setelah 4 hari perendaman bila dipadatkan sampai 100% kepadatan kering maksimum sesuai dengan SNI 1742 : 2008.

3). Timbunan Pilihan Berbutir di atas Tanah Lunak atau Tanah Rawa

Bahan timbunan pilihan di atas tanah rawa dan untuk keadaan di mana penghamparan dalam kondisi jenuh atau banjir tidak dapat dihindarkan haruslah batu, pasir atau kerikil atau bahan berbutir bersih lainnya dengan Index Plastisitas maksimum 6% (enam persen).

Daerah tanah lunak atau tanah yang tidak dapat dipadatkan atau tanah rawa, dasar pondasi timbunan harus dipadatkan seluruhnya (termasuk penggemburan dan pengeringan atau pembasahan bila diperlukan) sampai 15 cm bagian permukaan atas dasar pondasi memenuhi kepadatan yang disyaratkan untuk Timbunan yang ditempatkan di atasnya. Penimbunan tanah di atas tanah


(35)

ketinggian yang diharapkan setelah tanah mengalami konsolidasi. Proses penimbunan berfungsi untuk meningkatkan tegangan air pori tanah yang terdapat di bawah timbunan secara perlahan diikuti oleh kenaikan tegangan efektif pada tanah dasar. Bantuan dari drainase vertikal berfungsi untuk mempercepat disipasi air pori dengan membuat material yang bersifat permeable sehingga air pori dapat terdisipasi secara horizontal dan mengalir melalui drainase vertikal tersebut.

Tinggi timbunan harus diminimasi tapi harus memenuhi ketentuan termasuk akomodasi konsolidasi setelah konstruksi. Waktu yang sesungguhnya harus ditetapkan oleh ahli geoteknik (geotechnical engineer) dengan menggunakan Buku Panduan Geoteknik Pt T-08-2002-B, berdasarkan pada tanah asli mencapai paling sedikit 95% penurunan konsolidasi primer atau sampai konsolidasi sisa 26 kurang dari 100 mm, mana yang memerlukan waktu lebih singkat,sebelum pelaksanaan pekerjaan perkerasan.

Perbaikan tanah dasar umumnya menggunakan material timbunan pilihan, stabilisasi kapur, atau stabilisasi tanah semen. Spesifikasi Umum mensyaratkan timbunan pilihan dengan CBR minimum 10% (rendaman 4 hari pada 100% kepadatan kering maksimum).

2.4 Permasalahan yang Timbul pada Tanah Lunak

Dalam pembangunan konstruksi sipil sering dijumpai permasalahan pada jenis tanah lunak, antara lain daya dukung tanah yang rendah dan penurunan (settlement) yang besar jika diberi beban. Hal ini disebabkan karena tanah lunak umumnya memiliki kuat geser dan permeabilitas yang rendah serta kompresibilitas yang besar.


(36)

2.4.1 Daya Dukung Tanah yang Rendah

Daya dukung tanah adalah kemampuan tanah untuk menahan beban pondasi tanpa mengalami keruntuhan akibat geser yang juga ditentukan oleh kekuatan geser tanah.

Daya dukung tanah merupakan unsur utama dalam pembangunan konstruksi jalan. Dalam perencanaan konstruksi jalan, daya dukung tanah mempunyai peranan yang sangat penting. Tanah sebagai tempat berdirinya suatu konstruksi harus mampu menerima dan menahan beban-beban yang bekerja diatasnya. Oleh karena itu, sebelum dilaksanakan pekerjaan pembangunan harus diketahui terlebih dahulu daya dukung tanah dasar ini (Rachlan, 1986; Nugroho, 2011). Semakin rendah kadar air maka daya dukung tanah semakin besar.

2.4.2 Penurunan Timbunan yang Besar

Penurunan pada tanah dasar akan terjadi apabila tanah dasar tersebut menerima beban di atasnya. Penurunan tanah dapat menyebabkan muka jalan turun menjadi lebih rendah daripada elevasi rencana (tinggi bebas tertentu diatas muka air banjir tertinggi dari lahan sekitar jalan.

Masalah yang timbul bila penimbunan dilakukan di atas tanah lunak yaitu terjadinya penurunan yang besar akibat terjadinya konsolidasi pada lapisan tanah bawahnya (subsoil). Kemampuan tanah lunak untuk mendukung timbunan tanpa terjadi keruntuhan geser atau penurunan yang berlebihan sangat terbatas tergantung dari kuat gesernya (Rachlan, 1986; Nugroho, 2011). Penurunan tanah berlangsung sangat lambat sehingga lambat laun akan terjadi differential settlement (beda penurunan) yang nyata (Mochtar, 2000). Menurut Adriani (2006)


(37)

mempengaruhi kondisi badan jalan diatasnya dan akan mempercepat kerusakan jalan tersebut. Untuk timbunan badan jalan diperlukan analisis stabilitas dan penurunan sehingga tinggi timbunan yang dikehendaki untuk badan jalan tidak akan mengalami penurunan lagi setelah kontruksi selesai dan kestabilan dari lereng timbunan dapat terpenuhi. Bangunan akan mengalami penurunan yang relatif besar dan berlangsung relatif lama. Penurunan konsolidasi tanah yang apabila mengalami pembebanan di atasnya maka tekanan air pori akan naik sehingga air pori keluar yang menyebabkan berkurangnya volume tanah, peristiwa ini disebut dengan proses konsolidasi tanah (Richardo, 2008; Pasaribu, 2008).

