Dasar Hukum Sistem Pengupahan di Indonesia

7 Pengusaha dan organisasi buruh yang mengutamakan gerak saling menghargai dan musyawarah serta mufakat dalam mengatasi segala kesulitan. 8 Standar hidup dari para buruh itu sendiri.

2. Dasar Hukum Sistem Pengupahan di Indonesia

Dilihat dari sejarah perkembangan hukum ketenagakerjaan yang pernah berlaku di Indonesia dapat diperhatikan bahwa sistem pengupahan dalam hubungan perburuhan ketenagakerjaan mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Perkembangan ini dapat dilihat dalam berbagai kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam peraturan perundang-undangan mengenai sistem pengupahan yang berlaku dalam semua hubungan ketenagakerjaan yang berlangsung di Indonesia. Kebijakan-kebijakan ini dikeluarkan dengan tujuan untuk memberikan perlindungan upah bagi pekerja karena upah memegang peranan penting dan merupakan ciri khas dalam hubungan kerja, bahkan dapat dikatakan upah merupakan tujuan utama dari seseorang bekerja dalam melakukan hubungan kerja. Perkembangan sistem pengupahan yang signifikan dalam hukum ketenagakerjaan dapat dilihat dari fakta bahwa dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 secara rinci telah mengatur kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk memperbaiki kondisi hubungan kerja di Indonesia, terutama dibidang pengupahan yang diatur dalam Bab X Bagian kedua UU No. 13 Tahun 2003. Sedangkan dalam Undang-Undang Perburuhan sebelumnya seperti diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 1948 dan UU No. 14 Tahun 1969 tidak ada mengatur secara rinci mengenai upah melainkan hanya memuat hak pekerja untuk mendapat penghasilan yang layak, misalnya dalam Pasal 3 UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja yang menyatakan: “Tiap tenaga kerja berhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan”. Ketentuan tersebut merupakan satu-satunya ketentuan pengupahan yang diatur dalam Undang-Undang tersebut. Kondisi ini telah diperbaharui dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang telah mengatur secara rinci dalam satu bagian tertentu dalam Undang-Undang tersebut mengenai kebijakan dibidang pengupahan ini. Dalam hubungan kerja yang berdasarkan kepada UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 dan berdasarkan hubungan Industrial Pancasila, berbagai kebijakan dikeluarkan untuk memberikan perlindungan upah. Dalam UU No. 13 Tahun 2003 menyebutkan setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Maksud dari penghidupan yang layak adalah dimana jumlah pendapatan pekerja dari hasil pekerjaannya mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya secara wajar, yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahaan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua. Kebutuhan hidup secara wajar ini merupakan peningkatan dari kebutuhan hidup minimum dan kebutuhan fisik minimum. Salah satu kebijakan pengupahan yang ditetapkan pemerintah untuk mencapai penghidupan yang layak bagi kemanusiaan untuk setiap pekerja adalah ketetapan upah minimum. Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Maksudnya adalah penetapan upah minimum harus pula sebanding dengan produktivitas kerja dari pekerja, sehingga tidak akan menimbulkan reaksi dari pada pengusaha yang merasa penetapan upah minimum merupakan perlakuan tidak adil karena dianggap terlalu berpihak kepada kelompok pekerja sedangkan bagi pengusaha kebijakan upah minimum tersebut tidak menguntungkan. Intervensi pemerintah dalam rangka penetapan upah minimum merupakan suatu langkah maju dalam sistem pengupahan di Indonesia. Pada masa lalu dalam hubungan kerja di Indonesia, upah hanya ditentukan oleh kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja, tanpa adanya campur tangan pemerintah sehingga dengan kondisi lapangan kerja yang sedikit akibat kondisi perekonomian negara yang lemah sehingga banyak pengangguran, maka penetapan upah berdasarkan kesepakatan seringkali sangat rendah dan tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerja. Dalam sistem pengupahan terdapat suatu prinsip “no work no pay” artinya bila buruh tidak bekerja maka upah tidak dibayar. Hal ini seringkali menimbulkan ketidakadilan bagi buruh, karena kadangkala pekerja tidak melakukan pekerjaannya bukan karena keinginan sendiri, melainkan disebabkan hal-hal yang diluar kendalinya. Oleh karena itu pemerintah menetapkan suatu kebijakan pengecualian terhadap prinsip “no work