Tanah dasar yang mengalami perubahan bentuk, baik akibat beban lalu-lintas maupun cuaca, akan mengakibatkan perkerasan mengaiami kerusakan seperti bergelombang, alur dan terjadi penurunan. Teori konsolidasi Terzaghi banyak digunakan dalam memperkirakan penurunan jangka panjang pada timbunan yang dibangun di atas tanah lunak.

Apabila besarnya penurunan konsolidasi melebihi kriteria yang ditetapkan, maka kemungkinan stabilisasi dangkal dibutuhkan untuk mengurangi penurunan tersebut.

Permasalahan lain yang timbul pada konstruksi di atas tanah lunak adalah geseran (shearing). Mekanisme hilangnya keseimbangan dapat terjadi pada tanah dengan daya dukung rendah, diakibatkan dari beban berat tanah itu sendiri. Permasalahan lain biasanya berupa tolakan ke atas (uplift) yang banyak terjadi pada lapisan lempung (clay) dan lanau (silt) akibat perbedaan tekanan air dan juga sering terjadinya penurunan permukaan (settlement) juga permasalahan yang sering terjadi. Hal ini pada umumnya disebabkan oleh beratnya beban yang harus


(38)

ditanggung oleh tanah lunak. Bila tanpa perbaikan tanah, penurunan tanah berlangsung sangat lambat sehingga lambat laun akan terjadi differential settlement (beda penurunan) yang nyata. Karena beda penurunan ini, perkerasan jalan lebih cepat rusak daripada umur rencananya. Biaya perawatan jalan menjadi sangat tinggi, terutama pada umur 5 tahun pertama jalan dioperasikan.

2.5 Teori Penurunan Tanah

Ketika suatu lapisan tanah diberikan beban diatasnya (misalnya pondasi atau timbunan tanah diatasnya), maka partikel tanah akan megalami penambahan tegangan, sehingga pada tanah terjadi penurunan (settlement). Keluarnya air dari dlam pori selalu disertai dengan berkurangnya volume tanah. Berkurangnya volume tanah ini menyebabkan penurunan lapisan tanah tersebut.

Untuk tanah lunak, air pori ini memerlukan waktu yang cukup lama untuk mengalir keluar karena permaebilitasnya yang rendah (koefisien rembesan lempeng sangat kecil dibandingkan dengan pasir). Pada umumnya, konsolidasi berlangsung dalam suatu arah saja yaitu arah vertical.

Secara umum, jenis penurunan yang terjadi akibat pembebanan dapat dibagi dalam 3 (tiga) tahap, yaitu:

1. Penurunan seketika (immediate settlement), yaitu ketika proses pembebanan pada tanah dilakukan. Penurunan ini terjadi akibat dari deformasi tanah kering atau basah, dan jenuh air tanpa adanya perubahan kadar air. Penurunan ini merupakan sifat dari partikel tanah dan tidak dipengaruhi oleh struktur tanah tersebut. Penurunan seketika ini umumnya diturunkan dari persamaan dari teori elastisitas.


(39)

2. Penurunan konsolidasi primer (primer consolidation settlement), yaitu penurunan yang ditandai dengan adanya tekanan yang besar pada tanah yang dapat menurunkan struktur tanah, dan juga penyusutan susunan dan pergerakan partikel tanah kedalam rongga tanah akibat tanah mampat dan memadat. Penurunan konsolidasi ini lebih besar dan lebih lambat dari penurunan elastic, memerlukan waktu yang panjang untuk mendisipasikan air dari pori.

3. Penurunan konsolidasi sekunder (secondary consolidation settlement), yaitu penurunan yang terjadi setelah semua tekanan air pori telah tersidipasi seluruhnya, merupakan proses pemampatan yang disebabkan oleh penyesuaian butir-butir tanah yang bersifat plastis. Hal ini dikenal dengan istilah soil creep, yang biasanya tidak meningkatkan kepadatan atau ketahanan tanah.

Perbedaan yang besar antara konsolidasi primer dan konsolidasi sekunder adalah, bahwa kecepatan konsolidasi primer tergantung pada drainase pada tanah, sedangkan konsolidasi sekunder tidak. Drainase pada tanah mempercepat konsolidasi tetapi tidak dengan konsolidasi sekunder sehingga tanah benar-benar kehilangan air.

Dalam bidang geoteknik, focus utamanya adalah pada konsolidasi prmer, akan tetapi untuk keadaan tertentu misalnya pada struktur tua maka konsolidasi sekunder yang terjadi.

Konsolidasi harus dimonitor menggunakan pelat penurunan (settlement plate) untuk menentukan deformasi vertikal, penyelesaian piring umumnya digunakan. Ini terdiri dari pelat persegi sekitar 1 m kaku diletakkan pada tanah;


(40)

pipa melekat pada piring, bagian atas tepi kemudian disurvei secara berkala. Jika terjadi pengisian, pipa diperpanjang sampai bagian atas proyek di atas permukaan tanah yang baru. Ketika kecil (untuk menghindari konstruksi filter) lubang dibuat di bagian bawah pipa dekat pelat kaku.

2.5.1 Penurunan Elastik

Penurunan elastik terjadi dalam kondisi undrained (tidak ada perubahan volume). Proses penurunan ini terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Setelah diberi pembebanan, saat itu juga terjadi penurunan. Besarnya penurunan elastic tergantung dari besarnya modulus elastik kekakuan tanah dan besarnya beban timbunan yang diberikan.

Besarnya penurunan elastic menurut Janbu, Bjerrum, dan Kjarensli (1926) dapat diperkirakan dengan persamaan berikut:

Sc = A1A2 (2.1)

Dimana :

Sc = besarnya penurunan elastic (m)

A1 = konstanta yang dipengaruhi H/B dan L/B

A2 = konstanta yang dipengaruhi Df/b

q0 = beban timbunan (kN/m2)

B = lebar timbunan (m)

L = panjang timbunan (m)

Es = modulus elastisitas tanah (MN/m2)

2.5.2 Penurunan Akibat Konsolidasi Primer


(41)

Clay H

Groundwater table Sand

Sand Depth

jenuh air, tegangan hanya dipikul oleh butiran tanah. Pada tanah jenuh air ,tegangan hanya dipikul oleh butiran tanah. Pada jenuh air (Gambar 3.1), penambahan total tegangan akan dipikul oleh air pori dan butiran tanah. Hal ini berarti besar penambahan tegangan total.

∆σ = ∆σ`+ ∆u (2.2)

Dimana:

∆σ = penambahan tegangan efektif (kN/m²) ∆u = penambahan tegangan pori (kN/m²)

Gambar 2.1 Regangan lapisan tanah lempung jenuh air akibat kenaikan tegangan ( M. Das. B, 1985 )

Pasir tersusun dari partikel-partikel tanah yang tidak mengandung air mineral yang berkontribusi dalam sifat kohesi tanah serta memiliki sifat mudah teralirkan (drained) sehingga jika diberi beban, air yang terkandung dalam struktur tanah pasir akan langsung terdisipasi seketika setelah pemberian beban. Proses terdisipasinya air pori yang terpenuhi seluruhnya dalam selang waktu yang cepat itulah maka dapat dikatakan bahwa penurunan elastik dan penurunan konsolidasi pada pasir terjadi bersamaan. Karena itulah, maka pada analisis


(42)

penurunan tanah pasir akibat pemberian beban, pasir dianggap tidak mengalami konsolidasi.

Lempung mempunyai daya rembes yang sangat rendah dan air adalah tidak termampatkan (incompressible) dibandingkan butiran tanah, maka pada saat t=0, seluruh penambahan tegangan, ∆σ, akan dipikul oleh air (∆σ = ∆u) pada seluruh kedalaman lapisan tanah (Gambar 2.2). Penambahan tegangan tersebut tidak dipikul oleh tegangan tersebut tidak dipikul oleh butiran tanah (∆σ’ = 0). Sesaat setalah emberian penambahan tegangan, ∆σ, pada lapisan lempung, air dalam pori mulai tertekan dan akan mengalir keluar. Dengan proses ini, tekanan air pori pada tiap-tiap kedalaman pada lapisan lempung akan berkurng secara perlahan-lahan, dan tegangan yang dipikul oleh butiran tanah (efektif) akan bertambah (Gambar 2.3). Jadi pada saat 0 < t < ∞, ∆σ = ∆σ’ + ∆u, dimana ∆σ’ > 0 dan ∆u < ∆σ.

Tetapi pada selang waktu ini, besarnya ∆σ’ dan ∆u di tiap-tiap kedalaman tidak sama, tergantung pada jarak minimum yang harus ditempuh oleh air pori untuk mengalir keluar dari lapisan lempung.

Pada saat t = ∞, seluruh kelebihan air pori sudah hilang dari lapisan tanah lempung, jadi ∆u = 0. Sekarang penambahan tegangan total, ∆σ, akan dipikul oleh butiran tanah/ struktur tanah (Gambar 2.4), maka ∆σ’ = ∆σ.

Gambar 2.2, Gambar 2.3, dan Gambar 2.4 adalah variasi tegangan total, tekanan air pori, dan tegangan efektif pada suatu lapisan lempung dimana air dapat mengair keatas dan kebawah sebagai akibat dari penambahan tegangan ∆σ.


(43)

Total stress increase H Δσ Depth Pore water pressure increase

Δu = Δσ Depth

Effective stress increase

Δσ’ = 0

Depth

Gambar 2.2 Kondisi tegangan pada saat t = 0 (M. Das. B, 1985)

Total stress increase

H Δσ Depth Pore water pressure increase Depth

Effective stress increase

Δσ’

Depth

Δu < Δσ > 0

Δσ Δσ

Gambar 2.3 Kondisi tegangan pada saat 0< t < ∞ (M. Das. B, 1985)

Δσ’ = Δσ Total stress increase

H Δσ Depth Pore water pressure increase Depth

Effective stress increase

Depth

Δu = 0


(44)

Proses terdisipasinya air dalam pori-pori tanah secara perlahan-lahan, sebagai akibat adanya penambahan beban yang disertai dengan pemindahan kelebihan tekanan air pori ke tegangan efektif, akan menyebbkan terjadinya penurunan yang merupakan fungsi dari waktu (time-dependent settlement) pada lapisan tanah lempung. Suatu tanah dilapangan pada suatu kedalaman tertentu telah mengalami “tekanan efektif maksimum”akibat berat tanah di atasnya

(maximum effective overburden pressure) dalam sejarah geologisnya.tekanan maksimum effective overburden pressure ini mungkin sama atau lebih kecil dari tekanan overburden yang ada pada saat pengambilan contoh tanah.

Berkurangnya tekanan dilapangan tersebut mungkin disebabkan oleh beban hidup.pada saat diambil ,contoh tanah tersebut terlepas dari overburden

yang membebani selama ini,sebagai akibatnya tanah tersebut akan mengembang .pada saat dilakukan uji konsolidasi pada contoh tanah tersebut,suatu pemampatan yang kecil (yaitu perubahan angka pori yang kecil)akan terjadi bila beban total yang diberikan pada saat percobaan adalah lebih kecil dari tekanan efektif

overburden maksimum yang pernah dialami sebelumnya oleh tanah yang bersangkutan.