no pay” tersebut. Pengecualian ini diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, dimana buruh tetap berhak menerima upah dari pengusaha dalam hal sebagai berikut: 76 a. Jika pekerja sakit, termasuk pekerja perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan. b. Jika pekerja sakit maksudnya sakit luar biasa, bukan akibat kecelakaan kerja terus menerus sampai 12 dua belas bulan, maka upah dibayarkan pengusaha diatur: ̇ 100 seratus persen dari upah untuk 3 tiga bulan pertama. ̇ 75 tujuh puluh lima persen dari upah untuk 3 tiga bulan kedua ̇ 50 lima puluh persen dari upah untuk 3 tiga bulan ketiga ̇ 25 dua puluh lima persen dari upah untuk 3 tiga bulan keempat. c. Jika pekerja tidak masuk karena kepentingan khusus: ̇ Pernikahan pekerja sendiri 3 tiga hari 76 Abdul Hakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 80. ̇ Pernikahan anak 2 dua hari ̇ Khitanan atau baptis anak 2 dua hari ̇ Istri melahirkan atau keguguran kandungan 2 dua hari ̇ Meninggal anggota keluarga suami istri, orang tua mertua, anak menantu 2 dua hari ̇ Meninggalnya anggota keluarga dalam 1 satu rumah 1 satu hari d. Jika pekerja menjalankan kewajiban terhadap negara, dalam hal ini maksimal 1 satu tahun. e. Jika pekerja memenuhi kewajiban agama, maksimal 3 tiga bulan. f. Jika pekerja tidak bekerja karena kesalahan pengusaha. g. Jika pekerja melaksanakan hak istirahat. h. Jika pekerja melaksanakan tugas serikat pekerja atas persetujuan pengusaha. i. Jika pekerja melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan. Pengecualian terhadap prinsip “no work no pay” ini merupakan perkembangan dari sistem pengupahan pada zaman saat masih menggunakan BW Burgerlijk Wetboek sebagai ketentuan hukum perburuhan, dimana dalam Pasal 1602 b memuat ketentuan prinsip “no work no pay” ini dengan tidak memaparkan secara jelas pengecualiannya seperti tersebut di atas, tetapi semuanya hanya bergantung pada kebijaksanaan pengusaha saja untuk tetap membayar upah atau tidak apabila buruh tidak bekerja karena peraturan perundang-undangan pada waktu itu tidak ada yang menentukan lamanya pengecualian itu berlangsung. Sistem pengupahan dimasa sekarang ini juga ada mengatur mengenai prinsip pembatasan waktu kerja bagi pekerja. Ketentuan pembatasan waktu kerja ini dikecualikan bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu misalnya pekerjaan di pengeboran minyak lepas pantai, supir angkutan jarah jauh, penerbangan jarak jauh, pekerjaan di kapal laut atau penebangan hutan. 77 Pengusaha diminta sedapat mungkin menghindarkan untuk mempekerjakan pekerja lebih dari waktu kerja karena pekerja perlu mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat dan memulihkan kebugarannya. Namun dalam hal-hal tertentu, apabila terdapat kebutuhan yang mendesak yang harus diselesaikan segera sehingga pekerja harus melebihi waktu kerja diperbolehkan. Bagi pengusaha yang mempekerjakan pekerja melebihi waktu kerja kerja lembur, hal ini juga berarti penambahan biaya produksi karena upah kerja lembur jelas lebih besar dari upah biasa. Perusahaan yang mempekerjakan pekerja selama waktu kerja lembur berkewajiban untuk: 78 1. membayar upah kerja lembur. 2. memberikan kesempatan untuk istirahat secukupnya, dan 77 Mohd. Syaufii Syamsuddin, Norma Perlindungan Dalam Hubungan Industrial, sarana Bhakti Persada, Jakarta, 2004, hlm. 121. 78 Ibid, hlm. 123. 3. memberikan makanan dan minuman sekurang-kurangnya 1400 seribu empat ratus kalori apabila kerja lembur dilakukan selama 3 tiga jam atau lebih dan tidak boleh digantikan dengan uang. Upah lembur ialah upah yang diberikan oleh pengusaha sebagai imbalan kepada pekerja karena telah melakukan pekerjaan atas permintaan pengusaha yang melebihi dari jam dan hari kerjanya yang diperjanjikan atau pada hari istirahat minggu, atau pada hari-hari besar yang telah ditetapkan pemerintah. 79 1. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari kerja, untuk jam kerja lembur pertama harus dibayar upah sebesar satu setengah kali upah se- jam, dan untuk setiap jam kerja lembur berikutnya harus dibayar upah sebesar dua kali upah se-jam. 2. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan atau hari libur resmi untuk waktu kerja 6 enam hari kerja 40 empat puluh jam seminggu perhitungan upah kerja lembur untuk 7 tujuh jam pertama dibayar dua kali upah se-jam, dan jam kedelapan dibayar tiga kali upah se-jam dan jam lembur kesembilan dan kesepuluh empat kali upah se-jam. 3. Apabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek, perhitungan upah lembur lima jam pertama dibayar dua kali upah se-jam, jam keenam tiga kali upah se-jam, dan jam lembur ketujuh dan kedelapan empat kali upah se-jam. 79 Ibid, hlm 122. 4. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan, dan atau hari libur resmi untuk waktu kerja lima hari kerja dan 40 empat puluh jam seminggu, perhitungan upah lembur untuk delapan jam pertama dibayar dua kali upah se-jam, jam kesembilan dibayar tiga kali upah se-jam dan kesepuluh dan jam kesebelas empat kali upah se- jam. Perusahaan yang telah melaksanakan dasar perhitungan upah lembur yang nilainya lebih baik dari ketentuan di atas, perhitungan upah lembur tersebut tetap berlaku. 80 Untuk menetapkan perhitungan upah lembur harus diperhatikan nilai upah per-jam bagi setiap pekerja buruh, dengan formulasi: 81 a. Upah se-jam bagi pekerja bulanan 1173 upah sebulan b. Upah se-jam bagi pekerja harian 320 upah sehari c. Upah se-jam bagi pekerja borongan satuan hasil kerja 17 rata- rata hasil kerja sehari Persyaratan kerja lembur adalah harus ada persetujuan pekerja yang bersangkutan dan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3tiga jam sehari dan 14 empat belas jam dalam satu minggu. Hukum ketenagakerjaan di Indonesia juga mewajibkan pengusaha untuk menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, 80 Ibid, hal 124 81 Abdul Khakim, Op Cit, hal.78. jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi, serta melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas. Struktur upah adalah susunan tingkat upah dari yang terendah sampai yang tertinggi. Skala upah adalah nilai nominal upah setiap kelompok jabatan. 82 Penyusunan struktur dan skala upah dimaksudkan sebagai pedoman penetapan upah sehingga terdapat kepastian upah bagi pekerja serta untuk mengurangi kesenjangan antara upah tertinggi dan terendah di perusahaan yang bersangkutan. Dalam penyusunan struktur dan skala upah dilaksanakan melalui analisa jabatan, uraian jabatan dan evaluasi jabatan. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebagai dasar dalam penyusunan struktur upah adalah: 83 1. Struktur organisasi; 2. Rasio perbedaan bobot pekerjaan antar jabatan; 3. Kemampuan perusahaan; 4. Biaya keseluruhan tenaga kerja; dan 5. Upah minimum Sedangkan dasar pertimbangan dalam penyusunan skala upah adalah: 84 1. Tinggi rendahnya jarak antara golongan terendah dan tertinggi; 2. Jumlah jenjang golongan jabatan; 82 Mohd.Syaufii Syamsuddin,OpCit, hal 135. 83 Ibid, hal 136 84 Ibid 3. Jumlah rasio nilai antar golongan jabatan, dan 4. Kisaran upah terendah dengan tertinggi pada tiap golongan jabatan. Penyusunan skala upah dapat dilakukan melalui nilai atau skala tunggal, yaitu untuk setiap jabatan hanya ada satu nilai nominal upah, sepanjang jabatannya sama, upah nominalnya sama atau dapat juga dilakukan melalui nilai skala ganda, yaitu setiap jabatan mempunyai nilai upah nominal terendah dan tertinggi, upah pekerja pada jabatan yang sama biasanya berbeda, tergantung pada kompetensi kerja. Dalam pelaksanaannya struktur dan skala upah sangat ditentukan oleh kondisi yang ada pada tiap perusahaan, dengan kata lain penetapan skala upah disesuaikan dengan kondisi dan strategi pengupahan masing-masing perusahaan. Praktik di lapangan, ada berbagai macam cara perusahaan dalam memberikan upah kepada pekerja buruhnya. Dalam teori dan praktik ada beberapa macam sistem pemberian upah, yaitu: 85 1. Sistem Upah Jangka Waktu, yaitu merupakan sistem pemberian upah menurut jangka waktu tertentu, misalnya harian, mingguan atau bulanan. 2. Sistem Upah Potongan, yang bertujuan untuk mengganti sistem upah jangka waktu jika hasil pekerjaannya tidak memuaskan. Sistem upah ini hanya dapat diberikan jika hasil pekerjaannnya dapat dinilai menurut 85 Zainul Asikin, dkk, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hal 72 ukuran tertentu, misalnya diukur dari banyaknya, beratnya dan sebagainya. Manfaat pengupahan dengan sistem ini adalah: a. Buruh mendapat dorongan untuk bekerja giat. b. Produktivitas semakin meningkat. c. Alat-alat produksi akan dipergunakan secara intensif. Sedangkan keburukannya adalah: b. Buruh selalu bekerja secara berlebih-lebihan. c. Buruh kurang menjaga kesehatan dan keselamatannya. d. Kadang-kadang kurang teliti dalam bekerja karena untuk mengejar jumlah potongan. e. Upah tidak tetap tergantung pada jumlah potongan yang dihasilkan 3. Sistem Upah Permufakatan, maksudnya adalah suatu sistem pemberian upah dengan cara memberikan sejumlah upah kepada kelompok tertentu, yang selanjutnya nanti kelompok ini akan membagi-bagikan kepada para anggota. 