Apabila beban total yang dialami pada saat percobaan adalah lebih besar dari tekanan efektif overburden maksimum yang pernah dialami sebelumnya, maka perubahan angka pori yang terjadi lebih besar. Ada tiga defenisi didasarkan pada riwayat geologis dan sejarah tegangannya, yaitu:

1. Terkonsolidasi secara normal (normally consolidated), dimana tekana efektif pada saat ini merupakan tekanan maksimum yang pernah dialami


(45)

2. Overconsolidated, dimanan tekanan efektif overburden saat ini lebih keci dari tekanan yang pernah dialami oleh tanah tersebut sebelumnya. Tekanan efektif

overburden maksium yang pernah dialami oleh tanah tersebut sebelumnya dinamakan tekanan prakonsolidasi (preconsolidation pressure).

3. Under consolidated, dimana tekanan efektif overburden saat ini merupaka mencapai maksimum sehingga peristiwa konsolidasi masih berlangsung. Pada perhtungan dan analisis perhitungan dan analisis penurunan tanah yang penting dalam suatu desain pekerjaan tanah, ada dua hal yang sangat penting untuk diketahui, yaitu:

 Besarnya penurunan yang terjadi,  Kecepatan penurunan

Penurunan (settlement) yang dianalisis pada analisis besar penurunan ini hanya yang diakibatkan oleh konsolidasi primer. Besar penurunan konsolidasi primer akibat beban timbunan adalah:

(2.3) 2.5.3 Penurunan Akibat Konsolidasi Sekunder

Pada akhir konsolidasi primer (setelah tekanan air pori = 0), penurunan masih tetap terjadi sebagai akibat dari penyusaian plastis butiran tanah. Tahap konsolidsi ini dinamakan konsolidasi sekunder. Variasi dari angka pori dan waktu penambahan beban akan sama seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.5 sebagai berikut:


(46)

Gambar 2.5 Variasi e vs log t untuk kenaikan beban (M. Das. B, 1985) Besarnya konsolidasi sekunder dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut ini:

Ss = C'α H log(t2/t1) (2.4)

Dimana :

(2.5) Cα = indeks pemampata sekunder

∆e = perubahan angka pori t = waktu (hari)

(2.6)

ep = angka pori pada akhir konsolidasi primer

H = tebal lapisan lempung (m)

Penurunan yang akibat oleh konsolidasi sekunder sangat penting untuk semua jenis tanah organik dan tanah anorganik yanga sangat mampu mampat

V

o

id

r

a

ti

o

,

e

ep


(47)

(compressible). Untuk lempung anorganik yang terlalu terkonsolidasi, indeks pemampatan sekunder sangat kecil sehingga dapat diabaikan.

2.5.4 Penurunan Akibat Konsolidasi (Consolidation Settlement)

Dalam menghitung besarnya penurunan dan lamanya penurunan suatu lapisan tanah, maka perlu diketahui dahulu salah satu parameter kompresibilitasnya. Parameter-parameter tersebut didapat dari percobaan labolatorium yaitu:

1. Koefisien Perubahan Volume (coefficient of volume change)

Adalah perubahan volume persatuan tegangan. Perubahan volume dapat dinyatakan perubahan angka pori maupun perubahan tebal contoh tanah, yang dinotasikan dengan m.

2. Koefisien Kemampumapatan (coefficient compressibility)

Koefisien kemampuan adalah perbandingan antara perubahan angka pori dengan perubahan tegangan, dinyatakan dengan notasi av.

3. Indeks Kompresi (compression index)

Indeks kompresi merupakan besar keimigranan pada bagian linier dari kurva e-log σ’. Dinyatakan dalam notasi Cc.

4. Koefisien Konsolidasi

Koefisien konsolidasi adalah koefisein yang menentukan kecepatan proses konsolidasi. Koefisien ini diperoleh dari kurva penurunan-waktu dan dinyatakan dengan notasi Cv.


(48)

Uji konsolidasi biasanya dilakukan pada shu kamar, contoh tanah diletakkan di dalam cincin logam dengan dua buah batu berpori diletakkan diatas dan dibawah contoh tanah tersebut, ukuran contoh tanah yang digunakan biasanya adalah diameter 2,5 inci (63,5mm) dan tebal 1 inci (25,5mm). pembebanan pada contoh tanah dilakukan dengan cara meletakkan beban pada ujung sebuah balok datar, dan pemampatan (compression) contoh tanah diukur dengan menggunakan skala ukur dengan skala micrometer. Contoh tanah selalu direndam air selama percobaan. Tiap-tiap beban biasanya diberikan selama 24 jam. Setelah itu, beban dinaikkan sampai dengan dua kali lipat dari sebelumnya, dan pegukuran pemampatan diteruskan.

Ada dua metode yang dapat digunakan untuk memperoleh koefisien konsolidasi yaitu metoda logaritma waktu (Casagrande dan Fedum, 1940) dan metoda akar waktu (Taylor,1842). Untuk kedua metode tersebut, parameter Cv dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan berikut:

(2.7) Dimana:

Hdr = panjang aliran rata-rata yang harus ditempuh air pori selama konsolidasi

(m)

Tv = factor waktu

t = waktu (hari)


(49)

Untuk tanah yang terkonsolidasi secara normal, besarnya penurunan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

(2.8) Dimana:

S = penurunan (m)

Cc = indeks pemampatan (compression index)

Hi = tebal tanah untuk sub lapisan i (m)

eo = angka pori awal

po(i) = tekanan overburden untuk sub-lapisan i (kN/m2)

∆p(i) = penambahan tekanan untuk sub lapisan i (kN/m2)

Untuk tanah yang terkonsolidasi berlebihan (overconsolidated) dengan jumlah tegangan efektif overburden dan penambahan tegangan efektif (akibat beban) lebih kecil dari tegangan prakonsolidasinya, (po(i)+∆p(i)) < pc :

(2.9) Dimana:

S = penurunan (settlement)

Cs = indeks pengembangan (swelling index)

Ht = tebal tanah untuk sub-lapisan i, (m)


(50)

po(i) = tekanan overburden untuk sub-lapisan i

∆p(i) = penambahan tekanan untuk sub-lapisan i

Indeks pengembangan (swelling index) yang merupakan kemiringan dari garis rebound pada kurva –log σ. Koefisien Cs ini dipakai pada kasus tanah yang sempat mengalami pemgembangan akibat dari pengangkatan beban maksimum (unloading).

Sedangkan bila jumlah tegangan efektif overburden dengan penambahan tegangan efektif (akibat beban) lebih besar dari tegangan prakonsolidasi, (po(i)+∆p(i))>pc:

(2.30) Dimana:

S = penurunan (settlement)

Pc = tekanan prakonsolidasi

Cs = indeks pengembangan (swelling index)

Cc = indeks pemampatan (compression index)

Ht = tebal tanah untuk sub-lapisan i

eo = angka pori awal

po(i) = tekanan overburden untuk sub-lapisan i


(51)

Nilai Cc diperoleh dari hasil uji konsolidasi. Namun jika uji konsolidasi tidak dilakukan, untuk perkiraan awal nilai indeks pemampatan dapat diperoleh secara empiric, seperti pada Tabel 2.5

Table 2.5 Korelasi untuk indeks pemampatan. Cc (Rendon-Herrero,1980)

Equation Region of applicability

Cc = 0.01wN Chicago clays

Cc = 1.15(eo– 0.27) All clays

Cc = 0.30(eo– 0.27) Inorganic cohesive soil: silt, silty clay, clay

Cc = 0.115 wN Organic soils, peats, organic silt, and clay

Cc = 0.004(LL - 9) Brazilian clays

Cc = 0.75(eo– 0.5) Soils with low plasticity

Cc = 0.208eo + 0.0083 Chicago clays

Cc = 0.156eo + 0.0107 All clays

Note: eo = in situ void ratio; wN = in situ water content.

Sumber: Das, Braja M. 2002. Principles of Geotechnical Engineering. 2.6 Kecepatan Konsolidasi (Rate of Consolidation)

Teori mengenai kecepatan konsolidasi primer pertama kali diperkenalkan oleh Terzaghi (1925). Terzaghi mengajukan teori untuk menghitung kecepatan konsolidasi satu arah untuk tanah lempung jenuh. Perhitungan kecepatan konsolidasi ini didasarkan pada asumsi:


(52)

2. Pori tanah berisi air (tanah jenuh sempurna) 3. Hokum Dercy berlaku

4. Koefisien permaebilitas adalah konstan

5. Partikel tanah dan air dianggap tidak termampatkan

6. Pemampatan dan aliran air adalah salah satu dimensi (vertical).

Gambar 2.6 berikut menunjukkan suatu lapisan lempung dengan ketebalan 2Hdr yang berada diantara dua lapisan pasir permeable. Jika lapisan tanah tersebut diberi penambahan tegangan, ∆σ, tekanan air pori pada titik A akn eningkat. Unuk konsolidasi satu dimensi, air akan terdisipasi dalam arah vertical yaitu kearah lapisan pasir.

Sand

Clay

A

z 2Hdr

Sand


(53)

Aliran air pada suatu elemen tanah :

(Kecepata air keluar) – (kecepatan air masuk) = (kecepatan perubahan volume) dengan kondisi batas :

Z = 0, u = 0 Z = 2Hdr, u = 0 t = 0, u = u0

diperoleh penurunan rumus konsolidasi:

(2.31) Karena kemajuan konsolidasi ditentukan oleh keluarnya air dari pori-pori tanah, maka derajat konsolidasi pada kedalaman z di saat t dapat dituliskan sebagai :

(2.32)

Nilai factor waktu, Tv, serta nilai derajat konsolidasi, U, sebagai pendekatan dapat dituliskan dalam persamaan matematika berikut ini:

Untuk 0% < U < 60%,

= (2.34)

Untuk U > 60%


(54)

Table 2.6 Variasi nilai Tv terhadap nilai U

Uav(%) Tv Uav(%) Tv

Uav(%) Tv

0 0 34 0.0908 68 0.377

1 0.00008 35 0.0962 69 0.390

2 0.00031 36 0.102 70 0.403

3 0.00071 37 0.108 71 0.417

4 0.00126 38 0.113 72 0.431

5 0.00196 39 0.119 73 0.446

6 0.00283 40 0.126 74 0.461

7 0.00385 41 0.132 75 0.477

8 0.00503 42 0.139 76 0.493

9 0.00636 43 0.145 77 0.511

10 0.00785 44 0.152 78 0.529

11 0.0095 45 0.159 79 0.547

12 0.0113 46 0.166 80 0.567

13 0.0133 47 0.173 81 0.588

14 0.0154 48 0.181 82 0.610

15 0.0177 49 0.189 83 0.633

16 0.0201 50 0.196 84 0.685

17 0.0227 51 0.204 85 0.684

18 0.0254 52 0.212 86 0.712


(55)