4. Sistem Skala Upah Berubah, yaitu jumlah upah yang diberikan berkaitan dengan harga penjualan hasil produksi di pasaran. Jika harga naik maka jumlah upahpun akan naik, sebaliknya jika harga turun, maka upahpun akan turun. 5. Sistem Upah Indeks, yaitu sistem upah yang didasarkan atas indeks biaya kebutuhan hidup. Dengan sistem ini upah itu akan naik turun sesuai dengan naik turunnya biaya penghidupan, meskipun tidak mempengaruhi nilai nyata dari upah. 6. Sistem Pembagian Keuntungan, yaitu sistem upah yang disamakan dengan pemberian bonus apabila perusahaan mendapat keuntungan di akhir tahun. Teori sistem pengupahan yang diterapkan dan berlaku untuk setiap hubungan kerja di Indonesia yang dituangkan dengan kebijakan pemerintah dalam peraturan perundang-undangan pada dasarnya sudah baik, tetapi dalam praktiknya sistem pengupahan ini belum dilaksanakan sebagaimana mestinya menurut teori sistem pengupahan yang ada dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Ketentuan hukum di bidang pengupahan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah Sebagai Ketentuan Pokok, dan peraturan perundang-undangan lain yang secara langsung maupun tidak langsung mengatur tentang pengupahan sebagai ketentuan operasional dan ketentuan penunjang. Ketentuan hukum tersebut saling melengkapi untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi pelaksanaan pengupahan dalam setiap hubungan kerja di Indonesia, karena hukum itu sendiri bukanlah sekedar kumpulan atau penjumlahan peraturan-peraturan yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri. Arti pentingnya suatu peraturan hukum ialah karena hubungannya yang sistematis dengan peraturan-peraturan hukum lain. 86 Menurut Pasal 77 ayat 2 UU No. 13 Tahun 2003 ditetapkan waktu kerja sebagai berikut: 1. 7 tujuh jam satu hari dan 40 empat puluh jam dalam satu minggu untuk 6 enam hari kerja dalam satu minggu, atau 2. 8 delapan jam satu hari dan 40 empat puluh jam dalam satu minggu untuk 5 lima hari kerja dalam satu minggu. Ketentuan lamanya waktu kerja sehari ini sangat penting dalam hal untuk menghitung besarnya upah harian. Disamping itu ada beberapa ketentuan penting sehubungan dengan pengupahan yaitu: a. Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum Pasal 90 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003. Bila pengusaha tidak mampu membayar upah minimum, maka dapat dilakukan pertanggungan yang pelaksanaannya diatur menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja buruh atau serikat pekerja serikat buruh tidak boleh lebih 86 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta,1995,hal 115 rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang- undangan yang berlaku Pasal 91 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003. c. Upah tidak dibayar apabila pekerja buruh tidak melakukan pekerjaan Pasal 93 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003. Tetapi ketentuan tersebut tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila pekerja buruh tidak bekerja dengan alasan-alasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat 2 UU No. 13 Tahun 2003. d. Komponen upah yang terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75 tujuh puluh lima persen dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap Pasal 94 UU No. 13 Tahun 2003. e. Tuntunan pembayaran upah pekerja buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluarsa setelah melampaui jangka waktu 2 dua tahun sejak timbulnya hak Pasal 96 UU No. 13 Tahun 2003 jo Pasal 30 PP No. 8 Tahun 1981. f. Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi antara buruh laki-laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya Pasal 3 PP No. 8 Tahun 1981. Menurut ketentuan Pasal 95 ayat 4 UU No. 13 Tahun 2003 jo Pasal 27 PP No. 8 Tahun 1981, dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak- hak lainnya dari pekerja buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 189 ayat a UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, bahwa dalam hal pemberesan harta pailit dilakukan terlebih dahulu atau didahulukan pembayaran kepada kreditur yang mempunyai hak yang diistimewakan. Dalam hal ini upah dan hak-hak pekerja buruh lainnya merupakan hak yang diistimewakan.