Uav(%) Tv Uav(%) Tv Uav(%) Tv

21 0.0346 55 0.238 89 0.809

22 0.0380 56 0.246 90 0.848

23 0.0415 57 0.255 91 0.891

24 0.0452 58 0.264 92 0.938

25 0.0491 59 0.273 93 0.993

26 0.0531 60 0.283 94 1.055

27 0.0573 61 0.297 95 1.129

28 0.0616 62 0.307 96 1.219

29 0.0661 63 0.318 97 1.336

30 0.0707 64 0.329 98 1.500

31 0.0755 65 0.340 99 1.781

32 0.0804 66 0.352 100 ∞

33 0.0855 67 0.364

Sumber : Das, Braja M. 2002. Principles of Geotechnical Engineering

2.7 Contoh Permasalahan Konstruksi Jalan di atas Tanah Lunak

Secara umum, permasalahan dalam rekayasa geoteknik adalah stabilitas lereng/kelongsoran, kapasitas daya dukung (bearing capacity), penurunan/settlement/heave yang tidak seragam, dan erosi.

Dalam hal ini yang dibahas adalah contoh kasus permasalahan konstruksi jalan yang di bangun di atas atanah lunak.

1. Stabilitas dan penurunan oprit adalah salah satu permasalahan konstruksi di atas tanah lunak. Secara umum, permasalahan dalam rekayasa geoteknik adalah stabilitas lereng/kelongsoran, kapasitas daya dukung (bearing capacity),


(56)

penurunan/settlement/heave yang tidak seragam, dan erosi. Permasalahan keruntuhan timbunan di atas tanah lunak disebabkan oleh daya dukung yang kecil dan penurunan berlebihan.

Karakteristik tanah lempung lunak yaitu indeks plastisitas yang tinggi, daya dukung yang kecil, kompresibilitas yang tinggi, dan penurunan tanah yang besar. Kerusakan struktur di bawah timbunan akibat penurunan tanah di bawah struktur menyebabkan kerugian bagi berbagai pihak. Stabilitas dan penurunan oprit Jembatan Tallo Jalan Tol Seksi 4 Makassar di atas tanah lempung lunak jenuh. Permasalahan yang terjadi adalah penurunan lapisan tanah lempung lunak jenuh di bawah oprit Jembatan Tallo yang terbagi menjadi dua lokasi utama yaitu penurunan oprit tepat di batas jembatan (terjadi pada kedua ujung jembatan) dan penurunan oprit badan jalan, yang terjadi pada arah ke bandara (Sarifah, 2008).

2. Kondisi tanah dasar di daerah pantai, khususnya diwilayah Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya mempunyai lapisan tanah lunak yang tebal dan besar pemampatan yang tinggi bila dibebani tanah timbunan.

Dengan melihat kondisi tanah tersebut maka dilakukan penelitian untuk memilih metode perbaikan tanah yang tepat. Sistem pembebanan yang direncanakan adalah preloading dengan pembebanan langsung yang dilaksanakan dua tahap dan untuk mempercepat waktu pemampatan digunakan vertical drain. Untuk menghindari sliding yang terjadi pada talud direncanakan 5 alternatif perkuatan tanah. Alternatif 1 perkuatan tanah dengan stone column, alternatif 2 perkuatan tanah dengan geotextile, alternatif 3 kombinasi stone


(57)

alternatif 5 kombinasi micropile dan geotextile. Dari hasil ringkasan di atas terlihat bahwa untuk memilih metoda perbaikan tanah yang akan dipakai, dengan mempertimbangkan kemudahan pelaksanaan di lapangan, maka alternatif 5, yaitu kombinasi antara micropile dan geotextile yang tepat untuk lokasi Pelabuhan Tanjung Perak. Untuk pemilihan yang lebih teliti maka perlu meninjau beberapa faktor lagi yaitu kebutuhan material dan analisa harga materialnya.

Tanah Lunak mengandung butiran halus >30% dan didominasi tanah yang mengandung fraksi halus seperti lempung serta dapat bersifat organic dan non-organic. Tanah lunak umumnya berasal dari endapan aluvium pantai, danau dan sungai walaupun ada pula yang berupa sedimentasi dari batuan vulkanik yang telah lapuk. Tanah lunak ini mempunyai koefisien konsolidasi (pemampatan) tinggi, kandungan kadar air tinggi dan daya dukung rendah. Sehingga jalan yang dibangun di atas tanah lunak ini akan menemui problem penurunan dalam waktu lama dan stabilitas timbunan terhadap longsoran dan amblasan (Daud , 2000). 2.8 Penanganan Tanah Lunak

Tanah lunak harus ditangani seperti yang ditetapkan dalam gambar rencana, antara lain :

1. Dipadatkan sampai mempunyai kapasitas daya dukung dengan gambar CBR lapangan lebih dari 2% atau

2. Distabilisasi atau


(58)

4. Digali sampai di bawah elevasi tanah dasar dengan kedalaman yang ditunjukkan dalam gambar atau jika tidak maka dengan kedalaman yang diberikan dalam tabel 2.10 dan 2.11. kedalaman galian dan perbaikan untuk peningkatan tanah dasar haruslah diperiksa atau diubah oleh Direksi Pekerjaan, berdasarkan percobaan lapangan.

Tabel 2.7 Peningkatan Tanah Dasar untuk Tanah Dasar Berdaya Dukung Sedang (CBR 2 s/d < 6) dan Tipikal Lapisan Penopang

Tanah yang Ada CBR Umur Rencana Dalam ESA (kriteria Keruntuhan Tanah dasar)

CBR Rancangan untuk Tanah Dasar

4 5 6

Timbunan Pilihan

Tebal untuk peningkatan tanah dasar Dse

(cm) 2 – 3

(termasuk Lapis penopang Paling atas) Dse2

105 - < 106 20 25 30

106 -< 107 25 30 35

30 35 40

107 - 108 4

Semua

0 15 15

5 0 0 15


(59)

Tabel 2.8 Perbaikan Tambahan untuk Tanah yang Sangat Lunak dengan CBR Lapangan Di bawah 2

Kedalaman sampai karakteristik Minimum CBR 2 (DCP 65 mm/tumbukan) di bawah

permukaan tanah asli untuk tanah tak terganggu, tidak termasuk lapisan permukaan (cm)

Tebal lapis Penopang Minimum (cm)

Kedalaman total Minimum galian di Bawah tanah dasar (cm)

< 45 cm 30 30 + Dse2

45 cm - < 90 cm 60 60 + Dse2

90 cm – 150 cm 100 100 + Dse2

>150 cm

Penggalian keseluruhan atau perbaikan Khusus lainnya sebagaimana yang Diperintahkan atau disetujui Direksi Pekerjaan

Sumber : Direktorat Jendral Bina Marga (2010) Catatan :

Dse adalah tebal perbaikan tanah dasar dari Tabel 2.7 untuk tanah asli dengan CBR


(60)

BAB III

TEKNIK PERBAIKAN TANAH LUNAK 3.1 Tinjauan Umum

Dewasa ini, telah tersedia berbagai teknik perbaikan tanah lunak. Pemilihan teknik perbaikan tanah umumnya dilakukan berdasarkan formasi geologi dari lapisan tanah, karakteristik tanah, biaya dan ketersediaan material serta pengalaman. Teknik perbaikan tanah lunak yang telah banyak dilakukan adalah teknik perbaikan tanah secara mekanis (fisis), dengan bahan kimia, dengan bahan perkuatan dan secara hidrolis. Pada tugas akhir ini teknik perbaikan tanah yang digunakan adalah metode PVD (Prefabricated vertical drains). Dikarenakan pembahasan yang dilakukan adalah difokuskan pada proses mempercepat penurunan tanah lunak.

3.2 Teknik Perbaikan Tanah Lunak 3.2.1 Dengan Bahan Perkuatan

Teknik perbaikan tanah lunak dengan bahan perkuatan pada umumnya menggunakan geotekstil. Geotekstil adalah suatu material geosintetik yang berbentuk seperti karpet atau kain. Umumnya material geoteksil terbuat dari bahan polimer polyester (PET) atau polypropylene (PP). Geotekstil adalah material yang bersifat permeable (tidak kedap air). Menurut ASTM D4439, geotekstil didefinisikan sebagai geosintetik permeabel yang terdiri dari anyaman tekstil (solely of textiles). Dalam pembuatan geotekstil ada 3 hal penting yang perlu diperhatikan yaitu tipe polimer yang digunakan, dan cara penenunan/penganyamannya.


(61)

Geotekstil adalah bahan sintetis yang digunakan dalam pekerjaan teknik yang berhubungan dengan tanah. Geotekstil berbentuk seperti lembaran yang dapat dipergunakan pada tanah yang bermasalah dalam jangka waktu yang relatif lebih singkat. Dengan mempertimbangkan geotekstil hanya digunakan sebagai pemisah antara tanah timbun dan tanah gambut, sebagai perkuatan tanah yang memiliki daya dukung rendah digunakan grid bambu sehingga biaya pun reatif murah (Nugroho, 2001)

Menurut Koerner (1994), geosintetik memiliki 5 fungsi utama yaitu sebagai pemisah (separation), perkuatan (reinforcement), filtrasi (filtration), drainasi (drainage), dan penghalang cairan (liquid barrier).

Menurut Nurtjahjaningtyas (2005), pemilihan geotekstil untuk perkuatan dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal geotekstil terdiri dari: kuat tarik geotekstil, sifat perpanjangan (creep), struktur geotekstil dan daya tahan terhadap faktor lingkungan, sedangkan faktor eksternal adalah jenis bahan timbunan yang berinteraksi dengan geotekstil. Struktur geotekstil, yaitu jenis anyam (woven) atau niranyam (non-woven) juga mempengaruhi pada pemilihan geotekstil untuk perkuatan. Kondisi lingkungan juga memberikan reduksi terhadap kuat tarik geotekstil karena reaksi kimia antara geotekstil dengan lingkungan disekitarnya. Sinar ultra violet, air laut, kondisi asam atau basa serta mikro organisme seperti bakteri dapat mengurangi kekuatan geotekstil. Waktu pembebanan juga mengurangi kekuatan geotekstil karena akan terjadi degradasi pada geotekstil oleh faktor fatigue dan aging. Untuk menutupi kekurangan tersebut, tidak seluruh kuat tarik geotekstil yang tersedia dapat dimanfaatkan dalam perencanaan konstruksi perkuatan.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Andriani, 2004, Perbaikan Subgrade Jalan pada Tanah Gambut, Teknika No. 23pp.

Anonim, 1987, Teknologi Bahan I. PEDC, Bandung.

AustStab Technical Note No. 1F Lime Stabilisation Practice.