3. Klasifikasi Upah pada PT. Binanga Mandala Labuhan Batu

Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

4 75 129

PENULISAN HUKUM / SKRIPSI PELAKSANAAN PENGUPAHAN PEKERJA WAKTU TERTENTU BERDASARKAN PELAKSANAAN PENGUPAHAN PEKERJA WAKTU TERTENTU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO.13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN (STUDI KASUS PADA PT.ESHAM DIMA MANDIRI YOGYAKARTA).

0 2 12

PENDAHULUAN PELAKSANAAN PENGUPAHAN PEKERJA WAKTU TERTENTU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO.13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN (STUDI KASUS PADA PT.ESHAM DIMA MANDIRI YOGYAKARTA).

0 3 14

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGUPAHAN TERHADAP PEKERJA DALAM PERJANJIAN KERJA DI PT. SUMBER JAYA GARMENT DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003.

0 2 24

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA DENGAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) TERKAIT HAL PENGALIHAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN ALIH DAYA BERDASARKAN UNDANG - UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KE.

0 0 4

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN PADA PEKERJA KONTRAK WAKTU TERTENTU (PKWT) DI PT. INTI CAKRAWALA CITRA (INDOGROSIR) SURABAYA.

2 32 98

STATUS PEKERJA OUTSOURCING DALAM HAL TERJADINYA PELANGGARAN JANGKA WAKTU PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN.

0 1 55

Perlindungan Hukum Tenaga Kerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Studi Kasus di PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) Area Madiun).

0 0 17

PERLINDUNGAN PEKERJA DALAM PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DI PT. INTERNATIONAL CHEMICAL INDUSTRY.

0 1 1

PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DAN SISTEM PENGUPAHAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN - repo unpas

0 0 15