Binamarga, 2010, “Dokumen Pelelangan Nasional”. Kementrian Pekerjaan Umum.

Bowles, J.E., 1986, Sifat-sifat Fisis dan Geoteknis Tanah (Mekanika Tanah), terjemahan Johan K Hainin. Jakarta : Erlangga.

Casagrande, A., 1940, Classification and Identification of Soils, New York: Proc. ASCE, Vol. 73, No.6, Part I.

Craig, R.F., 2007, Soil Mechanics, UK: University of Dundee.

Das, Braja M., 1994, Mekanika Tanah (Prinsip-Prinsip Mekanika Tanah) Jilid I, terjemahan Noor Endah dan Indrasurya B, Mochtar, Jakarta : Erlangga. Das, Braja M., 1988, Mekanika Tanah (Prinsip-Prinsip Mekanika Tanah) Jilid II,

terjemahan Noor Endah dan Indrasurya B, Mochtar, Jakarta : Erlangga. Fadum, R.E., 1948, Influence Values for Estimating Stress in Elastic Foundation,

Proc. Second International Conference on Soil Mechanics and Foundation Enginering, Vol. 3.

Hansbo, S., 2004, Experience of Consolidation Process from Test Areas with and without Vertical Drains. Chalmers University of Technology. Sweden.


(2)

Hardiyatmo, H.C., 2002, Stabilisasi Tanah untuk Perkerasan Jalan. Universitas Gajah Mada.

Holtz, R.D. and Kovacs, W.D., 1981, An Introduction to Geotechnical Engineering. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.

Ingles, O.G. and Metealf, J.B., 1972, Soil Stabilization - Principal and Practice, Butterworth.

Koerner,R.M., 1990, Designing with geosynthetics, Prentice-Hall, New Jersey. Mochtar, Indrasurya B., 2000, Teknologi Perbaikan Tanah dan Alternatif

Perencanaan Pada Tanah Bermasalah (Problematic Soil), Jurusan Teknik Sipil FTSP ITS, Surabaya.

Nugroho, S.A. , 2011, Studi Daya Dukung Pondasi Dangkal pada Tanah Gambut dengan Kombinasi Geotekstil dan Grid Bambu. Jurnal Teoretis dan Terapan Bidang Rekayasa Sipil,Universitas Riau. Volume 18 Nomor 1 hal 31-40.

Nurtjahjaningtyas, Indra, 2005, Pemilihan Metode Perbaikan Tanah untuk Kawasan Pantai. (Studi Kasus : di Wilayah Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya). Media Teknik Sipil, Universitas Jember. Hal 65-70.

Pedoman Kimpraswil No : Pt T-8-2002-B, 2002, Panduan Geoteknik 1, Proses Pembentukkan dan sifat-sifat Dasar Tanah Lunak, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah.

Rowe, K.R. and Soderman, K.L., 1987, Stabilization of Very Soft Soil using High Strength Geosynthetics: the Role of Finite Element Analyses. Geotextiles and Geomechanics. Volume 6 Nomor 1-3 Hal 53-80.


(3)

Sandhyavitri, A. dan Wibisono, G., 2008, Analisa Perbaikan Subgrade Runway Lapangan Terbang dengan Metode Vertical Drain. (Studi Kasus: Bandara Tempuling Di Tembilahan, Propinsi Riau). Media Kominikasi. Hal 231-242.

Schaefer,V.R., 1997, Ground Improvement Ground Reinforcement Ground Treatment, American Society of Civil Engineers,Virginia.

Sepriawan, M., 2012, Studi Pemampatan Tanah Lunak Pontianak dengan Pengaruh Gejala Elektroosmosis. Jurnal Teknis, Volume 12 Nomor 2 hal 213-222. SKBI-2.3.06, 1987, Petunjuk Perencanaan Penanggulangan Longsoran. Jakarta :

Yayasan Badan Penerbit PU

Sukirman, Silvia, 1999, Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik Jalan. Jilid 3. Bandung: Nova.

Soetjiono, C., 2008, Perbaikan Tanah untuk Penerapan Teknologi Konstruksi di Atas Tanah Lunak. Bandung.

Suyono S., 1986, Mekanika Tanah dan Teknik Pondasi. Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Terzaghi, K., 1943, Theoretical Soil Mechanics, New York: Wiley & Sons.

Yelvi dan Adibroto, F., 2007, Kajian Pengaruh Masa Curing Terhadap Kekuatan Tanah Lunak di Daerah Rawang (Kota Padang) yang Distabilisasi dengan Clinker, Jurnal Rekayasa Sipil, Volume 3 Nomor 2 hal 87-97. Yulvi, Z. dan Budi, A.K., 2010, Penggunaan Geotextil sebagai Alternatif

Perbaikan Tanah terhadap Penurunan Pondasi Dangkal, Jurnal Rekayasa Sipil, Volume 4 Nomor 2 hal 91-98.


(4)

Gambar denah lokasi penyelidikan tanah di lapangan

(Sumber : PT. LAPI ITB, 12 Februari 2008)

BH-1 BH-2 BH-3 BH-4 BH-5 BH-6

BH-11 BH-10

BH-9 BH-8

BH-7


(5)

Gambar Stratifikasi Lapisan Tanah

BH-01

BH-07 BH.I BH-02BH.II BH-08 BH.III BH-03 BH.IV BH-09

SILT N-SPT : 0 - 14

SAND

BH-04

BH.V BH-10 BH.VI BH-05 BH-11 BH-06

SAND

SILT


(6)

(Sumber : PT. LAPI ITB, 12 Februari 2008)